PENGARUH KEDALAMAN MUKA AIR TANAH PADA BERBAGAI VARIETAS KEDELAI HITAM (Glycine max (L.) Merr.) DENGAN SISTEM BUDIDAYA JENUH AIR DI LAHAN PASANG SURUT

dokumen-dokumen yang mirip
BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Pelaksanaan

METODE PERCOBAAN. Tempat dan Waktu. Alat dan Bahan

HASIL DAN PEMBAHASAN

PRODUKSI BEBERAPA VARIETAS KEDELAI PADA BUDIDAYA JENUH AIR DI LAHAN PASANG SURUT. Munif Ghulamahdi Maya Melati Danner Sagala

BAHAN DAN METODE. Y ijk = μ + U i + V j + ε ij + D k + (VD) jk + ε ijk

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Percobaan

Lampiran 1. Hasil analisis tanah awal

PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan komoditas pangan penghasil

TINJAUAN PUSTAKA Budidaya Jenuh Air

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian

2 TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan dan Biologi Tanaman Kedelai

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE. Y ij = + i + j + ij

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode Percobaan

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kedelai termasuk family leguminosae yang banyak varietasnya.

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. akar-akar cabang banyak terdapat bintil akar berisi bakteri Rhizobium japonicum

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAHAN METODE PENELITIAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Tanaman Kedelai Hitam

(Shanti, 2009). Tanaman pangan penghasil karbohidrat yang tinggi dibandingkan. Kacang tanah (Arachis hypogaea) merupakan salah satu tanaman pangan

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Botani dan Morfologi Kacang Tanah

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merr.) merupakan tanaman pangan terpenting ketiga

HASIL DAN PEMBAHASAN. perlakuan Pupuk Konvensional dan kombinasi POC 3 l/ha dan Pupuk Konvensional

II. TINJAUAN PUSTAKA

APLIKASI PUPUK UREA PADA TANAMAN JAGUNG. M. Akil Balai Penelitian Tanaman Serealia

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAHAN DAN METODE Waktu dan tempat Bahan dan alat Metode Penelitian

TINJAUAN PUSTAKA. Sawi hijau sebagai bahan makanan sayuran mengandung zat-zat gizi yang

REKOMENDASI PEMUPUKAN TANAMAN KEDELAI PADA BERBAGAI TIPE PENGGUNAAN LAHAN. Disusun oleh: Tim Balai Penelitian Tanah, Bogor

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. Tanaman kedelai (Glycine max L. Merrill) memiliki sistem perakaran yang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Suhu min. Suhu rata-rata

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan Alat dan Bahan Metode Percobaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Menurut van Steenis (2003), sistematika dari kacang tanah dalam. taksonomi termasuk kelas Dicotyledoneae; ordo Leguminales; famili

III. BAHAN DAN METODE. Percobaan ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Universitas

TINJAUAN PUSTAKA. pada perakaran lateral terdapat bintil-bintil akar yang merupakan kumpulan bakteri

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Kedelai. Lingkungan Tumbuh Kedelai

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ordo: Polypetales, Famili: Leguminosea (Papilionaceae), Genus:

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill.) merupakan salah satu komoditas tanaman

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian tempat ± 32 meter di atas permukaan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Percobaan

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Perakaran kedelai akar tunggangnya bercabang-cabang, panjangnya

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang terpadu Universitas Lampung di

UJI DAYA HASIL LANJUTAN GALUR-GALUR KEDELAI (Glycine max (L ) Merr) TOLERAN NAUNGAN DI BAWAH TEGAKAN KARET RAKYAT DI DESA SEBAPO KABUPATEN MUARO JAMBI

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat. Metode Penelitian

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Rancangan Percobaan

METODE PENELITIAN. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Kulon Progo provinsi DIY. Sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat. Bahan dan Alat

JURNAL SAINS AGRO

III. BAHAN DAN METODE. Selatan yang diketahui memiliki jenis tanah Ultisol dan Laboratorium Ilmu Tanah

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN. Percobaan 1 : Pengaruh Pertumbuhan Asal Bahan Tanaman terhadap Pembibitan Jarak Pagar

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

AGROVIGOR VOLUME 1 NO. 1 SEPTEMBER 2008 ISSN

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Percobaan

PENGENDALIAN TANAMAN TERPADU KEDELAI

II. TINJAUAN PUSTAKA. Mentimun dapat diklasifikasikan kedalam Kingdom: Plantae; Divisio:

III. METODE PENELITIAN

SYARAT TUMBUH TANAMAN KAKAO

TINJAUAN PUSTAKA. A. Kacang Hijau

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Jagung (Zea mays.l) keluarga rumput-rumputan dengan spesies Zea mays L.

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian

Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara yang dibutuhkan oleh

PENGUJIAN GALUR-GALUR HARAPAN KEDELAI HASIL PERSILANGAN VARIETAS MALABAR DAN KIPAS PUTIH PADA DOSIS PUPUK FOSFOR (P) RENDAH

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

TINJAUAN PUSTAKA. A. Limbah Cair Industri Tempe. pada suatu saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungan karna tidak

III. BAHAN DAN MATODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2013 sampai Agustus 2013 di

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Keadaan Umum dan Agroekologi Lokasi Penelitian

I. MATERI DAN METODE. Penelitian ini telah dilaksanakan di lahan percobaan Fakultas Pertanian

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB VI PEMBAHASAN. lambat dalam menyediakan unsur hara bagi tanaman kacang tanah, penghanyutan

I. PENDAHULUAN. Bawang merah (Allium ascalonicum L.) adalah tanaman semusim yang tumbuh

II. TINJAUAN PUSTAKA. vegetasinya termasuk rumput-rumputan, berakar serabut, batang monokotil, daun

I. BAHAN DAN METODE. dan Peternakan Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau Pekanbaru,

HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN

Transkripsi:

PENGARUH KEDALAMAN MUKA AIR TANAH PADA BERBAGAI VARIETAS KEDELAI HITAM (Glycine max (L.) Merr.) DENGAN SISTEM BUDIDAYA JENUH AIR DI LAHAN PASANG SURUT HANS DORIS WELLY A24080190 DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013

RINGKASAN HANS DORIS WELLY. Pengaruh Kedalaman Muka Air Tanah pada Berbagai Varietas Kedelai Hitam (Glycine max (L.) Merr.) dengan Sistem Budidaya Jenuh Air di Lahan Pasang Surut. (Dibimbing oleh MUNIF GHULAMAHDI). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kedalaman muka air tanah yang sesuai pada kedelai hitam varietas Ceneng, Cikuray dan Lokal Malang dengan budidaya jenuh air (BJA) yang dilaksanakan di lahan pasang surut Desa Banyu Urip Palembang pada bulan Juni September 2012. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan petak terpisah (RPT) dengan faktor kedalaman muka air tanah sebagai petak utama dan faktor varietas sebagai anak petak. Faktor kedalaman muka air tanah terdiri atas tiga taraf perlakuan, yaitu kedalaman 10 cm dan kedalaman 20 cm di bawah permukaan tanah serta pembanding, yaitu budidaya kering. Faktor varietas terdiri atas empat jenis perlakuan, yaitu Ceneng, Cikuray, Lokal Malang dan varietas pembanding yaitu Tanggamus. Benih masing-masing varietas ditanam pada jarak tanam 25 cm x 10 cm sejumlah 1 benih per lubang. Pada budidaya jenuh air, kedalaman muka air berdasarkan perlakuan dipertahankan dari mulai penanaman hingga panen pada saluran sedalam 25 cm dan selebar 30 cm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produktivitas kedelai hitam dapat ditingkatkan dengan budidaya jenuh air (BJA) di lahan pasang surut. Kedalaman muka air 10-20 cm di bawah permukaan tanah dapat diterapkan dalam BJA tanpa perbedaan hasil yang nyata pada kedelai hitam. Jumlah polong tertinggi ditunjukkan oleh varietas Lokal Malang pada kedalaman muka air 20 cm di bawah permukaan tanah. Jumlah polong varietas Ceneng dan Cikuray tidak dipengaruhi oleh perbedaan taraf kedalaman muka air tanah dalam BJA. Produktivitas kedelai hitam varietas Lokal Malang mencapai 4.13 ton/ha pada BJA kedalaman muka air 20 cm di bawah permukaan tanah. Produktivitas varietas Ceneng dan Cikuray mencapai 3.45 ton/ha dan 2.75 ton/ha pada BJA kedalaman muka air 10 cm di bawah permukaan tanah.

PENGARUH KEDALAMAN MUKA AIR TANAH PADA BERBAGAI VARIETAS KEDELAI HITAM (Glycine max (L.) Merr.) DENGAN SISTEM BUDIDAYA JENUH AIR DI LAHAN PASANG SURUT Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor HANS DORIS WELLY A24080190 DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013

Judul : PENGARUH KEDALAMAN MUKA AIR TANAH PADA BERBAGAI VARIETAS KEDELAI HITAM (Glycine max (L.) Merr.) DENGAN SISTEM BUDIDAYA JENUH AIR DI LAHAN PASANG SURUT. Nama : HANS DORIS WELLY NIM : A24080190 Menyetujui, Dosen Pembimbing Prof. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS NIP 19590505 198503 1 004 Mengetahui, Ketua Departemen Fakultas Pertanian IPB Dr. Ir. Agus Purwito, MSc. Agr NIP 19611101 198703 1 003 Tanggal Lulus :

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kepulauan Mentawai, Propinsi Sumatera Barat pada tanggal 23 Juli 1989. Penulis merupakan anak pertama dari Bapak Bisronel Siritoitet dan Ibu Ratna Samongilailai. Tahun 2001 penulis lulus dari SD N 15 Havea Sikakap, kemudian pada tahun 2004 penulis menyelesaikan studi di SMP N 1 Pagai Utara, Kepulauan Mentawai. Selanjutnya penulis lulus dari SMA N 1 Pagai Utara, Kepulauan Mentawai pada tahun 2007. Tahun 2007 penulis diterima dalam program prauniversitas Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui program BUD dan memasuki tingkat persiapan bersama (TPB) IPB pada tahun 2008. Selanjutnya tahun 2009 penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Agronomi dan Hortikultura (AGH), Fakultas Pertanian IPB. Tahun 2009 hingga 2010 penulis tergabung dalam Koperasi Mahasiswa AGH pada divisi pemasaran. Tahun 2011 hingga 2012 penulis menjadi asisten mata kuliah agama Kristen Protestan. Penulis mendapat penghargaan sebagai juara I lomba web IPB kategori mahasiswa pada tahun 2011.

KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kasih dan karunia-nya sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik. Penelitian pengaruh kedalaman muka air tanah pada berbagai varietas kedelai hitam dengan budidaya jenuh air di lahan pasang surut terdorong oleh keinginan untuk mengetahui kedalaman muka air yang sesuai dalam budidaya jenuh air untuk kedelai hitam di lahan pasang surut. Penelitian dilaksanakan di lahan pasang surut, Desa Banyu Urip, Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Penulis mengucapkan terima kasih yang sangat mendalam kepada 1. kedua orang tua yang selalu memberikan dukungan doa dan materi hingga penulis menyelesaikan perkuliahan dan penelitian, 2. Prof. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS., selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan selama pelaksanan penelitian dan penulisan skripsi penulis, 3. dosen pembimbing akademik, Maryati Sari, SP, MSi., atas arahan akademik selama penulis mengikuti perkuliahan, 4. Pemerintah Daerah Kepulauan Mentawai yang telah mendukung dalam beasiswa kepada penulis, 5. keluarga Pak Suaji, Pak Muh, Pak Marno dan Bu Ilona atas bantuannya selama penelitian di lahan pasang surut Palembang, 6. teman-teman mahasiswa Agronomi dan Hortikultura Indigenous angkatan ke-45 IPB, terkhusus kepada Andri Hamidi dan Arief Setya Nugroho, atas dukungan semangat dan masukan selama penulisan skripsi, dan 7. teman-teman mahasiswa Mentawai seperjuangan di IPB, yaitu Jhon P.T. Sakoikoi, Desni R.M. Sakerebau, Helma H. P. Saleleubaja dan Maria Sagulu. Semoga hasil penelitian ini berguna menjadi pedoman dan acuan bagi yang memerlukan. Bogor, 13 Maret 2013 Penulis

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... viii ix x PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian... 3 Hipotesis Penelitian... 3 TINJAUAN PUSTAKA... 4 Kedelai hitam... 4 Lahan Pasang Surut... 6 Kedalaman Muka Air pada Budidaya Jenuh Air... 8 METODE PENELITIAN... 10 Tempat dan Waktu... 10 Alat dan Bahan... 10 Metode Penelitian... 10 Pelaksanaan Penelitian... 11 HASIL DAN PEMBAHASAN... 14 Kondisi umum... 14 Hasil... 16 Pembahasan... 29 KESIMPULAN DAN SARAN... 43 Kesimpulan... 43 Saran... 43 DAFTAR PUSTAKA... 44 LAMPIRAN... 49

DAFTAR TABEL No Halaman 1 Uji beda nyata perlakuan kedalaman muka air tanah dan varietas terhadap berbagai peubah yang diamati... 16 2 Tinggi, jumlah daun dan jumlah cabang tanaman kedelai pada berbagai kedalaman muka air tanah di lahan pasang surut... 17 3 Bobot kering biomassa tanaman kedelai pada berbagai kedalaman muka air tanah di lahan pasang surut... 19 4 Serapan unsur hara tanaman kedelai pada berbagai kedalaman muka air tanah di lahan pasang surut... 20 5 Tinggi, jumlah daun dan jumlah cabang tanaman kedelai pada beberapa varietas di lahan pasang surut... 21 6 Bobot kering biomassa tanaman kedelai dari berbagai varietas kedelai di lahan pasang surut... 22 7 Serapan unsur hara beberapa varietas kedelai di lahan pasang surut... 22 8 Jumlah daun tanaman kedelai pada berbagai kedalaman muka air tanah dan varietas... 23 9 Jumlah cabang tanaman kedelai pada berbagai kedalaman muka air tanah dan varietas... 25 10 Jumlah polong tanaman kedelai pada berbagai kedalaman muka air tanah dan varietas... 26 11 Bobot 100 biji tanaman kedelai pada berbagai kedalaman muka air tanah dan varietas... 26 12 Bobot biji per ubinan kedelai pada berbagai kedalaman muka air tanah dan varietas... 27 13 Produktivitas tanaman kedelai pada berbagai kedalaman muka air tanah dan varietas... 28

DAFTAR GAMBAR No Halaman 1 Model perlakuan kedalaman muka air 10 cm dan 20 cm di bawah permukaan tanah... 12 2 Keragaan pertanaman kedelai hitam pada 7 MST dan 8 MST... 15 3 Penampilan akar varietas Lokal Malang pada budidaya kering, BJA 20 cm dan BJA 10 cm pada 8 MST dengan perbandingan leher akar tanaman... 30 4 Gejala kekuningan pada daun varietas Lokal Malang pada 3 MST dan masih terlihat pada daun varietas Ceneng pada 4 MST... 31 5 Aklimatisasi kedelai hitam pada 5 MST dan 6 MST... 31 6 Ilustrasi profil muka air tanah dan perkembangan perakaran tanaman kedelai dalam budidaya jenuh air... 34 7 Penampilan polong kedelai hitam varietas Ceneng, Cikuray, Lokal Malang dan kedelai kuning varietas Tanggamus setelah mengalami pemulihan penuh pada 8 MST... 37 8 Curah hujan dan waktu tanam kedelai hitam dengan budidaya jenuh air di lahan pasang surut... 39 9 Perbandingan ukuran biji ketiga varietas kedelai hitam dan varietas Tanggamus terhadap kedalaman muka air tanah... 40

DAFTAR LAMPIRAN No Halaman 1 Luas panen, produktivitas, dan produksi tanaman kedelai seluruh Indonesia tahun 1992-2011... 50 2 Tata letak petak penelitian kedalaman muka air tanah... 51 3 Titik pengambilan contoh tanaman untuk pengamatan mingguan, biomassa dan bobot ubinan... 52 4 Curah hujan dan hari hujan dari bulan Juni hingga Agustus 2012 di Kecamatan Tanjung Lago... 53 5 Suhu dan kelembaban nisbi dari bulan Juni hingga Agustus di Kecamatan Tanjung Lago... 54 6 Hasil analisis sampel tanah sebelum penelitian... 55 8 Kandungan hara daun dan serapan hara pada perlakuan kedalaman muka air tanah terhadap beberapa varietas kedelai di lahan pasang surut... 56 9 Keragaan pertanaman kedelai hitam varietas Ceneng, Cikuray, Lokal Malang dan kedelai kuning varietas Tanggamus setelah mengalami pemulihan penuh pada 8 MST... 57

PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan kedelai di Indonesia menjadi sangat penting dengan meningkatnya konsumsi kedelai sedangkan impor menjadi kebijakan yang masih digunakan untuk menutupi kebutuhan kedelai. Kedelai dikonsumsi sebagai sumber protein nabati yang relatif terjangkau dibandingkan sumber protein hewani. Menurut Damardjati et al. (2005), peningkatan konsumsi kedelai dipicu oleh peningkatan jumlah penduduk dan kebutuhan bahan baku industri olahan pangan seperti tempe, tahu, kecap, susu kedelai, tauco, makanan ringan dan sebagainya. Sudaryanto dan Swastika (2007) memproyeksikan konsumsi kedelai secara umum meningkat dari 1.84 juta ton pada tahun 2005 menjadi 2.64 juta ton pada tahun 2020. Defisit kedelai diproyeksikan terus meningkat dari 1.03 juta ton pada tahun 2005 menjadi 2 juta ton pada tahun 2020. Pemenuhan konsumsi kedelai perlu ditunjang oleh produksi kedelai nasional. Subandi et al. (2007) menyatakan bahwa produksi kedelai nasional ditentukan oleh dua sumber pertumbuhan utama yaitu areal tanam dan produktivitas kedelai. Areal tanam dapat menunjukkan minat petani pada kedelai sedangkan produktivitas menunjukkan kesesuaian lahan dan/atau penerapan teknologi produksi oleh petani. Dari data BPS (2012), produksi dan luas panen tanaman kedelai cenderung mengalami penurunan sedangkan produktivitas kedelai mengalami peningkatan. Luas panen tanaman kedelai pada tahun 1992 yang merupakan tertinggi selama 20 tahun terakhir yang mencapai 1,665,710 ha terus menurun hingga menjadi 622,254 ha pada tahun 2011. Hal ini juga mengakibatkan produksi nasional terus menurun dari 1,869,710 ton pada tahun 1992 menjadi 851,286 ton pada tahun 2011. Produktivitas kedelai nasional mengalami peningkatan dari selama sepuluh tahun terakhir yang bergerak dari 1.12 ton/ha pada tahun 1992 menjadi 1.37 ton/ha pada tahun 2011 (Lampiran 1). Kebutuhan terhadap kedelai hitam dapat dilihat dari perkembangan konsumsi kecap di dalam negeri. Meskipun tidak semua kecap menggunakan kedelai hitam, konsumsi kecap di Indonesia menunjukkan kebutuhan kedelai hitam sebagai bahan baku kecap yang lebih berkualitas. Dari 2.2 juta ton

2 kebutuhan kedelai Indonesia di tahun 2012, Wahono (2012) melaporkan bahwa sekitar 323,400 ton diserap oleh industri kecap dan tauco. Berdasarkan data Kemenperin (2012), kebutuhan kecap Indonesia disuplai dari impor dengan peningkatan konsumsi sebesar 43.22% dari tahun 2007 hingga tahun 2011. Di sisi lain tejadi peningkatan ekspor kecap Indonesia sebesar 16.16% pada dari tahun 2007 hingga tahun 2011. Peningkatan konsumsi kecap di dalam dan luar negeri berdampak pada pentingnya peningkatan produksi kedelai hitam Indonesia. Pengembangan kedelai hitam diperlukan untuk meningkatkan produksi kedelai hitam dalam mengiringi peningkatan konsumsi kecap di Indonesia. Tidak seperti kedelai kuning, penelitian untuk pengembangan kedelai hitam tergolong masih minim. Minimnya pengembangan kedelai hitam mengakibatkan masih rendahnya produktivitas kedelai hitam di dalam negeri. Menurut Maryani (2007), rendahnya produksi kedelai hitam berakibat pada peningkatan harga bahan baku dan kelangkaan kedelai hitam bagi industri kecap sehingga industri kecap tidak dapat menyerap kedelai hitam dalam jumlah yang besar. Peningkatan produksi kedelai hitam dapat ditunjang dari peningkatan luas areal tanam hingga ke lahan-lahan marjinal. Menurut Pinem (2000), strategi pengembangan kedelai diarahkan pada lahan-lahan rehabilitasi, lahan irigasi intesif yang masih memungkinkan dimasukkan pola tanam kedelai, lahan tadah hujan, budidaya kering tidak bermasalah, budidaya kering bereaksi masam (dengan pemberian kapur secara larikan dan budidaya alley cropping), lahan gambut, lahan pasang surut, lahan perkebunan rakyat dan perkebunan swasta atau BUMN dan lahan hutan sosial. Kedelai hitam diharapkan dapat dikembangkan dengan penambahan luas areal tanam di lahan pasang surut. Menurut Adhi et al. (1992), luasan areal pasang surut ditaksir sekitar 20.1 juta ha. Menurut Sabran et al. (2000), lahan pasang surut yang tersedia sesuai untuk kegiatan pertanian adalah 5.6 juta ha dan luasan yang berpotensi dikembangkan untuk pertanian skala besar adalah 2.6 juta ha. Pengembangan kedelai hitam di lahan pasang surut dari aspek budidaya tanaman diperhadapkan pada pengelolaan tanah dan pengelolaan air. Menurut Adhi et al. (1992), kesalahan dalam pengelolaan tanah dan air di lahan pasang surut dapat mengakibatkan teroksidasinya lapisan pirit sehingga terjadi

3 peningkatan kemasaman tanah dan tertekannya pertumbuhan tanaman. Menurut Sarwani (2001), strategi pengembangan lahan pasang surut selain pengelolaan lahan adalah pengelolaan air. Pengelolaan air pada lahan pasang surut bertujuan untuk menyediakan kebutuhan evapotranspirasi tanaman, membuang kelebihan air, mencegah terjadinya elemen toksik, dan melindi (leaching) elemen toksik serta mencegah penurunan muka tanah (gambut). Pengelolaan air pada lahan pasang surut berupa pengelolaan air tanah (ground water management) atau pengelolaan air permukaan (surface water management). Perpaduan pengelolaan tanah dan air di lahan pasang surut diharapkan dapat meningkatakan produksi kedelai hitam. Menurut Sarwani (2001), dengan penerapan sistem drainase dangkal yang dikombinasikan dengan pemupukan dan bahan amelioran, produktivitas kedelai dapat mencapai 2.3 ton/ha. Hasil penelitian Ghulamahdi et al. (2009) menunjukkan produktivitas kedelai varietas nasional Tanggamus dapat mencapai 4.63 ton/ha dengan budidaya jenuh air. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kedalaman muka air tanah yang sesuai dalam budidaya jenuh air untuk kedelai hitam di lahan pasang surut. Hipotesis Penelitian 1) Terdapat taraf pengaturan kedalaman muka air tanah yang mendukung produktivitas tinggi pada kedelai hitam di lahan pasang surut 2) Terdapat varietas kedelai hitam yang memiliki produktivitas tinggi di lahan pasang surut 3) Terdapat varietas kedelai hitam yang memiliki produktivitas tinggi dengan pengaturan kedalaman muka air tanah di lahan pasang surut.

TINJAUAN PUSTAKA Kedelai Hitam Kedelai merupakan tanaman yang berasal dari Manchuria (daratan Cina bagian timur laut) dan kemudian telah menyebar ke seluruh dunia pada pertengahan abad ke-20 (Sumarno dan Manshuri, 2007). Menurut Adie dan Krisnawati (2007), keberadaan kedelai di Indonesia mulai terekam pertama kali di Ambon dalam Herbarium Amboinense yang diselesaikan pada tahun 1673. Sebaran adaptasi kedelai tergolong luas yang mencakup 0 o -45 o lintang utara (LU) dan 0 o -45 o lintang selatan (LS) dengan historis-biologis asal kedelai terdapat pada wilayah subtropika pada 45 o -48 o LU. Lingkungan tumbuh yang mempengaruhi hasil kedelai mencakup faktor iklim dan kesuburan fisiko-kimia dan biologi tanah. Keberadaan hama dan penyakit selama pertumbuhan kedelai juga dapat membatasi produktivitas tetapi masih dapat dikendalikan (Sumarno dan Manshuri, 2007). Kedelai diklasifikasikan secara botani ke dalam ordo Polypetales, family Leguminosae, dan subfamily Papilionoideae. Kedelai yang bernilai paling ekonomis dalam genus Glycine dengan subgenus soja terdiri atas spesies Glycine ussuriensis dan Glycine max. Kedua spesies ini merupakan tanaman semusim (Adie dan Krisnawati, 2007). Karakter kedelai hitam mengarah pada karakter spesies G. ussurinesis yang memiliki bunga berwarna ungu, biji keras berwarna hitam hingga coklat tua dengan batang menjalar. Diduga kedelai hitam merupakan hasil persilangan G. ussurinesis yang bersifat liar dengan kedelai yang telah dibudidayakan G. max sehingga kandungan protein kedelai hitam lebih tinggi dari pada kedelai kuning (Adie dan Krisnawati, 2007). Pigmen kulit biji sebagian besar terletak di lapisan palisade, lapisan terluar biji setelah kutikula, yang terdiri dari pigmen antosianin dalam vakuola, klorofil dalam plastid dan berbagai kombinasi hasil uraian dari produk-produk pigmen tersebut (Adie dan Krisnawati, 2007). Warna hitam pada biji kedelai dikendalikan oleh gen pigmentasi yang telah disandikan sebagai gen R. Penyebab kulit hitam

5 pada kedelai adalah perwujudan warna ungu yang sangat kuat dari pigmen antosianin (Nagai, 1921). Karakteristik kedelai secara umum yang telah dibudidayakan di Indonesia, berupa tanaman yang tegak dengan tinggi 40-90 cm, bercabang, berdaun unifoliet dan trifoliet, berbulu pada daun dan polong tetapi tidak terlalu padat. Bentuk daun kedelai terdiri dari lancip, bulat dan lonjong serta terdapat perpaduan bentuk daun dan umumnya daun kedelai di Indonesia adalah lonjong. Sistem perakaran pada kedelai terdiri dari sebuah akar tunggang, sejumlah akar sekunder, cabang akar sekunder dan cabang akar adventif yang tumbuh di bawah hipokotil. Pada bagian perakaran akan terlihat adanya bintil akar pada 10 hari setelah tanam (Adie dan Krisnawati, 2007). Kedelai merupakan tanaman yang menyerbuk sendiri dengan bunga yang muncul pada 3-5 minggu setelah tanam. Tidak semua bunga kedelai berhasil menjadi polong dengan tingkat keguguran bunga berkisar 20-80%. Polong tempat biji kedelai berlekuk lurus atau ramping dan umumnya berisi 2-3 biji per polong. Pengisian biji di dalam polong sangat dipengaruhi oleh kekurangan atau kelebihan air, serangan hama dan penyakit serta lain sebagainya sehingga periode pengisian biji merupakan fase paling kritis untuk pencapaian hasil optimal. Biji sebagai komponen morfologi yang bernilai ekonomis pada kedelai dapat dikelompokkan berdasarkan ukurannya, yaitu biji besar (bobot>14 g/100 biji), biji sedang (10-14 g/100 biji) dan kecil (bobot<10 g/100 biji) (Adie dan Krisnawati, 2007). Pertumbuhan tanaman kedelai dibagi atas tipe determinit, indeterminit dan semi-determinit. Pada tipe determinit, pertumbuhan vegetatif berhenti setelah fase berbunga, buku teratasnya mengeluarkan bunga, batang tanaman teratas cenderung berukuran sama dengan batang bagian tengah sehingga pada kondisi normal batang tidak melilit. Pada tipe indeterminit, pertumbuhan vegetatif masih berlangsung setelah fase berbunga dan ukuran batang semakin mengecil hingga ke pucuk. Bentuk peralihan antara pertumbuhan determinit dan interdeminit dikenal dengan pertumbuhan semi-determinit. Varietas kedelai di Indonesia umumnya bertipe tumbuh determinit (Adie dan Krisnawati, 2007). Umur panen kedelai di Indonesia berkisar 75-95 hari, yang tergolong sangat genjah di bandingkan di wilayah subtropis yang berkisar 150-160 hari

6 setelah tanam (Sumarno, 1991). Menurut Gardner et al. (1985), umur panen yang lebih lama memberikan hasil lebih banyak dibandingkan umur panen lebih awal. Tanaman kedelai pada dasarnya sesuai diusahakan pada iklim agak kering tetapi memerlukan kelembaban tanah yang cukup selama pertumbuhan. Kebutuhan air yang diperlukan oleh tanaman kedelai yang dipanen pada umur 80-90 hari dapat disuplai dari curah hujan 120-135 mm/bulan. Suhu yang sesuai untuk pertumbuhan kedelai berkisar antara 22-27 o C. Kelembaban udara yang optimal untuk tanaman kedelai berkisar 75-90% selama periode tanaman tumbuh hingga stadia pengisian polong dan pada waktu pematangan berkisar 60-75%. Kisaran ph tanah untuk kedelai tumbuh baik adalah 5.5-7.0 dengan ph optimal 6.0-6.5 (Sumarno dan Manshuri, 2007). Potensi hasil kedelai hitam yang telah dibudidayakan dengan budidaya kering bervariasi menurut karakter varietasnya. Varietas Ceneng memiliki potensi hasil 2 ton/ha dan sesuai untuk tanah masam (Karto, 2005). Varietas Cikuray memiliki potensi produksi 1.7 ton/ha (Suhartina, 2005). Lahan Pasang Surut Lahan pasang surut merupakan salah satu lahan marjinal yang potensial untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian. Menurut Rachman et al. (2007), lahan pasang surut sebagai lahan suboptimal, akan sesuai untuk pengembangan kedelai bila diikuti dengan penerapan teknologi yang berkaitan dengan konservasi tanah, pengelolaan air, ameliorasi dan pengelolaan bahan organik serta pemupukan. Lahan pasang surut memiliki topografi yang landai dan dipengaruhi oleh jangkauan air pasang. Menurut Subagyo (2006), ketinggian tempat lahan pasang surut berkisar dari 0-0.5 m dpl dipinggir laut sampai sekitar 5 m dpl di wilayah lebih ke pedalaman. Adhi et al. (1992) membagi lahan pasang surut menjadi lahan tipe luapan A, B, C dan D. Lahan bertipe luapan A selalu terluapi air pasang baik pada musim hujan maupun musim kemarau. Lahan bertipe lupan B hanya terluapi air pasang pada musim hujan. Lahan bertipe luapan C tidak terluapi air pasang tetapi kedalaman muka air tanahnya kurang dari 50 cm di bawah

7 permukaan tanah. Lahan bertipe luapan D tidak terluapi air pasang tetapi kedalaman muka air tanahnya lebih dari 50 cm di bawah permukaan tanah. Pertanaman palawija seperti kedelai di lahan pasang surut umumnya ditanam pada tipologi lahan C dan D. Menurut Sarwani (2001), penanaman kedelai dilakukan bahkan pada musim hujan sekalipun dengan pengelolaan air aliran satu arah tetapi harus disertai dengan pembuatan saluran drainase dangkal. Sistem drainase dangkal adalah sistem pengelolaan air bawah tanah. Sistem ini dirancang dengan menurunkan muka air tanah pada batas antara 40-60 cm dari permukaan tanah. Paparan sinar matahari pada tanaman di lahan pasang surut tergolong penuh tanpa naungan. Menurut Irianto et al. (2005), energi radiasi matahari dibutuhkan tanaman untuk proses fotosintesis, fotomorfogenesis, fotorespirasi, perpanjangan sel dan pematangan biji. Pada penelitiannya di Bogor, Baharsjah et al. (1985) menunjukkan bahwa hasil kedelai lebih tinggi pada musim kemarau dengan radiasi 345 cal/cm 2 selama 6.4 jam dari pada pada musim hujan dengan radiasi 270 cal/cm 2 selama 2.7 jam. Hasil penelitian Syahbuddin dan Las (2002) menunjukkan bahwa hasil polong tertinggi pada kedelai dicapai pada perlakuan tanpa naungan dengan tingkat ketersediaan air 50%. Menurut Irianto et al. (2005), pengembangan kedelai di daerah khatulistiwa sangat didukung oleh kekayaan radiasi matahari dan ketersediaan air sepanjang tahun oleh hujan orogragfis. Kemasaman tanah di lahan pasang surut merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan untuk usaha pertanian. Menurut Adisarwanto dan Sunarlim (2000), salah satu kendala yang menekan pertumbuhan kedelai di lahan pasang surut adalah karena sifat kimia tanahnya yang masam dengan ph 3.3-3.8. Ada pun status hara yang lain adalah C organik (sedang-tinggi), P tersedia (rendah-sangat rendah), K-dd (rendah-sedang), Al-dd (tinggi). Terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan tanaman disebabkan oleh ketidaktersediaan hara untuk tanaman pada ph rendah dan terdapatnya senyawa beracun bagi tanaman, seperti pirit. Pirit merupakan senyawa yang alami terdapat di lahan pasang surut dan tidak berbahaya bagi tanaman bila pirit berada dalam kondisi tereduksi. Menurut Subagyo (2006), ph tanah endapan di lahan pasang surut adalah netral hingga agak alkalis karena adanya ion monokarbonat (HCO - 3 ). Pirit menjadi berbahaya

8 karena mengalami oksidasi dengan turunnya muka air tanah. Lahan menjadi masam ekstrim (ph 1.3 hingga 3.3) karena dihasilkannya besi III koloidal, asam sulfat yang terlarut menjadi ion sulfat dan melimpahnya ion H +. Kedalaman Muka Air Tanah pada Budidaya Jenuh Air Budidaya jenuh air (BJA) adalah budidaya dengan mempertahankan kedalaman muka air tanah dengan memberikan air terus-menerus pada parit-parit di sekitar petak pertanaman sehingga lapisan di bawah perakaran menjadi jenuh air (Hunter et al., 1980; Troedson et al., 1983). Hasil tanaman kedelai terbukti telah dapat ditingkatkan berdasarkan hasil penelitian-penelitian BJA di Indonesia (Pasaribu et al., 1988; Ghulamahdi, 2009; Sagala, 2010; Sahuri, 2011; Dharmaswara, 2011). Menurut Pasaribu et al. (1988), penanaman kedelai dengan cara penjenuhan kelembaban tanah disertai dengan pembumbunan atau tanpa pembumbunan dapat memberikan pertumbuhan tanaman optimal dengan hasil di atas 2 ton/ha. Secara konsisten dengan BJA, produktivitas varietas nasional Tanggamus yang dapat mencapai 4 ton/ha ditunjukkan dari hasil penelitian Ghulamahdi (2009), Sagala (2010), Sahuri (2011) dan Dharmaswara (2011). Usaha mepertahankan kedalaman muka air didukung oleh tekstur tanah yang dapat memegang air dengan baik. Menurut Hakim et al. (1986), fraksi liat menjadi pemegang air yang baik sedangkan fraksi debu mendukung air tersedia dan pembebasan unsur-unsur hara untuk diserap oleh tanaman. Fraksi pasir menyokong tanah di sekelilingnya yang terdiri dari partikel liat dan debu. Untuk lahan pasang surut yang telah dijadikan sawah, menurut Murtantiyo (1997), terdapat lapisan kedap air pada kedalaman sekitar 90 cm di bawah permukaan tanah yang dapat menahan air dalam waktu yang cukup lama. Usaha mempertahankan kedalaman muka air tanah menjamin kebutuhan air tanaman kedelai. Menurut Sumarno dan Manshuri (2007), tanaman kedelai membutuhkan air berkisar antara 360-405 mm dengan masa tumbuh tanaman berkisar 80-90 hari. Ketersediaan air yang cukup mendukung penyerapan hara dan peningkatan hasil bagi tanaman kedelai. Menurut Gardner et al. (1985), air yang tersedia bagi tanaman merupakan perbedaan antara jumlah air dalam tanah pada kapasitas

9 lapang dan jumlah air dalam tanah pada persentase pelayuan permanen. Fisher dan Dunham (1992) menyatakan bahwa aerasi tanah yang jelek yang biasanya disebabkan oleh kejenuhan air yang merupakan kondisi optimum untuk difusi dan penimbunan hara di dalam akar. Hanya saja fungsi akar menjadi terganggu karena kekurangan oksigen dan kenaikan kadar faktor-faktor beracun seperti karbon dioksida, metana, etilena dan berbagai asam organik. Sitompul dan Guritno (1995) menambahkan bahwa walaupun tanaman yang kekurangan air memiliki banyak akar akan tetapi hasil tanaman yang tumbuh dengan keadaan cukup air lebih tetap lebih tinggi. Lingkungan perakaran juga memerlukan udara untuk perkembangan akar dan mikroorganisme tanah. Menurut Soepardi (1974), pori aerasi diperlukan oleh perakaran tanaman dalam mendukung ketersediaan udara di dalam tanah. Menurut Adisarwanto dan Sunarlim (2000), respirasi akar tanaman yang terhambat pada kondisi air berlebih (jenuh air) dapat menghambat penyerapan hara. Pada kondisi anaerobik aktivitas bakteri penambat nitrogen terhambat, sehingga tanaman kedelai akan kekurangan nitrogen. Untuk mencegah kondisi tersebut, diperlukan sistem drainase.

METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Desa Banyu Urip, Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan. Areal penelitian terletak pada ketinggian 28 m di atas permukaan laut (dpl). Penelitian dilakukan pada bulan Mei hingga September 2012. Pengeringan biomassa tanaman dilakukan di Laboratorium Pascapanen Departemen Agronomi dan Hortikultura. Analisis tanah dan daun dilakukan di Laboratorium Tanah Balai Penelitian Tanah Bogor. Alat dan Bahan Alat yang digunakan adalah alat pengolah tanah, alat pengukur dan plang label percobaan serta pompa air. Pompa air yang digunakan adalah pompa dengan diameter pipa berukuran 2 inci. Bahan yang akan digunakan adalah tiga benih varietas kedelai hitam, yaitu Ceneng, Cikuray dan Lokal Malang, serta satu benih varietas kedelai kuning sebagai pembanding, yaitu Tanggamus. Bahan lain yang digunakan adalah kapur Dolomit (CaMg(CO 3 ) 2 ) dengan dosis 2 ton/ha, SP36 dengan dosis 200 kg/ha, dan KCl dengan dosis 100 kg/ha, serta Urea dengan konsentrasi 10 g/l air dalam volume semprot 400 l/ha. Bahan untuk perlakuan benih yaitu Rhizobium sebanyak 5 g/kg benih dan insektisida dengan bahan aktif karbosulfan 25.53% sebanyak 15 g/kg benih. Pengendalian gulma pada persiapan lahan menggunakan herbisida sistemik dengan bahan aktif isopropilamina glifosat 486 g/l dan herbisida pembeku biji gulma dengan bahan aktif etil pirazosulfuron 10%. Untuk penanggulangan hama digunakan insektisida dengan bahan aktif klorantraniliprol 50 g/l dan rodentisida dengan bahan aktif brodifakum 0.005%. Metode Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan petak terpisah (RPT) dengan faktor kedalaman muka air tanah sebagai petak utama dan faktor varietas sebagai anak petak. Faktor kedalaman muka air tanah terdiri atas tiga

11 taraf perlakuan, yaitu kedalaman 10 cm dan kedalaman 20 cm di bawah permukaan tanah serta pembanding, yaitu budidaya kering. Faktor varietas terdiri atas empat jenis perlakuan, yaitu Ceneng, Cikuray, Lokal Malang dan varietas pembanding yaitu Tanggamus. Faktor varietas sebagai anak petak diacak di dalam faktor kedalaman muka air tanah dengan tiga ulangan sehingga diperoleh 36 satuan penelitian (Lampiran 2). Model liner penelitian ini adalah Y ijk = μ + α i + β j + γ ik + (αβ) ij + ρ k + ε ijk, dengan: i = kedalaman muka air tanah ke 1, 2, 3; j = varietas ke 1, 2, 3, 4; k = ulangan ke 1, 2, 3; Y ijk μ = nilai pengamatan perlakuan kedalaman air tanah ke-i, varietas ke-j, dan ulangan ke-k; = nilai rata-rata umum; α i = pengaruh perlakuan kedalaman muka air tanah ke- i; β j γ ik ρ k = pengaruh perlakuan varietas ke-j; = pengaruh galat perlakuan kedalaman muka air tanah ke-i dan ulangan ke-k (galat a); = pengaruh aditif dari ulangan ke-k; (αβ) ij = pengaruh interaksi antara kedalaman muka air tanah ke-i dan varietas ke-j; ε ijk = pengaruh galat yang timbul dari taraf kedalaman muka air tanah ke-i dan varietas ke-j pada ulangan ke-k (galat b). Jika terdapat pengaruh nyata dari perlakuan kedalaman muka air tanah terhadap varietas yang diuji berdasarkan analisis ragam (uji F-hitung) pada taraf 5%, dilakukan uji lanjut untuk melihat perbedaan antar perlakuan dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5%. Pelaksanaan Penelitian Pengambilan sampel tanah dilakukan sebelum persiapan lahan untuk mengetahui sifat fisik dan kimia tanah sebelum penanaman. Persiapan lahan dilakukan dengan membersihkan lahan dari gulma. Petakan dibuat dengan ukuran 5 m x 2 m. Saluran petakan dibuat selebar 30 cm dan sedalam 25 cm.

12 Tiap petakan ditambahkan kapur Dolomit, SP36, dan KCl pada dua minggu sebelum penanaman. Aplikasi pengapuran dan pemupukan dilakuan dengan cara disebar secara merata di atas permukaan tanah kemudian tanah diolah ringan. Benih diinokulasi sebelum penanaman dengan Rhizobium sp. selama 15 menit dan disalut dengan insektisida karbosulfan. Benih kemudian ditanam pada jarak tanam 25 cm x 10 cm dengan jumlah 1 benih per lubang tanam. Gambar 1. Model perlakuan kedalaman muka air 10 cm (kiri) dan 20 cm (kanan) di bawah permukaan tanah Kegiatan pemeliharaan meliputi pengairan dan drainase, pengendalian gulma, pengendalian hama dan penyakit serta penyemprotan urea. Pengairan dilakukan bila muka air tanah telah turun sedangkan drainase dilakukan bila muka air tanah naik dari perlakuan di dalam saluran (Gambar 1). Pengendalian gulma dilakukan secara manual 4 minggu setelah tanam (MST). Pengendalian hama dan penyakit dilakukan ketika terdapat gejala dan serangan hama dan penyakit. Tanaman kedelai dipupuk dengan urea melalui daun pada 3, 4, 5 dan 6 MST. Pengamatan dilakuan saat fase vegetatif dan generatif pada 10 tanaman contoh di tiap unit penelitian. Pengamatan fase vegetatif mencakup tinggi tanaman dan jumlah daun pada 2, 4, 6, 8, 10 MST. Komponen pengamatan diuraikan sebagai berikut: 1. tinggi tanaman yang diukur dari bekas munculnya kotiledon hingga titik tumbuh, 2. jumlah daun yang dihitung dari daun yang telah mekar sempurna. Trifoliet daun dihitung sebagai satu unit daun, 3. waktu berbunga 50% dari populasi yang diamati pada setiap varietas, 4. saat panen yang ditentukan ketika 85% daun tiap unit percobaan telah menguning dan polong kedelai telah berwarna kecoklatan,

13 5. bobot kering biomassa yang diamati pada 8 MST dengan mencabut satu tanaman di luar tanaman contoh dan bukan tanaman pinggir serta di luar petak panen di tiap petakan percobaan (Lampiran 3). Tanaman yang telah dicabut dipisahkan menjadi daun, batang, akar, dan bintil akar. Bobot kering biomassa ditimbang setelah komponen tersebut dioven selama 24 jam dengan suhu 105 o C, 6. jumlah cabang tanaman yang dihitung pada saat panen, 7. jumlah polong tanaman yang merupakan polong bernas yang dihitung per tanaman, 8. bobot biji per ubinan yang dihitung dari ubinan yang berukuran 4 m x 1 m di tiap petak perlakuan, 9. bobot 100 biji yang ditimbang dari 100 biji kedelai tiap perlakuan, dan 10. produktivitas yang ditentukan dari hasil ubinan (Lampiran 3).

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Pertumbuhan dan produksi kedelai hitam sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim, kondisi tanah, teknik budidaya dan karakter varietas yang dipilih di lahan pasang surut. Lokasi penelitian merupakan areal lahan pasang surut yang kedalaman muka air tanahnya masih dapat ditemukan kurang dari 50 cm di bawah permukaan tanah dan tidak terluapi oleh pengaruh pasang besar dan kecil air laut. Sumber air yang digunakan di dalam saluran penelitian dipengaruhi oleh pasang surut air laut dengan salinitas yang rendah dan daya hantar listrik yang sangat rendah sehingga tidak membahayakan tanaman kedelai (Lampiran 6). Kondisi iklim dapat diketahui dari data curah hujan dan hari hujan, suhu rata-rata harian, dan kelembaban rata-rata harian. Kondisi iklim selama penelitian digambarkan dari curah hujan dan hari hujan yang terus menurun dari bulan Juni hingga bulan Agustus dan kecenderungan suhu yang semakin meningkat. Berdasarkan data BMKG Palembang (2012), curah hujan selama penelitian turun dari 100 ml/bulan yang diikuti penurunan hari hujan dari 10 hari/bulan (Lampiran 4). Suhu rata-rata selama tiga bulan penelitian adalah 27 o C dengan suhu minimum rata-rata mencapai 23 o C dan suhu maksimum rata-rata mencapai 32 o C. Kelembaban rata-rata terukur rata-rata 80% (Lampiran 5). Sifat tanah sebelum penelitian ditunjukkan dari sifat fisik dan kimia tanah yang dianalisis dari sampel bahan kering tanah (Lampiran 6). Tekstur tanah bersifat liat berdebu dengan komposisi 54% liat, 44% debu dan 2% pasir. Kandungan karbon organik tergolong sangat tinggi dan nitrogen organik tergolong tinggi dengan nilai berturut-turut yaitu 8.38% dan 0.52% sehingga rasio karbon-nitrogen bahan organiknya adalah 16.00 yang tergolong tinggi. Meskipun kadar P 2 O 5 dan K 2 O tanah tergolong sedang, ketersediaan kedua hara tersebut sangat tinggi untuk tanaman (Lampiran 6). Nilai kejenuhan basah (KB) dari kation-kation basa (Ca, Mg, K dan Na) tanahnya tergolong sedang yaitu 44.00% sehingga sekitar 56% kation lainnya berupa Al + 3 dan H + terjerap pada koloid tanah yang membuat tanah memiliki nilai ph yang rendah. Derajat kemasaman tanah sebelum penelitian tergolong sangat

15 masam dengan nilai ph yaitu 4.4 berdasarkan larutan air dan tergolong masam berdasarkan larutan kalium klorida dengan nilai ph yaitu 3.80 (Lampiran 6). Keseimbangan nilai ph tanah tergantung pada pertukaran ion-ion basa dan ion-ion asam yang dipertukarkan. Nilai kapasitas tukar kation (KTK) tanah sebelum penelitian yaitu 21.66 cmol c /kg tergolong sedang dan tidak terdapat kation-kation bebas disamping kation-kation dapat ditukar. Nilai KTK Ca, KTK Mg KTK Na dan KTK K berturut-turut adalah 4.65 cmol c /kg (sedang), 3.60 cmol c /kg (tinggi), 1.22 cmol c /kg (tinggi) dan 0.14 cmol c /kg (rendah). Nilai KTK Al3+ KTK H+ berturut-turut adalah 2.40 cmol c /kg (sangat rendah) dan 1.22 cmol c /kg. Gambar 2. Keragaan pertanaman kedelai hitam pada 7 MST (kiri) dan 8 MST (kanan). Pertumbuhan dan perkembangan tanaman kedelai dengan BJA mengikuti pola pertumbuhan sigmoid. Kecambah kedelai hitam mulai keluar ke permukaan tanah pada 3 hari setelah tanam (HST) dan serentak muncul dengan unifoliet pada 7 HST. Serangan ulat penggulung daun dan pemakan daun dikendalikan pada 3 MST dan 7 MST. Kedelai hitam pada BJA mengalami pemulihan sempurna pada 7 MST dari cekaman jenuh air di bawah perkaran (Gambar 2). Serangan tikus dikendalikan pada 8 MST. Varietas Ceneng berbunga lebih awal, yaitu pada 35 HST yang diikuti oleh varietas Cikuray dan Lokal Malang pada 38 HST serta Tanggamus pada 42 HST. Varietas Cikuray memiliki umur panen lebih awal, yaitu pada 80 HST yang diikuti oleh varietas Ceneng dan Lokal Malang pada 84 HST serta Tanggamus pada 92 HST. Kedelai hitam dan Tanggamus yang ditanam di lahan kering umumnya berbunga dan panen lebih awal dari kedelai yang ditanam dengan BJA.

16 Hasil Faktor kedalaman muka air tanah dan varietas kedelai hitam nyata mempengaruhi beberapa peubah pengamatan. Tidak ada peubah pengamatan yang hanya dipengaruhi faktor varietas saja tetapi ada peubah yang hanya dipengaruhi kedalaman muka air tanah saja seperti jumlah daun tanaman pada 10 MST, jumlah cabang, bobot kering daun, bobot kering batang dan bobot kering akar (Tabel 1). Tabel 1. Uji beda nyata perlakuan kedalaman muka air tanah dan varietas terhadap berbagai peubah yang diamati Peubah pengamatan Ulangan (U) Sumber Keragaman Kedalaman muka air tanah (K) U*K Varietas (V) K*V Tinggi 2 MST tn * tn ** * 4 MST tn ** tn ** tn 6 MST tn ** tn ** tn 8 MST tn ** * ** tn 10 MST tn ** ** ** * Jumlah daun 2 MST tn * tn ** ** 4 MST tn ** tn * tn 6 MST tn ** tn * tn 8 MST tn ** tn ** ** 10 MST tn * tn tn tn Jumlah cabang tn ** tn tn ** Jumlah polong tn ** tn ** ** Bobot kering biomassa tn ** tn tn tn daun tn * tn tn tn batang tn ** * tn tn akar tn ** tn tn tn bintil akar tn ** tn * tn Serapan hara nitrogen tn * * ** tn fosfor tn * * * tn kalium tn * * ** * kalsium tn * tn ** tn Bobot 100 biji tn ** ** ** ** Bobot ubinan tn ** tn ** ** Produktivitas tn ** tn ** ** Keterangan: * = berbeda nyata, ** = berbeda sangat nyata, tn = tidak berbeda nyata

17 Kedalaman Muka Air Tanah Kedalaman muka air tanah nyata mempengaruhi tinggi dan jumlah daun tanaman dari 2 MST hingga 10 MST, jumlah cabang, jumlah polong, bobot kering biomassa, serapan hara, bobot 100 biji, bobot ubinan dan produktivitas kedelai hitam di lahan pasang surut. Umumnya nilai peubah pertanaman kedelai hitam pada BJA lebih tinggi dari pada tanaman kedelai hitam dari budidaya kering (Tabel 1). Tinggi tanaman kedelai dari 2 MST hingga 10 MST pada BJA pada kedalaman muka air 10 cm dengan 20 cm di bawah permukaan tanah berbeda nyata dengan budidaya kering di lahan pasang surut. Tinggi tanaman antara BJA kedalaman muka air 10 cm tidak berbeda nyata dengan kedalaman muka air 20 cm di bawah permukaan tanah pada umur tanaman sebelum 8 MST tetapi berbeda nyata saat berumur 8 MST hingga 10 MST (Tabel 2). Tinggi tanaman kedelai pada umur 10 MST pada BJA kedalaman muka air 20 cm di bawah permukaan tanah lebih tinggi dari pada kedelai pada BJA kedalaman 10 cm di bawah permukaan tanah dan budidaya kering. Tinggi tanaman kedelai rata-rata pada BJA kedalaman muka air 20 cm dan 10 cm di bawah permukaan tanah adalah 70.16 cm dan 66.50 cm sedangkan pada budidaya kering tinggi tanaman kedelai hanya mencapai rata-rata 22.15 cm (Tabel 2). Tabel 2. Tinggi dan jumlah daun tanaman kedelai pada berbagai kedalaman muka air tanah di lahan pasang surut Peubah pengamatan Budidaya kering Kedalaman muka air BJA 20 cm 10 cm Tinggi ----------------------------(cm)------------------------------ 2 MST 4.12b 4.97a 5.22a 4 MST 9.26b 18.80a 17.84a 6 MST 19.98b 53.52a 50.77a 8 MST 21.96c 70.09a 66.28b 10 MST 22.15c 70.16a 66.50b Jumlah daun -----------------------(daun)--------------------------- 2 MST 3.0ab 2.9b 3.1a 4 MST 4.6b 7.7a 7.4a 6 MST 6.9b 17.3a 16.9a 8 MST 7.0b 25.0a 23.4a 10 MST 3.7b 21.6a 22.8a Keterangan: Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT α= 5% (BJA= Budidaya jenuh air)

18 Jumlah daun kedelai pada BJA tidak berbeda nyata dengan budidaya kering pada 2 MST. Jumlah daun kedelai antara BJA kedalaman muka air 10 cm tidak berbeda nyata dengan kedalaman muka air 20 cm di bawah permukaan tanah saat tanaman berumur 4 MST hingga 10 MST. Jumlah daun kedelai pada BJA berbeda nyata dengan kedelai pada budidaya kering saat berumur 4 MST hingga 10 MST di lahan pasang surut (Tabel 2). Jumlah daun maksimum rata-rata tanaman kedelai pada 8 MST tidak berbeda nyata antara BJA kedalaman muka air 10 cm dan 20 cm di bawah permukaan tanah di lahan pasang surut. Jumlah daun kedelai dari BJA kedalaman muka air 10 cm dan 20 cm di bawah permukaan tanah berbeda nyata terhadap jumlah daun tanaman kedelai dengan budidaya kering pada 8 MST. Jumlah daun kedelai rata-rata pada BJA kedalaman muka air 10 cm dan 20 cm dapat mencapai 23.44 daun dan 25.03 daun sedangkan jumlah daun rata-rata kedelai dengan budidaya kering hanya mencapai 6.97 daun (Tabel 2). Kedalaman muka air tanah mempengaruhi bobot kering biomassa, daun, batang, akar, dan bintil akar tanaman kedelai. Bobot kering biomassa, daun, batang, akar dan bintil akar kedelai dari BJA kedalaman muka air tanah 10 cm dan 20 cm di bawah permukaan tanah tidak berbeda nyata tetapi bobot-bobot kedua perlakuan tersebut berbeda nyata terhadap kedelai pada budidaya kering (Tabel 3). Bobot kering biomassa kedelai dengan BJA 767-790% (delapan kali) lebih tinggi dari pada kedelai dengan budidaya kering. Bobot kering biomasa tanaman kedelai sebesar 3.79 g per tanaman dibagi menjadi 46% bahan kering daun, 43% bahan kering batang, 3% bahan kering akar, dan 0% bahan kering bintil akar. Bobot kering biomassa kedelai pada BJA kedalaman muka air 10 cm di bawah permukaan tanah sebesar 28.68 g per tanaman dibagi menjadi 35% bahan kering daun, 56% bahan kering batang, 6% bahan kering akar dan 3% bahan kering bintil akar. Bobot kering biomassa kedelai pada BJA kedalaman muka air 20 cm di bawah permukaan tanah sebesar 29.53% dibagi menjadi 34% bahan kering daun, 58% bahan kering batang, 5% bahan kering akar dan 3% bahan kering bintil akar (Tabel 3). Bobot kering daun kedelai dengan BJA mencapai 9.98 g per tanaman pada kedalaman muka air 10 cm dan 10.14 g per tanaman pada kedalaman muka air

19 20 cm di bawah permukaan tanah. Bobot kering daun kedelai dengan BJA 584-593% (enam kali) lebih tinggi dari pada bobot daun kedelai dengan budidaya kering (Tabel 3). Tabel 3. Bobot kering biomassa tanaman kedelai pada berbagai kedalaman muka air tanah di lahan pasang surut Peubah pengamatan Budidaya kering Kedalaman muka air BJA 20 cm 10 cm ---------------------------(g)--------------------------- Bobot kering daun 1.71b 10.14a 9.98a Bobot kering batang 1.60b 16.97a 15.92a Bobot kering akar 0.43b 1.60a 1.69a Bobot kering bintil akar 0.00b 0.82a 1.09a Bobot kering biomassa 3.74b 29.53a 28.68a Keterangan: Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT α= 5% (BJA= Budidaya jenuh air) Bobot kering batang kedelai dengan BJA mencapai 15.92 per tanaman pada kedalaman 10 cm dan 16.97 g pada kedalaman 20 cm di bawah permukaan tanah. Bobot kering batang kedelai dengan BJA 995-1061% (sepuluh kali) lebih tinggi dari pada bobot kering batang kedelai pada budidaya kering (Tabel 3). Bobot kering akar kedelai dengan BJA mencapai 1.69 g per tanaman pada BJA kedalaman muka air 10 cm dan 1.60 g per tanaman pada kedalaman muka air 20 cm di bawah permukaan tanah. Bobot kering akar kedelai dengan BJA 372% (empat kali) lebih tinggi dari pada bobot kering akar kedelai dengan budidaya kering (Tabel 3). Bobot kering bintil akar kedelai dengan BJA mencapai 0.91 g per tanaman pada kedalaman muka air 10 cm dan 0.82 g per tanaman pada kedalaman muka air pada 20 cm di bawah permukaan tanah. Bintil akar kedelai dengan budidaya kering tidak ditemukan (Tabel 3). Kemampuan tanaman kedelai dalam menyerap hara dipengaruhi oleh kedalaman muka air tanah di lahan pasang surut. Kadar hara dalam daun yang diserap tanaman di lahan pasang surut disajikan pada lampiran 7. Jumlah hara yang diserap tanaman kedelai pada BJA perlakuan kedalaman muka air tanah 10 cm dan 20 cm tidak berbeda nyata tetapi kedua perlakuan tersebut berbeda nyata dan lebih tinggi menyerap hara dari pada kedelai pada budidaya kering.

20 Kemampuan tanaman kedelai pada BJA dalam menyerap unsur nitrogen 509-523% (5 kali) lebih tinggi, unsur fosfor 3,142-3,428% (31-34 kali) lebih tinggi, unsur kalium 4,281-4,719% (43-47) kali lebih tinggi, dan unsur kalsium 9,994-10,200% (100-102) kali lebih tinggi dari pada tanaman kedelai pada budidaya kering (Tabel 4). Tabel 4. Serapan unsur hara tanaman kedelai pada berbagai kedalaman muka air tanah di lahan pasang surut Serapan unsur Budidaya kering Kedalaman muka air BJA 20 cm 10 cm -------------------------------------(g)--------------------------------- Nitrogen 0.94b 4.79a 4.92a Fosfor 0.01b 0.22a 0.24a Kalium 0.03b 1.37a 1.51a Kalsium 0.01b 1.50a 1.53a Keterangan: Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT α= 5% (BJA= Budidaya jenuh air) Varietas Peubah yang nyata dipengaruhi oleh varietas adalah tinggi tanaman dari 2 MST hingga 10 MST, jumlah daun dari 2 MST hingga 8 MST, jumlah polong, bobot bintil akar, serapan hara, bobot 100 biji, bobot ubinan dan produktivitas (Tabel 1). Pertambahan tinggi kedelai terus menigkat secara nyata setelah tanaman berumur 4 MST dan pertambahan tinggi melandai pada saat tanaman berumur 8 MST. Jumlah daun kedelai terus meningkat hingga mencapai maksimum pada 8 MST dan jumlah daun mengalami penurunan pada saat tanaman berumur 10 MST. Perbedaan kemampuan varietas dalam menyerap hara ditunjukkan serapan hara masing-masing varietas meskipun tidak ada perbedaan biomassa antar varietas (Tabel 5). Tinggi tanaman kedelai hitam varietas Ceneng dan Lokal Malang pada 10 MST tidak berbeda nyata tetapi tinggi kedua varietas tersebut berbeda dengan varietas Cikuray. Tinggi tanaman rata-rata Lokal Malang pada 10 MST tidak berbeda nyata dengan varietas Tanggamus, sebagai kedelai kuning pembanding (Tabel 5).

21 Tabel 5. Tinggi dan jumlah daun beberapa varietas kedelai di lahan pasang surut Peubah pengamatan Varietas Ceneng Cikuray Lokal Malang Tanggamus Tinggi -----------------------(cm)------------------------------- 2MST 4.71b 3.85c 4.45b 6.08a 4MST 16.33a 12.93c 14.72b 17.21a 6MST 45.15a 37.55a 39.65b 43.35b 8MST 55.74a 44.81b 54.00a 56.55a 10MST 55.98b 44.99c 53.38ab 57.41a Jumlah daun -----------------------(daun)------------------------------- 2MST 2.8b 2.8b 2.9b 3.5a 4MST 6.1c 6.4bc 6.7ab 7.0a 6MST 12.4c 13.2bc 15.0a 14.3ab 8MST 16.7c 16.3c 21.9a 19.0b 10MST 13.5ab 12.4b 17.6ab 20.8a Keterangan: Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT α= 5% Jumlah daun maksimum rata-rata tanaman kedelai hitam pada 8 MST tidak berbeda nyata antara Ceneng dan Cikuray tetapi jumlah daun kedua varietas tersebut berbeda nyata dengan jumlah daun varietas Lokal Malang. Jumlah daun Lokal lebih tinggi dari pada dari pada Ceneng dan Cikuray bahkan dari Tanggamus pada 8 MST (Tabel 5). Bobot kering biomassa, daun, batang dan akar tidak berbeda nyata antar varietas kedelai hitam dan terhadap varietas Tanggamus. Bobot kering biomassa kedelai hitam berkisar 18.46-21.92 g per tanaman di lahan pasang surut. Bobot kering daun kedelai hitam berkisar 6.41-8.44 g per tanaman. Bobot kering batang kedelai hitam berkisar 10.59-12.14 g per tanaman. Bobot kering akar kedelai hitam berkisar 0.97-1.25 g per tanaman (Tabel 6). Bobot kering bintil akar kedelai hitam berbeda nyata dengan varietas Tanggamus tetapi tidak ada perbedaan yang nyata antar varietas kedelai hitam. Bobot kering bintil akar secara berturut-turut dari varietas Lokal Malang, Ceneng dan Cikuray, yaitu 0.57 g, 0.52 g, dan 0.48 g per tanaman. Bobot kering bintil akar Tanggamus adalah 0.97 g per tanaman (Tabel 6).

Tabel 6. Bobot kering biomassa tanaman kedelai dari berbagai varietas kedelai di lahan pasang surut Peubah pengamatan 22 Varietas Ceneng Cikuray Lokal Malang Tanggamus ---------------------------(g)-------------------------------- Bobot kering daun 6.53a 6.41a 8.44a 7.72a Bobot kering batang 12.14a 10.59a 11.65a 11.59a Bobot kering akar 1.20ab 0.97b 1.25ab 1.54a Bobot kering bintil akar 0.52b 0.48b 0.57b 0.97a Bobot kering biomassa 20.39a 18.45a 21.91a 21.82a Keterangan: Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT α= 5% Kemampuan tanaman kedelai dalam menyerap hara dipengaruhi oleh varietas tanaman kedelai. Kemampuan kedelai hitam varietas Lokal Malang berbeda nyata dan lebih tinggi dari pada varietas Ceneng dan Cikuray dalam menyarap unsur nitrogen, fosfor, kalium dan kalsium. Kemampuan varietas Lokal Malang dalam menyerap hara tidak berbeda nyata dengan varietas Tanggamus (Tabel 7). Tabel 7. Serapan unsur hara beberapa varietas kedelai di lahan pasang surut Serapan unsur Varietas Ceneng Cikuray Lokal Malang Tanggamus ------------------------------------(g)----------------------------------- Nitrogen 2.319b 2.468b 4.252a 4.037a Fosfor 0.110c 0.128bc 0.205a 0.189ab Kalium 0.523c 0.860bc 1.295a 1.206ab Kalsium 0.786b 0.679b 1.467a 1.132ab Keterangan: Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT α= 5% Interaksi Faktor Kedalaman Muka Air Tanah dengan Varietas Interaksi kedalaman muka air tanah dan varietas nyata pada peubah tinggi tanaman pada 2 MST dan 10 MST, jumlah daun pada 2 MST dan 8 MST serta jumlah cabang tanaman kedelai hitam di lahan pasang surut. Interaksi kedalaman muka air tanah dan varietas juga nyata pada jumlah polong, serapan kalium, bobot 100 biji, bobot ubinan dan produktivitas (Tabel 1).

23 Jumlah daun kedelai hitam pada budidaya kering tidak berbeda nyata antar varietas kedelai hitam pada 8 MST. Jumlah daun kedelai hitam pada BJA berbeda nyata terhadap kedelai hitam pada budidaya kering. Jumlah daun kedelai hitam varietas Ceneng dan Cikuray tidak berbeda nyata pada BJA kedalaman 10 cm dan 20 cm di bawah permukaan tanah. Jumlah daun varietas Lokal Malang berbeda nyata antar BJA kedalaman 10 cm dan 20 cm di bawah permukaan tanah dan jumlah daunnya berbeda nyata dan lebih tinggi dari pada varietas Ceneng dan Cikuray pada BJA kedalaman 20 cm di bawah permukaan tanah (Tabel 8). Jumlah daun varietas Ceneng dengan BJA berbeda nyata dengan budidaya kering. Meskipun tidak berbeda nyata antar kedalaman 10 cm dan 20 cm di bawah permukaan tanah, jumlah daun pada BJA 303-311% (3 kali) lebih tinggi dari pada pada budidaya kering. Jumlah daun varietas Ceneng pada BJA dapat mencapai 21-22 daun sedangkan pada budidaya kering hanya 7 daun (Tabel 8). Jumlah daun varietas Cikuray dengan BJA berbeda nyata dengan budiaya kering. Meskipun tidak berbeda nyata antar kedalaman 10 cm dan 20 cm di bawah permukaan tanah, jumlah daun pada BJA 361-381% (4 kali) lebih tinggi dari pada budidaya kering. Jumlah daun varietas Cikuray pada BJA dapat mencapai 21-22 daun sedangkan pada budidaya kering hanya 6 daun (Tabel 8). Tabel 8. Jumlah daun tanaman kedelai pada berbagai kedalaman muka air tanah dan varietas pada 8 MST Perlakuan Jumlah daun Ceneng Cikuray Lokal Malang Tanggamus Budidaya kering 7.0e 5.8e 7.6e 7.4e BJA 20 cm 21.2d 20.9d 32.0a 25.9bc BJA 10 cm 21.8cd 22.1bcd 26.1b 23.7bcd Keterangan: Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada baris dan kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT α= 5% (BJA= Budidaya jenuh air) Jumlah daun varietas Lokal Malang dengan BJA berbeda nyata pada semua perlakuan kedalaman muka air tanah. Jumlah daun tertinggi ditunjukkan pada BJA kedalaman 20 cm di bawah permukaan tanah. Terhadap jumlah daun pada budidaya kering, jumlah daun pada BJA kedalaman 10 cm 342% (3 kali) lebih tinggi dan 419% (4 kali) lebih tinggi pada BJA kedalaman 20 cm di bawah permukaan tanah. Jika pada budidaya kering jumlah daun hanya mencapai 8 daun,

24 jumlah daun pada BJA kedalaman 10 cm mencapi 26 daun dan 32 daun pada BJA 20 cm di bawah permukaan tanah. Jumlah daun varietas Lokal Malang tidak berbeda nyata dengan varietas Tanggamus pada BJA kedalaman 10 cm tetapi menjadi berbeda nyata dan lebih tinggi pada BJA kedalaman 20 cm di bawah permukaan tanah (Tabel 8). Jumlah cabang dari ketiga varietas kedelai hitam pada BJA kedalaman 10 cm dan 20 cm di bawah permukaan tanah lebih tinggi dari pada budidaya kering. Jumlah cabang dari ketiga varietas kedelai hitam tidak berbeda nyata pada perlakuan budidaya kering dan pada BJA kedalaman muka air tanah 10 cm di bawah permukaan tanah. Jumlah cabang varietas Lokal Malang dan varietas Cikuray tidak berbeda nyata tetapi jumlah cabang kedua varietas tersebut berbeda nyata dan lebih tinggi dari pada varietas Ceneng pada BJA kedalaman 20 cm di bawah permukaan tanah. Jumlah cabang ketiga varietas kedelai hitam tidak berbeda nyata dengan varietas Tanggamus pada BJA kedalaman muka air 10 cm di bawah permukaan tanah (Tabel 9). Jumlah cabang varietas Ceneng pada BJA kedalaman muka air 10 cm dan 20 cm di bawah permukaan tanah tidak berbeda nyata tetapi kedua perlakuan tersebut berbeda nyata dan lebih tinggi dari perlakuan budidaya kering. Jumlah cabang varietas Ceneng tidak berbeda nyata dengan varietas Tanggamus pada budidaya kering dan BJA kedalaman 10 cm tetapi berbeda nyata dengan BJA kedalaman 20 cm di bawah permukaan tanah. Jumlah cabang varietas Ceneng mencapai 3.60-3.73 cabang pada BJA sedangkan pada budidaya kering hanya mencapai 2.00 cabang (Tabel 9). Jumlah cabang varietas Cikuray pada BJA kedalaman muka air 10 cm dan 20 cm di bawah permukaan tanah tidak berbeda nyata tetapi kedua perlakuan tersebut berbeda nyata dan lebih tinggi dari perlakuan budidaya kering. Jumlah cabang varietas Cikuray tidak berbeda nyata dengan jumlah cabang varietas Lokal Malang pada budidaya kering maupun BJA. Jumlah cabang varietas Cikuray mencapai 4.07-4.20 cabang pada BJA sedangkan pada budidaya kering hanya mencapai 2.00 cabang (Tabel 9). Jumlah cabang varietas Lokal Malang berbeda nyata pada ketiga perlakuan kedalaman muka air tanah. Jumlah cabang varietas Lokal Malang tidak berbeda

25 nyata dengan varietas Tanggamus pada perlakuan kedalaman muka air tanah 10 cm dan 20 cm di bawah permukaan tanah. Jumlah cabang varietas Lokal Malang berbeda nyata dan lebih rendah daripada varietas Tanggamus pada perlakuan budidaya kering. Varietas Lokal Malang memiliki jumlah cabang paling terendah pada dari varietas lainnya, yaitu 1.5 cabang pada budidaya kering tetapi jumlah cabangnya dapat mencapai 4.00-4.60 cabang pada BJA (Tabel 9). Tabel 9. Jumlah cabang tanaman kedelai pada berbagai kedalaman muka air tanah dan varietas Perlakuan Jumlah cabang Ceneng Cikuray Lokal Malang Tanggamus Budidaya kering 2.0de 2.0de 1.5e 2.1d BJA 20 cm 3.6c 4.2ab 4.6a 4.6a BJA 10 cm 3.7bc 4.1abc 4.0bc 3.7bc Keterangan: Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada baris dan kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT α= 5% (BJA= Budidaya jenuh air) Jumlah polong dari ketiga varietas kedelai hitam dan varietas Tanggamus pada budidaya kering tidak berbeda nyata. Jumlah polong dari varietas Ceneng dan Cikuray pada BJA kedalaman 10 cm dan 20 cm di bawah permukaan tanah tidak berbeda myata tetapi berbeda nyata dan lebih rendah dari pada varietas Lokal Malang (Tabel 10). Jumlah polong dari varietas Ceneng pada BJA kedalaman muka air 10 cm dan 20 cm di bawah permukaan tanah tidak berbeda nyata tetapi kedua perlakuan tersebut berbeda nyata dan lebih tinggi dari pada budidaya kering. Jumlah polong varietas Ceneng pada BJA mencapai 65.36-65.40 polong sedangkan pada budidaya kering hanya mencapai 7.00 polong (Tabel 10). Jumlah polong dari varietas Cikuray pada BJA kedalaman muka air tanah 10 cm dan 20 cm di bawah permukaan tanah tidak berbeda nyata tetapi kedua perlakuan tersebut berbeda nyata dan lebih tinggi dari pada budidaya kering. Jumlah polong varietas Cikuray mencapai 53.70-62.73 polong pada BJA sedangkan pada budidaya kering hanya mencapai 8.20 polong (Tabel 10). Jumlah polong dari varietas Lokal Malang berbeda nyata antar perlakuan kedalaman muka air. Jumlah polong tertinggi ditunjukkan pada BJA kedalaman muka air 20 cm yang diikuti kedalaman muka air 10 cm di bawah permukaan

26 tanah dan budidaya kering, yaitu 102.83 polong, 84.66 polong dan 4.40 polong. Jumlah polong antara varietas Lokal Malang dengan varietas Tanggamus tidak berbeda nyata pada ketiga perlakuan kedalaman muka air tanah (Tabel 10). Tabel 10. Jumlah polong tanaman kedelai pada berbagai kedalaman muka air tanah dan varietas Perlakuan Jumlah polong Ceneng Cikuray Lokal Malang Tanggamus Budidaya kering 7.0d 8.2d 4.4d 8.2d BJA 20 cm 65.4c 53.7c 102.8a 100.0ab BJA 10 cm 65.4c 62.7c 84.7b 92.1ab Keterangan: Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada baris dan kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT α= 5% (BJA= Budidaya jenuh air) Bobot 100 biji dari varietas Ceneng, Cikuray dan Tangamus tidak berbeda nyata pada budidaya kering tetapi berbeda nyata dan lebih tinggi dari pada varietas Lokal Malang. Bobot 100 biji dari ketiga varietas kedelai hitam berbeda nyata pada BJA. Bobot 100 biji tertinggi ditunjukkan oleh varietas Cikuray yang diikuti oleh varietas Ceneng dan Lokal Malang. Bobot 100 biji varietas Ceneng tidak berbeda nyata dengan varietas Tanggamus (Tabel 11). Tabel 11. Bobot 100 biji kedelai pada berbagai kedalaman muka air tanah dan varietas Perlakuan Bobot 100 biji (g) Ceneng Cikuray Lokal Malang Tanggamus Budidaya kering 9.60de 10.00cd 9.02e 10.24cd BJA 20 cm 10.76bc 14.00a 10.21cd 11.18b BJA 10 cm 11.64b 13.59a 10.11cd 11.59b Keterangan: Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada baris dan kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT α= 5% (BJA= Budidaya jenuh air) Bobot 100 biji varietas Ceneng pada BJA antara kedalaman muka air 10 cm dan 20 cm di bawah permukaan tanah tidak berbeda nyata tetapi bobot 100 biji kedua perlakuan tersebut berbeda nyata dan lebih tinggi dari perlakuan budidaya kering. Bobot 100 biji varietas Ceneng pada BJA dapat mencapai 10.76-11.64 g sedangkan pada budidaya kering hanya mencapai 9.60 g (Tabel 11). Bobot 100 biji varietas Cikuray pada BJA antara kedalaman muka air 10 cm dan 20 cm di bawah permukaan tanah tidak berbeda nyata tetapi bobot

27 100 biji kedua perlakuan BJA tersebut berbeda nyata dan lebih besar dari pada budidaya kering. Bobot 100 biji varietas Cikuray pada BJA dapat mencapai 13.59-14.00 g sedangkan pada budidaya kering hanya mencapai 10.00 g (Tabel 11). Bobot 100 biji varietas Lokal Malang pada BJA antara kedalaman muka air tanah 10 cm dan 20 cm di bawah permukaan tanah tidak berbeda nyata tetapi kedua perlakuan BJA tersebut berbeda nyata dan lebih tinggi dari pada perlakuan budidaya kering. Bobot 100 biji varietas Lokal Malang pada BJA dapat mencapai 10.11-10.21 g sedangkan pada budidaya kering hanya mencapai 9.02 g (Tabel 11). Tabel 12. Bobot biji per ubinan kedelai pada berbagai kedalaman muka air tanah dan varietas Perlakuan Bobot biji per ubinan (g/4 m 2 ) Ceneng Cikuray Lokal Malang Tanggamus Budidaya kering 6.67e 11.85e 7.92e 13.67e BJA 20 cm 1570.44c 1112.00d 1945.60a 1997.81a BJA 10 cm 1623.33bc 1293.81d 1876.29a 1851.58ab Keterangan: Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada baris dan kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT α= 5% (BJA= Budidaya jenuh air) Bobot biji per ubinan masing-masing kedelai hitam pada BJA kedalaman muka air 10 cm dengan 20 cm di bawah permukaan tanah tidak berbeda nyata tetapi produktivitas dari kedua perlakuan tersebut berbeda nyata dan lebih tinggi dari perlakuan budidaya kering. Bobot biji per ubinan kedelai hitam dan varietas Tanggamus tidak berbeda nyata pada budidaya kering. Bobot biji per ubinan kedelai hitam tertinggi ditunjukkan oleh varietas Lokal Malang yang diikuti oleh varietas Ceneng dan Cikuray. Bobot biji per ubinan varietas Lokal Malang tidak berbeda nyata dengan varietas Tanggamus (Tabel 12). Keberadaan saluran dalam BJA berakibat pada pengurangan areal yang ditanami kedelai sebesar 15% luasan tanam. Hal ini mengakibatkan pendugaan produktivitas per hektar kedelai dari BJA harus dikurangi 15% produktivitas tanpa saluran. Produktivitas varietas Ceneng pada BJA antara perlakuan kedalaman muka air 10 cm dengan 20 cm tidak berbeda nyata tetapi produktivitas dari kedua perlakuan tersebut berbeda nyata dan lebih tinggi dari perlakuan budidaya kering.

Produktivitas varietas Ceneng pada BJA mencapai 3.34-3.45 ton/ha sedangkan pada budidaya kering hanya mencapai 0.26 ton/ha (Tabel 13). Produktivitas varietas Cikuray pada BJA antara perlakuan kedalaman muka air 10 cm dengan 20 cm di bawah permukaan tanah tidak berbeda nyata tetapi produktivitas dari kedua perlakuan tersebut berbeda nyata dan lebih tinggi dari pada perlakuan budidaya kering. Produktivitas varietas Cikuray pada BJA mencapai 2.75-2.36 ton/ha sedangkan pada budidaya kering hanya mencapai 0.47 ton/ha (Tabel 13). Tabel 13. Produktivitas tanaman kedelai pada berbagai kedalaman muka air tanah dan varietas Produktivitas (ton/ha) Perlakuan Ceneng Cikuray Lokal Malang Tanggamus --------------------------sebelum dikurangi saluran--------------- Budidaya kering 0.26e 0.47e 0.31e 0.54e BJA 20 cm 3.92c 2.78d 4.86a 4.99a BJA 10 cm 4.06bc 3.23d 4.69a 4.62ab --------------------------sesudah dikurangi saluran--------------- Budidaya kering 0.26e 0.47e 0.31e 0.54e BJA 20 cm 3.32c 2.36d 4.13a 4.24a BJA 10 cm 3.45bc 2.75d 3.99a 3.93ab Keterangan: Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada baris dan kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT α= 5% (BJA= Budidaya jenuh air) Produktivitas Lokal Malang pada BJA antara perlakuan kedalaman air 10 cm dengan 20 cm di bawah permukaan tanah tidak berbeda nyata tetapi produktivitas kedua perlakuan tersebut berbeda nyata dan lebih tinggi dari pada perlakuan budidaya kering. Produktivitas varietas Lokal Malang pada BJA dapat mencapai 3.99-4.13 ton/ha sedangkan pada budidaya kering hanya mencapai 0.31 ton/ha (Tabel 13). Umur berbunga dan umur panen kedelai hitam tergantung dari varietasnya. Varietas Ceneng berbunga lebih cepat yaitu pada 35 hari setelah tanam (HST) yang diikuti varietas Cikuray dan Lokal Malang berbunga pada 38 HST. Varietas Tanggamus sebagai tanaman pembanding berbunga lebih lama, yaitu 42 HST. Varietas Cikuray dipanen lebih awal yaitu pada 80 HST yang diikuti oleh varietas Lokal Malang dan Ceneng pada 84 HST. Varietas Tanggamus dipanen pada umur 92 HST. 28

29 Pembahasan Kedalaman muka air tanah menjadi faktor penting dalam budidaya kedelai hitam di lahan pasang surut. Pengaruh pengaturan kedalaman muka air tanah dalam BJA untuk meningkatkan hasil tanaman kedelai hitam dapat ditinjau dari kecukupan ruang tumbuh untuk perkembangan perakaran dan mikroorganisme di dalam tanah yang memiliki udara dan kondisi jenuh air di bawah perakaran. Kondisi jenuh air di bawah perakaran menyumbang ketersediaan air dan kelarutan hara bagi tanaman yang sekaligus dapat menekan pengaruh racun dan kemasaman tanah. Muka air tanah di lokasi penelitian dapat dipertahankan dengan baik dengan dukungan tekstur tanah yang bersifat liat berdebu. Tekstur liat pada tanah penelitian menahan air dengan baik tetapi juga membatasi perkembangan akar. Karena lahan penelitian yang digunakan merupakan sawah bekas penanaman padi, menurut Murtantiyo (1997) dan Hardjowigeno et al. (2004), terdapat lapisan tapak bajak yang telah terbentuk sehingga muka air tanah dapat dipertahankan pada kedalaman 10 cm dan 20 cm di bawah permukaan tanah. Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), tingkat drainase tanah pada tanah bertekstur liat berdebu agak terhambat hingga terhambat dengan kedalaman efektif untuk perkembangan akar berkisar 20-30 cm di bawah permukaan tanah. Bentuk perkembangan perakaran tanaman kedelai hitam dipengaruhi oleh kedalaman muka air tanah. Perakaran tanaman kedelai hitam dengan BJA pada awalnya tumbuh secara vertikal ke dalam tanah tetapi kemudian akar menemukan air lebih dekat 10 cm dan 20 cm di bawah permukaan tanah pada perlakuan BJA. Berdasarkan penelitian Jayadi (2009) mengenai rembesan air pada tanggul tanah dengan tekstur liat, muka air di dalam tanah melandai dari sumber air di dalam saluran. Menurut Troedson et al. (1983), akar-akar yang terjenuhi karena tumbuh vertikal ke dalam tanah menjadi mati sehingga pergerakan akar dengan pembentukan akar-akar baru berubah menjadi horizontal terhadap muka air tanah. Berbeda dengan BJA, akar kedelai pada budidaya kering terus mencari air vertikal ke dalam tanah dan perkembangan akar terhenti pada lapisan liat yang tidak dapat ditembus oleh akar.

30 Perkembangan akar kedelai hitam, sebagai contoh varietas Lokal Malang, pada BJA kedalaman muka air 10 cm dan 20 cm di bawah permukaan tanah terhambat sesuai perlakuannya (Gambar 3). Di sisi lain, perkembangan akar pada budidaya kering tidak tumbuh lebih dalam dari 10 cm karena diduga terhambat oleh tekstur liat dan berkembang lebih dangkal untuk memanfaatkan air hujan yang sewaktu-waktu turun di musim kemarau. Gambar 3. Penampilan akar varietas Lokal Malang pada budidaya kering (kiri), BJA 20 cm (tengah), dan BJA 10 cm (kanan) pada 8 MST dengan perbandingan leher akar tanaman. (BJA= Budidaya jenuh air). Pembentukan akar baru sebagai pengganti beberapa akar yang mati pada kedelai yang berumur kurang dari 4 MST pada BJA mengakibatkan alokasi fotosintat lebih diutamakan ke bagian perakaran dari pada untuk menambah jumlah daun dan tinggi tanaman. Daun tanaman kedelai hitam yang terus menghasilkan fotosintat untuk mendukung pembentukan akar-akar baru kekurangan nitrogen sedangkan akar-akar terus menarik hasil fotosintat. Menurut Troedson et al. (1983), daun-daun tanaman kedelai kemudian menunjukkan gejala kekuningan sebagai akibat berkurangnya serapan nitrogen karena matinya beberapa bagian akar. Gejala kekuningan pada daun kedelai hitam terlihat jelas pada varietas Lokal Malang pada 3 MST dan masih terlihat pada varietas Ceneng pada 4 MST (Gambar 4).

31 Gambar 4. Gejala kekuningan pada daun varietas Lokal Malang pada 3 MST (kiri) dan masih terlihat pada daun varietas Ceneng pada 4 MST (kanan). Gambar 5. Aklimatisasi kedelai hitam pada 5 MST (kiri) dan 6 MST (kanan). Ketersediaan unsur nitrogen sebagai salah satu hara esensial untuk pembentukan perakaran baru pada kedelai di lahan pasang surut sangat rendah. Kandungan nitrogen pada tanah sebelum penelitian, yaitu sebesar 0.52% dari bahan kering tanah, merupakan sumber nitrogen awal bagi pertumbuhan tanaman. Sumbangan nitrogen yang berasal dari hujan sangat rendah karena curah hujan juga yang sangat rendah. Menurut Hakim et al. (1986), nitrogen juga menjadi kurang tersedia karena dimanfaatkan oleh mikroorganisme yang melakukan dekomposisi bahan organik pada tanah dengan kandungan karbon lebih tinggi dari pada nitrogen. Kebutuhan nitrogen disuplai melalui penyemprotan urea lewat daun, fiksasi nitrogen oleh bakteri rhizobia dan air yang diirigasi pada saluran. Pemupukan lewat daun dalam konsentrasi yang rendah dapat diserap oleh tanaman walaupun aplikasinya dilakukan empat kali dalam empat minggu awal

32 pertumbuhan tanaman kedelai. Dengan nilai ph tanah yang rendah dan nilai KTK tanah yang tergolong sedang, kebutuhan nitrogen di awal pertumbuhan tanaman tidak ditambahkan pada tanah dengan pupuk urea karena pupuk cenderung tercuci sehingga tidak efektif untuk diserap oleh tanaman kedelai hitam. Hasil penelitian Suwarto et al. (1994) dengan percobaan pot menunjukkan penambahan nitrogen melalui tanah dapat menekan jumlah bintil akar yang terbentuk pada budidaya jenuh air. Keberadaan bintil akar sebagai indikator keberadaan bakteri rhizobia pada perakaran tanaman kedelai menjamin ketersediaan nitrogen untuk tanaman. Walaupun pada tanah penelitian telah ditambahkan kapur Dolomit dengan dosis 2 ton/ha dan inokulasi Rhizobium sp. pada benih, bintil akar tidak muncul pada kedelai dengan budidaya kering. Bintil akar varietas Lokal Malang, Ceneng dan Cikuray dapat ditemukan pada BJA walaupun jumlahnya tidak berbeda nyata antar kedalaman muka air 10 cm dan 20 cm di bawah permukaan tanah dan antar varietas kedelai hitam. Hal ini diduga bahwa lingkungan tumbuh bagi rhizobia untuk bersimbiosis dengan tanaman kedelai hitam pada BJA lebih sesuai dari pada kedelai hitam pada budidaya kering di lahan pasang surut. Pertumbuhan dan perkembangan tanaman kedelai hitam pada BJA setelah 4 MST mengalami peningkatan dibandingkan dengan budidaya kering dari parameter tinggi dan jumlah daun. Menurut Troedson et al. (1983) dan Avivi (1995), daun tanaman kedelai menjadi kembali hijau dan laju pertumbuhan kedelai lebih tinggi pada BJA karena banyaknya akar dan bintil akar yang muncul pada tanah yang jenuh air. Pemulihan penuh kedelai hitam secara visual terlihat pada 7 MST dengan warna daun berubah menjadi hijau tua dan tajuk tanaman telah mengembang sempurna (Gambar 5). Pertumbuhan dan perkembangan kedelai hitam dapat dibatasi oleh ketersediaan air dan ketersediaan hara di lahan pasang surut. Kedelai hitam tidak dapat tumbuh optimal pada budidaya kering karena kekurangan energi yang berasal dari kedua faktor tersebut. Jumlah cabang dapat digunakan sebagai indikator keoptimalan pertumbuhan dan perkembangan tanaman kedelai hitam sekaligus penentu potensi hasil di lahan pasang surut. Jumlah cabang kedelai pada

33 budidaya kering rata-rata hanya mencapai 2 cabang sedangkan pada BJA dapat mencapai 4-5 cabang per tanaman kedelai. Ketersediaan air yang terus menurun akibat penurunan curah hujan selama musim kemarau di lahan pasang surut menghambat pertumbuhan tanaman kedelai pada budidaya kering. Tanaman kedelai hitam di budidaya kering membatasi pertumbuhannya dan bahkan mati karena tidak mampu menyerap cukup air untuk menyesuaikan diri dengan laju transpirasinya. Menurut Salisbury dan Ross (1992), bila potensial air tanah dan potensial air akar sama besar, akar tidak lagi mengambil air dari tanah tetapi transpirasi dari tajuk tanaman berjalan terus. Kebutuhan air selama musim kemarau di lahan pasang surut tersedia bagi tanaman kedelai hitam dengan BJA. Muka air tanah pada BJA yang dipertahankan dengan perlakuan kedalaman muka air 10 cm dan 20 cm di bawah permukaan tanah menjamin kebutuhan air bagi tanaman kedelai hitam. Pada tanah dengan BJA, terdapat air kapiler pada pori-pori mikro yang dekat dengan perakaran tanaman kedelai sehingga tanah pada di bawah perakaran selalu berada dalam kondisi kapasitas lapang dan hara dalam keadaan terlarut (Gambar 6). Berdasarkan penelitian Wahjunie (2009), pemanasan permukaan tanah oleh radiasi matahari pada hari-hari tanpa hujan menyebabkan pergerakan air dari lapisan tanah bawah yang kadar airnya tinggi ke lapisan tanah atas yang kadar airnya lebih rendah melalui pori-pori mikro tanah dengan kecepatan yang relatif rendah. Suplai air yang terjamin mendukung kelarutan hara di area perakaran tanaman kedelai hitam pada BJA dibandingkan pada budidaya kering. Meskipun tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam serapan hara oleh kedelai hitam pada BJA kedalaman muka air 10 cm dan 20 cm di bawah permukaan tanah, kelarutan hara yang lebih tinggi pada BJA menyebabkan serapan hara pada BJA lebih tinggi dari pada budidaya kering. Hal ini ditunjukkan oleh serapan hara pada daun kedelai hitam pada BJA 509-523% (5 kali) lebih tinggi untuk unsur nitrogen, 3,142-3,428% (31-34 kali) lebih tinggi untuk unsur fosfor dan 4.281-4,710% (43-47 kali) lebih tinggi untuk unsur kalium, dibandingkan dengan budidaya kering. Dari hasil penelitian Lestari dan Saragih (2005) di rumah kaca, kadar air tanah pada kedalaman muka air 10 cm dan 20 cm di bawah permukaan tanah,

34 berturut-turut adalah 45.80% dan 21.08%. Dengan tingginya suhu selama penelitian yang berkorelasi positif dengan transpirasi, Hakim et al. (1986) menyatakan bahwa pergerakan air kapiler karena transpirasi mendekatkan hara yang terlarut pada permukaan perakaran tanaman. Hal ini menyebabkan jumlah hara terlarut dekat perakaran tanaman kedelai hitam dengan BJA lebih tinggi dan lebih mudah diserap dari pada budidaya kering. Gambar 6. Ilustrasi profil muka air tanah dan perkembangan perakaran tanaman kedelai dalam budidaya jenuh air (diilustrasikan penulis dari hasil penelitian Troedson et al., 1983; Murtantiyo, 1997; Jayadi, 2009; Wahjunie, 2009). Tingkat ketersediaan hara yang dapat diserap tanaman dapat diperbaiki dengan menaikkan nilai ph tanah masam di lahan pasang surut. Menurut Hakim et al. (1986), penambahan kapur yang mengandung kalsium dan magnesium secara langsung menambah hara tersebut pada tanaman sekaligus secara tidak langsung meningkatkan ketersediaan hara lainnya dengan meningkatnya ph tanah. Pengapuran pada BJA meningkatkan jumlah unsur kalsium yang dapat diserap dari tanah dan meningkatkan serapan hara daun kedelai hitam. Meskipun mendapat masukan kapur Dolomit dalam dosis yang sama (2 ton/ha), upaya pengapuran pada BJA mendapat respon lebih tinggi dibandingkan pada budidaya kering. Serapan kalsium pada berbagai varietas kedelai hitam pada BJA

35 kedalaman muka air 10 cm sebesar 1.53 g per tanaman dan pada BJA kedalaman muka air tanah 20 cm di bawah permukaan tanah sebesar 1.50 g per tanaman sedangkan pada budidaya kering hanya 0.01 g per tanaman. Meskipun serapan unsur kalsium tidak berbeda nyata pada BJA kedalaman muka air tanah 10 cm dan 20 cm di bawah permukaan tanah, serapan kalsium yang lebih tinggi pada kedelai hitam dengan BJA dibandingkan budidaya kering menunjukkan pengaruh ion hidrogen dan aluminium dapat ditekan sehingga ketersediaan hara meningkat bagi tanaman pada BJA. Menurut Kussow (1971), dua bahan penting dari kapur adalah 2- ion CO 3 yang menarik ion hidrogen dari koloid tanah dan ion OH - yang mengusir aluminium dari kompleks jerapan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Mochtar (2002) yang menunjukkan penggenangan pada BJA dengan pengapuran dapat menekan jumlah ion hidrogen dan aluminium yang dapat dipertukarkan sehingga nilai ph tanah mengalami peningkatan. Perbaikan nilai ph dari pengapuran dan kelarutan hara dari air kapiler yang menuju perakaran menunjang ketersediaan hara untuk diserap tanaman. Bentuk hara yang tersedia untuk diserap oleh tanaman adalah dalam bentuk ionion. Menurut Hakim et al. (1986), kation-kation dari kompleks jerapan harus memasuki larutan sebelum diserap oleh tanaman. Bila kejenuhan kation tinggi dalam larutan tanah dekat perakaran, ion H + dengan mudah dikeluarkan tanaman untuk menggantikan kation-kation yang diserap oleh tanaman dari kompleks jerapan atau koloid tanah. Dengan nilai KTK tanah penelitian yang tergolong sedang, pupuk SP36 dan KCl ditambahkan pada tanah untuk meningkatkan ketersediaan hara tanah dan cukup tersedia bagi tanaman. Ketersediaan hara bagi tanaman kedelai hitam pada BJA juga lebih tinggi dari pada budidaya kering masam pasang surut karena unsur-unsur beracun bagi tanaman dipertahankan dalam keadaan reduktif pada BJA. Menurut Gardner et al. (1985), kelarutan aluminium, mangan dan besi, yang dapat bersifat meracun, meningkat dan membatasi pertumbuhan akar pada ph kurang dari 6.0. Hasil penelitian Adisarwanto dan Sunarlim (2000) menunjukkan bahwa unsur beracun yang disebut pirit menjadi kendala yang menekan pertumbuhan kedelai di lahan pasang surut dan hasil penelitian Subagyo (2006) menunjukkan bahwa pirit menjadi berbahaya karena mengalami oksidasi dengan turunnya muka air tanah.

36 Di sisi lain, Sanchez (1976) menyatakan bahwa daya meracun aluminium cepat hilang dari tanah asam pada zona tanah yang tergenang karena alumunium yang dapat ditukar diendapkan pada ph 5.5 dan tanah yang tergenang akan mengalami kenaikan nilai ph karena penurunan ion H + dan peningkatan ion OH -. Jumlah akar menjadi salah satu penentu jumlah hara yang diserap oleh tanaman. Meskipun tidak berbeda nyata jumlah akar kedelai hitam pada BJA dengan kedalaman muka air 10 cm dan 20 cm di bawah permukaan tanah, jumlah akar pada BJA empat kali lebih tinggi dibandingkan dengan budidaya kering sehingga kapasitas akar dalam menyerap hara pada BJA lebih tinggi dari pada budidaya kering. Menurut Ghulamahdi (1999), tingginya jumlah akar pada BJA diikuti dengan tingginya jumlah bintil akar sehingga terjadi peningkatan aktivitas nitrogenase, serapan hara oleh akar dan serapan hara oleh daun. Jumlah dan tingkat penyerapan hara yang dapat diserap tanaman diketahui dari bobot kering biomassa dan hasil analisis daun. Menurut Hakim et al. (1986), bahan kering brangkasan didominasi oleh unsur-unsur karbon, hidrogen dan oksigen yang tidak dapat bereaksi tanpa adanya unsur nitrogen, fosfor, kalium, magnesium dan unsur-unsur mikro lainnya. Dari hasil analisis tanah sebelum penelitian, diketahui ketersediaaan hara K2O dan P2O5 sangat tinggi dengan dukungan bahan organik yang tinggi. Dari hasil analisis daun dan bobot kering daun, jumlah hara unsur nitrogen, fosfor, kalium dan kalsium yang diserap tanaman kedelai pada BJA lebih tinggi dari pada budidaya kering. Hal ini mengakibatkan bobot kering biomassa kedelai pada BJA delapan kali lebih tinggi dari pada budidaya kering. Perbedaan jumlah daun yang dipengaruhi oleh faktor varietas dan kedalaman muka air tanah mempengaruhi pembentukan polong pada BJA. Meskipun jumlah daun pada 8 MST dipengaruhi oleh interaksi kedalaman muka air tanah dan varietas, terdapat varietas kedelai hitam yang tidak dipengaruhi jumlah daunnya oleh faktor kedalaman muka air tanah dengan BJA. Hanya kedelai hitam varietas Lokal Malang yang menunjukkan tanggapan berbeda sedangkan varietas Ceneng dan Cikuray tidak menunjukkan tanggapan yang berbeda dalam jumlah daun pada 8 MST terhadap perbedaan taraf kedalaman

muka air tanah dalam BJA. Perbedaan jumlah daun kedelai hitam diikuti oleh perbedaan jumlah polong yang dibentuk (Gambar 7) (Lampiran 8). 37 Gambar 7. Penampilan polong kedelai hitam varietas Ceneng (kiri atas), Cikuray (kanan atas), Lokal Malang (kiri bawah) dan kedelai kuning varietas Tanggamus pada 8 MST. Terdapat varietas kedelai hitam yang tidak dipengaruhi jumlah polongnya oleh faktor kedalaman muka air tanah dalam BJA meskipun jumlah polong dipengaruhi oleh interaksi kedalaman muka air tanah dan varietas. Ditinjau dari tingkat aerasi tanah yang berbeda, jumlah polong varietas Ceneng dan Cikuray tidak dipengaruhi oleh perbedaan taraf kedalaman muka air 10 cm dan 20 cm di bawah permukaan tanah. Dengan BJA di lahan pasang surut, jumlah polong varietas Ceneng mencapai 65 polong sedangkan jumlah polong Cikuray berkisar 54-63 polong. Pada BJA kedalaman muka air 20 cm di bawah permukaan tanah dengan tingkat aerasi tanah yang lebih tinggi, varietas Lokal Malang menunjukkan jumlah polong yang lebih tinggi, yaitu 103 polong. Seperti kedelai kuning varietas Tanggamus, kedelai hitam varietas Lokal Malang tanggap terhadap kedalaman muka air tanah dalam pembentukan polong. Perpaduan tingkat penyinaran dan ketersediaan air bagi kedelai hitam di lahan pasang surut mendukung jumlah polong tanaman kedelai yang terbentuk. Hasil penelitian Sutardi (2011) menunjukkan jumlah polong varietas Cikuray

38 dengan BJA kedalaman 10 cm di bawah permukaan tanah mencapai 33 polong per tanaman pada dataran rendah Kulon Progo, Jawa Tengah. Tingkat dan lama penyinaran di lahan pasang surut Banyuasin, Sumatera Selatan diduga lebih tinggi dari lokasi tersebut sehingga jumlah polong varietas Cikuray dapat mencapai 54 polong pada BJA dengan kedalaman muka air tanah yang sama. Periode pembentukan dan pengisian polong adalah periode kritis terhadap hasil kedelai hitam sehingga perlu dijamin dengan ketersediaan air. Dengan suhu maksimal rata-rata 32 o C di lahan pasang surut, pengisian polong tanaman kedelai hitam pada BJA didukung oleh cahaya penuh tanpa naungan pada tajuk tanaman dan ketersediaan air di bawah perakaran dalam kondisi jenuh. Menurut Norouzi et al. (2012), peningkatan cahaya dan serapannya pada tajuk tanaman kedelai mengakibatkan ketersediaan asimilat dan bobot biji kering lebih tinggi dari pada kedelai yang mengalami naungan. Pada budidaya kering di lahan pasang surut, aspek ketersediaan air menjadi kendala rendahnya jumlah dan pengisian polong. Hal ini menunjukkan tingginya cahaya yang dapat ditangkap tajuk tanaman di lahan pasang surut perlu diikuti ketersediaan air di perakaran tanaman. Jumlah daun yang menjadi penyokong fotosintesis pada kedelai hitam mengalami penurunan pada 10 MST. Sebagai pembanding, varietas Tanggamus belum mengalami penurunan jumlah daun pada 10 MST dan umur panennya mencapai 13 MST. Dengan suhu curah hujan rata-rata adalah 35 mm/bulan dan hanya terdapat empat hari hujan, penurunan jumlah daun ketiga varietas kedelai hitam yang terjadi pada 10 MST (Bulan Agusutus) diduga disebabkan oleh tingginya evapotranspirasi dengan suhu maksimum rata-rata yang mencapai 33.3 o C. Hasil penelitian Sagala (2010) dan Sahuri (2011) juga menunjukkan gugurnya daun kedelai kuning pada 10 MST pada waktu tanam yang sama. Dengan harapan bertahannya jumlah daun hingga 10 MST, seperti pernyataan Troedson et al. (1983) dan Gardner et al. (1985), umur panen tanaman lebih lama berdampak pada suplai asimilat dari source ke sink yang lebih lama sehingga hasil panen lebih banyak. Usaha menekan pengaruh evapotranspirasi bagi tanaman kedelai hitam di lahan pasang surut dapat dilakukan dengan melakukan pergerseran waktu tanam. Waktu tanam dapat digeser lebih awal dari waktu tanam penelitian yang telah

39 dilakukan sehingga penanaman dilakukan pada pertengahan bulan April hingga awal bulan Mei. Dengan waktu tanam demikian, ketersediaan air untuk pertumbuhan tanaman kedelai hitam masih didukung oleh curah hujan yang cukup sehingga usaha pemberian air pada saluran petakan pertanaman dengan pompa air dapat dikurangi. Selain itu, waktu panen kedelai pada bulan Juli didukung oleh rendahnya curah hujan yang mendukung pemasakan biji dan terhindarnya kehilangan panen karena pengaruh hujan saat panen (Gambar 8). Waktu tanam tersebut dapat diterapkan dengan acuan waktu panen padi di lokasi penelitian yang berlangsung pada bulan Februari. Gambar 8. Curah hujan dan waktu tanam kedelai hitam dengan budidaya jenuh air di lahan pasang surut. Terdapat perbedaan bobot biji kedelai hitam antara BJA dan budidaya kering. Bobot 100 biji kedelai hitam pada BJA yang lebih tinggi dari pada bobot biji pada budidaya kering (Tabel 8) secara langsung meningkatkan bobot biji per ubinan (Tabel 9) dan produktivitas kedelai hitam (Tabel 10) pada BJA dibandingkan pada budidaya kering. Ketersediaan air pada BJA meningkatkan bobot 100 biji kedelai hitam 10.78-17.52% untuk varietas Ceneng, 26.42-28.57% untuk varietas Cikuray dan 10.78-11.65% untuk varietas Lokal Malang dibandingkan kedelai hitam pada budidaya kering. Menurut Norouzi et al. (2012), jumlah daun yang dikurangi hingga 75% juga dapat menurunkan bobot biji hingga 28%. Bobot biji kedelai hitam hitam yang lebih tinggi pada BJA diikuti oleh ukuran bijinya yang lebih besar dari pada kedelai hitam pada budidaya kering (Gambar 9).

40 Gambar 9. Perbandingan ukuran biji ketiga varietas kedelai hitam dan varietas Tanggamus terhadap kedalaman muka air tanah (BJA = Budidaya Jenuh Air). Produksi tanaman kedelai hitam diperkirakan dan dihitung dari jumlah polong dan bobot biji kering berdasarkan kapasitas varietas yang ditanam pada kerapatan populasi tertentu. Meskipun bobot biji varietas Lokal Malang tergolong berukuran kecil, produksi varietas Lokal Malang lebih tinggi dari pada varietas Cikuray yang memiliki bobot biji yang tergolong sedang. Hal ini disebabkan oleh jumlah polong varietas Lokal Malang dapat mencapai dua kali lebih tinggi dari pada varietas Cikuray pada BJA kedalaman muka air 20 cm di bawah permukaan tanah. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Kobraee dan Shamsi (2011) yang menunjukkan adanya korelasi negatif antara bobot biji dan jumlah polong yang berdampak pada hasil ekonomis tanaman kedelai. Produksi terhadap luasan (produktivitas) kedelai hitam tertinggi ditunjukkan oleh varietas Lokal Malang. Bila dibandingkan dengan jumlah polongnya yang tanggap terhadap kedalaman muka air dalam BJA, produktivitas Lokal Malang tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antar kedalaman 20 cm dan 10 cm di bawah permukaan tanah. Dengan bobot 100 biji yang tidak berbeda nyata antar kedalaman muka air dalam BJA, diduga terjadi kehilangan hasil varietas Lokal Malang akibat serangan tikus pada 8 MST sehingga produktivitas Lokal Malang pada kedalaman 20 cm dan 10 cm di bawah permukaan tanah menjadi 4.13 ton ha dan 3.99 ton/ha. Pengaruh kedalaman muka air tanah untuk

41 produktivitas kedelai kuning, seperti yang diteliti oleh Ghulamahdi et al. (2009), juga tidak memberikan hasil yang berbeda nyata antar kedalaman muka air tanah. Tingginya produksi biji varietas Lokal Malang didukung oleh produksi asimilat dari jumlah daunnya yang lebih tinggi dari pada varietas Ceneng dan Cikuray. Perbedaan jumlah daun varietas kedelai hitam teramati pada 8 MST pada BJA. Ditinjau dari teknik budidayanya di lahan pasang surut, jumlah daun yang terbentuk pada budidaya kering lebih rendah dari BJA sehingga produksi kedelai hitam varietas Lokal Malang pada BJA 13 kali lebih tinggi dari pada budidaya kering. Menurut Kobrae dan Shamsi (2011), penghilangan daun untuk menurunkan jumlah daun sangat mempengaruhi produksi tanaman kedelai. Hasil penelitian Norouzi et al. (2012) menunjukkan peran daun yang dihilangkan dengan menurunkan jumlah daun sebesar 25%, 50% dan 75% dapat menurunkan hasil tanaman sebesar 16%, 25% dan 31%. Produktivitas kedelai hitam varietas Lokal Malang tidak berbeda nyata dengan varietas Tanggamus sebagai kedelai kuning yang telah teruji memiliki produksi tinggi dengan BJA di lahan pasang surut. Dengan demikian kedelai hitam varietas Lokal Malang merupakan kedelai hitam yang disarankan untuk dikembangkan di lahan pasang surut dengan BJA. Konsistensi tanggapan terhadap kedalaman muka air dalam BJA ditunjukkan oleh varietas Ceneng dan Cikuray. Seperti jumlah polongnya yang tidak berbeda nyata pada kedalaman muka air 10 cm dan 20 cm, pengaruh kedalaman muka air tanah pada BJA juga tidak memberikan perbedaan yang nyata dalam produktivitas varietas Ceneng dan Cikuray. Meskipun varietas Cikuray unggul dalam bobot 100 biji terhadap Ceneng, produktivitas Ceneng lebih tinggi, yaitu 3.32-3.45 ton/ha dari pada Cikuray, yaitu 2.36-275 ton/ha karena jumlah polong varietas Ceneng yang lebih tinggi dari pada Cikuray. Meskipun tidak berbeda nyata antar kedalaman muka air tanah, tanggapan varietas Ceneng dan Cikuray untuk produktivitas lebih cenderung kepada BJA kedalaman 10 cm di bawah permukaan tanah. Perbedaan tinggi tanaman kedelai hitam teramati pada BJA kedalaman muka air 10 cm dan 20 cm serta budidaya kering pada 10 MST. Tinggi tanaman kedelai hitam di lahan pasang surut pada 10 MST rata-rata mencapai 22.15 cm

42 pada budidaya kering sedangkan pada BJA kedalaman 10 cm dan 20 cm di bawah permukaan tanah mencapai 66.50 cm dan 70.16 cm. Perbedaan tinggi tanaman tersebut diikuti oleh produktivitas rata-rata pada BJA lebih tinggi dari pada budidaya kering. Pertumbuhan kedelai hitam pada BJA hingga tinggi tanaman menjelang saat panen yang berbeda nyata tidak diikuti oleh perbedaan produktivitas rata-rata kedelai hitam pada BJA kedalaman 10 cm dan 20 cm untuk tiap-tiap varietasnya. Dengan demikian perbedaan tinggi tanaman kedelai hitam dengan BJA di lahan pasang surut tidak mempengaruhi hasil biji kering tanaman. Produktivitas kedelai hitam yang tidak berbeda nyata antara BJA 10 cm dan 20 cm di bawah permukaan tanah menunjukkan kecukupan ruang tumbuh perakaran dan ketersediaan air yang relatif sama. Dari dasar saluran sedalam 25 cm, muka air setinggi 5 cm sudah cukup menjadi indikator kejenuhan BJA di lahan pasang surut. Bila muka air tanah naik hingga 10 cm di bawah permukaan tanah oleh luapan air pasang atau air hujan, produktivitas kedelai hitam BJA dengan kedalaman 10 cm tetap tidak berbeda nyata dari produktivitas kedalaman muka air 20 cm di bawah permukaan tanah.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Produktivitas kedelai hitam dapat ditingkatkan dengan budidaya jenuh air (BJA) di lahan pasang surut. BJA dapat meningkatkan jumlah cabang, jumlah polong, bobot biomassa dan bobot biji tanaman kedelai hitam. Kedalaman muka air 10-20 cm di bawah permukaan tanah dapat diterapkan untuk BJA tanpa perbedaan hasil yang nyata pada kedelai hitam. Jumlah polong tertinggi ditunjukkan oleh varietas Lokal Malang pada kedalaman muka air 20 cm di bawah permukaan tanah. Jumlah polong varietas Ceneng dan Cikuray tidak dipengaruhi oleh perbedaan taraf kedalaman muka air tanah dalam BJA. Produktivitas kedelai hitam varietas Lokal Malang mencapai 4.13 ton/ha pada BJA kedalaman muka air 20 cm di bawah permukaan tanah. Produktivitas varietas Ceneng dan Cikuray mencapai 3.45 ton/ha dan 2.75 ton/ha pada BJA kedalaman muka air 10 cm di bawah permukaan tanah. Saran Perlu diteliti lebih lanjut pengaruh kedalaman muka air tanah dalam meningkatkan nilai ph tanah sehingga jumlah kapur yang ditambahkan pada tanah dapat dikurangi. Pengaturan muka air sedalam 20 cm di bawah permukaan tanah menjadi pilihan budidaya kedelai hitam yang lebih ekonomis. Pengaturan muka air sedalam 10 cm di bawah permukaan tanah telah menunjang perkembangan akar dan produksi tanaman kedelai hitam di lahan pasang surut.

DAFTAR PUSTAKA Adhi, I.P.G.W., K Nugroho, S. D. Ardi dan A.S. Karama. 1992. Sumber daya lahan pasang surut, rawa dan pantai: Potensi, keterbatasan dan pemanfaatan. Dalam S. Partohardjono, dan M. Syam (Eds.). Pengembangan Terpadu Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut dan Lebak. Risalah Pertemuan Nasional Pengembangan Pertanian Lahan Pasang Surut dan Rawa, Cisarua 3-4 Maret 1992. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor Adie, M.M dan A. Krisnawati. 2007. Biologi tanaman kedelai, hal 45-73. Dalam Sumarno, Suyamto, A. Widjono, Hermanto, dan H. Kasim (Eds.). Kedelai, Teknik Produksi dan Pengembangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Adisarwanto, T. dan N. Sunarlim. 2000. Pengelolaan hara pada tanaman kedelai dan strategi penelitiannya. Prosiding Lokakarya Penelitian dan Pengembangan Produksi Kedelai di Indonesia. Direktorat Teknologi Lingkungan. Jakarta. 1: 71-79. Avivi, S. 1995. Efisiensi Serapan N-urea dan Proporsi Fikasasi N setelah Perlakuan Penelitian Kotiledon pada Budidaya Basah Kedelai (Glycine max (L.) Merr.). Tesis. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 83 hal. Baharsjah, Yustika S., D. Suardi dan I. Las. 1985. Hubungan iklim dengan pertumbuhan kedelai, hal.87-102. Dalam S. Somaatmadja et al. (Eds.). Kedelai. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Balittanah. 2008. Petunjuk teknis analisis kimia tanah, tanaman, air, dan pupuk. http://balittanah.litbang.deptan.go.id/dokumentasi/juknis/juknis_kimia.pdf [5 Desember 2012] [BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Tabel Luas Panen Produktivitas Produksi Tanaman Kedelai Seluruh Provinsi. http://www.bps.go.id/ [3 Maret 2012] Damardjati, D.S., Marwoto, D.K.S Swastika, D.M. Arsyad, dan Y. Hilman. 2005. Prospek dan arah pengembangan agribisnis kedelai. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Dharmaswara, I. 2012. Pengaruh Pemupukan Abu Jerami terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kedelai di Lahan Pasang Surut. Skripsi. Institut Pertanian Bogor.Bogor. 52 hal. Fisher, N.M. dan R.J. Dunham. 1992. Morfologi akar dan zat hara, hal. 111-213. Dalam P.R. Goldsworthy dan N.M. Fisher (Eds.) Fisiologi Tanaman Budidaya Tropik. (diterjemahkan dari: The Physiology of Tropical Field

Crops, penerjemah: Tohari dan Soedharoedjian). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 874 hal. Gardner, F.P., R.B. Pearce dan R.L. Mitchell. 1985. Fisiologi Tanaman Budidaya. (diterjemahkan dari: Physiology of Crop Plant, penerjemah: H. Susilo). Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. 428 hal. Ghulamahdi, M. 1999. Perubahan Fisiologi Tanaman Kedelai (Glycine max (L.) Merr.) pada Budidaya Tadah Hujan dan Jenuh Air. Disertasi. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Ghulamahdi, M., M. Melati and D. Sagala. 2009. Production of soybean varieties under soil culture on tidal swamps. J.Agron. Indonesia 37 (3): 226-232 Hakim, N., Y Nyakpa, A.M. Lubis, S.G. Nugroho, M.A. Diha, G.B. Hong, dan H.H. Bailey. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah, cetakan pertama. Universitas Lampung. Lampung. 490 hal. Hardjowigeno, S., H. Subagyo dan M.L. Rayes. 2004. Morflogi dan klasifikasi tanah sawah, hal.1-28. Dalam F. Agus, A. Adimihardja, S. Hardjowigeno, A.M. Fagi dan W. Hartatik (Eds.). Tanah Sawah dan Teknologi Pengelolaannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor. Hardjowigeno, S. dan Widiatmaka. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tataguna Lahan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 352 hal. Hunter, MN., PLM de Jabrun and DE Byth. 1980. Response of nine soybean lines to soil moisture condition close to saturation. Aust. J. of Exp. Agric. And Animal Husbandry. 20: 339-345. Jayadi, M. 2009. Analisis Debit Rembesan pada Model Tanggul Tanah. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. 90 hal. Irianto, G., P. Rejekiningrum, E. Surmaini dan W. Estiningtyas. 2005. Pewilayahan dan pengembangan kedelai di lahan suboptimal. Prosiding lokakarya pengembangan kedelai di lahan pasang surut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Malang. hal. 55-71. Karto. 2005. Persilangan buatan pada empat varietas kedelai. Buletin Teknik Pertanian 10(2):49-52 [Kemenperin] Kementerian Perindustrian. 2012. Perkembangan ekspor dan impor komoditi hasil industri dari negara tertentu. http://www.kemenperin.go.id/ [10 November 2012] Kobraee, S. dan K. Shamsi. 2011. Sink-source relationships in soybean. Scholarship Research Library 2(4):334-342 45

Kussow, W.R. 1971. Introduction to Soil Chemistry. Soil Fertility Project. Departemen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian IPB. Bogor Lestari, Y dan S. Saragih. 2005. Pengaruh kedalaman air tanah terhadap pertumbuhan dan hasil kacang hijau di tanah sulfat masam. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pengelolaan Sumberdaya Lahan Rawa dan Pengendalian Pencemaran Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Balittan. Banjarbaru. Hal. 243-249. Maryani, R. 2007. Analisis permintaan dan penawaran industri kecap di Indonesia. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 74 hal. Nagai, I. 1921. A genetic-physiological study on the formation of anthocyanin and brown pigments in plants. J. Coll. Agr. Imp. Tokyo University. 8:1-92 Norouzi, H.A., M. Rezaei, Y. Safarzad dan B. Kaviani. 2012. Exchanging amount of sink and source affect on soybean yield and yield components. Scholars Research Library 3(6):3077-3083. Mochtar. 2002. Tanggap Karakter Agronomi dan Hasil Genotipe Kedelai Berumur Dalam yang Dipupuk Dolomit pada Sistem Budidaya Jenuh Air. Tesis. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 54 hal. Murtantiyo, A. 1997. Hubungan fluktuasi muka air saluran dan muka air tanah di daerah persawahan pasang surut desa saleh agung, petak sekunder P-8/3N daerah irigasi saleh, sumatera selatan. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 103 hal. Pasaribu, D., V. Sutarto, S. Hutami dan H. Yurimisu. 1988. Pengaruh kejenuhan air tanah, pembumbunan dan varietas terhadap pertumbuhan dan hasil kedelai, hal. 218-229. Dalam Suprapto et al. (Eds.) Risalah Seminar Hasil Tanaman Pangan. Balai Penelitian Tanaman. Bogor. Pinem, R. 2000. Strategi pengembangan produksi kedelai. Prosiding Lokakarya Penelitian dan Pengembangan Produksi Kedelai di Indonesia. Direktorat Teknologi Lingkungan. Jakarta. 1: 10-17. Rachman, A., I.G.M. Subiksa dan Wahyunto. 2007. Perluasan areal tanaman kedelai ke lahan suboptimal. Dalam Sumarno, Suyamto, A. Widjono, Hermanto, dan H. Kasim (Eds.). Kedelai, Teknik Produksi dan Pengembangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Sabran, M., E. William, dan M. Saleh. 2000. Pengujian galur kedelai di lahan pasang surut. Bul. Agron. 28(2):41-48. Sagala, D. 2010. Pertumbuhan dan Produksi Beberapa Varietas Kedelai pada Berbagai Kedalaman Muka Air di Lahan Rawa Pasang Surut. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. 53 hal. 46

Salisbury, F. B. dan C. W. Ross. 1992. Fisiologi Tumbuhan, Jilid Satu, Edisi Keempat. (diterjemahkan dari: Plant physiology, 4 th edition, penerjemah: D.R. Lukman dan Sumaryono). Penerbit ITB. Bandung. 241 hal. Sanchez, P.A. 1976. Sifat dan Pengelolaan Tanah Tropika, Jilid 2. (diterjemahkan dari: Properties and management of soils in the tropics, 1 st edition, penerjemah: A. Hamzah). Penerbit ITB. Bandung 303 hal. Sarwani, M. 2001. Penelitian dan Pengembangan Pengelolaan Air di Lahan Pasang Surut. Dalam I. Ar-Riza, T. Alihamsyah dan M. Sarwani (Eds.). Pengelolaan Air dan Tanah di Lahan Pasang Surut. Balai Penelitian Tanaman Pangan Lahan Rawa. Banjarbaru. Sitompul, S.M. dan B. Guritno. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 412 hal. Soepardi, G. 1974. Sifat dan Ciri Tanah, Jilid I. Departemen Ilmu-ilmu Tanah. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Subandi, A. Harsono, dan H. Kuntyastuti. 2007. Areal Pertanaman dan Sistem Produksi Kedelai di Indonesia, hal. 104-129. Dalam Sumarno, Suyamto, A. Widjono, Hermanto, dan H. Kasim (Eds.). Kedelai, Teknik Produksi dan Pengembangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. 521 hal. Subagyo H. 2006. Lahan pasang surut, hal. 23-98. Dalam D. Ardi S., U. Kurnia, Mamat H. S., W. Hartatik, dan Sukmara (Eds.). Karakteristik dan Pengelolaan Lahan Rawa. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor. Sudaryanto T. dan D.K.S. Swastika. 2007. Ekonomi Kedelai di Indonesia, hal. 1-27. Dalam Sumarno, Suyamto, A. Widjono, Hermanto, dan H. Kasim (Eds.). Kedelai, Teknik Produksi dan Pengembangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Suhartina. 2005. Deskripsi varietas unggul kacang-kacangan dan umbi-umbian. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. 154 hal. Sumarno. 1991. Kedelai dan Cara Budidaya, cetakan ke-4. C.V. Yasaguna. Jakarta. Sumarno dan A.G. Manshuri. 2007. Persyaratan Tumbuh dan Wilayah Produksi Kedelai di Indonesia, hal 74-103. Dalam Sumarno, Suyamto, A. Widjono, Hermanto, dan H. Kasim (Eds.). Kedelai, Teknik Produksi dan Pengembangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. 521 hal. 47

Sutardi. 2011. Pertumbuhan dan Hasil Tiga Varietas Kedelai Hitam dan Kuning pada Sistem Jenuh Air. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi.Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. 12: 236-243. Suwarto, W.Q. Mugnisjah, D. Sopandie dan A.K. Makarim. 1994. Pengaruh pupuk nitrogen dan tinggi muka air tanah terhadap pertumbuhan bintil akar, pertumbuhan dan produksi kedelai (Glycine max (L.) Merrill). Bul. Agron. 22(2):1-15. Syahbuddin, H dan I. Las. 2002. Kadar air tanah, iklim makro, dan hasil tanaman kedelai dengan waktu naungan dan pemberian air berbeda. Jurnal Agromet. 16:1-2. Troedson, R.J., Lawn B, Byth D.B. and G.L. 1983. Saturates soil culture an innovative water management option for soybean in the tropics and subtropics. Dalam: Shanmugasundaram S, Sulzberger E.W., McLean B.T. (Eds.) Soybean in Tropical and Subtropical Cropping Systems. Proc. Symp. Tsukuba. Japan. Japan 26 Sep-10 Okt. 1983. Hal 171-180. Wahjunie, E.D. 2009. Pergerakan Air pada Berbagai Karakteristik Pori Tanah dan Hubungannya dengan Kadar Hara N, P, K. Disertasi. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 150 hal. Wahono, T. 2012. Kedelai hitam terbaik dunia ada di Indonesia. http://bisnis keuangan.kompas.com [3 Januari 2013] 48

LAMPIRAN

Lampiran 1. Luas panen, produktivitas, dan produksi tanaman kedelai seluruh Indonesia tahun 1992-2011* Tahun Luas Panen Produksi Produktivitas (ha) (ton) (ton/ha) 1992 1,665,710 1,869,710 1.12 1993 1,468,316 1,707,126 1.16 1994 1,406,038 1,564,179 1.11 1995 1,476,284 1,679,092 1.14 1996 1,277,736 1,515,937 1.19 1997 1,118,140 1,356,108 1.21 1998 1,094,262 1,304,950 1.19 1999 1,151,079 1,382,848 1.20 2000 824,484 1,017,634 1.23 2001 678,848 826,932 1.22 2002 544,522 673,056 1.24 2003 526,796 671,600 1.28 2004 565,155 723,483 1.28 2005 621,541 808,353 1.30 2006 580,534 747,611 1.29 2007 459,116 592,534 1.29 2008 590,956 775,710 1.31 2009 722,791 974,512 1.35 2010 660,823 907,031 1.37 2011 622,254 851,286 1.37 Keterangan: *BPS 2012 (diolah) 50

51 Lampiran 2. Tata letak petak penelitian kedalaman muka air tanah K0 K0 K0 K1 K2 K1 K2 K2 K1 V3 V2 V4 V1 V4 V3 V2 V1 V2 V4 V3 V1 V4 V3 V1 V3 V3 V4 V1 V4 V3 V2 V1 V4 V1 V2 V3 V2 V1 V2 V3 V2 V2 V4 V4 V1 ( a ) ( b ) Gambar 1. Tata letak petak penelitian budidaya kering (a) dan budidaya jenuh air (b) Keterangan: K0= Budidaya kering, K1= BJA kedalaman 10 cm di bawah permukaan tanah, K2= BJA kedalaman 20 cm di bawah permukaan tanah, V1= Ceneng V2= Cikuray V3= Lokal Malang V4= Tanggamus

Lampiran 3. Titik pengambilan contoh tanaman untuk pengamatan mingguan, biomassa dan bobot ubinan. 52 Keterangan: Petak ubinan berukuran 4mx1m Titik pengambilan contoh tanaman untuk pengamatan dua mingguan Titik pengambilan contoh tanaman untuk pengamatan biomassa

Lampiran 4. Curah hujan dan hari hujan dari bulan Juni hingga Agustus 2012 di Kecamatan Tanjung Lago* Tanggal Bulan Juni Juli Agustus 1 16 2 3 2.8 4 37 0 5 12.6 6 0 7 30 8 16 9 20 10 11 0.1 7 12 13 0 14 15.1 15 1 16 0 17 0.7 18 4.4 19 0 20 12 21 22 23 0 24 0.1 25 26 27 28 0 29 31.4 30 3.4 31 Curah hujan 136 39 35 Hari hujan 9 11 4 Keterangan: *BMKG Stasiun Klimatologi Kenten Palembang, 2012 53

Lampiran 5. Suhu dan kelembaban nisbi dari bulan Juni hingga Agustus di Kecamatan Tanjung Lago* 54 Tgl T rata2 Bulan Juni Bulan Juli Bulan Agustus T max T min RH rata2 T rata2 T max T min RH rata2 T rata2 T max 1 24.9 29.4 23.7 96 27.5 32.6 24 73 27.9 32.9 23.8 71 2 27.5 32.9 23.7 85 27.5 32.9 24.2 76 27.5 32.6 23.9 73 3 29 33 26 78 27.7 31 24.8 87 27.4 32.8 23.6 73 4 28.6 34.6 25.8 81 26.3 31.7 23.6 89 27.5 32.9 23.5 77 5 25.7 29.4 22.3 90 27.1 32.3 24.4 81 27.7 32.6 24.5 77 6 27.9 32.5 23.9 86 25.8 31.2 22.6 87 28 34.3 24.5 77 7 28.4 33.7 25.5 85 27.7 32.7 23.8 80 27.9 34.1 24.2 74 8 27.2 32.7 22.9 84 28 32.9 24.9 79 27.8 33.1 23.4 76 9 25.4 30.3 23 92 27.2 31.3 24.4 85 27.4 33.6 23.4 75 10 27.2 31.6 24.6 86 27.4 42.6 23.9 83 27.2 34.2 22.8 76 11 29 34.4 25.6 79 26.4 30.7 24.2 87 28.3 33 24.7 78 12 26.7 33.1 22.9 87 26.4 29.8 24.4 85 28.1 34.2 24.7 79 13 28.3 33.3 24.7 82 27 32.8 22.4 77 28.6 34.1 24.6 77 14 28.2 33.2 24.3 80 26.4 30.3 24.5 84 28.2 33.7 24.5 77 15 27.7 33.2 23.5 80 26.7 30.9 23.2 86 27.6 33.7 23.9 78 16 28.2 33.3 24.5 80 22.5 31.3 23.3 90 27.5 33.4 23.4 73 17 27.8 33.2 24.4 77 26.6 31.7 23.8 86 27.8 33.4 23.7 73 18 27.3 32.5 25.2 82 26.9 31.5 23.9 84 28.3 34.5 23.9 73 19 27.9 33.9 24.1 79 27 33.2 23.7 84 27.8 33.6 23.7 76 20 27.6 32.8 24.8 80 27.6 33.1 24.1 79 28 34.3 24.4 75 21 28.3 33.4 25.1 80 28.6 33.5 24.8 78 28.1 33.8 23.5 74 22 28.6 34 25.2 78 27.6 32.6 23.6 77 28.1 33.7 23.9 73 23 28.5 33.8 23.8 74 27.2 32.5 23.6 73 27.9 34.3 23.8 75 24 28.2 33.5 23.6 79 27.3 33.1 21.9 75 28 34.2 24.4 78 25 28.2 32.4 24.4 78 27.5 32.2 24.2 75 28.3 34.1 24.3 70 26 27.5 33.4 23.5 78 28.1 33.5 23.4 75 28.4 34.2 23.8 71 27 28.1 33.6 23.7 73 28.5 34 25 74 26.9 32.3 24 77 28 27.8 32.7 23.8 77 28.4 33.6 24.3 74 24.8 30.4 24.2 95 29 27.8 33.8 24 77 27.7 33 24.1 75 26.3 30 23.6 84 30 27.8 33.6 24 77 27.1 33.2 23.3 77 26.7 31.6 23.4 82 T min RH rata2 31 27.3 31.7 23.8 78 27.7 33.8 24.4 76 Ratarata 27.7 32.9 24.2 81.3 27.1 32.6 23.9 80.4 27.7 33.3 23.9 76.2 Keterangan: T = suhu RH= kelembaban nisbi *BMKG Stasiun Klimatologi Kenten Palembang, 2011

55 Lampiran 6. Hasil analisis sampel tanah sebelum penelitian* Komponen analisis tanah Nilai Karakter** Tekstur Pasir (%) 2 Debu (%) 44 Liat berdebu Liat (%) 54 ph H 2 O 4.4 Sangat masam KCl 3.8 Masam DHL (ds/m) 0.5 Sangat rendah Salinitas (mg/l) 238 Rendah Bahan organik Walkley&Black C (%) 8.38 Sangat tinggi Kjeldahl N (%) 0.52 Tinggi C/N 16 Tinggi P 2 O 5 HCl 25% (mg/100g) 25 Sedang K 2 O HCl 25% (mg/100g) 9 Sangat rendah P 2 O 5 Bray (ppm P) 39.1 Sangat tinggi K 2 O Morgan (ppm K) 73 Sangat tinggi Nilai Tukar Kation (NH 4- Acetat 1 N, ph7) Ca (cmol c /kg) 4.65 Rendah Mg (cmol c /kg) 3.6 Tinggi K (cmol c /kg) 0.14 Rendah Na (cmol c /kg) 1.22 Tinggi Jumlah KTK (cmol c /kg) 9.61 KTK (cmol c /kg) 21.66 Sedang KB (%)*** 44 Sedang Al 3+ (cmol c /kg) 2.4 Sangat rendah H + (cmol c /kg) 1.22 Keterangan: *Hasil analisis tanah laboratorium tanah Balai Penelitian Tanah Bogor **Berdasarkan kriteria penilaian sifat kimia tanah Balittanah (2008) dan berdasarkan segitiga tanah USDA **>100 terdapat kation-kation bebas disamping kation-kation dapat ditukar

Lampiran 7. Kandungan hara daun dan serapan hara pada perlakuan kedalaman muka air tanah terhadap beberapa varietas kedelai di lahan pasang surut 56 Perlakuan Bobot Kandungan hara daun* daun N P K Ca --------------------(g)-------------- K0V1 1.81 2.40 0.17 1.10 0.55 K0V2 1.13 2.87 0.27 1.12 0.59 K0V3 1.81 2.78 0.29 1.00 0.48 K0V4 2.08 3.93 0.27 1.03 0.47 K1V1 9.03 4.03 0.19 0.93 1.45 K1V2 8.15 4.90 0.23 1.73 1.19 K1V3 11.48 4.98 0.24 1.46 1.70 K1V4 11.27 5.17 0.27 1.75 1.51 K2V1 8.76 4.68 0.22 1.01 1.51 K2V2 9.95 4.15 0.23 1.43 1.25 K2V3 12.04 4.21 0.20 1.33 1.48 K2V4 9.82 5.57 0.22 1.40 1.51 Keterangan: *Hasil analisis daun di laboratorium tanah Balai Penelitian Tanah Bogor Serapan hara (g) 0.800 0.700 0.600 0.500 0.400 0.300 0.200 0.100 0.000 V1:Ceneng V2:Cikuray V3:Lokal malang V4:Tanggamus V1 V2 V3 V4 V1 V2 V3 V4 V1 V2 V3 V4 Budidaya BJA BJA kering 10 cm 20 cm Perlakuan Serapan hara (g) 0.035 0.030 0.025 0.020 0.015 0.010 0.005 0.000 V1:Ceneng V2:Cikuray V3:Lokal malang V4:Tanggamus V1 V2 V3 V4 V1 V2 V3 V4 V1 V2 V3 V4 Budidaya BJA BJA kering 10 cm 20 cm Perlakuan Serapan hara (g) 0.225 0.200 0.175 0.150 0.125 0.100 0.075 0.050 0.025 0.000 V1:Ceneng V2:Cikuray V3:Lokal malang V4:Tanggamus ( a ) ( b ) V1 V2 V3 V4 V1 V2 V3 V4 V1 V2 V3 V4 Budidaya BJA BJA kering 10 cm 20 cm Perlakuan Serapan hara (g) 0.225 0.200 0.175 0.150 0.125 0.100 0.075 0.050 0.025 0.000 V1:Ceneng V2:Cikuray V3:Lokal malang V4:Tanggamus V1 V2 V3 V4 V1 V2 V3 V4 V1 V2 V3 V4 Budidaya BJA BJA kering 10 cm 20 cm Perlakuan ( c ) ( d ) Keterangan: serapan unsur nitrogen (a), fosfor (b), kalium (c) dan kalsium (d) pada daun berbagai varietas kedelai hitam dan varietas Tanggamus terhadap perlakuan kedalaman muka air tanah.

Lampiran 8. Keragaan pertanaman kedelai hitam varietas Ceneng (kiri atas), Cikuray (kanan atas), Lokal Malang (kiri bawah) dan kedelai kuning varietas Tanggamus (kanan bawah) setelah mengalami pemulihan penuh pada 8 MST 57