BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan hutan lestari perlu dilaksanakan agar perubahan hutan yang terjadi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KAJIAN KELESTARIAN TEGAKAN DAN PRODUKSI KAYU JATI JANGKA PANJANG KPH BOJONEGORO PERUM PERHUTANI UNIT II JAWA TIMUR CHRISTINA BASARIA S.

BAB I PENDAHULUAN. bagi kehidupan manusia. Pengelolaan hutan merupakan sebuah usaha yang

Lampiran 1 Struktur kelas hutan jati (Tectona grandis L. f.) KPH Madiun tahun 2011

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Hutan tidak hanya mempunyai peranan dalam segi ekologi, tetapi sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dengan perkembangan paradigma pengelolaan hutan. Davis,dkk. (2001)

KETENTUAN MENGENAI PELAKSANAAN PENGUSAHAAN HUTAN PT. DAYA SAKTI TIMBER CORPORATION

Rohman* Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta. Abstract. Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN. pengolahan hasil hingga pemasaran hasil hutan. Pengelolaan menuju

BAB I PENDAHULUAN. yang disebutkan di atas, terdapat unsur-unsur yang meliputi suatu kesatuan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

B. BIDANG PEMANFAATAN

BAB I PENDAHULUAN. hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu. Hutan sendiri

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Tanaman Industri Hutan Tanaman Industri adalah hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas

BAB I PENDAHULUAN. pertukangan dan termasuk kelas kuat dan awet II (Martawijaya et al., 1981). sebagai pilihan utama (Sukmadjaja dan Mariska, 2003).

BAB I PENDAHULUAN. Tanaman (tegakan seumur). Salah satu hutan tanaman yang telah dikelola dan

LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 744/Kpts-II/1990 TANGGAL : 13 Desember 1990

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

SUMBER DAYA HUTAN* Resume by Opissen Yudisyus , Ilmu Ekonomi

PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (TPTJ)

PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG RUMPANG (TR)

PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG HABIS PENANAMAN BUATAN (THPB)

RUANG LINGKUP PERLINDUNGAN HUTAN

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 08.1/Kpts-II/2000 TENTANG KRITERIA DAN STANDAR PEMANFAATAN HASIL HUTAN DALAM HUTAN PRODUKSI SECARA LESTARI

MG-6 DAUR DAN ETAT PEMANENAN KAYU

Sistem silvikultur. Sistem silvikultur & Model Struktur Hutan:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1. PENDAHULUAN A. Dasar Manajemen Hutan working plan perhitungan dan pengaturan hasil Manajemen Hutan

BAB I PENDAHULUAN. ekonomis tinggi. Menurut Bermejo et al. (2004) kayu jati merupakan salah satu

PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA (TPTI)

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 6886/Kpts-II/2002 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. mandat oleh pemerintah untuk mengelola sumber daya hutan yang terdapat di

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.60/Menhut-II/2011 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hutan yang berada di sebuah desa atau kota harus dilestarikan oleh

Sistem silvikultur & Model Struktur Hutan:

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu jenis kayu keras tropis yang paling berharga di pasar

1 BAB I. PENDAHULUAN. tingginya tingkat deforestasi dan sistem pengelolan hutan masih perlu untuk

PEMERINTAH KABUPATEN POSO

KEPUTUSAN DIREKSI PERUM PERHUTANI NOMOR : 436/KPTS/DIR/2011 TENTANG PEDOMAN BERBAGI HASIL HUTAN KAYU DIREKTUR UTAMA PERUM PERHUTANI

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.10/Menhut-II/2006 TENTANG INVENTARISASI HUTAN PRODUKSI TINGKAT UNIT PENGELOLAAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN,

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 6887/KPTS-II/2002 TENTANG

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 6886/Kpts-II/2002 TENTANG

I. PENDAHULUAN. Hutan jati merupakan bagian dari sejarah kehidupan manusia di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

kepemilikan lahan. Status lahan tidak jelas yang ditunjukkan oleh tidak adanya dokumen

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang

BAB I PENDAHULUAN. yang digunakan oleh negara Indonesia. Menurut pasal Pasal 33 ayat (3) disebutkan

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.343/MENHUT-II/2004 TANGGAL : 9 SEPTEMBER 2004

BAB I PENDAHULUAN. dalam Suginingsih (2008), hutan adalah asosiasi tumbuhan dimana pohonpohon

PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 12 TAHUN 2004 TENTANG PERLINDUNGAN HUTAN DAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TARAKAN,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang berkaitan

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL JAKARTA

BAB I. PENDAHULUAN. Kebijakan konservasi hutan atau pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 47 / KPTS-II / 1998 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Suaka Margasatwa Paliyan dengan luas total 434,834 Ha berada di wilayah

KETENTUAN MENGENAI PELAKSANAAN IJIN USAHA HUTAN TANAMAN (IUHT) PT. TUNAS SAWAERMA

BAB I PENDAHULUAN. Kawasan suaka alam sesuai Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 adalah sebuah

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

Menimbang : Mengingat :

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 38 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN KEMASYARAKATAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 8 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2 Litbang Komisi Pemberantasan Korupsi serta dengan mempertimbangkan perkembangan kondisi saat ini, maka penatausahaan hasil hutan kayu yang berasal d

BAB I PENDAHULUAN. Hutan alam yang ada di Indonesia banyak diandalkan sebagai hutan produksi

2 dilakukan adalah redesign manajemen hutan. Redesign manajemen hutan mengarah pada pencapaian kelestarian hutan pada masing-masing fungsi hutan, teru

PROSEDUR SERTIFIKASI SUMBER BENIH

BAB I PENDAHULUAN. hutan negara, dimana kawasannya sudah dikepung kurang lebih 6000 desa

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG HARI NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN (IPHH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan hutan tanaman yang berkelanjutan dan lestari membutuhkan

PERATURAN DAERAH KOTA BIMA NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PERLINDUNGAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BIMA,

PUP (Petak Ukur Permanen) sebagai Perangkat Pengelolaan Hutan Produksi di Indonesia

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 317/KPTS-II/1999 TAHUN 1999 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan adalah salah satu sumber daya alam yang dikaruniakan oleh

GUBERNUR PAPUA. 4. Undang-Undang.../2

FORMAT PROPOSAL TEKNIS PENAWARAN DALAM PELELANGAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU (IUPHHK) PADA HUTAN ALAM

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG

I. PENDAHULUAN. terhadap sumber daya hutan. Eksploitasi hutan yang berlebihan juga mengakibatkan

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem hutan sangat berperan dalam berbagai hal seperti penyedia sumber air,

BAB I PENDAHULUAN. Kayu jati (Tectona grandis L.f.) merupakan salah satu jenis kayu komersial

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN NOMOR 625/KPTS-II/1998 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. melampaui dua tahapan, yaitu ekstraksi kayu dan pengelolaan hutan tanaman. mengikuti paradigma baru, yaitu kehutanan sosial.

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya

Penjelasan PP No. 34 Tahun 2002 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. (renewable resources), namun apabila dimanfaatkan secara berlebihan dan terusmenerus

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 201/KPTS-II/1998. Tentang

PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DALAM SISTEM AGROFORESTRY

Transkripsi:

2.1 Konsep Kelestarian Hasil BAB II TINJAUAN PUSTAKA Salah satu elemen yang paling penting dalam pengelolaan hutan adalah konsep kelestarian hasil hutan (sustained yield forestry). Definisi kelestarian hasil hutan telah mengalami perkembangan dan bervariasi dari negara yang satu ke negara lain. Pada mulanya suatu hutan dianggap dimanfaatkan secara lestari bila tebangan tahunan atau periodik tidak mengurangi kapasitas hasil dan bila setelah penebangan dilakukan di seluruh kawasan hutan, potensi tegakan di lapangan tidak berkurang dibanding dengan sebelum dilakukan penebangan (Simon 2000). Menurut SCHULER (1984) diacu dalam Simon (2000) bahwa kelestarian hasil hutan dititikberatkan pada hasil kayu yang hampir sama dari tahun ke tahun. Namun menurut Hartig (1975) diacu dalam Simon (2000) menulis suatu instruksi untuk pengaturan hutan bahwa untuk hutan negara, kayu yang boleh ditebang dari hutan tidak boleh melebihi ketentuan pengelolaan yang baik dengan hasil permanen. Sedangkan COTTA (1812) diacu dalam Simon (2000) mendefinisikan kelestarian hasil hutan dengan ciri-ciri tercapainya hasil yang tertinggi, dengan biaya yang terendah, dan mencukupi kebutuhan masyarakat. Konsep kelestarian hasil hutan sekarang pada umumnya dianggap mempunyai hubungan dengan lingkup yang lebih luas, menurut aspek ekologi maupun sosial ekonomi suatu wilayah (Simon 2000). 2.2 Konsep Hutan Normal Hutan normal dapat didefinisikan sebagai hutan yang dapat mencapai dan menjaga derajat kesempurnaan hutan untuk memenuhi ketentuan sesuai dengan tujuan pengelolaan (OSMASTON 1968, diacu dalam Simon 2000). Secara ideal hutan normal merupakan tebangan dengan persebaran kelas umur yang merata dan riap yang maksimal. Tebangan tahunan atau periodik pada hakekatnya harus sama dengan riap untuk jangka waktu yang bersangkutan. Dengan demikian hasil kayu

4 yang maksimal dapat diperoleh sepanjang waktu tanpa membahayakan hasil di masa yang akan datang, dan oleh karena itu kelestarian hasil hutan dapat dipertahankan. 2.3 Kelas Perusahaan Kelas perusahaan adalah nama dari suatu kesatuan pengusahaan hutan yang diambil dari salah satu dari tiga kemungkinan yang dapat dipilih, yaitu : nama jenis pohon atau hasil hutan utama lainnya yang diambil atau diusahakan, tujuan penggunaan kayu yang dijadikan hasil utama atau sistem silvikultur utama yang dipergunakan dalam suatu kesatuan pengusahaan dan diatur kelestarian hasilnya (Suhendang et al. 2005). KPH Bojonegoro ditetapkan sebagai kelas perusahaan Tebang Habis Jati, dengan demikian setiap usaha penebangan habis harus selalu diikuti dengan usaha penanaman kembali / permudaan. Oleh sebab itu, agar selalu diusahakan penanaman kembali dengan menggunakan jenis tanaman pokok kelas perusahaan, yaitu jenis jati dengan menggunakan bibit yang berkualitas tinggi (Perum Perhutani 2001). Untuk tanah-tanah kosong yang kurang / tidak baik untuk jati dapat ditanami dengan jenis lain yang sesuai untuk tempat tersebut. Pada lahan yang ditanami jenis kayu lain setelah kondisi tanah meningkat lebih baik, maka tanaman kayu lain diganti dan ditanami dengan jenis sesuai kelas perusahaannya. 2.4 Pembedaan Kelas Hutan Kelas hutan adalah penggolongan kawasan hutan ke dalam kelas-kelas berdasarkan aspek dan tujuan tertentu. Aspek yang digunakan dalam pembagian/ penggolongan kawasan hutan adalah kondisi fisik kawasan, kesesuaian lahan, lingkungan dan vegetasi. Tujuan penggolongan kawsan hutan ke dalam kelas-kelas hutan adalah untuk menentukan tindakan silvikultur yang perlu dilakukan pada tiap kelas hutan (Perum Perhutani 1992). Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No. 143/Kpts/Dj/I/1974 pengaturan kelestarian hutan memerlukan pemisahan hutan ke dalam kelas hutan berdasarkan tujuan pengusahaannnya, yaitu bukan untuk produksi

5 dan untuk produksi. Kelas hutan bukan untuk produksi adalah kawasan hutan yang karena berbagai-bagai sebab tidak dapat disediakan untuk penghasilan kayu dan/atau hasil hutan lainnya, yang terdiri dari TBP (tak baik untuk penghasilan), LDTI (lapangan dengan tujuan istimewa), SA/HW (suaka alam/hutan wisata), dan hutan lindung. Kelas hutan untuk produksi merupakan lapangan-lapangan untuk menghasilkan kayu dan/atau hasil hutan lainnya, yang terdiri dari kawasan untuk produksi kayu jati dan bukan untuk produksi kayu jati. Kawasan yang baik untuk produksi kayu jati, dibagi atas kawasan baik untuk perusahaan tebang habis dan tidak baik untuk perusahaan tebang habis (TBPTH), sedangkan kawasan yang bukan untuk produksi kayu jati, dibagi lagi atas kawasan tak baik untuk jati, tanaman jenis kayu lain (TJKL), dan hutan lindung terbatas (HLT). Kawasan yang baik untuk perusahaan tebang habis, dibagi ke dalam kawasan produktif dan tidak produktif. Kawasan ditumbuhi dengan hutan jati produktif dibagi lagi dalam kelas-kelas hutan yang didasarkan atas umur (kelas umur) dan keadaan hutannya. Kelas umur I s/d XII (KU I s/d XII) yaitu semua hutan tanaman jati yang memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu dipisah-pisahkan ke dalam 12 kelas umur. Masing-masing meliputi 10 tahun, sehingga hutan-hutan yang pada permulaan jangka perusahaan berumur 1 sampai 10 tahun, dimasukkan ke dalam kelas umur ke I, hutanhutan yang berumur 11 s/d 20 tahun tergolong ke dalam kelas umur ke II, dst. Kelas hutan masak tebang (MT) adalah tegakan-tegakan yang berumur 120 tahun atau lebih dan baik, termasuk ke dalam masak tebang (lengkapnya : sudah masak untuk ditebang = sudah waktunya boleh ditebang). Batas umur tertinggi untuk kelas hutan ini tidak ada dan keadaan hutan ini, demikian baiknya, hingga penebangannya dapat ditunda dalam waktu yang agak lama dengan tidak menimbulkan kerugian apa-apa. Untuk keperluan penetapan bonita, umurnya ditetapkan 120 tahun. Jika batang dan tajuk pohon-pohon mempunyai banyak cacat-cacat itu seharusnya dimasukkan ke dalam kelas hutan miskin riap. Kelas hutan miskin riap (MR) adalah semua hutan jati yang berdasarkan keadaannya tidak memuaskan, yaitu tidak ada harapan mempunyai riap yang cukup, dimasukkan ke dalam kelas hutan miskin riap. Hutan-hutan

6 semacam itu perlu secepat mungkin ditebang habis dan diganti dengan tanaman jati yang baru (Perum Perhutani 1974). Kawasan yang termasuk kawasan tidak produktif, yaitu : lapangan tebang habis jangka lampau (LTJL), tanah kosong (TK), hutan kayu lain (terdiri dari TKLdan HAKL), dan hutan jati bertumbuhan kurang (terdiri dari TJBK dan HAJBK). 2.5 Bentuk Tebangan Bentuk tebangan di dalam kelas perusahaan tebang habis jati, terdiri dari tebangan A (tebangan habis biasa), tebangan B (tebangan habis lain), tebangan C (tebangan habis hutan yang dihapuskan), tebangan D (tebangan lain), dan tebangan E (tebangan penjarangan). Tebangan A adalah penebangan habis hutan produktif, yang dibedakan atas A.1. Lelesan bidang tebang habis tahun lampau, A.2. Tebang habis biasa pada jangka berjalan, yaitu penebangan habis pada kelas hutan produktif baik kayu pokok maupun kayu lain dalam jangka berjalan, A.3. Tebang habis biasa pada jangka berikut, yaitu lapangan-lapangan yang akan ditebang dalam jangka perusahaan yang akan datang, A.4. Tebang jalur, yaitu tebang habis terbatas pada areal yang tidak baik untuk tebang habis. Tujuan diadakannya bentuk tebangan A.1 dan A.3 adalah untuk mempermudah pendaftaran rencana tanaman dan teresan di dalam jangka perusahaan yang berjalan, sehingga dapat diketahui rencana penanaman pada lapangan-lapangan yang ditebang habis dalam jangka berjalan (A.2). Lapangan yang direncanakan diteres pada akhir jangka (khusus kelas perusahaan jati) diketahui akan ditebang dalam jangka perusahaan yang berikutnya (A.3). Tebangan B adalah penebangan habis dari kelas hutan tidak produktif yaitu tanah kosong (TK) dan hutan bertumbuhan kurang (BK). Tebangan C yaitu penebangan pada lapangan-lapangan yang pada permulaan jangka perusahaan telah dihapuskan, juga dari lapangan-lapangan yang direncanakan pasti akan dihapus dalam jangka berjalan. Bentuk tebangan ini meliputi bidang-bidang yang sesudah ditebang tidak akan ditanami lagi. Tebangan D terdiri dari D.1. tebangan pembersihan atau tebang limbah, adalah penebangan pohon-pohon yang merana, condong dan rebah yang berada di hutan

7 alam, yang terdapat pada lapangan untuk tebang habis, maupun pada lapangan yang tidak baik untuk tebang habis; D.2. tebangan tak tersangka, adalah penebangan yang berasal dari lapangan-lapangan yang mengalami kerusakan akibat angin, bencana alam atau akan dibuat jalan dan sebagainya, baik di dalam kawasan hutan maupun di pekarangan dinas TPK atau tanah perusahaan; D.3. Tebangan pilih ialah penebangan eksploitasi yang dilakukan secara selektif pada lapangan-lapangan yang tidak baik untuk tebang habis. Sedangkan tebangan E ialah penebangan yang berasal dari pemeliharaaan hutan-hutan yang dilakukan dengan jalan penjarangan. Hasil yang diperoleh dari tebang penjarangan diartikan pula sebagai hasil pendahuluan. 2.6 Daur Daur adalah jangka waktu antara saat penanaman hutan sampai dengan saat pemungutan hasil akhir atau tebangan habis. Menurut Simon (2000) daur atau rotasi adalah suatu periode dalam tahun yang diperlukan untuk menanam dan memelihara suatu jenis pohon sampai mencapai umur yang dianggap masak untuk keperluan tertentu. Istilah daur sebenarnya hanya dipakai untuk pengelolaan hutan tanaman sama umur. Daur dibedakan menurut jangka waktu (lamanya) sebagai berikut : Daur pendek : kurang dari 15 tahun Daur menengah : 15 35 tahun Daur panjang : > 40 tahun Pada dasarnya daur yang digunakan adalah daur ekonomis/finansial karena lebih sesuai dengan tujuan perusahaan. Dalam menetapkan daur juga mempertimbangkan berbagai aspek lain sesuai kondisi sosial ekonomi daerah, tingkat kerawanan sosial dan sebagainya. Pedoman umum daur kayu kelas perusahaan jati adalah 40 80 tahun (Perum Perhutani 1992). Timbulnya istilah daur tidak terlepas dari konsep hutan normal. Pada mulanya, maksud konsep hutan normal adalah untuk menyajikan suatu patokan sebagai pembanding keadaan hutan yang ada di lapangan untuk kepentingan pengelolaan hutan berdasarkan azas kelestarian (MEYER et al. 1961 diacu dalam Simon 2000). Idealnya, setiap tegakan dalam suatu hutan normal akan ditebang pada umur tertentu,

8 yaitu umur daur. Oleh karena itu penentuan panjang daur merupakan salah satu keputusan kunci dalam pengelolaan hutan tanaman sama umur. Adapun pertimbangan KPH Bojonegoro menggunakan daur 60 tahun dan umur tebang minimum (UTM) 50 tahun adalah dengan memperhatikan struktur kelas hutan produktif yang ada, kurang menguntungkan menggunakan daur lama (70 tahun dan 80 tahun); serta memperhatikan azas kelestarian hutan dan azas kelangsungan produksi. 2.7 Pengaturan Hasil Pengaturan hasil merupakan upaya untuk mengatur pemungutan hasil (panenan) agar jumlah hasil yang dipungut setiap periode kurang lebih sama dan dapat diusahakan meningkat secara berkesinambungan. Pengaturan hasil berintikan penentuan etat. Etat didefinisikan sebagai besarnya porsi luas atau massa kayu atau jumlah batang yang boleh dipungut setiap tahun selama jangka pengusahaan yang menjamin kelestarian produksi dan sumberdaya (Departemen Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia 1999). Prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam penetapan etat tebangan, antara lain : etat volume tidak dibenarkan melebihi pertumbuhan tegakan (riap), pemanfaatan semua jenis kayu komersial secara optimal, menjamin kelestarian produksi dan kelestarian hutan, memperhatikan kebijaksanaan pemerintah di bidang pengusahaan hutan, menjamin fungsi perlindungan hutan. Faktor yang mempengaruhi etat tebangan, antara lain : sistem silvikultur yang digunakan, rotasi tebangan yang digunakan, diameter minimum yang diijinkan untuk ditebang, luas areal berhutan yang dapat dilakukan penebangan, massa tegakan, jenis pohon. Pada dasarnya metode yang digunakan di dalam pengaturan hasil adalah metode kombinasi etat luas dan etat volume berdasarkan SK Dirjen Kehutanan No. 143/Kpts/Dj/I/1974. a) Penentuan Etat Etat luas = Keterangan : L = luas jenis kayu pokok yang dihasilkan dalam ha

9 D = daur (tahun) Etat massa = Keterangan : = massa kayu tegakan kelas umur pada UTR = massa kayu hutan miskin riap b) Umur Tebang Rata-rata (UTR) adalah umur rata-rata kelas perusahaan ditambah setengah daur dari kelas perusahaan/bagian hutan yamg bersangkutan. Cara perhitungan ini didasarkan pada anggapan bahwa rata-rata dari kelas hutan yang ada akan mencapai umur tebang setelah jangka waktu setengah daur. UTR = ū + ½ d Keterangan : UTR = umur tebang rata-rata d = daur ū = umur rata-rata yang dihitung dengan rumus : ū = = luas areal tanaman ke-i = umur tengah tanaman ke-i i =1, 2, 3,. Sampai tanaman terakhir dalam kelas umur bersangkutan. c) Pengujian Jangka Waktu Penebangan (cutting time test) Hasil perhitungan etat tersebut perlu diuji. Cutting time test adalah pengujian terhadap kelestarian produksi selama daur berdasarkan luas tegakan produksi yang ada serta berdasarkan potensi produksi dari masing-masing petak/anak petak. Bilamana dalam pengujian kumulatif tahun-tahun penebangan selama daur dianggap ada perbedaan nyata dengan daur yang telah ditetapkan, maka etat massa yang telah didapat pada perhitungan pertama dikoreksi menjadi etat massa untuk diuji lagi pada cutting time test berikutnya masih memberikan perbedaan lebih dari dua tahun, etat yang telah dikoreksi kembali berturut-turut sampai perbedaan akhirnya maksimum 2 tahun.

10 2.8 Jangka Benah Jangka benah ialah apabila kelas umur (KU), umur pada saat ditebang di bawah umur tebang minimum yang telah ditetapkan. Jangka benah dilaksanakan agar setiap kelas umur (KU), umur pada saat ditebang mencapai umur tebang minimum (Perum Perhutani 2001). Dalam konsep kelestarian, jangka benah dilakukan untuk membenahi kepincangan-kepincangan agar hutan dapat normal kembali. 2.9 Pengamanan Hutan Pengamanan hutan bertujuan untuk mencegah terjadinya penyerobotan tanah hutan, penebangan liar, penggembalaan liar, dan kebakaran hutan. Pengamanan hutan guna menanggulangi adanya perambahan hutan dan pencurian hasil hutan dilakukan secara rutin, khusus maupun terpadu dengan titik berat mencegah segala bentuk pelanggaran yang berupa penebangan liar, perambah kawasan, dan perladangan berpindah; pengangkutan, peredaran, penyelundupan, dan pencurian hasil hutan; industri penggergajian kayu liar, kayu tebangan liar yang dilindungi oleh dokumen sah, pemberian izin pengolahan kayu dan areal hutan yang tidak melalui prosedur, pemilik modal yang membiayai usaha penebangan liar, serta penadah/pembeli kayu liar. Perubahan potensi hutan akibat gangguan keamanan dan bencana alam antara lain : pencurian, angin, kebakaran, tanaman gagal, dan hama penyakit (Departemen Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia 1999). Faktor utama yang menyebabkan timbulnya kemunduran potensi hutan jati di Jawa adalah adanya kemiskinan di daerah pedesaan karena menurunnya rata-rata pemilikan lahan pertanian dan meningkatnya angkatan kerja, sehingga menyebabkan terjadinya tanaman gagal, penggembalaan ternak yang berlebihan di lahan hutan, dan pencurian kayu (Simon 2000).