BAB II KAJIAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. termasuk pula kebanyakan orang indonesia. Remaja pun juga begitu. mereka tidak segan- segan melakukan banyak kegiatan ekstra selain

BAB I PENDAHULUAN. dan anggota gerak bawah. Yang masing-masing anggota gerak terdiri atas

BAB I PENDAHULUAN. memperhatikan kondisi kebugaran jasmani dan rohani. Dengan. sakit atau cidera pada saat beraktifitas. Maka dari itu untuk mencapai

BAB I PENDAHULUAN. fungsional untuk menjadikan manusia menjadi berkualitas dan berguna

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual

BAB I PENDAHULUAN. dipergunakan dalam olahraga. Kelincahan pada umumnya didefinisikan

BAB I PENDAHULUAN. mana jika kesehatan terganggu maka akan dapat mempengaruhi. kemampuan seseorang dalam melakukan aktifitas sehari-hari.

BAB 1 PENDAHULUAN dan sejak itu menjadi olahraga dalam ruangan yang popular diseluruh dunia.

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. gangguan pada keseimbangan gaya berdiri (center of gravitiy) dikarenakan

BAB I PENDAHULUAN. Selama masa awal anak-anak, seorang anak mengalami peningkatan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I. sama dengan mahluk hidup lainnya, pasti bergerak, karena tidak ada. kehidupan di dunia ini tanpa adanya gerakan. Gerak tergantung dari

BAB I PENDAHULUAN. hingga orang tua menyukai olahraga ini, cabang olahraga yang berbentuk

BAB I PENDAHULUAN. untuk dapat berinteraksi atau beradaptasi dengan lingkungan. Hal ini merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. untuk melakukan olahraga. Waktu istirahat tidak lagi digunakan untuk aktifitas olahraga

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. orang sakit (curative), tetapi kebijakan yang lebih ditekankan kearah

BAB 1 PENDAHULUAN. sangat cepat. Setiap detik terdapat dua orang yang berulang tahun ke-60 di dunia,

BAB I PENDAHULUAN. pencapain pembangunan di Indonesia. Peningkatan UHH ditentukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. digemari di segala lapisan masyarakat Indonesia, dari anak-anak sampai

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. Aktivitas fisik setiap orang dalam menjalani kehidupan sehari-hari. dalam menunjang paradigma hidup sehat hendaknya dilakukan dengan

BAB I PENDAHULUAN. lanjut yang dilalui dalam proses kehidupan pada setiap manusia yang. kebanyakan orang awam yang umum bahwa secara fisik dan fungsi

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk yang dinamis, dimana pada hakekatnya selalu

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. bidang lainnya yang telah memberikan kemudahan dan perubahan pada pola

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dalam melakukan aktivitas kegiatan sehari-hari. Pergerakan tersebut dilakukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Gambaran Umum Sampel Penelitian. usia minimal 60 tahun yang telah memenuhi kriteria inklusi dan

BAB I PENDAHULUAN. Aktivitas setiap orang dalam menjalani kehidupan sehari-hari dalam

BAB I PENDAHULUAN. modern yang memahami betul akan pentingnya kesehatan dalam. menunjang berbagai aktivitas dan penampilan (performance) mereka.

BAB I PENDAHULUAN. bidang kesehatan, dimana terdapat lima fenomena utama yang mempengaruhi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. mencakup 2 peristiwa yang sifatnya berbeda, tetapi saling berkaitan dan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PERBEDAAN EFEKTIVITAS LATIHAN HEXAGON DRILL DAN ZIGZAG RUN TERHADAP PENINGKATAN KELINCAHAN PADA PEMAIN SEPAK BOLA SEKOLAH SEPAK BOLA GUNTUR

BAB I PENDAHULUAN. Pada even olahraga kompetisi, power merupakan salah satu unsur penting

PENDAHULUAN. Olahraga merupakan hal yang penting dalam kehidupan kita, karena

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

SURVEY KEMAMPUAN MOTORIK SISWA KELAS IV SEKOLAH DASAR MUHAMMADIYAH SE-KECAMATAN TAMAN SIDOARJO TAHUN AJARAN DIDIK CAHYO WICAKSONO ABSTRAK

BAB 1 PENDAHULUAN. negatif terhadap kehidupan. Dilihat dari dampak positif, teknologi membuat

BAB I PENDAHULUAN. segala bidang kehidupan. Ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini menjadi

BAB III PROSEDUR PENELITIAN. mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu (Sugiyono, 2010:3). Metode

TITIK BERAT DAN STABILITAS (CENTER OF GRAVITY DAN STABILITY)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Cara Meningkatkan Kebugaran Jasmani

BAB I PENDHULUAN. tubuh ketika ditempatkan dalam berbagai posisi (Delito, 2003). Menurut Depkes

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Semakin banyak kemajuan dan terobosan-terobosan baru di segala

BAB I PENDAHULUAN. anak-anak adalah bermain. Bermain merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ada (kurangnya aktivitas fisik), merupakan faktor resiko independen. menyebabkan kematian secara global (WHO, 2010)

BAB I PENDAHULUAN. manusia dan juga tuntutan lingkungan agar dapat melakukan aktifitas dengan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai mahluk hidup sama dengan mahluk hidup lainnya, pasti

BAB I PENDAHULUAN. Obesitas dapat di definisikan sebagai kelebihan berat badan, yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. melakukan segala aktifitas dalam kehidupan sehari-hari nya. Sehat adalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dipengaruhi oleh tugas, kepribadian, dan lingkungan, seperti bekerja, olahraga,

Latihan Kekuatan Otot Tubuh Bagian Atas

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Jl.Sekolah pembangunan NO. 7A Medan Sunggal

BAB I PENDAHULUAN. rutinitas yang padat dan sangat jarang melakukan aktifitas olahraga akan. penyakit termasuk salah satunya adalah penyakit stroke.

BAB I PENDAHULUAN. ditandai dengan terjadinya perkembangan fisik motorik, kognitif, dan

DOKUMEN INSTRUMEN PENILAIAN UJIAN KETERAMPILAN

BAB I PENDAHULUAN LatarBelakang

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan generasi muda yang memiliki potensi untuk. meneruskan cita-cita perjuangan bangsa yang sedang tumbuh dan

BAB VI PEMBAHASAN. mahasiswa usia tahun dengan kurang aktivitas fisik. Mahasiswa usia tahun pada prodi D-IV Fisioterapi seluruhnya

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan, jumlah lansia di Indonesia mengalami peningkatan. Pada tahun

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan seseorang untuk menunaikan tugasnya sehari-hari dengan mudah

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Karekteristik Subjek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. kontraksi otot, elastisitas dan fleksibilitas otot, serta kecepatan dan waktu

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Dalam suatu penelitian membutuhkan suatu metode yang sesuai untuk

BAB I PENDAHULUAN tahun yang lalu. Pertama kali diduga adanya stroke oleh Hipocrates. pengobatannya (Waluyo, 2013). Di Indonesia stroke

BAB I PENDAHULUAN. World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa stroke adalah

Jurnal Pendidikan Kesehatan Rekreasi Volume 1 : Hal , Januari 2017

III. METODOLOGI PENELITIAN. Berdasarkan tujuan dalam penelitian ini yaitu untuk mengetahui power otot

BAB I PENDAHULUAN. dan mobilisasi yang baik, tidak ada keluhan dan keterbatasan gerak terutama

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ergonomi adalah ilmu, seni dan penerapan teknologi untuk menyerasikan atau

BAB I PENDAHULUAN. perasaan, dan interaksi dengan lingkungan sehingga mengakibatkan anak-anak

BAB I PENDAHULUAN. kebiasaan gerak tubuh yang benar maka akan terus menerus dipertahankan di

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan oleh manusia, manusia sebagai makhluk yang mempunyai aktifitas

BAB I PENDAHULUAN. secara efisien tanpa menimbulkan kelelahan yang berlebihan (Irianto, 2004).

PETUNJUK PELAKSANAAN BARROW MOTOR ABILITY TEST. a. Tujuan : Untuk mengukur komponen power otot tungkai

BAB I PENDAHULUAN. Sepak bola merupakan salah satu dari banyak cabang olahraga yang paling

III. METODOLOGI PENELITIAN. Metode penelitian adalah cara yang digunakan oleh peneliti dalam

PERBANDINGAN EFEKTIFITAS LATIHAN ZIG-ZAG RUN DENGAN CARIOCA EXERCISE UNTUK MENINGKATKAN AGILITY PADA PEMAIN BULUTANGKIS PEMULA

II. TINJAUAN PUSTAKA. maupun untuk putri. Unsur fisik yang diperlukan dalam nomor tolak ini adalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA Passing dan Ketepatan Tembakan Sepak Bola

KATA PENGANTAR. menyelesaikan penulisan skripsi ini yang berjudul Perbedaan Antara Intervensi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

METODE PEMBINAAN KEBUGARAN ATLIT *) Oleh: Eka Swasta Budayati (FIK UNY)

BAB V KEBUGARAN JASMANI. Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan 117

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia dalam kehidupannya sebagai makhluk biopsikososial

Transkripsi:

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Aktivitas Fisik Aktivitas fisik didefinisikan segala kegiatan atau aktivitas yang menyebabkan peningkatan energi oleh tubuh melampaui energi istirahat. Aktivitas fisik disebut juga aktivitas eksternal, yaitu sesuatu yang menggunakan tenaga atau energi untuk melakukan berbagai kegiatan fisik, seperti berjalan, berlari, dan berolahraga (Haskell et al, 2007). Melakukan aktivitas fisik diperlukan usaha ringan, sedang atau berat untuk dapat menyebabkan perbaikan kesehatan bila dilakukan secara teratur. Setiap kegiatan aktivitas fisik yang dilakukan membutuhkan energi yang berbeda tergantung dari lamanya intesitas dan kerja otot (FKM-UI, 2007). Aktivitas fisik yang kurang merupakan faktor risiko berbagai penyakit kronis dan secara keseluruhan diperkirakan menyebabkan kematian secara global (WHO, 2010). Tingkat aktivitas fisik yang kurang juga memiliki pengaruh pada kebugaran tubuh dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Berdasarkan estimasi World Health Organization (WHO) faktor berat badan dan kurangnya aktivitas fisik menyumbang 30% risiko terjadinya kanker. Berdasarkan penelitian, terdapat hubungan antara kanker dengan berat badan berlebih, diet tidak sehat dan kurangnya aktivitas fisik (Safro, 2007). Aktivitas fisik dan latihan dapat mempengaruhi keseimbangan, postural stability dan lain-lain hal ini ditunjukkan oleh gambar dibawah ini: 7

8 2.2 Kebugaran Jasmani Gambar 2.1 Pengaruh Aktivitas Fisik dan Exercise Sumber: (Skelton, 2001) 2.2.1 Pengertian Kebugaran Jasmani Kebugaran jasmani adalah kemampuan seseorang untuk melakukan tugas sehari-hari dengan mudah tanpa merasa lelah yang berlebihan sehingga masih dapat menikmati waktu luang (Suharjana dan Purwanto, 2008). Tidak menimbulkan kelelahan yang berarti maksudnya ialah setelah seseorang melakukan suatu aktivitas, masih mempunyai cukup semangat dan tenaga untuk aktivitas lainnya (PENJASORKES, 2013). Soemowardoyo (2015) menyatakan bahwa kebugaran jasmani adalah kemampuan tubuh untuk menyesuaikan fungsi alat-alat tubuhnya dalam batas-batas

9 fisiologi terhadap lingkungan (ketinggian, kelembapan suhu, dan sebagainya) dan atau kerja fisik dengan yang cukup efisien tanpa lelah secara berlebihan. Secara umum pengertian kebugaran jasmani adalah kemampuan seseorang untuk menjalankan pekerjaan sehari-hari dengan ringan dan mudah tanpa merasakan kelelahan yang berarti dan masih mempunyai cadangan tenaga untuk melakukan kegiatan yang lain. Manfaat kebugaran jasmani bagi tubuh antara lain dapat mencegah berbagai penyakit seperti jantung, pembuluh darah, dan paru-paru sehingga meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan. Memiliki jasmani yang bugar, hidup menjadi semangat dan menyenangkan (Usra, 2014). Orang yang sering melakukan latihan kebugaran jasmani (olahraga) akan terhindar dari kelemahan dan kelelahan fisik. Aktivitas jasmani membutuhkan kondisi fisik yang sangat prima, agar dapat menyelesaikan suatu pekerjaan. Pada tingkat Sekolah Dasar (SD) membutuhkan kebugaran jasmani yang sangat baik agar bisa menyelesaikan seluruh tugas-tugas yang dikerjakan tanpa merasakan kelelahan dan dapat melanjutkan pekerjaan yang lain dengan pengambilan keputusan yang tepat (Usra, 2014). 2.2.2 Komponen Kebugaran Jasmani Menurut Nala (2011) kesegaran jasmani atau kebugaran jasmani terdiri atas 10 komponen. Komponen tersebut sebagian besar merupakan komponen biometrik ditambah dengan komponen komposisi tubuh (terkait dengan masalah kesehatan), yang sangat dibutuhkan oleh setiap manusia agar mampu melakukan aktivitas fisik secara efisien dan produktif baik dalam bekerja maupun berolahraga. Kesepuluh komponen kebugaran jasmani tersebut antara lain:

10 1. Daya tahan kardiovaskular (cardiovascular endurance) 2. Daya tahan otot (muscular endurance) 3. Kekuatan otot (muscle strength) 4. Kelentukan (flexibility) 5. Komposisi tubuh (body composition) 6. Kecepatan gerak (speed movement) 7. Kelincahan (agility) 8. Keseimbangan (balance) 9. Kecepatan reaksi (reaction time) 10. Koordinasi (coordination) 2.3 Keseimbangan 2.3.1 Pengertian Keseimbangan Keseimbangan adalah kemampuan tubuh melakukan reaksi atas perubahan sikap dan posisi tubuh, sehingga tubuh tetap stabil dan terkendali (Nala 2011). Keseimbangan juga bisa diartikan sebagai kemampuan relatif untuk mengontrol pusat massa tubuh (center of mass) atau pusat gravitasi (center of gravity) terhadap bidang tumpu (base of support). Keseimbangan melibatkan berbagai gerakan di setiap segmen tubuh dengan di dukung oleh sistem muskuloskeletal dan bidang tumpu. Kemampuan untuk menyeimbangkan massa tubuh dengan bidang tumpu akan membuat manusia mampu untuk beraktifitas secara efektif dan efesien (Indriaf, 2010). Kemampuan tubuh untuk mempertahankan keseimbangan dan kestabilan postur oleh aktivitas motorik tidak dapat dipisahkan dari faktor lingkungan dan

11 sistem regulasi yang berperan dalam pembentukan keseimbangan. Tujuan tubuh mempertahankan keseimbangan adalah menyangga tubuh melawan gravitasi dan faktor eksternal lain, untuk mempertahankan pusat massa tubuh agar sejajar dan seimbang dengan bidang tumpu, serta menstabilisasi bagian tubuh ketika bagian tubuh lain bergerak (Irfan, 2010). Keseimbangan merupakan interaksi yang kompleks dan integrasi/interaksi sistem sensorik (vestibular, visual, dan somatosensorik termasuk proprioseptif) dan muskuloskeletal (otot, sendi dan jaringan lunak lain) yang dimodifikasi atau di atur dalam otak (kontrol motorik, sensorik, basal ganglia, serebelum, dan area asosiasi) sebagai respon terhadap perubahan kondisi ekternal dan internal. Serta dipengaruhi oleh faktor lain seperti usia, motivasi, kognisi, lingkungan, kelelahan, pengaruh obat, dan pengalaman terdahulu (Ma mun, 2000). 2.3.2 Keseimbangan Dinamis Keseimbangan terbagi atas dua kelompok, yaitu: 1) Keseimbangan statis yang merupakan kemampuan untuk mempertahankan posisi tubuh dimana center of gravity (COG) tidak berubah atau menjaga kesetimbangan pada posisi tetap. Contoh keseimbangan statis saat berdiri dengan satu kaki menggunakan papan keseimbangan, dan 2) Keseimbangan dinamis adalah kemampuan untuk mempertahankan posisi tubuh dimana COG selalu berubah atau kemampuan untuk mempertahankan kesetimbangan ketika bergerak pada landasan yang bergerak (dynamic standing) yang akan menempatkan tubuh ke dalam kondisi yang tidak stabil, contoh keseimbangan dinamis yaitu saat berjalan atau bergerak dari satu tempat ke tempat lain (Delitto, 2003).

12 2.3.3 Fisiologi Keseimbangan Kemampuan tubuh untuk mempertahankan keseimbangan dan kestabilan postur oleh aktivitas motorik tidak dapat dipisahkan dari faktor lingkungan dan sistem regulasi yang berperan dalam pembentukan keseimbangan. Tujuan dari tubuh mempertahankan keseimbangan adalah menyanggah tubuh melawan gravitasi dan faktor eksternal lain, untuk mempertahankan pusat massa tubuh agar seimbang dengan bidang tumpu, serta menstabilisasi bagian tubuh ketika bagian tubuh lain bergerak (Yuliana, 2014). Mekanisme fisiologi terjadinya keseimbangan dimulai ketika reseptor di mata menerima masukan penglihatan, reseptor di kulit menerima masukan kulit, reseptor di sendi dan otot menerima masukan proprioseptif dan reseptor di kanalis semikularis menerima masukan vestibular. Seluruh masukan atau input sensoris yang diterima di salurkan ke nukleus vertibularis yang ada di batang otak, kemudian terjadi pemrosesan untuk koordinasi di serebelum, dari serebelum informasi disalurkan kembali ke nukleus vertibularis. Terjadilah output atau keluaran ke neuron motorik otot ekstremitas dan badan berupa pemeliharaan keseimbangan dan postur yang diinginkan, keluaran ke neuron motorik otot mata ekternal berupa kontrol gerakan mata, dan keluaran ke SSP berupa persepsi gerakan dan orientasi. Mekanisme tersebut jika berlangsung dengan optimal akan menghasilkan keseimbangan yang optimal (Yuliana, 2014). Kontrol keseimbangan dipengaruhi oleh sistem informasi sensoris meliputi visual, vestibular, dan somatosensoris.

13 1. Visual memegang peran penting dalam sistem sensoris. Penglihatan merupakan sumber utama informasi tentang lingkungan dan tempat kita berada, penglihatan memegang peran penting untuk mengidentifikasi dan mengatur jarak gerak sesuai lingkungan tempat kita berada. Penglihatan muncul ketika mata menerima sinar yang berasal dari objek sesuai jarak pandang. Informasi visual yang didapat, akan membuat tubuh menyesuaikan atau bereaksi terhadap perubahan bidang pada lingkungan aktivitas sehingga memberikan kerja otot yang sinergis untuk mempertahankan keseimbangan tubuh (Irfan, 2010). Perubahan pada mata seperti presbiopi, kelainan lensa mata (refleksi lensa mata kurang), kekeruhan pada lensa mata (katarak), tekanan dalam mata yang meninggi (glaukoma), dan radang saraf mata akan menimbulkan gangguan penglihatan, semua perubahan tersebut akan mempengaruhi keseimbangan (Nugroho, 2000). Mata yang ditutup akan lebih sulit dalam mengatur keseimbangan badan dibandingkan dengan mata terbuka (faktor visual). Mata yang ditujukan pada satu titik di depan, saat berjalan akan membuat lebih stabil dibandingkan dengan mata melihat ke tempat lain. Pusat keseimbangan juga menerima pancaran rangsangan dari saraf aferen mata, sehingga apa yang dilihat oleh mata juga akan merangsang pusat keseimbangan yang ada di otak. Terdapat kerjasama yang erat antara mata dan pusat keseimbangan dalam mengatur keseimbangan tubuh (Nala, 2002).

14 Gambar 2.2 Sistem Visual Sumber: Prasad and Galleta, 2011 2. Komponen vestibular merupakan sistem sensoris yang berfungsi penting dalam keseimbangan, kontrol kepala, dan gerak bola mata. Reseptor sensoris vestibular berada di dalam telinga. Reseptor pada sistem vestibular meliputi kanalis semisirkularis, utrikulus, serta sakulus. Reseptor dari sistem sensoris ini disebut dengan sistem labyrinthine. Sistem labyrinthine mendeteksi perubahan posisi kepala dan percepatan perubahan sudut. Melalui reflex vestibulo-occular, mereka mengontrol gerak mata, terutama ketika melihat objek yang bergerak. Mereka meneruskan pesan melalui saraf kranialis VIII ke nukleus vestibular yang berlokasi di batang otak. Beberapa stimulus tidak menuju nukleus vestibular tetapi ke serebelum, formatio retikularis, thalamus, dan korteks serebri (Canan, 2015). Nukleus vestibular menerima masukan (input) dari reseptor labyrinth, retikular formasi, dan serebelum. Keluaran (output) dari nukleus vestibular menuju ke motor neuron melalui medula spinalis, terutama ke motor neuron yang menginervasi otot-otot proksimal, kumparan otot pada

15 leher, dan otot-otot punggung (otot-otot postural). Sistem vestibular bereaksi sangat cepat sehingga membantu mempertahankan keseimbangan tubuh dengan mengontrol otot-otot postural (Canan, 2015). Gambar 2.3 Sistem Vestibular Sumber: Komala, 2014 3. Sistem somatosensoris terdiri dari taktil atau proprioseptif serta persepsikognitif. Informasi propriosepsi disalurkan ke otak melalui kolumna dorsalis medula spinalis. Sebagian besar masukan (input) proprioseptif menuju serebelum, tetapi ada pula yang menuju ke korteks serebri melalui lemniskus medialis dan thalamus (Irfan, 2010). Kesadaran akan posisi berbagai bagian tubuh dalam ruang sebagian bergantung pada impuls yang datang dari alat indra dalam dan sekitar sendi. Alat indera tersebut adalah ujung-ujung saraf yang beradaptasi lambat di sinovia dan ligamentum. Impuls dari alat indera ini dari reseptor raba di kulit dan jaringan lain, serta otot di proses di korteks menjadi kesadaran akan posisi tubuh dalam ruang (Irfan, 2010). Pengaturan keseimbangan juga dipengaruhi oleh komponen lainnya yaitu respon otot-otot postural yang sinergis, kekuatan otot, adaptive system, dan

16 lingkup gerak sendi. Respon otot-otot postural yang sinergis mengarah pada waktu dan jarak dari aktivitas kelompok otot yang diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan dan kontrol postur. Beberapa kelompok otot baik pada ekstremitas atas maupun bawah berfungsi mempertahankan postur saat berdiri tegak serta mengatur keseimbangan tubuh dalam berbagai gerakan. Keseimbangan pada tubuh dalam berbagai posisi hanya akan dimungkinkan jika respon dari otot-otot postural bekerja secara sinergi sebagai reaksi dari perubahan posisi, titik tumpu, gaya gravitasi, dan aligment tubuh (Nugroho, 2011). Komponen berikutnya yang mempengaruhi pengaturan keseimbangan adalah kekuatan otot yang umumnya diperlukan dalam melakukan aktivitas. Semua gerakan yang dihasilkan merupakan hasil dari adanya peningkatan tegangan otot sebagai respon motorik. Kekuatan otot dapat digambarkan sebagai kemampuan otot menahan beban baik berupa beban eksternal (eksternal force) maupun beban internal (internal force). Kekuatan otot dari kaki, lutut, serta pinggul harus adekuat untuk mempertahankan keseimbangan tubuh saat adanya gaya dari luar (Nugroho, 2011). Adaptive systems dan lingkup gerak sendi juga mempengaruhi keseimbangan. Kemampuan adaptasi akan memodifikasi input sensoris dan keluaran motorik (output) ketika terjadi perubahan tempat sesuai dengan karakteristik lingkungan (Canan, 2015). Sementara lingkup gerak sendi (joint range of motion), membantu gerak tubuh dan mengarahkan gerakan terutama saat gerakan yang memerlukan keseimbangan yang tinggi (Nugroho, 2011).

17 Gambar 2.4 Sistem Somatosensori Sumber: Jensen dan Eric, 2005 2.3.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keseimbangan Tubuh 1. Pusat Gravitasi (Center of Gravity-COG) Pusat gravitasi terdapat pada semua objek, pada benda, pusat gravitasi terletak tepat di tengah benda tersebut. Pusat gravitasi adalah titik utama pada tubuh yang akan mendistribusikan massa tubuh secara merata. Tubuh selalu ditopang oleh titik ini, maka tubuh dalam keadaan seimbang. Pada manusia, pusat gravitasi berpindah sesuai dengan arah atau perubahan berat. Pusat gravitasi manusia ketika berdiri tegak adalah tepat di atas pinggang diantara depan dan belakang vertebra sacrum ke dua (Nugroho, 2011). Semakin rendah atau dekat letak pusat gravitasi ini terhadap bidang tumpuan akan semakin stabil posisi tubuh. Pada posisi berbaring pusat gravitasi tubuh akan rendah, yakni letaknya dekat bidang tumpuan, dibandingkan dalam posisi duduk, berdiri atau melompat ke atas, sehingga posisi tubuh berbaring akan lebih stabil dibandingkan dengan posisi duduk atau berdiri (Nala, 2011). Letak pusat

18 gravitasi berbeda-beda, dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti IMT, umur, dan jenis kelamin (Soedarminto, 1992). a. Indeks Massa Tubuh Tinggi badan dan berat badan seseorang mencerminkan proporsi tubuh orang yang bersangkutan. Keadaan ini berkaitan dengan keseimbangan dimana menurut Pate (1993) benda dengan masa yang lebih besar mempunyai keseimbangan yang lebih besar dari pada benda berukuran sama yang lebih ringan. Benda-benda yang berat, lebih kuat menolak pengaruh gaya dari luar dari pada lawan yang lebih ringan. Terkait dengan tinggi pendek dan berat ringan seseorang akan berbeda letak titik gravitasi yang mempengaruhi keseimbangan. Proporsi tubuh dapat diketahui dengan menghitung indeks massa tubuh (IMT) yaitu melalui rumus berat badan dalam kilogram dibagi tinggi badan dalam meter kuadrat. b. Umur Letak titik gravitasi tubuh berkaitan dengan pertambahan usia pada kanakkanak letaknya lebih tinggi karena relatif kepalanya lebih besar dari kakinya lebih kecil (Soedarminto, 1992). Keadaan ini akan berpengaruh pada keseimbangan tubuh, semakin rendah letak titik berat terhadap bidang tumpuan akan semakin mantap atau stabil posisi tubuh (Nala, 2011). c. Jenis Kelamin Perbedaan keseimbangan tubuh antara pria dan wanita disebabkan oleh adanya perbedaan letak titik berat. Pada pria letaknya kira-kira 56% dari tinggi badannya sedangkan pada wanita letaknya kira-kira 55% dari tinggi badannya,

19 pada wanita letaknya rendah karena panggul dan paha relatif lebih berat dan tungkainya pendek (Soedarminto, 1992). 2. Garis Gravitasi (Line of Gravity-LOG) Garis gravitasi merupakan garis imajiner yang berada vertical melalui pusat gravitasi dengan pusat bumi. Hubungan antara garis gravitasi, pusat gravitasi dengan bidang tumpu adalah menentukan derajat stabilitas tubuh (Yuliana, 2014). Garis gravitasi didefinisikan sebagai garis imajiner yang melewati pusat objek gravitasi. Semakin dekat letak garis gravitasi ini dengan titik pusat bidang tumpuan apalagi dilaluinya, akan semakin stabil posisi tubuh. Dalam posisi berdiri garis gravitasi tubuh ini akan melalui pusat gravitasi dan juga titik pusat bidang tumpuan, oleh sebab itu posisi berdiri tegak lebih stabil dibandingkan dengan posisi badan condong ke depan, belakang, atau samping. Letak berat garis ini berubah-ubah sesuai dengan bergesernya titik gravitasi ke arah depan, belakang, atau samping. Tubuh bagian atas (kepala dan dada) menjulur ke depan, maka titik gravitasi tubuh juga akan berpindah ke depan. Garis gravitasi dengan sendirinya juga akan bergeser ke depan sehingga tidak melalui titik pusat bidang tumpuan. Ada usaha dari tubuh untuk menggeser letak titik gravitasi dan dengan sendirinya garis gravitasi tubuh akan bergeser ke belakang atau mendekati titik pusat bidang tumpuan. Caranya dengan menarik bagian badan lainnya (tungkai atau lengan) ke belakang sehingga terjadi keseimbangan (Laak, 2013).

20 Gambar 2.5 Garis Gravitasi (Sumber: Army, 2012) 3. Bidang Tumpu (Base of Support - BOS) Bidang tumpu merupakan bagian dari tubuh yang berhubungan dengan permukaan tumpuan. Ketika garis gravitasi tepat berada di bidang tumpu, tubuh dalam keadaan seimbang. Stabilitas yang baik terbentuk dari luasnya area bidang tumpu. Semakin besar bidang tumpu, semakin tinggi stabilitasnya. Misalnya berdiri dengan kedua kaki akan lebih stabil dibanding berdiri dengan satu kaki. Semakin dekat bidang tumpu dengan pusat gravitasi, maka stabilitas tubuh makin tinggi. Posisi keseimbangan statis memiliki base of support yang luas, ketika tumpuan dipersempit cenderung sulit untuk menjaga garis gravitasi. Berdiri menggunakan satu kaki akan sulit jika dibandingkan dengan berdiri dua kaki. Hal tersebut terjadi karena garis gravitasi yang terkonsentrasi langsung di bawah satu kaki tersebut (Piscopo and Baley, 1981).

21 4. Kekuatan Otot (Muscle Strength) Gambar 2.6 Bidang Tumpuan (Sumber: William, 2015) Kekuatan otot adalah kemampuan otot atau kelompok otot untuk menghasilkan tegangan dan tenaga selama usaha maksimal baik secara dinamis maupun secara statis. Kekuatan otot dari kaki, lutut, serta pinggul harus cukup kuat untuk mempertahankan keseimbangan tubuh saat adanya gaya dari luar. Kekuatan otot tersebut berhubungan langsung dengan kemampuan otot untuk melawan gaya gravitasi serta beban eksternal lainnya yang secara terus menerus mempengaruhi posisi tubuh. Kekuatan otot dihasilkan oleh kontraksi otot yang maksimal. Otot yang kuat merupakan otot yang dapat berkontraksi dan rileksasi dengan baik, jika otot kuat maka keseimbangan dan aktivitas sehari-hari dapat berjalan dengan baik seperti berjalan, lari, bekerja kekantor, dan lain sebagainya (Kuntarti, 2006).

22 5. Aktivitas Fisik (Kebiasaan Olahraga) Menurut Kepala Pusat Promosi Kesehatan Kemenkes pada hasil RISKESDAS tahun 2013, gaya hidup bermalas-malasan dan aktivitas fisik yang kurang dapat menurunkan kemampuan tonus otot. Tonus otot sangat berperan dalam menjaga keseimbangan tubuh manusia. Aktivitas fisik yang kurang dan gaya hidup bermalas-malasan dapat melemahkan dan menurunkan kemampuan tonus otot. Keseimbangan dinamis yang tidak optimal akan meningkatkan risiko cedera yang akan dialami ketika berjalan atau melakukan aktivitas lain terutama aktivitas yang berat (Habut, 2015). Aktivitas fisik yang kurang merupakan faktor risiko independen untuk penyakit kronis dan secara keseluruhan diperkirakan menyebabkan kematian secara global (WHO, 2010). Hampir 50% dari orang dewasa muda dan remaja tidak melibatkan diri pada setiap jenis aktivitas fisik setiap hari. Data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007 memperlihatkan bahwa 48,2% penduduk Indonesia usia lebih dari 10 tahun kurang melakukan aktivitas fisik. 2.4 Keseimbangan pada Anak Usia 9-11 Tahun Anak usia 9-11 tahun merupakan masa dimana mereka menginjak bangku sekolah dasar. Masa usia sekolah merupakan babak akhir dari perkembangan yang masih digolongkan menjadi anak (Dabukke, 2015). Rentang usia ini termasuk dalam usia emas untuk belajar (golden age of learning) (Suparlan, 2014). Masa ini merupakan masa yang membutuhkan latihan pembentukan tubuh karena otot-otot tumbuh cepat dan postur tubuh cenderung buruk (Yudanto, 2014). Berbagai materi latihan akan mudah sekali diingat oleh kelompok usia ini. Keberanian juga lebih

23 berkembang, hal ini baik terjadi pada anak laki-laki maupun perempuan. Anak perempuan harus dibimbing untuk mengembangkan kekuatan badan bagian atas yang sangat berguna untuk memelihara berat badannya. Masa anak-anak merupakan masa tumbuh kembang yang paling cepat, sehingga diperlukan wahana pendukung berupa aktivitas jasmani yang tepat sesuai dengan usia, kondisi, dan karakter masa anak-anak. Hal ini disebabkan karena aktivitas jasmani mampu memberikan akselerasi proses pertumbuhan dan perkembangan secara normal (Sukadiyanto, 2005). Beberapa penelitian mengenai kapan tepatnya fungsi dari keseimbangan dan kontrol postural tercapai pada anak-anak saat ini masih belum jelas dan masih penuh kontroversi, padahal pada usia anak-anak kemampuan mempertahankan keseimbangan tubuh sangatlah penting karena pada usia tersebut anak-anak mulai belajar untuk lebih dapat mengenal lingkungannya. Anak pada umur 6-10 tahun umumnya mengalami peningkatan keseimbangan dinamis, tetapi umur 12-14 tahun hanya sedikit peningkatannya. Usia 7-9 tahun perkembangan keseimbangan mulai melambat pada anak laki-laki, sedangkan pada usia 8-10 tahun pada anak perempuan (Budiman, 2010). Anak laki-laki usia 9-10 tahun mengalami peningkatan pada perkembangan keseimbangan statis dan dinamis dengan peningkatan yang tidak begitu besar. Usia 9 tahun menunjukkan keseimbangan anak laki-laki lebih baik dibandingkan anak perempuan ditinjau dari keseimbangan statis dan dinamis. Usia 10 tahun perkembangan keseimbangan anak terjadi perbedaan, dimana perbedaan ini lebih

24 baik perkembangan keseimbangan anak laki-laki dibandingkan anak perempuan (Permana, 2013). Usia 11-12 tahun anak perempuan akan lebih cenderung kurang baik keseimbangan dinamisnya dibandingkan anak laki-laki. Dapat diuraikan bahwa anak perempuan pada usia 11-12 keseimbangan dinamisnya mengalami penurunan. Optimalisasi keseimbangan dinamis membutuhkan adanya pelatihan aktivitas fisik yang dapat menstimulasi komponen-komponen keseimbangan dinamis (Permana, 2013). 2.5 Takaran Pelatihan Keseimbangan Sebuah hasil latihan yang maksimal harus memiliki prinsip latihan. Tanpa adanya prinsip atau patokan yang harus diikuti oleh semua pihak yang terkait, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai pada evaluasi pelatihan akan sulit mencapai hasil yang maksimal (Nala, 2011). Takaran pelatihan keseimbangan: 1. Intensitas Intensitas pada proprioceptive exercise dan zig-zag run exercise merupakan ukuran terhadap aktivitas yang dilakukan dalam satu kesatuan waktu. Kualitas suatu intensitas yang menyangkut kecepatan atau kekuatan dari suatu aktivitas ditentukan oleh besar kecilnya persentase (%) dari kemampuan maksimalnya. Dalam takaran pelatihan keseimbangan intensitas yang digunakan adalah maksimum. Intensitas tersebut diukur berdasarkan posisi, jarak, dan jumlah tiang yang digunakan (Nala, 2011).

25 Penelitian ini menggunakan tiang sebanyak 5 buah dengan jarak setiap tiang sejauh 2 meter. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya kelelahan terhadap pemain tetapi pelatihan yang dilakukan tetap memberikan efek (Nala, 2011). 2. Volume Volume dalam pelatihan merupakan komponen takaran yang paling penting dalam setiap pelatihan. Unsur volume ini merupakan takaran kuantitatif, yakni satu kesatuan yang dapat diukur banyaknya, berapa lama, jauh, tinggi, atau jumlah suatu aktivitas (Nala, 2011). Pada umumnya volume pelatihan ini terdiri dari durasi atau lama waktu pelatihan, jarak tempuh dan berat beban, serta jumlah repetisi dan set. Dalam penelitian ini volume yang digunakan adalah sebagai berikut: a. Repetisi Repetisi merupakan pengulangan yang dilakukan tiap set pelatihan. Untuk latihan keseimbangan repetisi yang digunakan adalah 1-3 kali, tetapi untuk menghasilkan peningkatan yang maksimal repetisi yang sebaiknya digunakan adalah 3 repetisi untuk tiap set (Nala, 2011). b. Set Set adalah satu rangkaian dari repetisi (Nala, 1998). Latihan keseimbangan set yang dianjurkan adalah 2-5 kali, untuk menghasilkan peningkatan yang maksimal set yang sebaiknya digunakan adalah 5 set (Nala, 2011). c. Istirahat Waktu istirahat diperlukan dalam setiap set untuk memberikan waktu istirahat kepada otot-otot yang berperan dalam pelatihan keseimbangan. Waktu

26 istirahat yang dianjurkan adalah selama 5 menit antar set, untuk mencegah terlalu lamanya waktu istirahat (Nala, 2011). 3. Frekuensi Frekuensi merupakan kekerapan atau kerapnya pelatihan per-minggu. Dalam pelatihan keseimbangan, frekuensi yang biasa digunakan adalah 3-5 kali seminggu (Nala, 2011). Hal ini sesuai bagi atlet sehingga menghasilkan peningkatan kemampuan otot yang baik serta tanpa menimbulkan kelelahan yang berarti (Harsono, 1996). Latihan dalam penelitian ini dilakukan tiga kali pertemuan dalam satu minggu, dengan diberi jeda waktu tidak lebih dari 48 jam. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya waktu senggang selama 2 hari berturut-turut, ini mengakibatkan jika berturut-turut terdapat istirahat selama lebih dari dua hari dikhawatirkan kondisi fisik anak akan kembali ke keadaan semula (Nala, 1998). 2.6 Proprioceptive Exercise Proprioceptive umumnya didefinisikan sebagai kemampuan untuk menilai dimana masing-masing posisi ekstremitas berada tanpa bantuan indera penglihatan. Proprioceptive exercise akan merangsang sistem saraf yang mendorong terjadinya respon otot dalam mengontrol sistem neuromuskuler. Proprioceptive diatur oleh mekanisme saraf pusat dan saraf tepi yang datang terutama dari reseptor otot, tendon, ligamen, persendian dan fascia (Lephart, et al., 2013). Pelatihan proprioseptif dapat meningkatkan keseimbangan karena proprioseptif merupakan salah satu komponen yang berperan dalam terbentuknya keseimbangan. Keseimbangan merupakan interaksi yang kompleks dari sistem

27 sensorik (vestibular, visual, dan somatosensorik termasuk proprioseptif) dan muskuloskeletal (otot, sendi, dan jaringan lunak lain) yang diatur di dalam otak (kontrol motorik, sensorik, basal ganglia, dan serebelum (Ma'mun, 2000). Proprioceptive dapat juga diartikan sebagai keseluruhan kesadaran dari posisi tubuh. Kesadaran posisi akan berpengaruh terhadap gerak yang akan dilakukan, gerak yang timbul tersebut akibat impuls yang diberikan stimulus yang diterima dari reseptor yang selanjutnya informasi tersebut akan diolah di otak yang kemudian informasi tersebut akan diteruskan oleh reseptor kembali ke bagian tubuh yang bersangkutan (Swandari, 2015). Proprioceptive merupakan rasa sentuhan atau tekanan pada sendi yang disusun oleh komponen pembentuk sendi dari tulang, ligamen, dan otot serta jaringan spesifik lainnya. Proprioceptive merupakan bagian dari somatosensoris dimana proprioceptive bekerjasama dengan persepsi dan taktil untuk memberikan informasi tentang daerah sekitar, kondisi permukaan sehingga dapat mengirimkan sinyal ke otak untuk mengatur perintah kepada otot dan sendi seberapa menggunakan kekuatan dan bagaimana menyikapi lingkungan. Proprioception memberikan gambaran yang sama seperti sistem kerja visual, dimana memberikan informasi tentang daerah sekitar, namun hal yang membedakannya adalah proprioceptive bekerja saat sebuah sendi terjadi kontak langsung dengan permukaan sebuah benda. Pada kondisi tanpa cahaya (visual gelap) tidak dapat memberikan banyak informasi untuk tubuh, maka proprioceptive bekerja lebih dominan saat sendi menyentuh atau terjadi tekanan langsung dengan permukaannya. Saat mata tertutup kaki masih bisa merasakan dimana kita berdiri

28 sekarang, tempat miring, berbatu kasar, atau datar, dll. Informasi yang diterima oleh golgi tendon dan muscle spindle terkumpul cukup baik selanjutnya neuron akan meneruskan untuk dikirim ke sistem saraf pusat melalui ganglion basalis hingga sampai ke sistem saraf pusat seperti perjalanan di gambar kemudian otak menentukan bagaimana kita menyikapi terhadap permukaan tersebut (Kisner, 2007). Gambar 2.7 Lintasan Proprioceptive Sumber: Riemer, 2015 Neuron yang dikirim melalui lintasan ke korteks cerebri memuat informasi lingkungan dikirim ke otak untuk mengatur kontraksi dan sistem tubuh, sedangkan neuron yang melalui korteks cerebri memuat informasi yang akan diberikan ke otak kecil untuk diolah sehingga hasil yang didapat adalah menjaga keseimbangan tubuh. Cara penyampaian reseptor proprioceptive ke cortex cerebri menggunakan tiga neuron berbeda, neuron I sel berada di ganglion spinal akan dikirimkan melalui proprioception dihasilkan melalui respon secara simultan, visual, vestibular, dan sistem sensorimotor, yang masing-masing memainkan peran penting dalam menjaga stabilitas postural (Rienmann, 2002).

29 Paling diperhatikan dalam meningkatkan proprioception adalah fungsi dari sistem sensorimotor, meliputi integrasi sensorik, motorik, dan komponen pengolahan yang terlibat dalam mempertahankan homeostasis bersama selama tubuh bergerak, sistem sensorimotor mencakup informasi yang diterima melalui reseptor saraf yang terletak di ligamen, kapsul sendi, tulang rawan, dan geometri tulang yang terlibat dalam struktur setiap sendi. Mekanoreseptor sensorik khusus bertanggung jawab secara kuantitatif terhadap peristiwa hantaran mekanis yang terjadi dalam jaringan menjadi impuls saraf (Rienmann, 2002). Proprioceptive berkaitan dengan dimana rasa posisi mekanoreseptor berada. Hal tersebut meliputi dua aspek yaitu posisi statis dan dinamis. Posisi statis di definisikan yaitu memberikan orientasi sadar pada satu bagian tubuh yang lain sedangkan arti dinamis yaitu memberikan fasilitasi pada sebuah sistem neuromuskular berkaitan dengan tingkat dan arah gerakan kelincahan (Laskowski, 2012). Latihan wobble board selama 5 minggu dapat meningkatkan keseimbangan dan juga cidera ankle pada atlet (Waddington et al., 2004). Pelatihan di atas wobble board merupakan latihan pada permukaan tidak stabil yang dapat merangsang mekanoreseptor sehingga mengaktifkan joint sense atau rasa pada sendi. Pelatihan ini sangat berpengaruh terhadap jaringan intrafusal dan serabut ekstrafusal karena rangsangan yang diterima oleh neuromuscular junction akan mengaktifasi serabut myofibril untuk memerintahkan otot segera berkontraksi sesuai kebutuhan (Swandari, 2015).

30 Selama pelatihan berlangsung maka serabut intrafusal dan ekstrafusal memperkaya input sensoris yang akan dikirim dan diolah di otak untuk di proses sehingga dapat menentukan seberapa besar co-kontraksi otot yang dapat diberikan. Sebagian respon yang dikirim kembali ke ekstrafusal akan mengaktifasi golgi tendon kemudian akan terjadi perbaikan koordinasi serabut intrafusal dan serabut ekstrafusal dengan saraf afferent yang ada di muscle spindle sehingga terbentuklah proprioceptif yang baik. Permukaan dari wobble board akan mengakibatkan adanya stimulasi yang tidak konsisten akibat ketidakstabilan permukaan yang diterima oleh otot dan sendi berpengaruh sangat cepat terhadap penangkapan informasi sensoris dan lebih efisien diproses di sistem saraf pusat (Swandari, 2015). Pelatihan di atas wobble board memberikan efek meningkatkan fungsi proprioseptif pada stabilisator aktif sendi dan menstabilkan tonus, meningkatkan recruitmen motor unit yang akan mengaktifasi golgi tendon dan memperbaiki koordinasi serabut intrafusal dan serabut ekstrafusal dengan saraf efferent yang ada di muscle spindel sehingga dapat meningkatkan fungsi dari proproseptif sehingga meningkatkan input sensoris yang akan di proses di otak sebagai central processing. Central processing berfungsi untuk menentukan titik tumpu tubuh dan alligment gravitasi pada tubuh membentuk kontrol postur yang baik dan mengorganisasikan respon sensorik motor yang di perlukan tubuh selanjutnya otak akan meneruskan impuls tersebut ke efektor agar tubuh mampu menciptakan stabilitas yang baik ketika bergerak (Swandari, 2015).

31 2.7 Zig-zag Run Exercise 2.7.1 Pengertian Zig-zag Run Exercise Metode zig-zag adalah metode lari dengan menggunakan halangan atau rintangan yang harus dilewati dengan cara berlari menghindari halangan atau berlari secara berbelok-belok. Menurut Robert (2007) lari zig-zag adalah lari berbelok dengan tujuan untuk meningkatkan kecepatan lari dan mengubah arah tubuh dengan cepat. Zig-zag run exercise dapat digunakan untuk meningkatkan kelincahan karena unsur gerak yang terkandung dalam zig-zag run exercise merupakan komponen gerak kelincahan yaitu lari dengan mengubah arah dan posisi tubuh, kecepatan, keseimbangan yang juga merupakan komponen gerak kelincahan. Tujuan latihan lari zig-zag adalah untuk menguasai keterampilan lari, menghindar dari berbagai halangan baik orang maupun benda yang ada di sekeliling (Saputra, 2002). Sesuai dengan tujuannya lari zig-zag dibedakan menjadi dua, yaitu: 1. Latihan lari zig-zag untuk mengukur kelincahan seseorang. 2. Latihan lari zig-zag untuk merubah arah gerak tubuh atau bagian tubuh. Menurut Harsono (1988) keuntungan dan kerugian zig-zag run exercise, yaitu: 1. Keuntungan: a. Kemungkinan cidera lebih kecil karena sudut ketajaman berbelok arah lebih kecil (45 0 dan 90 0 ). b. Banyak membutuhkan koordinasi gerak tubuh, sehingga mempermudah dalam tes kelincahan dribbling.

32 2. Kerugian: a. Secara psikis arah lari perlu pengingatan lebih. b. Atlet tidak terbiasa dengan ketajaman sudut lari yang besar sehingga pada saat melakukan tes kelincahan dribbling atlet menganggap sudut lari tes kelincahan dribbling lebih sulit. Akibatnya atlet konsentrasinya terpusat pada arah belok dan bukan pada kecepatan larinya. Zig-zag run exercise digunakan untuk meningkatkan kelincahan, komponen gerak kelincahan yaitu lari dengan mengubah arah dan posisi tubuh, kecepatan, keseimbangan (Dabukke, 2015). Zig-zag run exercise ini melibatkan otot tungkai untuk bisa menyelesaikan semua beban yang diberikan pada saat pelatihan. Gerakan yang dilakukan dalam pelatihan ini berlari kedepan dan berbelak-belok dengan secepatnya sehingga pergerakan yang dilakukan tidak semata-mata menekankan pada gerakan tungkai. Setiap kerja yang dilakukan oleh tubuh merupakan kontraksi yang terjadi pada otot. Dalam setiap pelatihan, tubuh selalu memberikan respon dan dalam jangka waktu tertentu tubuh akan mulai beradaptasi dengan pelatihan yang diberikan (Lestari, 2015). Zig-zag run exercise dapat meningkatkan fungsi fisiologis dari unsur kebugaran jasmani seperti kekuatan otot tungkai, kecepatan, fleksibilitas sendi lutut dan pinggul, elastisitas otot, dan keseimbangan dinamis akan mengalami peningkatan fungsi secara fisiologis sehingga akan berpengaruh terhadap peningkatan kelincahan kaki. Saat bergerak dari satu sisi ke sisi lainnya dengan cepat membutuhkan keseimbangan yang bagus, koordinasi yang tinggi, dan konsentrasi tinggi. Hal ini akan menuntut adaptasi neuromuscular, terutama

33 disebabkan oleh adaptasi sistem persarafan yaitu terjadinya peningkatan persentase aktivasi motor unit, perubahan fungsi pada kontraktil yaitu peningkatan momen gaya kontraksi otot, dan terjadi hipertropi otot-otot tungkai, serta terjadinya peningkatan koordinasi sistem keterampilan motorik. Sedangkan keuntungan secara umum pada metabolisme, otot, dan saraf akibat latihan kecepatan konduksi saraf meningkat, massa otot meningkat, konsentrasi ATP/PC meningkat, glikogen otot meningkat, peningkatan sintesis protein untuk perkembangan otot (Zumerchik, 2005). Kecepatan sebagai hasil perpanduan dari panjang ayunan tungkai dan jumlah langkah. Fleksibilitas merupakan kemampuan persendian untuk bergerak dalam ruang gerak sendi secara maksimal dan elastisitas merupakan kemampuan otot untuk berkontraksi dan berelaksasi secara maksimal. Zig-zag run exercise menyebabkan otot-otot menjadi lebih elastis dan ruang gerak sendi akan semakin baik sehingga persendian akan menjadi sangat lentur sehingga menyebabkan ayunan tungkai dalam melakukan langkah-langkah menjadi sangat lebar. Keseimbangan dinamis juga terlatih karena dalam pelatihan ini harus mampu mengontrol keadaan tubuh saat melakukan pergerakan. Otot-otot sinergis berkontraksi lebih tepat, dan meningkatnya inhibisi otot-otot antagonis (Lestari, 2015). Menurut Hanafi (2010) elastisitas otot sangat penting karena makin panjang otot tungkai dapat terulur, makin kuat dan cepat maka otot dapat memendek atau berkontraksi. Otot yang elastis tidak akan menghambat gerakan-gerakan otot tungkai sehingga langkah kaki dapat dilakukan dengan cepat dan panjang.

34 Kecepatan reaksi secara fisiologis ditentukan oleh tingkat kemampuan penerima rangsang penghantaran stimulus ke sistem saraf pusat, penyampaian stimulus melalui saraf sampai terjadinya sinyal, penghantaran sinyal dari sistem saraf pusat ke otot, dan kepekaan otot menerima rangsang untuk menjawab dalam bentuk gerak (Sukadiyanto, 2005). Semakin singkat waktu yang dibutuhkan untuk mereaksi stimulus maka semakin baik kecepatan reaksinya. Waktu yang diperlukan untuk mereaksi stimulus akan menjadi semakin singkat karena terlatihnya kepekaan saraf sensorik dalam menghantarkan stimulus ke otak dan terlatihnya saraf motorik dalam menghantarkan perintah/sinyal dari otok ke otot. Meningkatnya komponen kemampuan fisiologis tersebut maka akan menyebabkan peningkatan pada kecepatan reaksi (Lestari, 2015). Kesadaran akan posisi berbagai bagian tubuh dalam ruang sebagian bergantung pada impuls yang datang dari alat indera dalam dan sekitar sendi. Sendi merupakan salah satu stabilisator pasif yang diikat oleh ligamen. Pada saat latihan diperlukan suatu kondisi sendi yang stabil dan tanpa ada keluhan seperti nyeri, karena jika terdapat keluhan akan mengurangi kemampuan sendi dalam melakukan suatu gerakan. Gerakan yang dilakukan oleh sendi diperoleh melalui stimulus propriosepsi terhadap posisi dan gerak yang akan dilakukan. Dengan adanya propriosepsi pada sendi tersebut maka ketika melakukan latihan, sendi lebih akan stabil karena ditunjang juga kekuatan otot (penggerak sendi) dan stabilitas dari ligamen (mengarahkan sekaligus membatasi gerak sendi). Yang berarti bahwa selain meningkatkan kekuatan otot dan stabilitas ligament juga meningkatkan stabilitas pada sendi anak-anak (Mutiarningsih, 2014).

35 2.7.2 Aplikasi Zig-zag Run Exercise Prosedur pelaksanaan zig-zag run exercise sebagai berikut: 1. Cones disusun berbentuk garis zig-zag dengan jarak antar titik 2 meter. 2. Peserta berdiri di belakang garis start. 3. Setelah ada aba-aba ya peserta berlari secepat mungkin mengikuti arah/cones yang telah disusun secara zig- zag sesuai dengan diagram sampai batas finish. Gambar 2.8 Zig-zag Run Exercise Sumber: Gilang, 2007 2.8 Modified Bass Test of Dynamic Balance Tujuan: Untuk mengukur keseimbangan dinamis. Validitas dan reliabilitas: 0,90. Fasilitas dan sarana: Lantai padat dan rata, sepuluh kotak yang ukuran masing-masing kotak ukurannya 30 cm x 30 cm dan stop watch.

36 Prosedur Pelaksanaan: Peserta berdiri di kotak awal dengan bertumpu pada salah satu kaki, tumit diangkat (jingkat). Kedua lengan ditekuk di depan dada sedangkan posisi kepala tegak. Selanjutnya peserta tes melompat tepat di atas kotak no 1 yang tersedia dan mendarat dengan kaki sisi lainnya sebagai tumpuan dengan posisi tumit diangkat (jingkat) dan posisi kepala tegak, kaki satunya diangkat menempel di samping lutut, sedang posisi kedua lengan ditekuk di depan dada. Posisi ini dipertahankan selama 5 detik pada kotak no 1, dilanjutkan ke kotak no 2 dengan posisi sama seperti posisi awal, demikian gerakan ini dilakukan seterusnya sampai kotak ke 10, kaki yang bertempu pada kotak bergantian antara kaki kanan dan kiri. Ketentuan: 1. Tiap komponen pada kotak atlet berhenti 5 detik. 2. Apabila kaki yang menempel di samping limit bergerak menjauh dari lutut dan kaki tumpu tumit menyentuh lantai dianggap gagal, begitu pula apabila kaki jingkat berpindah atau bergeser keluar dari daerah (kotak) yang telah ditentukan. Hasil pengukuran: Skor yang terbaik dari tiga kali percobaan, dimana skor diambil berdasarkan banyaknya kotak yang dapat dilalui dalam setiap tes, dengan ketentuan 1 kotak keberhasilan nilai 10. Jadi tiap kotak yang ada yaitu kotak 1 sampai kotak terakhir masing-masing diberi nilai (Laak, 2013).

Gambar 2.9 Skema Tes Keseimbangan Dinamis Sumber: Mappaompo, 2012 37