Potret Sistem Internasional & Pembentukan Negara di Timur Tengah Muhammad Qobidl `Ainul Arif, M.A. #Sesi 2, 24 Februari 2015
Membedah Timur Tengah dalam Perspektif Strukturalisme Struktur hirarkis sistem kapitalisme internasional menentukan pilihan bagi sebuah negara. Dalam konteks pembagian (divisi) kerja, para pekerja (labour) dari negara inti (negara maju) senantiasa melakukan sub ordinasi dan eksploitasi terhadap negara berkembang (LDCs) atau negara pinggiran. Analisa Timteng dengan paradigma ini: Alnasrawi (1991), Amin (1978), Bromley (1990 dan 1994), Ismael (1993) dan Keyder (1987).
Analisa (Strukturalisme) di Timteng Timur Tengah diwarnai oleh sistem dunia (the world system) yang kapitalis dimana negara-negara maju dan superpower sebagai negara inti (core states) mendominasi kawasan ini. Timur Tengah adalah kawasan yang terekskpliotasi dan ditekan oleh sistem internasional tersebut. Meski demikian, pengaruh dan intervensi dari luar tersebut terkadang tidaklah sepenuhnya. (Leon Carl Brown, 1984) Pertarungan untuk memperebutkan kekuasaan antar superpower di Timur Tengah adalah paling lama dibandingkan dengan wilayah lain di Dunia Ketiga. (Fred Halliday, 1988) Meski demikian, Bangsa Arab Muslim melihat dirinya sebagai bangsa yang besar dan penyampai Agama Tuhan sehingga sulit menerima dominasi Barat.
Periodesasi Dominasi Great Powers di Timteng
Awal Masa Imperialisme & Jatuhnya Sistem Politik Timur Tengah di tangan Barat Berubahnya Turki Utsmani, dari negara supra nasional menjadi negara yang bertahan dengan prinsip modernisasi/westernisasi. Sejak 1700an Kesultanan mulai mengalami tanda-tanda kemunduran dengan lepasnya satu-persatu wilayah kekuasaanya. Kemakmuran perekonomian Barat dan kecanggihan teknologi (militer) membuat Kesultanan merasa silau dan melancarkan kebijakan modernisasi secara masif (defensive modernisation). Namun, proyek modernisasi gagal dan membawa Kesultanan dalam jebakan hutang kepada negara-negara Barat yang membuat berjalannya teori dependensia. Akibat paling menyakitkan adalah mewabahnya ide nasionalisme yang mengantarkan Kesultanan ke pintu gerbang kematiannya pada tahun 1924.
Dampak Keruntuhan Kesultanan Utsmani Republik Turki lahir dengan identitas nasionalisme etnis/ bahasa (Turks) dan teritori (Anatolia). Iran mengadopsi proyek modernisasi Turki. Abdul Aziz Ibn Saud menyatukan semenanjung Arabia dengan identitas agama. Pasca PD I, Inggris dan Perancis berbagi wilayah kekuasaan Kesultanan yakni Aljazair, Mesir, Tunisia, Maroko dan negaranegara di daerah Bulan Sabit Subur (Suriah, Lebanon, Palestina dan Yordania). Mulailah berlaku teori world system dimana negara pinggiran melayani negara inti: Mesir sebagai pemasok katun bagi industri di Eropa dan melalui MNCs, minyak menjadi komoditas yang dieksploitasi untuk kepentingan Barat.
Dekolonisasi dan Masa Perang Dingin Pasca PD II, gerakan nasionalisme mendominasi di seluruh Timur Tengah yang membawa mereka ke proses dekolonialisasi. AS dan Soviet memperebutkan pengaruh di Timteng dalam tiga isu strategis: minyak, posisi strategis/ rute transit dan persoalan Israel. AS, melalui Doktrin Truman menjalankan politik pembendungan (containment) dengan kebijakan ekonomi dan militernya. Soviet memanfaatkan spirit revolusi nasionalisme Arab melalui gerakan Pan Arabisme sebagai tunggangan untuk merebut pengaruh di Timteng. Representasi konflik: Nuri Al Said Vs. Gamal Abdunnasser.
Perang 1967 dan Dominasi Barat Perang ini memiliki sebab yang berasal dari persoalan regional, namun AS memfasilitasi Israel karena kekhawatiran terhadap kesuksesan Nasser. Hasil perang: Israel sukses mengokupasi Sinai dari Mesir. 1972 Sadat mencopot penasehat ekonominya dari Soviet. Perang 1973 menciptakan aliansi Cairo- Damascus-Riyadh dan embargo minyak bagi Barat. Loby Kissinger berhasil meyakinkan Mesir menuju Camp David yang menandai dominasi Barat di kawasan ini.