II. TINJAUAN PUSTAKA. ton/hektar turun sekitar 0,13 ton/hektar menjadi 6,17 ton/hektar di tahun 2014

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. D.I.Yogyakarta tahun mengalami penurunan. Pada tahun 2013

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi dan Ekologi Tikus Sawah Rattus rattus argentiventer Rob & Kloss

BUPATI JEMBER SALINAN PERATURAN BUPATI JEMBER NOMOR 17.1 TAHUN 2015

BAB I PENDAHULUAN. Besar Penelitian Tanaman Padi, tikus sawah merupakan hama utama penyebab

PEMERINTAH KABUPATEN GROBOGAN DESA JATILOR KECAMATAN GODONG PERATURAN DESA JATILOR NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PELESTARIAN BURUNG HANTU (TYTO ALBA)

Mengenal Tikus Sawah

MENGIDENTIFIKASI dan MENGENDALIKAN HAMA PADA PADI. Oleh : M Mundir BP3K Nglegok

TINJAUAN PUSTAKA Tikus Rumah, Tikus Pohon, dan Tikus Sawah Klasifikasi dan Morfologi Bioekologi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung serak jawa (Tyto alba javanica) pertama kali dideskripsikan oleh

PENGEMBANGAN BURUNG HANTU (TYTO ALBA) SEBAGAI PENGENDALI HAMA TIKUS DI DESA BABAHAN DAN SENGANAN, PENEBEL, TABANAN, BALI

PENDAHULUAN. Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut:

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 10. HAMA DAN PENYAKIT TANAMANlatihan soal 10.1

TINJAUAN PUSTAKA Tikus Sawah Klasifikasi dan Morfologi Biologi dan Ekologi

(Rattus tiomanicus MILLER) MENUJU. Dhamayanti A.

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori Produktivitas Pengaruh Faktor Produksi Terhadap Produktivitas

APLIKASI FUZZY TSUKAMOTO UNTUK PENGGUNAAN JASA BARN OWL (TYTO ALBA) SEBAGAI PENGENDALI HAMA TIKUS DI BIDANG PERTANIAN

Untuk mengatasi serangan hama tikus, dapat dilakukan cara cara sebagai berikut:

Si Pengerat Musuh Petani Tebu..

Gambar 1. Gejala serangan penggerek batang padi pada stadium vegetatif (sundep)

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Populasi Kepinding Tanah ( S. coarctata

Status Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) Sebagai Hama

PENGELOLAAN HAMA SECARA HAYATI Oleh : Awaluddin (Widyaiswara)

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi tanaman padi adalah sebagai berikut :

Pola Aktivitas HarianPasangan Burung Serak Jawa (Tyto alba) di Sarang Kampus Psikologi Universitas Diponegoro Tembalang Semarang.

1 Menerapkan pola tanam yang teratur dan waktu tanam yang serempak (tidak lebih dari 2 minggu)

TINJAUAN PUSTAKA. Serangga Hypothenemus hampei Ferr. (Coleoptera : Scolytidae). Penggerek buah kopi (PBKo, Hypothenemus hampei) merupakan serangga

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pertanian organik adalah sistem manajemen produksi terpadu yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian

TINJAUAN PUSTAKA Tikus

1. tikus 2. penggerek batang padi 3. wereng coklat

TATA CARA PENELITIN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. B. Bahan dan Alat Penelitian

Pengendalian Hama Tikus Terpadu Tikus memiliki karakter biologi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Padi (Oryza sativa L.) tergolong ke dalam Famili Poaceae, Sub- family

II. TINJAUAN PUSTAKA. mampu mengimbangi kebutuhan pangan penduduk yang jumlahnya terus. dapat mencemari lingkungan dan mengganggu kesehatan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Terbuka lebar peluang ekspor dari budidaya belut

MENGIDENTIFIKASI dan MENGENDALIAN HAMA WERENG PADA PADI. Oleh : M Mundir BP3KK Nglegok

Penggerek Pucuk Tebu dan Teknik Pengendaliannya

PENDAHULUAN. Eli Korlina PENDEKATAN PHT

Waspada Serangan Hama Tanaman Padi Di Musim Hujan Oleh : Bambang Nuryanto/Suharna (BB Padi-Balitbangtan)

JENIS_JENIS TIKUS HAMA

TINJAUAN PUSTAKA. Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Padi (Oryza sativa L.) merupakan tanaman pangan sumber utama untuk

BAB I PENDAHULUAN. merupakan sumber protein, lemak, vitamin, mineral, dan serat yang paling baik

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil. Kondisi Umum

BUDIDAYA BELUT (Monopterus albus)

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGELOLAAN ORGANISME PENGGANGGU TANAMAN SECARA TERPADU

PEMANFAATAN BURUNG HANTU (Tyto alba) SEBAGAI PREDATOR TIKUS. Penulis : Binsar Simatupang, SP, MP/Widyaiswara Muda BPPP Jambi

MENGIDENTIFIKASI DAN MENGENDALIKAN PENYAKIT BLAST ( POTONG LEHER ) PADA TANAMAN PADI

HASIL DAN PEMBAHASAN

BIOLOGI TIKUS BIOLOGI TIKUS. Kemampuan Fisik. 1. Menggali (digging)

CARA CARA PENGENDALIAN OPT DAN APLIKASI PHESTISIDA YANG AMAN BAGI KESEHATAN 1) SUHARNO 2) 1) Judul karya ilmiah di Website 2)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1995 TENTANG PERLINDUNGAN TANAMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

HAMA Cricula trifenestrata PADA JAMBU METE DAN TEKNIK PENGENDALIANNYA

TINJAUAN PUSTAKA. energi pada kumunitasnya. Kedua, predator telah berulang-ulang dipilih sebagai

untuk meneliti tingkat predasi cecopet terhadap larva dan imago Semoga penelitian ini nantinya dapat bermanfaat bagi pihak pihak yang

PEMANFAATAN BURUNG HANTU UNTUK MENGENDALIKAN TIKUS DI KECAMATAN SEMBORO KABUPATEN JEMBER

CIRI KHUSUS MAKHLUK HIDUP DAN LINGKUNGAN HIDUPNYA

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Hama Penggerek Buah Kopi (Hypothenemus hampei Ferr.) Menurut Kalshoven (1981) hama Penggerek Buah Kopi ini

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Chilo sacchariphagus Boj. (Lepioptera: Crambidae) Bentuk telur jorong dan sangat pipih, diletakkan dalam 2-3 baris tersusun

PENDAHULUAN Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS TERNAK JALAK SUREN

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Padi

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 21. KELANGSUNGAN HIDUP MAKHLUK HIDUPLatihan Soal 21.3

kelas Mammalia, ordo Rodentia, famili Muridae, dan genus Rattus (Storer et al.,

PENGENDALIAN HAMA TIKUS DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DENGAN MENGGUNAKAN BURUNG HANTU (Tyto alba) Sylvia Madusari. Abstrak

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), hama walang sangit dapat di klasifikasikan sebagai

TINJAUAN PUSTAKA. Telur berwarna putih, berbentuk bulat panjang, dan diletakkan

Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1995 Tentang : Perlindungan Tanaman

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 4 KELANGSUNGAN HIDUP ORGANISME (MATERI IPA TERPADU KELAS IX) Kompetensi Dasar : Mengidentifikasi kelangsungan hidup makhluk hidup

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

HA BAB I PENDAHULUAN

I. TINJAUAN PUSTAKA A. Padi

Sumber : Nurman S.P. (

PEMANFAATAN BURUNG HANTU (Tyto alba) SEBAGAI PREDATOR TIKUS. Penulis : Binsar Simatupang, SP, MP/Widyaiswara Muda BPP Jambi

HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. vegetasinya termasuk rumput-rumputan, berakar serabut, batang monokotil, daun

I. PENDAHULUAN. hama dapat berupa penurunan jumlah produksi dan penurunan mutu produksi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. hama karena mereka menganggu tumbuhan dengan memakannya. Belalang, kumbang, ulat,

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori Burung Hantu ( Tyto alba ) dan Pemanfaatannya Partisipasi Masyarakat

commit to users I. PENDAHULUAN

I. TINJAUAN PUSTAKA. Setothosea asigna, Setora nitens, Setothosea bisura, Darna diducta, dan, Darna

IPA SD Kelas IV 1

MATERI DAN METODE. Pekanbaru. Penelitian ini dilaksanakan selama 5 bulan dimulai dari bulan Juni sampai

Penggunaan Serak Jawa (Tyto alba) sebagai Pengendali Hama Tikus pada Persawahan Daerah Istimewa Yogyakarta

S i s t e m M a s y a ra k a t y a n g B e r ke l a n j u t a n

TINJAUAN PUSTAKA. A. Biologi dan Morfologi Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros) kelapa sawit di Indonesia adalah kumbang tanduk O. rhinoceros.

HAMA PENYAKIT TANAMAN PADI DAN CARA PENGENDALIANNYA

Transkripsi:

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Produksi Pertanian Padi D.I.Yogyakarta Produktivitas dan produksi padi sawah D.I.Yogyakarta tahun 2013-2014 mengalami penurunan. Pada tahun 2013 produktivitas padi ladang sekitar 6,3 ton/hektar turun sekitar 0,13 ton/hektar menjadi 6,17 ton/hektar di tahun 2014 dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Padi di D.I.Yogyakarta tahun 2013-2014 Komoditi Luas Panen (ha) Produksi (ton) Hasil (ton/ha) 2013 2014 2013 2014 2013 2014 Padi Sawah 114.547 115.667 721.674 713.800 6,300 6,171 Padi Ladang 44.175 43.236 200.150 200.379 4,476 4,635 Padi 159.266 158.903 921824 914.179 5,788 5,753 Sumber : BPS Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2015 Sifat tanaman pertanian tergantung pada keadaan alam, perubahan, cuaca atau iklim, pengaruh hama dan penyakit, serta penggunaan input produksi (pupuk dan pestisida). Faktor lingkungan dan perubahan cuaca/iklim menjadi faktor utama terjadinya ketidakpastian hasil pada kegiatan usaha tani padi di D.I.Yogyakarta. Selain pengaruh perubahan cuaca, kegiatan usahatani juga dipengaruhi oleh adanya hama dan penyakit tanaman. Hama dan penyakit yang endemik pada suatu daerah membuat meningkatnya risiko produksi yang dihadapi oleh petani. 7

8 B. Bioekologi Tikus Tikus termasuk golongan binatang mengerat atau Rodensia yang merupakan kelompok terbesar dari kelas Mamalia, karena memiliki jumlah spesies terbesar yaitu 2.000 spesies dari 5000 spesies binatang yang termasuk kelas Mamalia (Aplin dkk., 2003). Tikus merupakan hewan yang aktif pada malam hari (nocturnal) yang didiukung oleh kemampuan indra yang dimilikinya (Brooks dan Rowe, 1979). Tikus Sawah (Rattus argentiventer) merupakan hama utama padi dan juga berperan sebagai vektor penyebab penyakit pada manusia dan hewan ternak (Sudarmaji dkk., 2005). Tikus bersifat omnivora, meskipun demikian tanaman padi merupakan sumber utama pakan tikus yang paling disukainya (Rahmini dan Sudarmaji, 1997). Pada umumnya binatang pengerat (seperti halnya tikus sawah) mempunyai potensi perkembangbiakan cepat sehingga populasinya kan berkembang dengan cepat pula. Tikus betina bunting selama 21 hari dan menyusui anaknya selam 21 hari. Tikus mampu bunting dan menyusi dalam waktu bersamaan dan tikus tersebut kawin lagi dalam waktu 48 jam setelah melahirkan (Meehan, 1984). Pada pertanian tanaman padi hama tikus merupakan hama yang relatif sulit dikendalikan karena kemampuan adaptasi, mobilitas, dan kemampuan berkembangbiak, serta daya rusaknya yang tinggi (Priyambodo, 1995). Kehilangan hasil tanaman oleh tikus sangat besar sehingga memerlukan pengendalian yang serius dan konseptual ( Baco dan Sama 1995)

9 B.1. Faktor-faktor yang mempengaruhi Populasi Tikus Populasi tikus dapat meningkat dengan cepat jika masa panen mengalami perpanjangan karena tidak serentaknya waktu tanam atau umur varietas yang ditanam tidak sama. Selain itu banyaknya gulma di pematang sawah dapat menjadi tempat berlindung dan bersembunyi tikus. (Harahap dan Tjahjono, 2003). Perkembangan tikus dipengaruhi oleh keadaan lingkungan terutama ketersediaannya bahan makanan pada suatu daerah pertanaman padi dengan pola tanam yang tidak teratur sehingga selalu terpenuhinya bahan makanan bagi tikus sehingga populasi tikus meningkat. Penggunaan pola tanam yang serentak memungkinkan populasi tikus akan menurun (Triharso, 1996). B.2 Gejala Serangan Tikus Seluruh bagian tanaman padi pada berbagai stadia pertumbuhan dapat dirusak oleh tikus. Walaupun demikian, tikus paling senang memakan bagian malai atau bulir tanaman padi pada stadia generatif. Pada stadia persemaian, tikus mencabut benih yang sudah mulai tumbuh (bibit) untuk memakan bagian biji yang masih tersisa (endosperm). Pada stadia vegetatif, tikus memotong bagian pangkal batang untuk memakan bagian batangnya. Adapun pada stadia generatif, tikus memotong pangkal batang untuk memakan bagian malai atau bulirnya (Priyambodo, 1995). Menurut Harahap dan Tjahjono (2003) tikus dapat menyerang tanaman padi pada berbagai fase tanaman padi. Pada fase vegetatif, tikus akan memutuskan batang padi sehingga tampak berserakan, tikus akan menggigit lebih dari jumlah

10 yang dibutuhkan untuk makan. Kerusakan yang ditimbulkan oleh tikus bersifat khas, yaitu ditengah- tengah petakan sawah tampak gundul, sedangkan bagian tepi biasanya tidak diserang. Mereka juga menyerang bedengan persemaian dengan memakan benih- benih yang disebar atau mencabut tanaman-tanaman yang baru tumbuh. Berdasarkan penelitian Murakami dkk, (1992) kerusakan oleh satu ekor tikus adalah 5 rumpun padi per malam pada stadia 1-3 minggu, 5 rumpun per malam pada stadia anakan maksimal, 7 rumpun padi per malam pada stadia premordia, dan 12 rumpun padi per malam pada stadia padi bunting. C. Pengendalian Hama Tikus Menurut Priyambodo (1995), terdapat beberapa metode untuk mengendalikan tikus yang dapat dilakukan sesuai dengan situasi dan kondisi setempat, secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam empat kelompok yaitu: 1. Pengendalian secara kultur teknis dengan membuat lingkungan yang tidak menguntungkan bagi kehidupan dan perkembangan populasi tikus yakni dengan cara pengaturan pola tanam, pengaturan waktu tanam, pengaturan jarak tanam 2. Pengendalian secara fisik dan mekanis yakni dengan membunuh tikus dengan bantuan alat seperti senapan angin dan perangkap. Perangkap tikus merupakan metode pengendalian yang paling tua.

11 3. Pengendalian secara biologi (Pengendalian hayati) yakni dengan pemanfaatan musuh alami tikus seperti kucing, ular sawah, elang, dan burung hantu. C.1. Pengendalian Hayati Pengendalian hayati adalah proses penurunan populasi hama secara alami karena aksi atau tekanan alami dari predator, parasit, antagonis, atau penyakitnya (Purnomo, 2010). Menurut Jumar (2000). Pengendalian hayati memiliki keuntungan dan kerugian. Keuntungan pengendalian hayati yaitu : 1. Aman artinya tidak menimbulkan pencemaran lingkungan dan keracunan pada manusia dan ternak, 2. tidak menyebabkan resistensi hama, 3. Musuh alami bekerja secara selektif terhadap inangnya atau mangsanya. 4. Bersifat permanen untuk jangka waktu panjang lebih murah, apabila keadaan lingkungan telah stabil atau telah terjadi keseimbangan antara hama dan musuh alaminya. Selain itu pengendalian hayati juga terdapat kelemahan atau kekurangan seperti: 1. Hasilnya sulit diramalkan dalam waktu yang singkat, 2. Diperlukan biaya yang cukup besar pada tahap awal baik untuk penelitian maupun untuk pengadaan sarana dan prasarana. 3. Dalam hal pembiakan di laboratorium kadang-kadang menghadapi kendala karena musuh alami menghendaki kondisi lingkungan yang kusus dan

12 4. Teknik aplikasi dilapangan belum banyak dikuasai. C.2. Strategi Pendekatan Pengendalian Hayati Menurut Purnomo (2010), Terdapat 3 dasar pendekatan di dalam pengendalian hayati, yaitu : 1. Konservasi dan peningkatan musuh alami (Conserving and enhancing natural enemies). Pendekatan ini bertujuan untuk pelestarian dan meningkatkan dampak musuh alami yang telah ada pada areal pertanaman. Salah satu cara adalah dengan meminimalkan dampak negative penggunaan pestisida. Cara lain adalah dengan mengubah lingkungan pertanaman dan cara atau teknik bercocok tanam. 2. Augmentasi populasi musuh alami (Augmentation natural enemy populations). Jika musuh alami yang ada di arela pertanaman tidak mampu mengendalikan hama, meskipun konservasi telah dilakukan maka dilakukan langkah augmentasi. Augmentasi merupakan upaya peningkatan jumlah musuh alami yang sebelumnya telah berfungsi di ekosistem tersebut, baik dengan cara pelepasan sejumlah tambahan baru maupun dengan cara memodifikasi ekosistem sedemikian rupa sehingga dapat meningkatkan jumlah musuh alami. 3. Introduksi musuh alami. Jika tidak ada spesies musuh alami yang mampu secara efektif mengontrol populasi hama maka introduksi atau importasi musuh alami ke daerah yang terserang hama perlu

13 dilakukan. Ummnya pendekatan ini digunakan bila terjadi ledakan hama yang bersifat invasif. D. Serak Jawa (Tyto alba) Burung Tyto alba atau Serak Jawa dalam nama lokal Indonesia atau Barn Owl dalam bahasa asing, pertama kali dideskripsikan oleh Giovanni Scopoli tahun 1769. Nama alba berkaitan dengan warnanya yang putih. Selain Barn Owl, burung ini memiliki banyak sebutan, antara lain: Monkey-faced Owl, Ghost Owl, Church Owl, Death Owl, Hissing Owl, Hobgoblin atau Hobby Owl, Golden Owl, Silver Owl, White Owl, Night Owl, Rat Owl, Scritch Owl, Screech Owl, Straw, Barnyard Owl, Owl dan Delicate Owl. Gambar 1. Tyto alba (Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2016) Serak Jawa memiliki bulu lembut, berwarna tersamar, bagian atas berwarna kelabu terang dengan sejumlah garis gelap dan bercak pucat tersebar pada bulu. Bagian bawah berwarna putih dengan sedikit bercak hitam, atau tidak ada. Bulu pada kaki jarang-jarang. Kepala besar, kekar dan membulat. Wajah berbentuk

14 jantung, warna putih dengan tepi coklat. Mata menghadap kedepan, merupakan ciri yang mudah dikenali. Iris mata berwana hitam. Paruh tajam, menghadap kebawah, warna keputihan. Kaki warna putih kekuningan sampai kecoklatan. Betina dan fase remaja umumnya bercak lebih rapat dan lebih gelap (MacKinnon, dkk., 2000). D.1. Perilaku Berburu Mangsa Serak Jawa berupa mamalia kecil terutama yang berada ditanah seperti : rodensia, jenis marsupial, kelinci dan lain-lain. Dalam beberapa kali ditemukan juga burung ini memangsa kelelawar, serangga berukuran besar bahkan burung-burung yang lebih kecil. Kebiasaan berburu dimulai dengan mengitari daerah perburuan sebelum menangkap mangsa di tanah (Debus, 2009). Tyto alba mulai berburu setelah matahari terbenam, berburu berikutnya sekitar 2 jam menjelang fajar namun jika sedang mengasuh anak mereka akan berburu sepanjang malam (Baskoro, 2005). Tyto alba mampu menangkap tikus dengan hanya mengandalkan pendengarannya sebagai petunjuk (Duckett, 1982). Tyto alba hidup berkelompok dan tidak bersaing dalam kawasan perburuannya dan mangsa spesifik dari Tyto alba adalah tikus (Lenton, 1980). Seekor Tyto alba dewasa mampu memangsa 2 hingga 5 ekor tikus setiap harinya dan memiliki kemampuan untuk membunuh mangsanya jauh melebihi kebutuhannya (Heru dkk., 2000).

15 D.2. Perilaku Makan Serak Jawa langsung menelan secara utuh tikus berukuran kecil,sedang tikus ukuran besar akan dipotong-potong menjadi beberapa bagian sebelum ditelan. Serak Jawa awalnya akan memotong leher tikus menggunakan paruhnya, kepala tikus merupakan sasaran utama yang menjadi santapan yang akan ditelan bersama-sama kulit serta bulunya (Setiawan, 2004). Bagian tubuh mangsa yang tidak bisa dicerna (tulang dan rambut) dipadatkan menjadi pelet yang akan dimuntahkan (regurgitasi) sekitar 6 jam setelah dicerna (del Hoyo, 1999). D.3. Perilaku Bersarang Serak Jawa (Tyto alba) merupakan burung yang tidak membangun sarang namun dapat mencakar-cakar permukaan lembut untuk membuat lubang (Crick, 2009). Serak Jawa bersarang pada lubang pohon, bangunan, dan celah batu, serta nestbox (Taylor, 1994). Menurut Barry (1992), nestbox merupakan sarana yang berguna untuk menambah ketersediaan tempat bersarang bagi spesies burung yang bersarang dalam lubang (cavity nesting). Penyediaan nestbox dapat digunakan sebagai alat bantu dalam langkah manajemen konservasi pada lokasi yang ketersediaan sarangnya (pada bangunan maupun lubang pohon) mengalami penurunan (Taylor dan Walton, 2003). Serak jawa umumnya menelurkan 2-9 butir (Shawyer, 1998). Telur-telur tersebut ditelurkan dengan jarak 2 3 hari, semakin besar jarak, sering di asosiasikan dengan kondisi cuaca yang buruk (suhu sangat dingin, salju

16 ataupun hujan terus menerus), 3-7 hari jarak peneluran pernah tercatat oleh penelitian Taylor (1994). Masa inkubasi berakhir selama 29-34 hari, hanya betina yang melakukan pengeraman dan pejantan berperan dalam menyediakan makanan (Langford dan Taylor, 1992). E. Penggunaan Serak Jawa sebagai Pengendali Hama Tikus Penggunaan pengendalian hama dengan menggunakan Serak Jawa di Pulau Jawa khususnya dipelopori oleh kelompok tani dari daerah Ngrambe, Ngawi, Jawa Timur pada tahun 1996. Pengendalian dengan Serak Jawa berhasil menekan serangan hama tikus pada areal persawahan desa tersebut. Strategi tersebut kemudian digunakan oleh beberapa daerah sekitarnya seperti Mojokerto. Keberhasilan penggunaan Serak Jawa kemudian digunakan sebagai model pengendalian hama oleh Kabupaten Demak tepatnya di desa Tlogoweru, Jawa Tengah dan berhasil meningkatkan hasil panen padi desa tersebut. (Yoeke Kusumayanti, Komunikasi Personal, 12 Oktober 2015) Desa Tlogoweru kini menjadi percontohan desa di Pulau Jawa yang persawahannya menggunakan strategi pengendalian hama dengan predator alami. Pada desa Tlogoweru juga dibuat peraturan desa yang melarang adanya perburuan Serak Jawa, desa tersebut kini menjadi desa wisata Serak Jawa. Berita berhasilnya penggunaan Serak Jawa sebagai pengendali tikus akhirnya sampai di Yogyakarta pada tahun 2012. Pada tahun 2012 kelompok tani dari daerah Kabupaten Sleman Yogyakarta mencoba melakukan strategi penggunaan Tyto alba pada persawahan mereka. (Yoeke Kusumayanti, Komunikasi Personal, 12 Oktober 2015)

17 F. Hipotesis 1. Terdapat Serak Jawa pada persawahan Daerah Istimewa Yogyakarta. 2. Jenis tikus yang merupakan mangsa utama Serak Jawa di persawahan adalah jenis Rattus argentiveter.