BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Terumbu Karang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

TUJUAN, TAHAPAN PELAKSANAAN DAN PENDEKATAN VALUASI

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

B. Ekosistem Hutan Mangrove

I. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan di Desa Margasari, Kecamatan Labuhan Maringgai,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KONSEP DASAR VALUASI EKONOMI

I. PENDAHULUAN pulau dengan luas laut sekitar 3,1 juta km 2. Wilayah pesisir dan. lautan Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan dan

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

II TINJAUAN PUSTAKA EKOSISTEM TERUMBU KARANG EKOSISTEM PADANG LAMUN EKOSISTEM MANGROVE

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

6 ASSESMENT NILAI EKONOMI KKL

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

METODE PENELITIAN. hutan mangrove non-kawasan hutan. Selain itu, adanya rehabilitasi hutan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

II. TINJAUAN PUSTAKA

III. KERANGKA PEMIKIRAN. Contingent Valuation Method (CVM), eksternalitas, biaya produksi dan metode

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

I. PENDAHULUAN. dan lautan. Hutan tersebut mempunyai karakteristik unik dibandingkan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang

BAB I PENDAHULUAN. yang mencapai pulau dengan panjang pantai sekitar km 2 dan luas

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian

I. PENDAHULUAN. terumbu karang untuk berkembangbiak dan hidup. Secara geografis terletak pada garis

ENVIRONMENTAL VALUATION VALUASI EKONOMI SUMBERDAYA ALAM & LINGKUNGAN (ESL 434) DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA & LINGKUNGAN PERTEMUAN 1

II. TINJAUAN PUSTAKA. ekonomi. Dapat juga dikatakan bahwa sumberdaya adalah komponen dari

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993).

VALUASI EKONOMI OLEH : NOVINDRA

KERANGKA PEMIKIRAN P 1 0 Q 1. Kurva Opportunity Cost, Consumers Surplus dan Producers Surplus Sumber : Kahn (1998)

METODE VALUASI EKONOMI SUMBERDAYA ALAM

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kawasan Pesisir dan Pantai Kawasan pesisir

BAB I PENDAHULUAN. kurang dari pulau dengan luasan km 2 yang terletak antara daratan Asia

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang

METODE PENILAIAN EKONOMI SUMBERDAYA KAWASAN

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sektor kelautan memiliki peluang yang sangat besar untuk dijadikan

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

BAB III METODE PENELITIAN

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

1.2.1 Bagaimanakah kehidupan ekosistem terumbu karang pantai Apakah yang menyebabkan kerusakan ekosistem terumbu karang?

VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kawasan Pesisir dan Pantai

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2)

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Wilayah Pesisir 2.2. Pengertian Wilayah Pesisir

ANALISIS WILLINGNESS TO PAY MENUJU PELESTARIAN EKOSISTEM WISATA BAHARI KARIMUNJAWA, JAWA TENGAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Ekonomi Lingkungan. manusia dalam memanfaatkan lingkungan sedemikian rupa sehingga

JAKARTA (22/5/2015)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Potensi Keuntungan Bersih per Tahun per km 2 dari Terumbu Karang dalam Kondisi Baik di Asia Tenggara Penggunaan Sumberdaya

Pariwisata Kabupaten Lombok Barat, 2000). 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. yang tinggi dan memiliki ekosistem terumbu karang beserta hewan-hewan laut

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN. dan juga nursery ground. Mangrove juga berfungsi sebagai tempat penampung

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. kompleks dan produktif (Odum dan Odum, 1955). Secara alami, terumbu karang

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah sumberdaya hayati, sumberdaya nonhayati;

BAB I PENDAHULUAN. sebagai peringkat kedua Best of Travel 2010 (

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Mangrove

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

VALUASI EKONOMI SUMBERDAYA RUMPUT LAUT DI KOTA PALOPO

III. KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara tropis dan maritim yang kaya akan sumber

II. TINJAUAN PUSTAKA. sumberdaya alam hayati dan non hayati. Salah satu sumberdaya alam hayati

BAB I PENDAHULUAN. dalam penggunaan sumberdaya alam. Salah satu sumberdaya alam yang tidak terlepas

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Terumbu Karang Terumbu karang (coral reefs) merupakan salah satu ekosistem yang amat penting bagi keberlanjutan sumberdaya yang ada di kawasan pesisir dan lautan. Terumbu karang memiliki keanekaragaman hayati yang dapat disejajarkan dengan keanekaragaman hayati di hutan hujan tropis (Ruitenbeek 1992). Terumbu karang adalah ekosistem dari kumpulan karang-karang dan jenis-jenis biota lain yang berasosiasi dengannya juga merupakan ekosistem yang unik karena aktivitas biologisnya. Terumbu karang merupakan ekosistem laut tropis yang terdapat di perairan dangkal yang jernih dan hangat (lebih dari 22 O C). Terumbu adalah endapan-endapan masif yang penting dari kalsium karbonat (CaCO 3 ) terutama yang dihasilkan karang dengan sedikit tambahan dari alga berkapur dan organisme-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat. Terumbu karang adalah ekosistem khas tropis (Nyabakken 1992). Pembentukan terumbu karang merupakan proses yang lama dan kompleks. Tumbuhnya terumbu karang ini disebabkan karena adanya dua kelompok karang yang berbeda yaitu hermatipik dan ahermatipik. Karang ahermatipik tersebar diseluruh dunia sedangkan karang hermatipik hanya tersebar di daerah tropis. Karang ahermatipik tidak dapat menghasilkan terumbu dan dikenal dengan nonreef building corals yang secara normal hidupnya tidak bergantung pada sinar matahari. Karang hermatipik dapat menghasilkan terumbu dari kalsium kaborbonat (CaCo 3 ) sehingga sering disebut reef building corals, hal ini disebabkan karena dalam jaringan karang hermatipik terdapat sel-sel tumbuhan sejenis algae (zooxantellae) yang hidup di jaringan-jaringan polyp karang yang dapat bersimbiosis dan melakukan fotosintesa (Veron 1986). Karena proses fotosintesa bagi zooxantellae tergantung dari penetrasi radiasi matahari ke dalam kolom air, maka kedalaman dan kejernihan air merupakan faktor pembatas pertumbuhan dan perkembangan terumbu dan koloni karang. Radiasi matahari yang cukup untuk mendukung proses fotosintesa zooxanthellae adalah penetrasi hingga kedalaman kurang dari 25 meter, sehingga

pertumbuhan terumbu karang yang baik terjadi pada kedalaman tersebut. Hal inilah yang menyebabkan terumbu karang banyak terdapat di pinggiran pulaupulau dan benua-benua. Kejernihan air juga terkait dengan kandungan sedimen dalam perairan. Di satu sisi kandungan sedimen yang tinggi akan menghambat penetrasi radiasi matahari sehingga mengurangi jumlah radiasi yang diperlukan untuk proses fotosintesa, di sisi lain endapan sedimen di permukaan koloni karang menyebabkan karang mengeluarkan banyak energi untuk membersihkan diri dari sedimen tersebut. Akibatnya karang kehilangan banyak energi, sementara proses fotosintesa untuk menghasilkan energi juga terhambat. Hal itulah yang menyebabkan terhambatnya pertumbuhan karang (Nyabakken 1992). Formasi terumbu karang mengikuti topografi yang terbentuk oleh proses geologi alam. Pemahaman mengenai formasi terumbu karang memberikan informasi kecenderungan bentuk pertumbuhan yang mendominasi suatu zona dengan memperhatikan jarak komunitas terumbu karang terhadap daratan ataupun terhadap laut lepas. Darwin (1842) dalam White (1987) menyatakan tiga perbedaan formasi yang dikenal dengan teori penenggelaman (Subsidence Theory): 1. Terumbu karang tepi (fringing reef) Terumbu karang tepi tumbuh dan berkembang di sepanjang pantai dengan kedalaman tidak lebih dari 40 m. Terumbu ini tumbuh ke permukaan dan arah laut terbuka. 2. Terumbu karang penghalang (barrier reef) Terumbu karang jenis ini berada jauh dari pantai yang dipisahkan oleh gobah (lagoon) dengan kedalaman 40-70 meter. Umumnya terumbu karang ini memanjang menyusuri pantai. Terumbu karang ini disebut barrier karena membentuk batas antara laguna dan laut lepas. Terumbu karang terbesar adalah Great Barrier Reef di Australia, dengan panjang kurang lebih mencapai 2.000 km di sepanjang pantai timur Australia, dimulai dari dekat nugini sampai di utara Brisbane. 3. Terumbu karang cincin (atol) Terumbu karang cincin atau sering disebut atol merupakan terumbu karang yang berbentuk melingkar seperti cincin atau berbentuk ouval yang

muncul dari perairan dalam dan mengelilingi gobah yang tumbuh di atas gunung berapi tua dan tenggelam di laut. Dalam proses pembentukan karang atol, mula-mula karang tumbuh sebagai fringing reef di bagian yang dangkal mengelilingi suatu pulau vulkanik. Kemudian secara alamiah perlahan-lahan pulau tersebut tenggelam dan terumbu karang tetap meneruskan pertumbuhannya makin ke atas, sel baru tumbuh di atas sel yang mati, sampai akhirnya hanya terumbu karangnya saja yang tersisa. Bila pulau vulkaniknya tenggelam seluruhnya maka yang akan tersisa atol melingkar mengelilingi laguna. Terumbu karang terdiri atas polip-polip karang dan organisme-organisme kecil lain yang hidup dalam koloni. Bila polip karang ini mati, ia meninggalkan struktur yang keras membatu terdiri atas bahan mineral yang mengandung kalsium (limestone). Terumbu karang dapat berfungsi sebagai pelindung (shelter) untuk berbagai fauna yang hidup di dalam kompleks habitat terumbu karang ini seperti sponge (sponges), akar bahar, kima, berbagai ikan hias, ikan kerapu (grouper), anemone, teripang, bintang laut, lobster (crustacea), penyu laut, ular laut, siput laut, moluska dan lain-lain. Karakteristik yang paling mengemuka dari ikan-ikan yang hidup di lingkungan karang adalah keragamannya dalam hal jumlah spesies dan perbedaan morfologinya. Diperkirakan daerah Indo-Pasifik memiliki ikan-ikan karang sebanyak 4.000 spesies (sebesar 18 %) dari ikan laut, jenis ikan-ikan ini berasosiasi dengan habitat terumbu karang, dan angka perkiraan ini cenderung meningkat dengan bertambahnya survei-survei eksplorasi daerah habitat karang yang baru (Murdiyanto 2003). Terumbu karang sudah ada sejak jaman Ordovician dan sepanjang 450 juta tahun hidup berbagi lautan dengan ikan (Sale 2002). Terumbu karang sebenarnya dapat juga ditemukan di berbagai laut di belahan dunia seperti di kutub utara maupun perairan Ugahari, namun terumbu karang hanya dapat tumbuh dan berkembang dengan baik di daerah tropis (Nyabakken 1992).

2.2 Nilai Ekonomi Terumbu Karang Terumbu karang merupakan rumah bagi ribuan hewan dan tumbuhan yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Berbagai jenis hewan laut mencari makan dan berlindung pada ekosistem tersebut. Pada kondisi yang maksimal, terumbu karang menyediakan ikan-ikan dan moluska hingga mencapai 10-30 ton/km 2 per tahunnya. Ekosistem ini merupakan sumber plasma nutfah bagi mahkluk hidup, baik di masa sekarang maupun di masa yang akan datang (Kusmurtiyah 2004). Garces (1992) menyebutkan bahwa terumbu karang merupakan salah satu ekosistem yang mempunyai nilai guna yang signifikan, baik ditinjau dari aspek ekologi maupun ekonomi. Terumbu karang menyumbang hasil perikanan laut kurang lebih 10-15% dari total produksi. Terumbu karang juga merupakan pelindung pantai yang sangat penting dari terpaan gelombang, sehingga stabilitas pantai bisa tetap terjaga. Di samping itu nilai keindahan, kekayaan biologi sebagai bagian dari suksesi alam dalam menjaga kelangsungan kehidupan dalam perannya sebagai sumber plasma nutfah, membuat terumbu karang menjadi kawasan ekosistem yang sangat penting dari berbagai segi. Terumbu karang juga merupakan sumber makanan bagi beberapa jenis ikan yang popular di masyarakat. Terumbu karang juga merupakan tempat hidup berbagai jenis kerang serta invertebrata lainnya yang menjadi sumber makanan dan dapat diperdagangkan. Diperkirakan antara 9-12 % produksi dunia bersal dari ikan karang (Soedharma 1997). Menurut Munro dan William dalam Dahuri (1996) dari perairan yang terdapat ekosistem terumbu karang pada kedalaman 30 m setiap kilometer perseginya terkandung ikan sebanyak 15 ton. Sementara itu Supriharyono (2000) menyebutkan bahwa tingginya produktivitas primer di perairan terumbu karang, memungkinkan ekosistem ini dijadikan tempat pemijahan, pengasuhan dan mencari makan bagi banyak biota laut. Menurut Salm (1984) dalam Supriharyono (2000), 16 % dari total hasil ekspor ikan Indonesia berasal dari daerah karang. Tingginya keanekaragaman (diversity) adalah karena kenyataannya kehidupan terumbu karang menyediakan habitat yang sangat beragam, masingmasing dengan pasangan spesies yang khas. Demikian pula perbedaan preferensi terhadap besar kecilnya gelombang air, kuat arus, intensitas cahaya, jumlah algae

dan plankton serta kandungan bahan makanan, kelimpahan, bentuk dan varietas karang membentuk gosong-gosong karang yang besar dan tersebar di berbagai kawasan. Tempat-tempat semacam ini biasanya selain dihuni oleh sejumlah besar spesies ikan disukai pula oleh burung-burung laut yang memakan ikan dan hewanhewan di habitat karang tersebut dan memperkaya kehidupan daerah terumbu karang. Kawasan habitat karang sering disamakan dengan hutan tropisnya lautan atau rainforest of the ocean sebagai tempat bermukim berbagai organisme laut yang beragam (Murdiyanto 2003). Terumbu karang mempunyai peran utama sebagai habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi biota yang hidup di terumbu karang atau sekitarnya. Terumbu karang juga memiliki fungsi yang bernilai jasa keindahan dan kenyamanan (estetika) serta fungsi pendidikan dan penelitian karena merupakan suatu ekosistem yang khas dan memiliki keanekaragaman hayati (biodiversity) (Bengen 1999). Coremap (1999) menyebutkan bahwa banyak orang menyadari pentingnya nilai terumbu karang bagi industri wisata. Dengan semakin berkembangnya industri wisata, jumlah turis yang tertarik pada olahraga air seperti diving dan snorkeling jumlahnya makin bertambah. Meski pada tahun 70-an hanya terdapat sekitar beberapa ratus penyelam-penyelam amatir, sekarang jumlahnya sudah mencapai ribuan. Nilai ekonomi dari ekosistem terumbu karang merupakan nilai dari seluruh instrumen yang ada padanya termasuk sumber makanan dan jasa ekologis. Nilai dari seluruh instrumen yang terdapat pada ekosistem terumbu karang dapat dikuantifikasi melalui melalui metode nilai ekonomi total (total economic value). Berdasarkan teori ekonomi neoklasik seperti consumer surplus dan willingness to pay dapat didekati nilai ekosistem terumbu karang yang bersifat nilai non pasar (non market value) (Roberts 1996). Sedangkan jika dipandang dari sisi ekologi misalnya, nilai dari terumbu karang bisa berarti pentingnya terumbu karang sebagai tempat produksi bagi spesies ikan tertentu, ataupun fungsi ekologis lainnya. Demikian juga dari sisi teknik, nilai terumbu karang bisa saja sebagai pencegah abrasi atau banjir,

pemecah ombak dan sebagainya. Perbedaan mengenai konsepsi nilai tersebut tentu saja akan menyulitkan dalam memahami pentingnya suatu ekosistem. Oleh karena itu, diperlukan suatu persepsi yang sama untuk penilaian ekosistem tersebut. Salah satu tolak ukur yang relatif mudah dan bisa dijadikan persepsi bersama antara berbagai disiplin ilmu tersebut adalah dengan memberikan price tag (harga) terhadap barang dan jasa yang dihasilkan dari sumberdaya dan lingkungan. Dengan demikian kita menggunakan apa yang disebut sebagai nilai ekonomi dari sumberdaya alam (Fauzi 2004). Pentingnya keberadaan ekosistem atau sumberdaya terumbu karang bagi manusia dapat dilihat dalam fungsi ekologisnya bagi biota laut dan lingkungan sekitarnya, produk berupa barang dan jasa ekosistem yang menghasilkan manfaat atau nilai ekonomi, seperti yang tersaji pada Tabel 1. berikut ini. Sumberdaya terbaharui Tabel 1. Barang dan Jasa Ekosistem Terumbu Karang Penambangan terumbu karang Jasa struktur fisik Jasa biotis (di dalam ekosistem) Jasa biotis (antar ekosistem) Produk makanan laut, material dasar dan obat-obatan, material dasar lainnya (seperti rumput laut), barang suvenir dan perhiasan, koleksi karang dan ikan hidup untuk perdagangan akuarium Pasir untuk bangunan dan jalan Perlindungan garis pantai, membentuk daratan, mendukung pertumbuhan mangrove dan padang lamun, pembangkitan pasir karang Merawat habitat, pustaka genetis dan biodiversitas, regulasi fungsi dan proses ekosistem, merawat daya kenyal kehidupan Mendukung kehidupan mobile links, ekspor produksi organik seperti jaring makanan (food web) pelagis Jasa Bio-geo-kimia Fiksasi nitrogen, kontrol neraca CO 2 /Ca Jasa informasi Memantau dan rekaman polusi, pengawasan iklim Jasa sosial dan budaya Dukungan rekreasi, turisme, nilai estetika dan inspirasi artistik, kelangsungan mata pencaharian masyarakat, dukungan budaya, nilai spiritual dan reliji Sumber: Moberg dan Folke (1999)

Kesemua nilai manfaat ekonomi terumbu karang yang mengalir dalam bentuk barang dan jasa ini dalam analisis ekonomi dapat diberikan nilai moneter sebagai manfaat untuk mengestimasi nilai ekonomi ekosistem atau sumberdaya terumbu karang. Nilai-nilai ini digolongkan dalam nilai manfaat (use value) dan nilai bukan manfaat (non-use value), yang secara keseluruhan membentuk nilai ekonomi total (total economic valuation) ekosistem terumbu karang (Adger et al. 1994). Secara umum manfaat ekosistem terumbu karang secara utuh dapat dilihat pada Gambar 2. berikut ini (Barton 1994). Nilai Ekonomi Total (Total Economic Value) Nilai Manfaat (Use Value) Nilai Non-Manfaat (Non-Use Value) Nilai Manfaat Langsung (Direct Value) Nilai Manfaat Tidak Langsung (Indirect Value) Nilai Pilihan (Option Value) Nilai Eksistensi (Existence Value) Nilai Warisan (Bequest Value) - Perikanan - Marikultur - Ikan hias - Pengambilan karang - Farmasi - Pariwisata - Penelitian - Perlindungan pantai - Pemijahan ikan - Rantai makanan - Spesies - Habitat - Biodiversity - Diversifikasi - Rekreasi - Diversifikasi - Rekreasi Gambar 2. Manfaat Ekonomi Terumbu Karang Nilai ekonomi total dari sumberdaya alam, menurut Barton (1994) merupakan penjumlahan dari nilai penggunaan langsung dengan nilai penggunaan tidak langsung, nilai pilihan, nilai eksistensi dan nilai warisan. Nilai penggunaan langsung terumbu karang adalah nilai ekonomi dari eksploitasi sumberdaya tersebut, baik yang konsumtif seperti penangkapan ikan konsumsi dan ikan hias, pengambilan karang, pemanfaatan karang untuk kebutuhan farmasi, maupun yang

non-konsumtif seperti pariwisata ataupun berlayar. Nilai penggunaan langsung biasanya dicerminkan harga pasar sehingga lebih mudah untuk dinilai. Nilai penggunaan tidak langsung merupakan nilai dari fungsi-fungsi ekosistem terumbu karang dalam mendukung sistem produksi dan konsumsi. Nilai ini sangat terkait dengan kondisi terumbu karang yang sehat (baik). Contohnya manfaat terumbu karang sebagai pelindung pantai atau sebagai nursery ground, spawning ground dan feeding ground bagi berbagai jenis biota air. Nilai pilihan merupakan ekspresi dari preferensi seseorang untuk membayar demi pelestarian terumbu karang agar bisa dimanfaatkan di masa depan. Nilai eksistensi merupakan manfaat yang dirasakan masyarakat dari keberadaan terumbu karang setelah manfaat lainnya dihilangkan. Kepedulian terhadap spesies-spesies yang terancam punah merupakan salah satu indikator terhadap pentingnya nilai keberadaan sumberdaya. Sedangkan nilai waris adalah kemauan seseorang untuk membayar demi pelestarian lingkungan dan sumberdaya yang diperuntukkan bagi generasi berikut. Nilai penggunaan tidak langsung, nilai pilihan, nilai eksistensi dan nilai waris biasanya tidak diperjual-belikan di pasar, sehingga sering kali sulit untuk diukur. Bahkan ilmu ekonomi tidak mampu memberi nilai secara tepat bagi nilainilai tersebut, namun hal yang sangat penting bagi para pengambil keputusan bahwa nilai ekonomi total terumbu karang yang sehat (baik) adalah begitu tinggi, tidak sekedar terbatas pada nilai-nilai yang dicerminkan harga pasar dan transaksi pasar (Dixon 2001). 2.3 Konsep Nilai Ekonomi Nilai adalah merupakan persepsi manusia, tentang makna suatu objek (sumberdaya) tertentu, tempat dan waktu tertentu pula. Persepsi ini sendiri merupakan ungkapan, pandangan, perspektif seseorang (individu) tentang atau terhadap suatu benda dengan proses pemahaman melalui panca indera yang diteruskan ke otak untuk proses pemikiran, dan di sini berpadu dengan harapan ataupun norma-norma kehidupan yang melekat pada individu atau masyarakat tersebut (Turner et al. 1994).

Menurut Freeman III (2003) dalam Adrianto (2006), nilai atau value dapat dikategorikan ke dalam dua pengertian besar yaitu nilai interinsik (intrinsic value) atau sering juga disebut sebagai Kantian Value dan nilai instrumental (instrumental value). Secara garis besar, suatu komoditas memiliki nilai interinsik apabila komoditas tersebut bernilai di dalam dan untuk komoditas itu sendiri. Artinya, nilainya tidak diperoleh dari pemanfaatan dari komoditas tersebut, tetapi bebas dari penggunaan dan fungsi yang terkait dengan alam (nature) dan lingkungan (environments). Nilai instrumental dari sebuah komoditas adalah nilai yang muncul akibat pemanfaatan komoditas tersebut untuk kepentingan tertentu. Nilai ekonomi secara umum didefinisikan sebagai pengukuran jumlah maksimum seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa untuk memperoleh barang dan jasa lainnya. Secara formal konsep ini disebut sebagai keinginan membayar (willingness to pay) seseorang terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan. Nilai ekologis dari ekosistem dengan menggunakan pengukuran ini bisa diterjemahkan ke dalam bahasa ekonomi dengan mengukur nilai moneter dari barang dan jasa. Sebagai contoh jika ekosistem pantai mengalami kerusakan akibat polusi, maka nilai yang hilang akibat degradasi lingkungan bisa diukur dari keinginan seseorang untuk membayar agar lingkungan tersebut kembali ke aslinya atau mendekati aslinya (Fauzi 2006). Pengertian nilai ekonomi adalah nilai barang dan jasa yang dapat diperjualbelikan sehingga memberikan pendapatan. Dari konsep ekonomi kegunaan, kepuasan atau kesenangan yang diperoleh indivudu atau masyarakat tidak terbatas kepada barang dan jasa yang diperoleh melalui jual beli (transaksi) saja, tetapi semua barang dan jasa yang memberikan manfaat akan memberikan kesejahteraan bagi individu atau masyarakat tersebut (Pearce dan Moran 1994). Nilai ekonomi suatu komoditas (good) atau jasa (service) lebih diartikan sebagai berapa yang harus dibayar dibanding berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk menyediakan barang/jasa tersebut. Dengan demikian, apabila ekosistem dan sumberdayanya eksis dan menyediakan barang dan jasa bagi kita, maka keinginan membayar (willingness to pay) merupakan proxy bagi nilai sumberdaya tersebut, tanpa mempermasalahkan apakah kita secara nyata

melakukan proses pembayaran (payment) atau tidak (Barbier et al. 1997). Tergantung keadaannya kita perlu tempatkan value sumberdaya tersebut apakah flow (dapat diperbaharui) atau stock (tidak dapat terbarukan atau terhabiskan) (Tietenberg 2001). Ramdan (2003) menyebutkan bahwa penilaian merupakan upaya untuk menentukan nilai atau manfaat dari suatu barang atau jasa untuk kepentingan tertentu manusia atau masyarakat. Penilaian mencakup kegiatan akademis untuk pengembangan konsep dan metodologi untuk menduga nilai manfaat. Nilai merupakan persepsi manusia tentang makna suatu objek, bagi orang tertentu, pada waktu dan tempat tertentu. Persepsi tersebut berpadu dengan harapan ataupun norma-norma kehidupan yang melekat pada individu atau masyarakat itu. Untuk menilai berapa besar nilai SDA ini bergantung pada sistem nilai yang dianut. Sistem nilai tersebut antara lain mencakup apa yang dinilai, kapan dinilai, dimana dan bagaimana menilainya, kelembagaan penilainya dan sebagainya. Menurut Krutila (1967) dalam Fauzi (2005) untuk mengukur nilai sumberdaya dilakukan berdasarkan konsep nilai total (total value) yaitu nilai kegunaan atau pemanfaatan (use value) dan nilai bukan kegunaan atau non use value. Dengan mengetahui nilai sumberdaya tersebut, seharusnya kita dapat memanfaatkan sumberdaya secara efisien. Oleh karena itu, perlu diketahui Nilai Ekonomi Total atau Total Economic Value (TEV) dari sumberdaya tersebut. Nilai Ekonomi Total (Total Economic Value) adalah sebuah konsep yang sederhana yang ditetapkan untuk nilai total dari beberapa sumberdaya alam, yang tersusun dari komponen-komponen yang berbeda. Beberapa dari komponen tersebut mudah untuk dididentifikasi dan dinilai, dan yang lainnya ada yang tidak diketahui atau tidak bisa diraba. Lebih jauh lagi, Barton (1994) berpendapat bahwa Nilai Ekonomi Total (Total Economic Value) dari lingkungan sebagai asset merupakan jumlah dari nilai manfaat (use value) dan non-manfaat (non use value). Nilai manfaat adalah suatu nilai yang timbul dari pemanfaatan sebenarnya suatu fungsi atau sumberdaya yang terdapat dalam suatu ekosistem. Nilai manfaat terdiri dari nilai manfaat secara langsung (direct value), nilai manfaat secara tidak langsung (indirect value) dan nilai pilihan (option value). Nilai non-manfaat

biasanya terdiri dari nilai eksistensi (existence value) dan nilai masa depan (bequest value) (Dixon 1998). Beberapa sumber benefit yang biasa diperoleh bukan pengguna langsung jasa lingkungan adalah sebagai berikut: 1. Nilai Manfaat Secara Langsung (direct value) Nilai Manfaat Secara Langsung (direct value) dari sumberdaya alam biasanya digunakan untuk menunjuk pada pemanfaatan manusia berkaitan dengan konsumsi dan produksi. 2. Nilai Manfaat Secara Tidak Langsung (indirect value) Nilai Manfaat Secara Tidak Langsung (indirect value) biasanya berhubungan dengan minimum level dari infrastruktur ekosistem, yang tanpa hal itu tidak akan tersedia barang dan jasa. 3. Nilai Pilihan (Option Value) Seseorang memiliki keinginan untuk membayar jasa lingkungan meskipun tidak mempunyai rencana untuk menggunakan jasa lingkungan tersebut sebagai pilihan untuk memanfaatkannya di masa datang. Contohnya seseorang yang memiliki mobil yang walaupun tidak ada rencana untuk memanfaatkan transportasi umum, berkeinginan untuk membayar sesuatu untuk mempertahankan operasi transportasi umum tersebut sebagai pilihan lain kalau suatu saat mobilnya mogok atau rusak, maka membayar sebagai pilihan untuk memanfaatkannya di masa datang. 4. Nilai Eksistensi Keberadaan (Existence Value) Nilai atau haraga yang diberikan oleh seseorang terhadap eksistensi barang lingkungan tertentu misalnya objek tertentu, spesies atau alam dengan didasarkan pada etika atau norma tertentu. Contohnya orang mau membayar sesuatu agar ikan paus di lautan tetap ada atau hidup meskipun mereka tidak mempunyai niat untuk pergi melihat.

5. Nilai Masa Depan (Bequest Value) Orang biasa jadi membayar bagi ketersediaan barang-barang lingkungan tertentu seperti objek, spesies dan alam untuk generasi yang akan datang. Dengan demikian, nilai suatu barang lingkungan terdiri dari nilai yang diperoleh langsung oleh pengguna barang atau jasa tersebut (user values) dan nilai dari bukan pengguna jasa. Konsep dasar yang digunakan adalah surplus ekonomi (economic surplus) yang diperoleh dari penjumlahan surplus oleh konsumen (consumers surplus; CS) dan surplus oleh produsen (producers surplus; PS). Surplus konsumen terjadi apabila jumlah maksimum yang mampu konsumen bayar lebih besar dari jumlah yang secara aktual harus dibayar untuk mendapatkan barang atau jasa. Selisih jumlah tersebut disebut consumers surplus (CS) dan tidak dibayarkan dalam konteks memperoleh barang yang diinginkan. Sementara itu, produsers surplus (PS) terjadi ketika jumlah yang diterima oleh produsen lebih besar dari jumlah yang harus dikeluarkan untuk memproduksi sebuah barang atau jasa (Grigalunas dan Congar 1995; Freeman III 2003 dalam Adrianto 2004). Green (1992) diacu dalam Fauzi (2004) memandang bahwa menggunakan pendekatan surplus untuk mengukur manfaat sumberdaya alam merupakan pengukuran yang tepat karena sumberdaya dinilai berdasarkan alternatif penggunaan terbaiknya (best alternative use). Surplus ekonomi dibedakan ke dalam surplus konsumen, surplus produsen dan resource rent (rente sumberdaya). P Supply Curve Consumers Surplus P e Producers Surplus Q e Sumber: Titienberg (2001) Demand Curve Q Gambar 3. Consumer Surplus dan Producer Surplus

2.4 Valuasi Ekonomi Penggunaan metode analisis biaya dan manfaat (Benefit-Cost Analysis atau CBA) yang konvensional sering tidak mampu menjawab permasalahan yang terjadi pada sumberdaya dan lingkungan, sebab konsep ini sering tidak memasukkan manfaat ekologis di dalam analisisnya. Begitu juga ketika kita mengetahui kerusakan lingkungan terjadi akibat aktivitas ekonomi, misalnya pengambil kebijakan sering tidak mampu mengkuantifikasikan kerusakan tersebut dengan metode ekonomi yang konvensional. Permasalahan-permasalahan ini kemudian menjadi dasar pemikiran lahirnya konsep valuasi ekonomi (Fauzi dan Anna 2005). Pemikiran mengenai valuasi ekonomi sebenarnya bukanlah merupakan sesuatu hal yang baru. Konsep ini sudah dimulai sejak tahun 1902 ketika Amerika melahirkan undang-undang River and Harbour Act of 1902 yang mewajibkan para ahli untuk melaporkan seluruh manfaat dan biaya yang ditimbulkan oleh proyek-proyek yang dilakukan di sungai pelabuhan. Konsep ini kemudian lebih berkembang setelah PD II, dimana konsep manfaat dan biaya lebih diperluas ke pengukuran yang sekunder atau tidak langsung dan yang tidak nampak (intangible). Dengan berkembangnya ilmu ekonomi lingkungan pada 1980-an, konsep valuasi ekonomi sumberdaya dan lingkungan kemudian menjadi meluas dan mampu menjembatani kelemahan-kelemahan yang ada pada metode Benefit Cost Analysis (Fauzi 2004). Lebih jauh lagi Fauzi (2005) menyebutkan bahwa valuasi ekonomi dapat didefinisikan sebagai upaya untuk memberikan nilai kuantitatif terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan, baik atas nilai pasar (market value) maupun nilai non pasar (non market value). Penilaian ekonomi sumberdaya merupakan suatu alat ekonomi (economic tools) yang menggunakan teknik penilaian tertentu untuk mengestimasi nilai uang dari barang dan jasa yang diberikan oleh suatu sumberdaya alam. Tujuan dari penilaian ekonomi antara lain digunakan untuk menunjukkan keterkaitan antara konservasi sumberdaya alam dan pembangunan ekonomi, maka valuasi ekonomi dapat menjadi suatu peralatan penting dalam peningkatan apriesiasi dan kesadaran masyarakat terhadap lingkungan itu sendiri.

Akar dari konsep penilaian ini sebenarnya berlandaskan dari teori ekonomi neo-klasikal yang menekankan pada kepuasan atau keperluan konsumen. Berdasarkan pemikiran neo-klasikal ini dikemukakan bahwa penilaian setiap individu pada barang dan jasa tidak lain adalah selisih antara keinginan membayar (willingness to pay) dengan biaya untuk mensuplai barang dan jasa tersebut (Barbier et al. 1997 diacu dalam Fauzi 1999). Menurut suparmoko (2000) ada beberapa alasan mengapa satuan moneter diperlukan dalam valuasi ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan. Tiga alasan utamanya adalah: 1. Satuan moneter dapat digunakan untuk menilai tingkat kepedulian seseorang terhadap lingkungan. 2. Satuan moneter dari manfaat dan biaya sumberdaya alam dan lingkungan dapat menjadi pendukung untuk keberpihakan terhadap kualitas lingkungan. 3. Satuan moneter dapat dijadikan sebagai bahan pembanding secara kuantitatif terhadap beberapa alternatif suatu kebijakan tertentu termasuk pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan. Valuasi ekonomi adalah nilai ekonomi yang terkandung dalam suatu sumberdaya alam, baik nilai guna maupun nilai fungsional yang harus diperhitungkan dalam menyusun kebijakan pengelolaannya. Sehingga alokasi dan alternatif penggunaannya dapat ditentukan secara benar dan mengenai sasaran. Valuasi ekonomi dilakukan karena sumberdaya alam bersifat public good, terbuka dan tidak mengikuti hukum kepemilikan dan tidak ada mekanisme pasar dimana harga dapat berperan sebagai instrumen penyeimbang antara permintaan dan penawaran. Selain itu, manusia dipandang sebagai homoeconomicus yang cenderung memaksimalkan manfaat total (Kusumastanto 2000). Valuasi ekonomi merupakan analisis non-market (non-pasar) karena didasarkan pada mekanisme pemberian nilai moneter pada produk barang dan jasa yang tidak terpasarkan. Jika produk yang terpasarkan dapat digambarkan dalam kurva permintaan dengan kemiringan negatif (downward slopping) maka kurva permintaan menggambarkan marginal valuation yang merupakan gambaran keinginan membayar (Willingness to Pay = WTP) seseorang untuk memperoleh

barang daripada tidak sama sekali. Pada barang yang tidak terpasarkan seperti keanekaragaman hayati, nilai estetika dan sebagainya, kurva permintaan lebih menggambarkan trade off antara kualitas satu produk dengan karakteristik lainnya (Fauzi 2004). Fauzi (2006) menyebutkan bahwa secara umum, teknik valuasi ekonomi sumberdaya yang tidak dapat dipasarkan (non-market valuation) dapat digolongkan ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama adalah teknik valuasi yang mengandalkan harga implisit dimana Willingness to Pay terungkap melalui model yang dikembangkan. Beberapa teknik yang termasuk ke dalam kelompok pertama ini adalah Travel Cost Method, Hedonic Pricing dan Random Utility Model. Kelompok kedua adalah teknik valuasi yang didasarkan pada survei dimana keinginan membayar atau WTP diperoleh langsung dari responden, yang langsung diungkapkan secara lisan maupun tertulis. Teknik valuasi yang termasuk dalam kelompok ini adalah Contingent Valuation Method dan Discrete Choice Method. Berikut adalah beberapa penjelasan mengenai beberapa metode valuasi yang tidak dapat dipasarkan: 1. Travel Cost Method Travel Cost Method atau TCM dapat dikatakan sebagai metode tertua untuk pengukuran nilai ekonomi tidak langsung. Metode ini kebanyakan digunakan untuk menganalisis permintaan terhadap rekreasi di alam terbuka (outdoor recreation), seperti memancing, berbutu, hiking dan sebagainya. Secara prinsip, metode ini mengkaji biaya yang dikeluarkan setiap individu untuk mendatangi tempattempat rekreasi di atas. 2. Hedonic Pricing Method Teknik Hedonic Pricing dikembangkan dari teori atribut (karakteristik) Yang dikemukakan oleh Lancaster (1966). Teknik ini pada prinsipnya adalah mengestimasi nilai implisit karakteristik atau atribut yang melekat pada suatu produk dan mengkaji hubungan antara karakteristik yang dihasilkan tersebut dengan permintaan barang dan jasa.

3. Random Utility Model Secara konseptual random utility model memiliki kesamaan dengan travel cost method, namun random utility model tidak hanya fokus pada jumlah kunjungan rekreasi wisatawan ke suatu lokasi wisata pada waktu tertentu. Model ini fokus pada pilihan-pilihan yang berkaitan dengan alternatif lokasi wisata. Model ini digunakan pada saat faktor-faktor pengganti lokasi wisata tersedia untuk setiap individu, sehingga nilai dari karakteristik-karakteristik satu alternatif atau lebih lokasi wisata dapat diukur. 4. Contingent Valuation Method Metode ini disebut contingent (tergantung) karena pada prakteknya informasi yang diperoleh sangat tergantung pada hipotesis yang dibangun, misalnya seberapa besar biaya yang harus ditanggung, bagaimana pembayaran, dan sebagainya. Pendekatan Contingent Valuation Method (CVM) sering digunakan untuk mengukur nilai pasif (non-pemanfaatan) sumberdaya alam atau sering dikenal dengan nilai keberadaan. CVM pada hakikatnya bertujuan untuk mengetahui keinginan membayar (WTP) dari masyarakat, misalnya perbaikan kualitas lingkuangan (air, udara dan sebagainya) dan keinginan menerima (Willingness to Accept atau WTA) kerusakan suatu lingkungan. 5. Discrete Choice Method Discrete choice model dapat digunakan untuk menganalisis atau memprediksi pembuat keputusan (responden) untuk memilih satu alternatif dari suatu kumpulan alternatif-alternatif secara menyeluruh. Model ini mempunyai banyak aplikasi pada saat beberapa respon bersifat terpisah atau kualitatif secara alami. Responden diminta untuk memilih satu dari beberapa alternatif-alternatif lainnya.