CATATANKEBIJAKAN. Transparansi Penerimaan Negara Sektor Kehutanan. No. 01, Memperkuat Perubahan Kebijakan Progresif Berlandaskan Bukti

dokumen-dokumen yang mirip
CATATANKEBIJAKAN. Peta Jalan Menuju EITI Sektor Kehutanan. No. 02, Memperkuat Perubahan Kebijakan Progresif Berlandaskan Bukti.

PENGELOLAAN PNBP SDA KEHUTANAN. Jakarta 9 Oktober 2015

Kebijakan Fiskal Sektor Kehutanan

Membedah Laporan EITI KAP SUKRISNO SARWOKO & SANDJAJA

Pelaksanaan EITI (Extractive Industries Transparency Initiative) di Indonesia. Sekretariat EITI Indonesia 8 Oktober 2015

Sistem Administrasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Hasil Hutan Kayu

BAB I PENDAHULUAN. dapat memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan manusia, baik manfaat tangible yang

2 Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Kehutanan Tahun Anggaran 2013; Mengingat : Peraturan Menteri Keuangan Nomor 20/PMK.07/2013 tentang Perkiraan Alokas

Kajian Sistem Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Sektor Kehutanan 2015

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan

BAB III GAMBARAN UMUM DANA PERIMBANGAN

PROGRES PELAKSANAAN EITI DI INDONESIA

BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI

(PENGGANTI PP NO. 59 TAHUN 1998 TENTANG TARIF ATAS JENIS PNBP YANG BERLAKU PADA DEPARTEMEN KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN)

, No.2057 tentang Kurang Bayar dan Lebih Bayar Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Tahun Anggaran 2013 dan Tahun Anggaran 2014 Menurut Provinsi/Ka

Pelaksanaan EITI (Extractive Industries Transparency Initiative) di Indonesia. Sekretariat EITI Indonesia 25 Agustus 2015

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. peradaban umat manusia di berbagai belahan dunia (Maryudi, 2015). Luas hutan

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan secara proporsional, artinya pelimpahan tanggung jawab akan diikuti

BUKU PEGANGAN PENGALOKASIAN DANA BAGI HASIL SUMBER DAYA ALAM

2 c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan atas

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUB NOMOR 165/PMK.07/2012 TENTANG PENGALOKASIAN ANGGARAN TRANSFER KE DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

INDIKASI KERUGIAN NEGARA AKIBAT DEFORESTASI HUTAN. Tim Penulis: Egi Primayogha Firdaus Ilyas Siti Juliantari Rachman

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KEBIJAKAN DBH SUBDIT DBH DITJEN PERIMBANGAN KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN

KINERJA PENDAPATAN NEGARA BUKAN PAJAK (PNBP) SUMBER DAYA ALAM NON MIGAS

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

I. PENDAHULUAN. (DJR/DR) dan Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH/IHH). Penerimaan ini

Mencegah Kerugian Negara Di Sektor Kehutanan: Sebuah Kajian Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Penatausahaan Kayu

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DANA BAGI HASIL. Novotel, Bogor, 06 September 2015 DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN

2011, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran

2 d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Aloka

PDRB HIJAU SEKTOR KEHUTANAN MELALUI PENDEKATAN NILAI EKONOMI JASA LINGKUNGAN. Emi Roslinda

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG DANA PERIMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2011, No Memperhatikan : 3. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nom

Penerimaan Riau Dari DBH Sektor Kehutanan

BAB I PENDAHULUAN. dekade 1990-an. Degradasi dan deforestasi sumberdaya hutan terjadi karena

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor: P.16/Menhut-II/2006 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DAFTAR ISI. Halaman KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... iii DAFTAR TABEL.. vi DAFTAR GAMBAR... vii DAFTAR LAMPIRAN... viii GLOSSERY...

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 40 / PMK.07 / 2007 TENTANG

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DANA BAGI HASIL SUMBER DAYA ALAM (DBH SDA)

KODEFIKASI RPI 25. Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR : 17/PMK.07/2009 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 109/KMK.06/2004 TENTANG

PELAKSANAAN UU 23 TAHUN 2014 DI PROVINSI JAWA TIMUR

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 242/PMK.07/2010 TENTANG ALOKASI DANA BAGI HASIL SUMBER DAYA ALAM KEHUTANAN TAHUN ANGGARAN 2010

UNDANG-UNDANG TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH.

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 344/KMK.06/2001 TANGGAL 30 MEI 2001 TENTANG PENYALURAN DANA BAGIAN DAERAH DARI SUMBER DAYA ALAM

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.73/Menlhk-Setjen/2015

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Buku laporan State of the World's Forests yang diterbitkan oleh Food and

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 39 TAHUN 2003 SERI B NOMOR 8

REALISASI PENDAPATAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TENGAH TAHUN ANGGARAN 2015 SAMPAI DENGAN 31 DESEMBER 2015

SERBA SERBI HUTAN DESA (HD)

I. PENDAHUL'CJAN Latar Belakang

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

2011, No Memperhatikan : Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438); 2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010 tentang Anggaran Pendapat

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. Tingkat kesejahteraan merupakan acuan utama yang mendeskripsikan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2000 TENTANG DANA PERIMBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Oleh Deddy Permana / Yayasan Wahana Bumi Hijau Sumatera selatan

Mendorong Optimalisasi Penerimaan Negara dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Pertambangan 1

MAKSUD DAN TUJUAN. Melakukan dialog mengenai kebijakan perubahan iklim secara internasional, khususnya terkait REDD+

Oleh : DR. TGH. M. ZAINUL MAJDI GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT

Pemerintah Republik Indonesia (Indonesia) dan Pemerintah Kerajaan Norwegia (Norwegia), (yang selanjutnya disebut sebagai "Para Peserta")

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 250/PMK.07/2014 TENTANG PENGALOKASIAN TRANSFER KE DAERAH DAN DANA DESA

K E P U T U S A N KEPALA PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN Nomor : SK. 126 /Dik-2/2012 KURIKULUM DIKLAT PENDAMPINGAN SVLK BAGI PENYULUH

PR MENTERI LKH: TUTUP CELAH KORUPSI MELALUI REVISI REGULASI SEKTOR KEHUTANAN

2016, No Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehut

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 14/Menhut-II/2013 TENTANG

Perkembangan Bisnis Kehutanan Indonesia dan Permasalahannya

Mengekspor di Tengah Perubahan Lansekap Hukum

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Buku laporan State of the World's Forests yang diterbitkan oleh Food

REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

EITI Dalam Rangka Pembangunan Berkelanjutan Yang Transparan dan Akuntabel

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 7/Menhut-II/2009 TENTANG PEDOMAN PEMENUHAN BAHAN BAKU KAYU UNTUK KEBUTUHAN LOKAL

Gambar 2.1. Grafik rata-rata persepsi ideal proporsi alokasi DBH PSDH di 4 Kabupaten

SALINAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 344 / KMK.06 / 2001 TENTANG PENYALURAN DANA BAGIAN DAERAH DARI SUMBER DAYA ALAM

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.122, 2011 KEMENTERIAN KEUANGAN. DBH. SDA Pertambangan Panas Bumi. Perkiraan.

PENGELOLAAN PNBP SDA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA. Biro Keuangan Kementerian ESDM

DATA POKOK APBN-P 2007 DAN APBN-P 2008 DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.100, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Iuran Izin Usaha Pemanfaatan. Prosedur. Hutam Produksi.

Perkembangan Bisnis Kehutanan Indonesia dan Permasalahannya

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

PRESS RELEASE Standar Pengelolaan Hutan Lestari IFCC (Indonesian Forestry Certification Cooperation) Mendapat Endorsement dari PEFC

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 109/KMK. 06/2004 TENTANG

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. Implikasi Kebijakan

PENDAPATAN ASLI DAERAH SEKTOR KEHUTANAN PADA ERA OTONOMI DAERAH DI KABUPATEN MUNA

LESTARI PAPER NO. 03 PERAN HPH DALAM MENJAGA KEBERLANJUTAN HUTAN ALAM. Nana Suparna

Policy Brief Tata Kelola Kehutanan

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN. Dana Bagi Hasil. Sumber Daya Alam. Migas. Perubahan.

BAB I PENDAHULUAN. memilikinya,melainkan juga penting bagi masyarakat dunia.

Transkripsi:

No. 01, 2013 CATATANKEBIJAKAN Memperkuat Perubahan Kebijakan Progresif Berlandaskan Bukti Transparansi Penerimaan Negara Sektor Kehutanan (Program: Working Toward Including Forestry Revenues in the Indonesia EITI System) Didukung oleh: Kedutaan Besar Norwegia Oleh: Article 33 Indonesia 1 Temuan Utama Kerugian negara akibat pembalakan liar sebesar Rp 30,3 triliun per tahun. Realisasi penerimaan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dari kayu legal hanya mencapai 30% dari potensi seharusnya. Skema EITI dan SVLK dapat diterapkan secara sinergis untuk mendorong transparansi penerimaan sektor kehutanan, sebagai langkah awal perbaikan tata kelola sektor kehutanan. Latar belakang Sektor kehutanan merupakan sektor industri ekstraktif dengan revenue loss yang sangat tinggi di Indonesia. Hasil riset selang tahun 2003-2006 menunjukkan, kerugian negara akibat pembalakan liar berkisar antara US $ 2-3 milyar per tahun. 2 Hal ini diperkuat temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI 1 Ditulis oleh Riko Wahyudi dan Sonny Mumbunan 2 World Bank (2006), Sustaining Indonesia s Forests: Strategy for the World Bank 2006-2009. Jakarta: World Bank.

Catatan Kebijakan No. 01, 2013 tahun 2010 bahwa kerugian negara akibat pembalakan liar sebesar Rp 83 milyar per hari atau Rp 30,3 triliun per tahun. Sebesar 70-80% produksi kayu bulat di Indonesia diestimasi datang dari kayu ilegal 3 sementara sumbangan formal sektor kehutanan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tidak lebih dari kisaran 1% atau US$ 1,8 milyar per tahunnya selama dasawarsa terakhir, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2012. 4 Kontribusi sektor kehutanan yang kecil terhadap PDB sangat jomplang manakala dibandingkan dengan potensi dari luas kawasan hutan di Indonesia yang mencapai 136,88 juta ha. 5 Sebagai ilustrasi, luas kawasan hutan Indonesia setara dengan 61% luas daratannya atau sama dengan gabungan luas negara Inggris, Jerman, Prancis, dan Finlandia. Sebesar 60% dari total kawasan hutan tersebut adalah kawasan hutan produksi (82,38 juta ha). Di kawasan hutan produksi ini kegiatan ekstraksi sumber daya hutan berlangsung secara besar-besaran, baik kayu maupun bukan kayu. Saat ini, pemanfaatan hutan dalam bentuk Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) di kawasan hutan produksi telah mencapai 35,38 juta ha atau sekitar 49,93%. 6 Dari ekstraksi sumber daya hutan tersebut, pemerintah memperoleh antara lain Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) berupa Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan (IIUPH), Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), dan Dana Reboisasi (DR). Pungutan IIUPH dan PSDH dikenakan pada produksi kayu dan bukan kayu di hutan alam dan hutan tanaman, sementara pungutan DR hanya dikenakan pada produksi kayu bulat di hutan alam. Analisis berikut difokuskan pada penerimaan negara dari hasil hutan kayu. Pangsa terbesar PNBP sektor kehutanan berasal dari pungutan PSDH, DR, dan IIUPH, yang kemudian dibagihasilkan ke daerah penghasil. 7 Tiga isu akan dilihat dalam catatan kebijakan ini, yaitu: (1) aliran penerimaan sektor kehutanan; (2) kehilangan penerimaan sektor kehutanan; (3) mekanisme transparansi di sektor kehutanan. Aliran penerimaan sektor kehutanan Berdasarkan data statistik kehutanan 2011, Penerimaan Negara Bukan pajak (PNBP) dari sektor kehutanan mengalami peningkatan pada tiga tahun terakhir (Gambar 1). Hanya saja, peningkatan ini tidak terlalu signifikan dan terbilang masih rendah bila dibandingkan dengan PNBP sektor kehutanan pada 2004 yang mencapai Rp 3,42 triliun. PNBP sektor kehutanan dengan segala potensi hutan Indonesia hanya berkisar antara Rp 2-3 triliun per tahunnya. 8 Padahal, PNBP ini sudah berasal dari penerimaan hasil hutan kayu maupun bukan kayu. 9 3 L. Tacconi (2007), Verification and certification of Forest Products and Illegal Logging in Indonesia. London dan Sterling: Earthscan. 4 Nurrochmat dan Hasan (2010), Ekonomi Politik Kehutanan: Mengurai Mitos dan Fakta Pengelolaan Hutan. Jakarta: INDEF. 5 Kementerian Kehutanan (2012), Statistik Kehutanan 2011. Kementerian Kehutanan. 6 Ibid. 7 Biro Keuangan Kementerian Kehutanan (2012), PNBP Sumber Daya Alam Kehutanan. Bahan Presentasi di FGD Nasional Kehutanan yang diselenggarakan Article 33 Indonesia, tanggal 8 Maret 2012. 8 Ibid. 9 PNBP kayu terdiri atas: Dana Reboisasi (DR), Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan (IIUPH), Ganti Rugi Nilai Tegakan (GRNT). Sementara, PNBP bukan kayu terdiri atas: Denda Pelanggaran Eksploitasi Hutan (DPEH), Penggunaan Kawasan Hutan (PKH), Iuran Mengangkut/Tumbuhan Alam Hidup atau Mati (IASL/TA), Pungutan Izin Pengusahaan Pariwisata Alam (PIPPA), Pungutan Masuk Obyek Wisata Alam (PMOWA), dan Iuran Hasil Usaha Pengusahaan Pariwisata Alam (IHUPA). 2

Gambar 1. PNBP Kehutanan Tahun 2006-2011 3,500 3,000 milyar rupiah 2,500 2,000 1,500 1,000 500 PNPB Kehutanan 0 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Sumber: Kemenhut (2012) Keterangan: PNBP= Penerimaan Negara Bukan pajak Hampir 90% PNBP sektor kehutanan berasal dari PNBP kayu, yaitu berupa DR, PSDH, IIUPH, GRNT (Gambar 2). Hal ini menunjukkan bahwa ekstraksi kayu masih menjadi sumber utama pendapatan negara dari sektor kehutanan. Dari empat instrumen PNBP kayu tersebut, tiga instrumen dialokasikan dan disalurkan ke daerah penghasil melalui skema Dana Bagi Hasil (DBH) SDA Kehutanan. Tiga instrumen DBH SDA Kehutanan tersebut yaitu DR, PSDH, dan IIUPH. GRNT tidak dialokasikan ke daerah penghasil. Gambar 2. PNBP Sektor Kehutanan Tahun 2011 2,000.00 55,9% milyar rupiah 1,500.00 1,000.00 500.00 0.00 26,6% 3,6% 2,9% 0,1% 9,6% 0,1% 0,0% 0,7% 0,1% DR PSDH IIUPH GRNT DPEH PKH ISL/TA PIPPA PMOWA IHUPA Sumber: Biro Keuangan Kemenhut (2012) Keterangan: DR=Dana Reboisasi; PSDH=Provisi Sumber Daya Hutan; IIUPH=Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan; GRNT=Ganti Rugi Nilai Tegakan; DPEH=Denda Pelanggaran Eksploitasi Hutan; PKH=Penggunaan Kawasan Hutan; ISL/TA= Iuran Mengangkut/Tumbuhan Alam Hidup atau Mati; PIPPA=Pungutan Izin Pengusahaan Pariwisata Alam; PMOWA=Pungutan Masuk Obyek Wisata Alam; IHUPA=Iuran Hasil Usaha Pengusahaan Pariwisata Alam. 3

Catatan Kebijakan No. 01, 2013 Alokasi DBH SDA Kehutanan secara umum bersandar pada tiga prinsip: pertama, prinsip daerah asal (derivation principle) yaitu DBH dibagikan kepada daerah penghasil. Kedua, prinsip realisasi (realization principle) yaitu DBH disalurkan ke daerah berdasarkan realisasi PNBP. Ketiga, prinsip pangsa-sama (equal share) yaitu DBH juga dibagikan dengan proporsi yang merata ke daerahdaerah bukan penghasil, tetapi ada dalam provinsi penghasil. 10 Tiga prinsip ini dapat kita lihat khususnya pada alokasi PSDH. Berdasarkan PP no. 55 tahun 2005 tentang Dana Perimbangan, alokasi dana PSDH untuk pusat sebesar 20%, provinsi daerah penghasil 16%, kabupaten/kota penghasil 32%, dan kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan sebesar 32%. Sementara untuk IIUPH, alokasinya sebesar 20% untuk pusat, 16 untuk provinsi, dan 64% untuk kabupaten/kota penghasil. Khusus untuk DR, alokasi hanya untuk pusat sebesar 60% dan kabupaten/kota penghasil 40% (Tabel 1). Tabel 1. Perimbangan DBH SDA Kehutanan No Sumber Dana Bagi Hasil Alokasi DBH Pusat Provinsi Kabupaten/ Kota Penghasil Kabupaten/Kota lainnya dalam Provinsi yang Bersangkutan (%) (%) (%) (%) 1 Dana Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan (IIUPH) 20 16 64-2 Dana Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) 20 16 32 32 3 Dana Reboisasi (DR) 60-40 - Sumber: PP no. 55 Tahun 2005 Dana PSDH dan IIUPH dapat didistribusikan oleh pemerintah daerah untuk pembangunan daerah secara umum. Sementara, khusus untuk DR distribusinya diharuskan untuk rehabilitasi dan penghijauan lahan. Berdasarkan PP no. 35 tahun 2002 tentang Dana Reboisasi, DR bagian kabupaten/kota penghasil (40%) didistribusikan untuk rehabilitasi dan penghijauan lahan di kawasan hutan sebesar 60% dan lahan di luar kawasan hutan sebesar 40%. 10 S. Mumbunan (2012), Dana Bagi Hasil Kehutanan dan REDD+. Bahan presentasi pada pelatihan Policy Analysis for REDD+ Within a Decentralized Context, kerjasama Pusat Riset Perubahan Iklim Universitas Indonesia dan Crawford School of Public Policy Australian National University, Jakarta, 7-10 Agustus 2012. 4

Kehilangan Penerimaan Negara Sektor Kehutanan PNBP sektor kehutanan tergolong kecil bila dibandingkan dengan sektor industri ekstraktif lain. PNBP sektor pertambangan umum misalnya, pada tahun 2011 mencapai Rp 24,24 triliun. 11 Besaran penerimaan ini relatif sangat besar bila dibandingkan dengan PNBP kehutanan yang hanya berkisar Rp 3 triliun per tahun. 12 Bila dicermati, kehilangan penerimaan negara dari sektor kehutanan sangat tinggi. Salah satunya akibat pembalakan liar. Pada tahun 2003, hasil riset Brown (2009) dan Greenpeace (2003) menunjukkan sekitar 50 juta m 3 atau 70% produksi kayu bulat Indonesia adalah ilegal. Hal ini sejalan dengan hasil riset lain, termasuk temuan BPK RI tahun 2010 yang disebutkan di atas. Berdasarkan data dan keterangan di atas, dapat ditaksir bahwa produksi kayu bulat yang legal di Indonesia hanya sekitar 30% dari total produksi kayu bulat. Bila proporsi 30% ini disandingkan dengan realisasi dan potensi PSDH kayu legal, kita memperoleh hasil yang cukup mengagetkan. Perhitungan Article 33 Indonesia menunjukkan bahwa realisasi nilai PSDH dari kayu legal pada tahun 2009 dan 2010 hanya sekitar 30% dari potensi seharusnya (Tabel 2). 13 Nilai realisasi PSDH ini menggunakan angka prakiraan alokasi PSDH dalam Peraturan Menteri Keuangan tentang SDA Kehutanan. Sementara, nilai potensi menggunakan data produksi kayu resmi Kementerian Kehutanan. Dengan kata lain, negara masih bisa mendapatkan potensi penerimaan sebesar 70% dari nilai PSDH kayu legal. Tabel 2. Perbandingan alokasi PSDH Kehutanan dan Simulasi Nilai PSDH Kayu Legal Tahun PSDH untuk PNBP Kayu dan Bukan Kayu (milyar Rp) Potensi PSDH Kayu (milyar Rp) Perbandingan Realisasi dan Potensi (%) 2009 699,3 2.115,6 33,1 2010 597,1 2.470,9 24,2 Sumber: Hasil Simulasi Mumbunan dan Wahyudi (2012) Data di atas baru menjelaskan kerugian negara dari sektor produksi kayu saja, belum termasuk produksi hasil hutan bukan kayu berupa rotan, madu, sutra, karet dan sebagainya. Selain itu, terjadi juga pungutan-pungutan informal oleh berbagai oknum pemerintah sepanjang rantai nilai ekstraksi sumber daya hutan. Salah satu pungutan informal itu, oleh sebagian kalangan, disebut biaya entertainment untuk kelancaran usaha di sektor kehutanan. 11 Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (2012), Laporan PNBP Pertambangan Umum 2012. Jakarta: Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia. 12 Kementerian Kehutanan (2012), Statistik Kehutanan Indonesia 2011. Jakarta: Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. 13 S. Mumbunan dan R. Wahyudi (2012), Transparansi Penerimaan Industri Ekstraktif Sektor Kehutanan di Indonesia. Laporan Kajian Pelingkupan. Jakarta: Article 33 Indonesia. 5

Catatan Kebijakan No. 01, 2013 Mekanisme Transparansi di Sektor Kehutanan Tingginya kehilangan penerimaan negara dan daerah dari sektor kehutanan memerlukan perbaikan tata kelola. Salah satunya melalui mekanisme transparansi. Transparansi bisa menjadi langkah awal untuk perbaikan tata kelola sektor kehutanan secara keseluruhan. Saat ini, ada beberapa skema transparansi dengan pelibatan multi-pihak yang dapat diterapkan di sektor kehutanan, terutama untuk mencegah tingginya kehilangan penerimaan negara. Dua di antaranya adalah skema Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang mulai diberlakukan dan bersifat mandatory di industri kehutanan dan skema Extractive Industries Transparency Initiative (EITI). Terkait penerimaan negara sektor kehutanan, secara konseptual skema SVLK menyasar legalitas dari kayu, termasuk penerimaannya. Penerimaan ini berlaku untuk kayu legal dan diharapkan nanti mencakup kayu-kayu ilegal yang memutuskan ikut skema SVLK. Sementara skema EITI menyasar penerimaan dari kayu legal. Gambar 3. Kehilangan Penerimaan Negara dari Hasil Hutan Kayu dan Peran Skema EITI dan SVLK PNBP dari kayu legal yang hilang (70%) PNBP yang diterima negara dari kayu legal (30%) Kayu Legal; 30% Kayu Ilegal; 70% Kerugian Negara akibat Illgal Logging (Rp 30 triliun/ tahun) Peran Skema EITI Peran Skema SVLK Sumber: Hasil olahan sendiri (2012) Skema SVLK memastikan agar industri kayu, termasuk IUPHHK, mendapatkan kayu atau sumber bahan baku dengan cara legal dari sebuah sistem pengelolaan SDH yang lestari, yang mengindahkan aspek legalitas, dan pengelolaan hutan berkelanjutan (sustainable forest management). Salah satu kriteria dari standar verifikasi dalam SVLK adalah memenuhi kewajiban pembayaran pungutan pemerintah dan keabsahan pengangkutan kayu, khususnya PSDH dan DR. Dalam skema SVLK verifikasi dilakukan oleh lembaga verfikator independen dan dapat dimonitor oleh masyarakat. SVLK dapat menyelamatkan hutan dan penerimaan negara akibat pembalakan liar apabila diterapkan secara tepat. Oleh sebab itu, penerapan SVLK memerlukan dukungan dan pengawasan dari berbagai pihak di sektor kehutanan. 6

Sementara, EITI adalah sebuah inisiatif global yang bertujuan mendorong transparansi dan akuntabilitas penerimaan di sektor industri ekstraktif, dengan adanya publikasi data penerimaan oleh pemerintah dan data pembayaran oleh perusahaan, untuk kemudian direkonsiliasi secara independen. Saat ini, Indonesia adalah negara kandidat untuk memenuhi persyaratan EITI. Sektor industri ekstraktif yang saat ini baru masuk dalam pelingkupan EITI Indonesia adalah pertambangan, minyak, dan gas. Saat ini, sektor kehutanan belum masuk dalam cakupan EITI. Article 33 Indonesia melalui dukungan Kedutaan Besar Kerajaan Norwegia sedang mendorong masuknya sektor kehutanan dalam skema EITI Indonesia. EITI adalah penting di sektor kehutanan untuk menyelamatkan kehilangan negara dari pembayaran PNBP kayu legal oleh pihak perusahaan. Mekanisme EITI, misalnya, akan dapat membandingkan informasi tentang volume kayu dan kontribusi PNBP kayu legal dari perusahaan dengan yang diterima oleh Pemerintah. Pada akhirnya, ini akan memastikan 70 persen penerimaan negara dapat diterima di kas negara. Dalam ulasan di atas, jika 70 persen penerimaan legal ini masuk ke kas negara, maka kontribusi PNBP sektor kehutanan akan hampir setara dengan sektor pertambangan. Karenanya, transparansi ini menjadi penting sekali untuk diterapkan di Indonesia. Seperti juga berlaku pada SVLK, mekanisme EITI akan memerlukan dukungan dari berbagai pemangku kepentingan. Berangkat dari uraian di atas, penerapan skema EITI dapat sejalan seiring dengan skema SVLK di sektor kehutanan. Kesimpulan Kehilangan penerimaan negara dari sektor kehutanan sangat tinggi. Dari total produksi kayu bulat Indonesia, 70% nya adalah kayu dari pembalakan liar. Kerugian negara dari pembalakan liar ini mencapai Rp 30,3 triliun setiap tahun. Ditambah lagi kehilangan penerimaan negara dari kayu legal. Hasil simulasi Article 33 Indonesia menunjukkan negara kehilangan sekitar 70% pungutan PSDH dari kayu legal. Perbaikan tata kelola kehutanan menjadi sangat penting, salah satunya diawali dengan transparansi pengusahaan hutan. Skema EITI yang mendorong transparansi pembayaran perusahaan dan penerimaan pemerintah menjadi sangat relevan untuk menyelamatkan PNBP sektor kehutanan dari hasil hutan yang legal. Sementara, SVLK yang bertujuan memastikan kayu dari hutan adalah kayu legal dapat pula didorong untuk transparansi penerimaan negara, selain mencegah pembalakan liar. Skema EITI dan SVLK dapat diterapkan secara sinergis untuk perbaikan tata kelola sektor kehutanan. Article 33 Indonesia Divisi Perubahan Iklim Jl. Tebet Timur Dalam 1M No. 10 Jakarta Selatan 12820 Indonesia Tel/Fax +62-21-83787963 http://www.article33.or.id 7

Article 33 Indonesia Jl. Tebet Timur Dalam 1M No. 10 Jakarta Selatan 12820, Indonesia Tel/Fax +62-21-83787963 sekretariat@article33.or.id http://www.article33.or.id