V. GAMBARAN UMUM EKONOMI KELAPA SAWIT DAN KARET INDONESIA

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan

IV. GAMBARAN UMUM. Sumber : WTRG Economics

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. banyak kebutuhan lainnya yang menghabiskan biaya tidak sedikit. Guna. sendiri sesuai dengan keahlian masing-masing individu.

V. GAMBARAN UMUM. sebagai produsen utama dalam perkakaoan dunia. Hal ini bukan tanpa alasan, sebab

I. PENDAHULUAN. Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki areal perkebunan yang luas.

BAB I PENDAHULUAN. sawit, serta banyak digunakan untuk konsumsi makanan maupun non-makanan.

I. PENDAHULUAN. Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang

I. PENDAHULUAN. Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan. selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam

VI. PERKEMBANGAN EKSPOR KARET ALAM INDONESIA Perkembangan Nilai dan Volume Ekspor Karet Alam Indonesia

I. PENDAHULUAN. kebutuhan akan minyak nabati dalam negeri. Kontribusi ekspor di sektor ini pada

II. TINJAUAN UMUM MINYAK NABATI DUNIA DAN MINYAK KELAPA SAWIT INDONESIA

Boks 1. DAMPAK PENGEMBANGAN KELAPA SAWIT DI JAMBI: PENDEKATAN INPUT-OUTPUT

PERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG

I. PENDAHULUAN. diarahkan pada berkembangnya pertanian yang maju, efisien dan tangguh.

I. PENDAHULUAN. (BPS 2012), dari pertanian yang terdiri dari subsektor tanaman. bahan makanan, perkebunan, perternakan, kehutanan dan perikanan.

BAB 1 PENDAHULUAN. Karet merupakan komoditi ekspor yang mampu memberikan kontribusi di dalam

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. mencapai US$ per ton dan mendekati US$ per ton pada tahun 2010.

BAB I PENDAHULUAN. ukuran dari peningkatan kesejahteraan tersebut adalah adanya pertumbuhan

II. TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Komoditas kelapa sawit merupakan salah satu komoditas yang penting di

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Produksi CPO di Indonesia

5 GAMBARAN UMUM AGRIBISNIS KELAPA SAWIT

BAB 1 PENDAHULUAN. Sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan memberikan

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

V. KERAGAAN INDUSTRI GULA INDONESIA

IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Perkebunan Dunia

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai perkebunan kelapa sawit terluas disusul Provinsi Sumatera. dan Sumatera Selatan dengan luas 1,11 juta Ha.

VIII. SIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. pertanian (agro-based industry) yang banyak berkembang di negara-negara tropis

BAB I PENDAHULUAN. Dalam mendorong pembangunan ekonomi nasional, salah satu alat dan

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik khususnya pada hasil perkebunan.

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN

I. PENDAHULUAN. Indonesia menurut lapangan usaha pada tahun 2010 menunjukkan bahwa sektor

BAB I PENDAHULUAN. dalam perekonomian suatu negara. Terjalinnya hubungan antara negara satu

Tinjauan Pasar Minyak Goreng

I. PENDAHULUAN. Peran ekspor non migas sebagai penggerak roda perekonomian. komoditas perkebunan yang mempunyai peran cukup besar dalam

ANALISIS KINERJA EKSPOR 5 KOMODITAS PERKEBUNAN UNGGULAN INDONESIA TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. Proses globalisasi yang bergulir dengan cepat dan didukung oleh kemajuan

BAB V GAMBARAN UMUM PRODUK PERTANIAN

PELUANG DAN PROSPEK BISNIS KELAPA SAWIT DI INDONESIA

BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA. negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi,

BAB I PENDAHULUAN. memperhatikan kelestarian sumber daya alam (Mubyarto, 1994).

memberikan multiple effect terhadap usaha agribisnis lainnya terutama peternakan. Kenaikan harga pakan ternak akibat bahan baku jagung yang harus

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian dan perkebunan merupakan sektor utama yang membentuk

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan konsumsi yang cukup pesat. Konsumsi minyak nabati dunia antara

BAB I PENDAHULUAN. Produk Domestik Bruto (PDB) yang cukup besar, yaitu sekitar 14,43% pada tahun

I. PENDAHULUAN. besar penduduk, memberikan sumbangan terhadap pendapatan nasional yang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Saat ini pengembangan sektor pertanian di Indonesia masih tetap strategis.

BAB I PENDAHULUAN. Sejak dikembangkannya tanaman kelapa sawit di Indonesia pada tahun 60-an,

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan pembangunan pertanian periode dilaksanakan melalui tiga

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan

KAJIAN PENGEMBANGAN KONTRAK BERJANGKA CPO

I. PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang memiliki kekayaan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat secara ekonomi dengan ditunjang oleh faktor-faktor non ekonomi

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dengan keanekaragaman sumberdaya hayati yang tinggi. Sektor pertanian merupakan

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA. Oleh : RIKA PURNAMASARI A

BAB I PENDAHULUAN. diperbaharui, dalam kata lain cadangan migas Indonesia akan semakin menipis.

PELUANG INVESTASI BISNIS KELAPA SAWIT DI INDONESIA. Makalah. Disusun Oleh : Imam Anggara

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN Gejolak moneter yang terjadi pada November 1997 dan mencapai Mminasi

BAB I PENDAHULUAN. Jagung merupakan komoditi yang penting bagi perekonomian Indonesia,

V. EKONOMI GULA. dikonsumsi oleh masyarakat. Bahan pangan pokok yang dimaksud yaitu gula.

I. PENDAHULUAN. penyerapan tenaga kerja dengan melibatkan banyak sektor, karena

I. PENDAHULUAN. melimpah, menjadikan negara ini sebagai penghasil produk-produk dari alam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik

V GAMBARAN UMUM PERKEMBANGAN DAN IMPOR KEDELAI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi semakin sempit.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gambar 1. Luasan lahan perkebunan kakao dan jumlah yang menghasilkan (TM) tahun

V. GAMBARAN UMUM. 5.1 Luas Areal Perkebunan Kopi Robusta Indonesia. hektar dengan luas lahan tanaman menghasilkan (TM) seluas 878.

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

KEBIJAKAN DAN STRATEGI OPERASIONAL PENGEMBANGAN BIOINDUSTRI KELAPA NASIONAL

II. TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Analisis kebijakan industri minyak sawit Indonesia: Orientasi ekspor dan domestik Edid Erdiman

DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pertumbuhan perekonomian suatu negara tentunya tidak terlepas dari

I. PENDAHULUAN. sektor yang mempunyai peranan yang cukup strategis dalam perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. keberlangsungan suatu negara dan diyakini merupakan lokomotif penggerak dalam

TERM OF REFERENCE (TOR) PENUNJUKAN LANGSUNG TENAGA PENDUKUNG PERENCANAAN PENGEMBANGAN PENANAMAN MODAL DI BIDANG AGRIBISNIS TAHUN ANGGARAN 2012

PROGRAM REVITALISASI PERKEBUNAN DAN PEMBIAYAAN PERBANKAN

BAB I PENDAHULUAN. pertukaran barang dan jasa antara penduduk dari negara yang berbeda dengan

Boks 1. Dampak Pembangunan Industri Hilir Kelapa Sawit di Provinsi Riau : Preliminary Study IRIO Model

I.PENDAHULUAN Selain sektor pajak, salah satu tulang punggung penerimaan negara

BAB I PENDAHULUAN. Kelapa sawit, berasal dari daerah tropis di Amerika Barat yang penting

I. PENDAHULUAN. Komoditas kelapa sawit merupakan komoditas penting di Malaysia

Transkripsi:

V. GAMBARAN UMUM EKONOMI KELAPA SAWIT DAN KARET INDONESIA Pada bab V ini dikemukakan secara ringkas gambaran umum ekonomi kelapa sawit dan karet Indonesia meliputi beberapa variabel utama yaitu perkembangan luas areal panen, produksi, ekspor, impor, dan harga komoditi kelapa sawit dan karet. Berdasarkan data yang dikumpulkan dari berbagai sumber maka dapat disajikan secara ringkas keadaan dari variabel utama ekonomi kelapa sawit dan karet indonesia. 5.1. Perkembangan Luas Areal Perkebunan Ditinjau dari aspek luas areal, subsektor tanaman perkebunan mengalami pertumbuhan yang sangat konsisten dari tahun ke tahun. Menurut Ditjenbun (2007a) pertumbuhan luas areal perkebunan Indonesia selama periode 2001-2006 sebesar 1.86 persen, dimana pada tahun 2001 luas areal perkebunan 16.96 juta hektar menjadi 18.62 juta ha atau mengalami pertumbuhan sebesar 4.14 persen dari tahun 2005 ke tahun 2006. Budidaya perkebunan kelapa sawit dan karet di Indonesia menurut pengusahaannya terdiri atas 3 jenis yaitu Perkebunan Rakyat (PR), Perkebunan Besar Negara (PBN), dan Perkebunan Besar Swata (PBS). Pengusahaan perkebunan kelapa sawit Indonesia pada awalnya hanya dilakukan oleh Perkebunan Besar Negara (PBN) dan Perkebunan Besar Swasta (PBS), sedangkan masyarakat di sekitar kebun hanya sebagai buruh perkebunan. Berbeda dengan pengusahaan perkebunan karet luas areal perkebunan karet didominasi oleh perkebunan rakyat yaitu mencapai 85 persen dari total lahan perkebunan karet. Perkebunan rakyat tersebut, sebagian besar dikembangkan secara swadaya murni,

78 dan hanya sekitar sembilan persen dibangun melalui proyek PIR, PRPTE, UPP Berbantuan, Partial, dan Swadaya Berbantuan (Deptan, 2005b). Adapun Pola Pengusahaan Inti Rakyat (PIR) dilakukan pemerintah mulai tahun 1977. Tabel 3. Perkembangan Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia Menurut Bentuk Pengusahaannya Tahun 1999-2008 Tahun Luas (Ha) PR PBN PBS Total Luas Luas Luas (Ha) (Ha) (Ha) Ptbh (%) 1999 1 041 046 26.68 576 999 14.79 2 283 757 58.53 3 901 802 2000 1 166 758 28.06 588 125 14.14 2 403 194 57.80 4 158 077 6.57 2001 1 561 031 33.12 609 947 12.94 2 542 457 53.94 4 713 435 13.36 2002 1 808 424 35.69 631 566 12.46 2 627 068 51.85 5 067 058 7.50 2003 1 854 394 35.10 662 803 12.54 2 766 360 52.36 5 283 557 4.27 2004 2 220 338 42.01 605 865 11.46 2 458 520 46.52 5 284 723 0.02 2005 2 356 895 43.22 529 854 9.72 2 567 068 47.07 5 453 817 3.20 2006 2 549 572 38.66 687 428 10.42 3 357 914 50.92 6 594 914 20.92 2007 2 752 172 40.67 606 248 8.96 3 408 416 50.37 6 766 836 2.61 2008 2 881 898 39.13 602 963 8.18 3 878 986 52.67 7 363 847 8.82 Keterangan: PR = Perkebunan Rakyat PBN= Perkebunan Besar Negara PBS = Perkebunan Besar Swasta Sumber: Ditjenbun, 2009. Budidaya tanaman kelapa sawit tahun 1967 hanya dilakukan oleh perkebunan besar negara dan perkebunan besar swasta masing masing seluas 65 573 hektar dan 40 235 hektar. Pada akhir tahun 1992, perkebunan rakyat sudah mampu memberikan peran yang lebih besar dari perkebunan besar negara dengan persentase luas areal 40.67 persen dari luas total 6.77 juta hektar. Sumatera mendominasi ketiga jenis pengusahaan, sedangkan Kalimantan dan Sulawesi menjadi lokasi pengembangan perkebunan swasta dan perkebunan rakyat.

79 Selama periode 10 tahun terakhir, seperti terlihat dalam Tabel 3, telah terjadi peningkatan luas areal kelapa sawit lebih 3 juta ha dengan laju pertumbuhan rata-rata sebesar 6.89 persen per tahun. Pada tahun 2006 mencapai tingkat pertumbuhan luas areal yang tertinggi yaitu sebesar 20.92 persen. Dilihat dari perkembangannya pada tahun 1999 luas areal perkebunan rakyat terus meningkat pada tahun-tahun berikutnya. Sementara luas areal perkebunan negara meningkat sampai tahun 2003, pada tahun 2004-2005 menurun dan kembali meningkat pada tahun 2006. Namun demikian posisi perkebunan negara sejak tahun 1999 sampai 2008 berada pada posisi ketiga dengan luas areal 607 419 hektar (8.67 persen) dan perkebunan besar swasta menempati urutan pertama dengan luas areal 3.49 juta hektar (49.90 persen). Peningkatan luas areal perkebunan kelapa sawit tersebut tidak terlepas dari beberapa kebijakan sektoral terkait untuk memacu pertumbuhan produksi dan ekspor, seperti kebijakan tingkat suku bunga, kemudahan memperoleh kredit yang berkaitan dengan dengan iklim investasi pada perkebunan kelapa sawit. Indonesia merupakan negara dengan areal tanaman karet terluas di dunia Pada tahun 2002, luas perkebunan karet Indonesia mencapai 3.32 juta ha, disusul Thailand, Malaysia, China, India, dan Vietnam, dengan luas perkebunan masingmasing secara berurutan 1.96 juta ha, 1.54 juta ha, 0.61 juta ha, 0.56 juta ha, dan 0.32 juta ha (Ditjenbun, 2005b). Jumlah areal tanam masih bisa ditingkatkan lagi dengan memberdayakan lahan-lahan pertanian milik petani yang sesuai untuk perkebunan karet dan belum dimanfaatkan secara intensif, untuk keperluan meningkatkan pendapatannya. Dengan memperhatikan adanya peningkatan permintaan dunia terhadap komoditi

80 karet ini dimasa yang akan datang, maka upaya untuk meningkatakan pendapatan petani melalui perluasan tanaman karet dan peremajaaan kebun bisa merupakan langkah yang efektif untuk keperluan meningkatkan pendapatannya. Tabel 4. Perkembangan Luas Areal Perkebunan Karet Indonesia Menurut Bentuk Pengusahaannya Tahun 1999-2008 PR PBN PBS Total Tahun Luas Luas Luas Luas (Ha) (Ha) (Ha) 1999 3 086 543 85.86 218 344 6.07 290 173 8.07 3 595 060 Ptbh (%) 2000 2 882 795 85.48 212 617 6.30 277 009 8.21 3 372 421 (6.19) 2001 2 838 421 84.86 221 876 6.63 284 470 8.50 3 344 767 (0.82) 2002 2 825 476 85.15 221 228 6.67 271 655 8.19 3 318 359 (0.79) 2003 2 772 490 84.27 241 625 7.34 275 997 8.39 3 290 112 (0.85) 2004 2 747 899 84.23 239 118 7.33 275 250 8.44 3 262 267 (0.85) 2005 2 767 021 84.38 237 612 7.25 274 758 8.38 3 279 391 0.52 2006 2 832 982 84.66 238 003 7.11 275 442 8.23 3 346 427 2.04 2007 2 899 679 84.94 238 246 6.98 275 792 8.08 3 413 717 2.01 2008 2 910 208 84.99 238 210 6.96 275 799 8.05 3 424 217 0.30 Keterangan: PR = Perkebunan Rakyat PBN= Perkebunan Besar Negara PBS = Perkebunan Besar Swasta Sumber: Ditjenbun, 2009. Selama periode 10 tahun terakhir, seperti terlihat dalam Tabel 4, telah terjadi penurunan luas areal karet lebih 125 ribu hektar dengan laju pertumbuhan rata-rata sebesar 3.27 persen per tahun. Pada tahun 2000 terjadi penurunan luas areal tertinggi sebesar 6.19 persen dan sampai tahun 2004 terus mengalami penurunan. Hal ini mungkin disebabkan oleh perkebunan rakyat mengganti komoditi karet menjadi kelapa sawit karena harga minyak sawit (CPO) terus meningkat.

81 5.2. Perkembangan Produksi dan Produktivitas Peningkatan produksi kelapa sawit, karet terjadi karena pengembangan tanaman melalui pola PIR, UPP berbantuan, dan swadaya masyarakat yang sudah memasuki usia menghasilkan. Dari segi produksi kelapa sawit Indonesia pada tahun 2008 menempati posisi pertama menggeser posisi Malaysia dan produksi karet Indonesia menempati posisi kedua setelah Thailand. Tabel 5. Perkembangan Produksi Crude Palm Oil Indonesia Menurut Bentuk Pengusahaannya Tahun 1999-2008 Tahun Produksi (ton) PR PBN PBS Produksi (ton) Produksi (ton) Produksi Total 1999 1 547 811 23.98 1 468 949 22.75 3 438 830 53.27 6 455 590 2000 1 905 653 27.22 1 460 954 20.87 3 633 901 51.91 7 000 508 2001 2 798 032 33.32 1 519 289 18.09 4 079 151 48.58 8 396 472 2002 3 426 740 35.61 1 607 734 16.71 4 587 871 47.68 9 622 345 2003 3 517 324 33.69 1 750 651 16.77 5 172 859 49.54 10 440 834 2004 3 847 157 35.52 1 617 706 14.94 5 365 526 49.54 10 830 389 2005 4 500 769 37.94 1 449 254 12.22 5 911 592 49.84 11 861 615 2006 5 783 088 33.33 2 313 729 13.33 9 254 031 53.33 17 350 848 2007 6 358 389 35.99 2 117 035 11.98 9 189 301 52.02 17 664 725 2008 6 923 042 39.47 1 938 134 11.04 8 678 612 49.47 17 539 788 Keterangan: PR = Perkebunan Rakyat PBN= Perkebunan Besar Negara PBS = Perkebunan Besar Swasta Sumber: Ditjenbun, 2009. Sejalan dengan perkembangan luas areal perkebunan kelapa sawit pada periode 1999-2008, diikuti oleh produksi Crude Palm Oil (CPO) dan Palm Kernel Oil (PKO) cenderung semakin meningkat. Produksi di tahun 1999 hanya 6.45 juta ton CPO menjadi 17.54 juta ton pada tahun 2008. Dengan komposisi perkebunan rakyat 6.92 juta ton, perkebunan besar negara 1.94 juta ton dan perkebunan besar swasta 8.68 juta ton. Dari Tabel 5 terlihat terjadinya kecenderungan peningkatan

82 pangsa produksi perkebunan rakyat dari 23.98 persen pada tahun 1999 menjadi 39.47 persen pada tahun 2008. Hal ini karena perkembangan luas areal perkebunan rakyat. Sedangkan pangsa produksi perkebunan besar negara memperlihatkan kecenderungan yang semakin menurun dari 22.75 persen pada tahun 1999 menjadi 11.04 persen pada tahun 2008 dan pangsa produksi pada perkebunan besar swasta memperlihatkan kecenderungan yang menurun dari 53.27 persen pada tahun 1999 menjadi 49.47 persen pada tahun 2008. Kondisi di atas menunjukkan bahwa terjadi perbedaan produktivitas kelapa sawit antar bentuk pengusahaan perkebunan. Pada tahun 1999, produktivitas tertinggi dihasilkan oleh perkebunan negara, yaitu 2.55 ton/ha, kemudian diikuti oleh perkebunan besar swasta yaitu 1.55 ton/ha dan perkebunan rakyat sebesar 1.48 ton/ha. Tabel 6. Perkembangan Produksi Karet Alam Indonesia Menurut Bentuk Pengusahaannya Tahun 1999-2008 Tahun Produksi (ton) PR PBN PBS Produksi (ton) Produksi (ton) Produksi Total 1999 1 206 410 75.20 181 522 11.31 216 427 13.49 1 604 359 2000 1 125 161 74.94 169 866 11.31 206 401 13.75 1 501 428 2001 1 209 284 75.23 182 578 11.36 215 599 13.41 1 607 461 2002 1 226 647 75.24 186 535 11.44 217 177 13.32 1 630 359 2003 1 396 244 77.90 191 699 10.70 204 405 11.40 1 792 348 2004 1 662 016 80.45 196 088 9.49 207 713 10.05 2 065 817 2005 1 838 670 80.97 209 837 9.24 222 384 9.79 2 270 891 2006 2 082 597 78.97 265 813 10.08 288 821 10.95 2 637 231 2007 2 176 686 79.00 277 200 10.06 301 286 10.94 2 755 172 2008 2 173 616 79.00 276 809 10.06 300 861 10.94 2 751 286 Keterangan: PR = Perkebunan Rakyat PBN= Perkebunan Besar Negara PBS = Perkebunan Besar Swasta Sumber: Ditjenbun, 2009.

83 Tingginya produktivitas pada perkebunan negara diduga karena, manajemen produksi yang relatif lebih baik, umumnya umur tanaman berada pada tahap produksi. Sedangkan pada perkebunan rakyat dimama umur tanaman relatif lebih muda dan manajemen produksi yang kurang baik. Produksi karet Indonesia memiliki peranan cukup besar dalam perkaretan dunia. Deptan (2005b) menyatakan bahwa pada tahun 2002 diperoleh produksi karet Indonesia sebesar 1.63 juta ton yang menempati peringkat kedua di dunia, setelah Thailand dengan produksi sekitar 2.35 juta ton. Posisi selanjutnya ditempati India (0.63 juta ton), Malaysia (0.62 juta ton), China (0.45 juta ton), dan Vietnam (0.29 juta ton). Dengan posisi yang cukup strategis tersebut, karet diharapkan menjadi penggerak kebangkitan ekonomi melalui peningkatan produksi yang akan meningkatkan ekspor. Perkembangan produksi karet Indonesia seperti yang ditunjukkan pada Tabel 6, mengalami peningkatan produksi dari 1.60 juta ton pada tahun 1999 menjadi 2.75 juta ton pada tahun 2008, dengan pangsa produksi perkebunan rakyat sebesar 79 persen, perkebunan besar negara sebesar 10.06 persen, dan perkebunan besar swasta sebesar 10.94 persen. Adapun laju pertumbuhan produksi selama 10 tahun terakhir adalah 7.09 persen per tahun. Kondisi di bawah ini menunjukkan bahwa terjadi perbedaan produktivitas karet antar bentuk pengusahaan perkebunan. Pada tahun 1999, produktivitas tertinggi dihasilkan oleh perkebunan negara, yaitu 0.83 ton/ha, kemudian diikuti oleh perkebunan besar swasta yaitu 0.75 ton/ha dan perkebunan rakyat sebesar 0.39 ton/ha. Namun pada tahun 2008 mengalami peningkatan produktivitas

84 menjadi 1.20 ton/ha untuk perkebunan negara, 1.14 ton/ha untuk perkebunan besar swasta dan 0.78 ton/ha untuk perkebunan rakyat. Sama seperti perkebunan kelapa sawit, produktivitas pada perkebunan karet yang diusahakan oleh perkebunan negara lebih tinggi diduga karena, manajemen produksi yang relatif lebih baik, umumnya umur tanaman yang relatif lebih tua dan berada pada tahap produksi. Sedangkan pada perkebunan rakyat disebabkan oleh umur tanaman relatif lebih muda dan manajemen produksi yang kurang baik. 5.3. Perkembangan Ekspor dan Impor Ekspor komoditas perkebunan selama ini dari segi nilai ekspor mengalami peningkatan yang cukup besar walaupun tidak selalu signifikan dengan peningkatan volume ekspor sehubungan dengan adanya fluktuasi harga. Dalam hal impor komoditas primer perkebunan, yang memprihatinkan adalah masih relatif tingginya impor beberapa komoditas yang sesungguhnya masih memiliki potensi/peluang pengembangannya. Indonesia merupakan produsen terbesar minyak sawit (CPO) dunia dengan luas perkebunan kelapa sawit terbesar pula tetapi dalam keadaan mendesak Indonesia juga mengimpor minyak sawit. Negara tujuan utama ekspor minyak sawit Indonesia adalah Eropa Barat, India, Pakistan, Cina, dan Jepang. Produk yang diekspor adalah minyak olahan tahap awal seperti RBD palm oil, CPO, dan beberapa produk oleokimia. Secara umum, ekspor minyak sawit Indonesia tahun 1999-2005 meningkat. Pada tahun 1999 volume ekspor minyak sawit atau CPO sebesar 3.29 juta ton senilai 1 114 juta US$ menjadi 10.37 juta ton senilai 3 756 juta US$ pada

85 tahun 2005. Sedangkan minyak inti sawit atau PKO sebesar 597 843 ton senilai 347.9 juta US$ menjadi 1 042 613 ton senilai 602.6 juta US$ pada tahun 2005 seperti terlihat dalam Tabel 7. Tabel 7. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor-Impor Crude Palm Oil dan Palm Kernel Oil Indonesia Tahun 1999-2008 Tahun Minyak Kelapa Sawit (CPO) Volume (ton) Nilai (000 US$) Ekspor Minyak Inti Sawit (PKO) Volume (ton) Nilai (000 US$) Impor Minyak Kelapa Sawit Minyak Inti Sawit (CPO) (PKO) Nilai Nilai Volume Volume (000 (000 (ton) (ton) US$) US$) 1999 3 298 987 1 114 242 597 843 347 975 1 648 543 1 209 1 004 2000 4 110 027 1 087 278 578 825 23 912 435 402 3 638 2 404 2001 4 903 218 1 080 906 581 926 146 259 141 60 4 974 2 464 2002 6 333 708 2 092 404 738 416 256 234 9 499 3 267 2 362 1 478 2003 6 386 409 2 454 626 659 894 264 678 4 014 2 201 1 592 1 066 2004 8 661 647 3 441 776 904 327 502 681 432 1 937 3 564 3 157 2005 10 375 792 3 756 557 1 042 613 602 606 1 081 5 374 3 257 2 992 2006 10 471 915 3 522 810 1 274 039 616 476 1 645 1 287 1 386 1 207 2007 11 875 418 7 868 640 1 335 324 997 805 1 067 1 023 3 594 6 013 2008 14 290 687 12 375 571 3 850 319 1 734 658 8 822 5 013 2 172 3 940 Sumber: Ditjenbun, 2009. Impor minyak sawit umumnya dalam bentuk fraksi cair (olein) dari Malaysia. Impor ini biasanya terjadi pada waktu harga dunia tinggi dimana di Indonesia terjadi rush export. Dalam keadaan demikian biasanya pemerintah menggunakan mekanisme pajak ekspor untuk menjamin pasokan dalam negeri yang pernah mencapai 40 persen. Kinerja ekspor komoditas pertanian menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik khususnya hasil perkebunan. Salah satu komoditas yang selama ini menjadi andalan ekspor adalah karet dan barang karet. Adapun pertumbuhan ekspor karet dan barang karet pada periode 2005-2007 mencapai sekitar 65 persen.

86 Negara Produsen utama dunia adalah Thailand, Indonesia, Malaysia, India, dan China. Indonesia merupakan produsen karet no 2 (dua) terbesar di dunia dengan produksi sebesar 2.55 juta ton pada tahun 2007 setelah Thailand (produksi sebesar 2.97 juta ton) dan Indonesia memiliki luas lahan karet terbesar di dunia dengan luas lahan mencapai 3.4 juta hektar di tahun 2007 (Parhusip, 2008). Tabel 8. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor-Impor Karet Alam Indonesia Tahun 1999-2008 Tahun Ekspor Impor Volume (ton) Nilai (000 US$) Volume (ton) Nilai (000 US$) 1999 1 494 543 849 200 17 962 10 727 2000 1 379 612 888 623 32 548 18 120 2001 1 453 382 786 197 9 298 6 557 2002 1 495 987 1 037 562 9 911 7 334 2003 1 662 210 1 494 811 17 840 15 555 2004 1 874 261 2 180 029 7 648 6 876 2005 2 024 593 2 582 875 6 687 6 441 2006 2 286 897 4 321 525 6 905 12 926 2007 2 407 972 4 868 700 9 915 13 327 2008 2 283 154 6 023 296 12 570 24 204 Sumber: Ditjenbun, 2009. Dengan posisi yang cukup strategis tersebut, karet diharapkan menjadi salah satu penggerak kebangkitan ekonomi melalui peningkatan produksi yang akan meningkatkan ekspor karet. Strategi optimalisasi ekspor karet dinilai tepat mengingat harganya yang cukup tinggi di pasar dunia dan kemampuan pasar dalam negeri untuk mengolah karet menjadi barang industri masih rendah. Volume ekspor karet alam Indonesia sejak tahun 1996 hingga 2000 mengalami fluktuasi dan cenderung mengalami penurunan. Pada tahun 1996 ekspor karet alam Indonesia adalah sekitar 1.5 juta ton kemudian menurun pada tahun 1997 dan naik kembali pada tahun 1998 hampir mendekati 1.6 juta ton. Setelah itu terus menurun, hingga pada tahun 2000 ekspor karet alam Indonesia

87 berada di bawah 1.4 juta ton. Penurunan volume ekspor yang terjadi sejak tahun 1998 ini sangat erat kaitannya dengan penurunan harga karet di pasaran dunia sejak periode tersebut. Volume ekspor karet pada tahun 2002 mencapai 1.49 juta ton dengan nilai US$ 1 037 juta. Penurunan volume ekspor karet alam Indonesia yang tejadi selama tahun 1996-2000 disertai dengan penurunan harga karet alam di pasar dunia berdampak secara langsung terhadap perolehan devisa negara yang diperoleh dari komoditas ini. Devisa yang dihasilkan dari karet alam mengalami penurunan yang sangat nyata dari US$ 1 894 juta pada tahun 1996 hingga menjadi US$ 849 juta pada tahun 1999 dan kemudian mengalami peningkatan pada tahun 2007 menjadi US$ 4 868 juta (Deptan, 2005b). Pertumbuhan ekspor karet alam Indonesia selama periode 2000-2005 adalah sekitar 7.96 persen. Pertumbuhan ekspor karet alam Indonesia cenderung stabil, sedangkan nilai ekspornya berfluktuatif karena terkait dengan harga ekspor karet. Harga ekspor karet Indonesia sangat bergantung pada harga karet alam dunia, penawaran dan permintaan serta daya saing ekspor karet alam Indonesia dibandingkan dengan ekspor dari negara-negara pengekspor lainnya. Sementara itu volume impor karet alam ke Indonesia relatif sangat kecil, dan terbatas dalam bentuk lateks pekat yang dibutuhkan oleh industri barang jadi lateks dalam negeri (Deptan, 2007b). 5.4. Perkembangan Konsumsi Domestik Minyak sawit (CPO) memiliki pasar yang sangat prospektif dimasa-masa mendatang. Potensi pasar tersebut terlatak pada keragaman kegunaan dari minyak sawit tersebut antara lain sebagai bahan baku industri pangan, dapat pula

88 digunakan sebagai bahan baku non pangan seperti oleochemical, biodisel atau biofuel, dan lainnya. Di Indonesia CPO banyak terserap untuk industri minyak goreng sedangkan untuk industri lain masih kecil. Pada Gambar 13 menunjukkan bahwa selama periode tahun 1990-an produksi CPO Indonesia sebagain besar dialokasikan untuk pemenuhan kebutuhan industri domestik, yaitu industri minyak goreng. Namun sejak tahun 2000 sebagian besar produksi CPO Indonesia diekspor ke luar negeri. Kondisi tahun 2008, alokasi CPO untuk pemenuhan konsumsi domestik hanya 18.47 persen dari total produksi CPO Indonesia. Produksi (Ton) Ekspor(Ton) Konsumsi Domestik (Ton) 20000 18000 16000 14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0 Sumber: Ditjenbun 2009a Gambar 13. Perkembangan Produksi, Ekspor dan Konsumsi CPO Domestik Tahun 1994-2008 Karet alam digunakan sebagai bahan baku industri memiliki potensi pengembangan yang cukup baik dalam jangka panjang karena pertumbuhan konsumsi karet alam China dan negara berkembang lainnya (Parhusip, 2008).

89 Pada Gambar 14 menunjukkan bahwa kondisi perkaretan Indonesia menunjukkan hampir 85 persen dari total produksi karet nasional ditujukan untuk ekspor dengan negara tujuan utama USA, China, Singapura, Jepang, dan Jerman sedangkan sisanya diserap oleh industri dalam negeri. Konsumsi karet alam domestik masih tergolong rendah dibandingkan dengan jumlah yang diproduksi setiap tahunnya. Konsumsi karet dalam negeri hanya mencapai 414 ribu ton dari total produksi mencapai 2751 ribu ton. Karet alam dalam negeri digunakan untuk keperluan bahan baku oleh industri ban, sarung tangan, dan alat-alat kesehatan. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan industri dalam negeri menyerap produksi karet alam masih rendah dan relatif stagnan. Industri ban dominan menyerap pasokan karet dalam negeri yaitu mencapai 55 persen dari total konsumsi industri karet nasional. Produksi (Ton) Ekspor (ton) Konsumsi Domestik (ton) 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 Sumber: Ditjenbun 2009a Gambar 14. Perkembangan Produksi, Ekspor dan Konsumsi Domestik Karet Alam Tahun 1994-2008 5.5. Perkembangan Harga Crude Palm Oil dan Karet Alam Indonesia merupakan produsen terbesar minyak sawit (CPO) dunia, namun sampai saat ini belum mampu menjadi negara acuan (referensi) harga CPO dunia.

90 Harga CPO domestik masih mengacu pada pasar fisik Rotterdam dan pasar berjangka/derivatif di Kuala Lumpur (MDEX) sebagai harga pasar CPO dunia (Agustira dan Angga, 2010) Harga CPO di pasar domestik dan pasar dunia menunjukkan kecenderungan semakin menaik. Pergerakan harga CPO dunia di trasmisikan ke pasar domestik (border price dan whole price) melalui mekanisme pasar. Pergerakan harga CPO domestik searah dengan perkembangan CPO di pasar dunia seperti ditunjukkan dalam Gambar 15. Pergerakan harga CPO mempunyai siklus bisnis (business cycle) sekitar 5-6 tahun. Selain siklus bisnis harga CPO juga memiliki fluktuasi musiman dalam istilah teknis disebut sebagai seasonality cycle. Pola harga CPO biasanya pada bulan Januari biasanya paling tinggi kemudian turun melandai pada bulan Februari sampai dengan bulan Mei, penurunan paling tajam terjadi pada Mei sampai Agustus dan naik sampai dengan bulan Januari (Buana, 2001) HCPO (Rp/Kg) WCPOP (US$/Ton) 9000 8000 7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0 1000 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0 Sumber: Bank Indonesia 2009 Gambar 15. Perkembangan Harga CPO di Pasar Domestik dan Pasar Dunia Tahun 1994-2008

91 Trend harga yang terus menaik tidak terlepas dari berkembangnya pasar CPO, termasuk pasar baru diterimanya produk hasil diversifikasi berbasis kelapa sawit. Dengan kata lain CPO memiliki prospek ke depan. Harga karet alam di pasar dunia sangat berfuktuasi. Harga karet alam pernah mencapai titik terendah pada bulan November 2001 mencapai US$ 0.46 cent/kg (Ditjenbun, 2007b). Jumlah ekspor karet alam Indonesia cenderung stabil sedangkan nilai ekspornya yang fluktuatif karena terkait dengan harga ekspor. Harga ekspor karet Indonesia sangat bergantung pada harga karet dunia, penawaran dan permintaan seperti pada Gambar 16. Harga Karet alam yang sangat fluktuatif mendorong negara-negara produsen utama karet alam yakni Thailand, Indonesia, dan Malaysia melakukan kerjasama tripartite di bidang produksi dan pemasaran karet alam. Seiring dengan terbentuknya kerja sama tripartite ini harga karet alam dunia mulai merangkak naik. Hal ini merupakan daya tarik bagi pelaku bisnis di bidang agribisnis karet Indonesia. HRET (Rp/Kg) WRETP (US$/Ton) 16000 14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0 140 120 100 80 60 40 20 0 Sumber: Bank Indonesia 2009 Gambar 16. Perkembangan Harga Karet Alam di Pasar Domestik dan Pasar Dunia Tahun 1994-2008

92 5.6. Kebijakan Ekonomi pada Subsektor Tanaman Perkebunan Indonesia Berkembangnya subsektor perkebunan kelapa sawit dan karet di Indonesia tidak lepas dari adanya kebijakan pemerintah yang memberikan berbagai insentif, terutama kemudahan dalam hal perijinan dan bantuan subsidi investasi untuk pembangunan perkebunan rakyat dengan pola PIR Bun dan dalam pembukaan wilayah baru untuk areal perkebunan besar swasta. Dalam rangka mempercepat pembangunan perkebunan terutama yang terkait dengan upaya peremajaan perkebunan rakyat dan meningkatkan peran perkebunan dalam ekonomi nasional, maka sejak tahun 2006 sampai tahun 2010 pemerintah telah mengeluarkan kebijakan subsidi bunga investasi untuk program Revitalisasi Perkebunan kelapa sawit, karet, dan kakao, seluas 2 juta ha dengan bunga 10 persen flat per tahun. (Ditjebun, 2007b) 5.6.1. Kebijakan Ekonomi pada Komoditas Kelapa Sawit Kebijakan pemerintah di bidang perkebunan kelapa sawit, bertujuan memacu peningkatan luas areal perkebunan. Sejalan dengan peningkatan luas areal perkebunan kelapa sawit ini diharapkan produksinya juga dapat meningkat sehingga dapat mengantisipasi gejolak-gejolak harga minyak goreng dalam negeri dan dapat dijadikan sebagai komoditi andalan ekspor nasional. Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah dengan mengeluarkan peraturan-peraturan yang mendukung usaha peningkatan luas areal perkebunan. Kebijakan pemerintah melalui pemberian Kredit Liquiditas Bank Indonesia (KLBI) tahun 1978, memberikan keleluasaan kepada pihak swasta

93 nasional menanamkan investasinya telah mendorong peningkatan luas areal perkebunan kelapa sawit. Selanjutnya kebijakan pemerintah di bidang regulasi perdagangan tahun 1978 dikeluarkan dua tahap, melalui Keputusan Bersama Tiga Menteri (Menteri Pertanian, Menteri Perindustrian, dan Menteri Perdagangan dan Koperasi), tahap pertama: No. 251/Kpts/OM/5/1978, No 15/M/SK/5/1978 dan No.23/KPB/V/1978 yang ditetapkan pada tanggal 2 Mei 1978, tahap kedua: No.275/KPB/XII/78, No.764/Kpts/Um/12/1978, dan No.252/M/SK/12/1978 yang ditetapkan tanggal 16 Desember 1978. Adapun tujuan kebijakan tersebut untuk menjamin kestabilan harga minyak goreng dan kelangsungan pasokan bahan baku CPO kepada Industri minyak goreng domestik sehubungan dengan terjadinya krisis kopra akhir tahun 1970-an. Dengan menetapkan patokan harga jual CPO yang akan dialokasikan dan didistribusikan kepada masing-masing industri minyak goreng dalam negeri dan diekspor. Kebijakan tersebut tidak efektif karena harga minyak goreng di dalam negeri tetap saja fluktuatif mengikuti harga yang terjadi di pasar dunia. Sehingga pemerintah menerapkan kebijakan larangan ekspor pada Tahun 1981, dimana ekspor CPO turun hingga 61 persen, namun pada tahun tahun berikutnya terus meningkat. Untuk menghambat ekspor yang terus meningkat karena harga CPO di pasar dunia yang sangat tinggi dan menjamin ketersediaan bahan baku untuk industri minyak goreng domestik pemerintah menerapkan kebijakan pajak ekspor minyak sawit sebesar 37.18 persen pada tahun 1984 untuk produk minyak sawit

94 dan produk sejenisnya melalui Surat Keputusan Menteri Perdagangan No. 47/KMK/001/1984. Selanjutnya pada agustus 1986 terjadi penurunan harga CPO mencapai titik terendah maka pemerintah menetapkan kebijakan pembebasan pajak atas ekspor minyak sawit dengan mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Perdagangan No. 549/KMK/001/86. Pada tahun 1991 pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan paket deregulasi atas tataniaga minyak sawit meningat kondisi produksi minyak sawit mulai meningkat dengan memberikan kebebasan kepada produsen bebas menjual ke pasar domestik atau pasar dunia tanpa peraturan alokasi dan izin yang rumit. Kemudian tahun 1994 pemerintah mengeluarkan kebijakan melalui Surat Keputusan Menteri Keuangan No.439/KMK.017/1994 efektif berlaku 1 September 1994 dimana pemerintah menerapkan kebijakan pajak ekspor yang fleksibel untuk produk CPO dan olahannya bervariasi antara 40 hingga 60 persen. Tahun 1999 pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan penetapan tarif ekspor minyak kelapa sawit dan turunannya melalui Surat Keputusan Menteri Keuangan (1) No.30/KMK.01/1999 sebesar 40 persen, (2) No. 89/KMK/017/1999 sebesar 30 persen, (3) No.360/KMK/017/1999 sebesar 10 persen. Selanjutnya tahun 2008 pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 223/PMK.011/2008 mengatur tentang penatapan barang ekspor yang dikenakan bea keluar dengan tarif bea keluar. 5.5.2. Kebijakan Ekonomi pada Komoditas Karet Karet alam yang diperdagangkan saat ini umumnya sudah memasuki tahapan perdagangan bebas tanpa hambatan dengan mengikuti mekanisme pasar.

95 Bagi negara-negara importir seperti Amerika Serikat, dan Jepang, karet alam diperdagangkan tanpa adanya hambatan baik berupa tarif maupun non tarif. Tidak adanya pembatasan perdagangan karet alam di Amerika Serikat dan Jepang karena kedua negara tersebut merupakan kosumen absolut yang tidak dapat menghasilkan atau memproduksi karet alam sendiri sehingga jika dilakukan hambatan terhadap impor karet alam akan merugikan industri dalam negerinya. Kebijakan pajak ekspor untuk komoditas karet alam pernah diterapkan oleh pemerintah pada tahun 1969-1975 sebesar 10 persen, dan pada tahun 1976-1981 diturunkan menjadi sebesar 5 persen. Sejak tahun 1982 pemerintah menghapus pajak ekspor atau mengenakan tarif sebesar 0 persen untuk komoditas karet alam (Limbong, 1994). Saat ini ekspor karet alam Indonesia tidak dibatasi tarif atau pajak ekspor. Sedangkan untuk komoditas karet alam yang di impor oleh Indonesia dikenakan bea masuk atau tarif impor sebesar 5 persen yang bertujuan melindungi produsen domestik. Hasil produksi karet alam Indonesia saat ini kurang bisa diserap oleh pasar domestik karena adanya pengenaan pajak pertambahan nilai. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1983 tentang pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjulan atas barang mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 tahun 2000, komoditas karet alam yang diperdagangkan di pasar domestik dikenai pajak pertambahan nilai sebesar 10 persen. Hal ini menyebabkan bagi konsumen domestik karet alam impor menjadi lebih murah dari pada karet alam yang di produksi di dalam negeri. Berbagai upaya sedang dilakukan oleh masyarakat perkaretan Indonesia untuk mengubah keputusan yang merugikan ini.

96 Selain kebijakan perdagangan dalam hal pajak baik ekspor maupun impor, pemerintah juga mengeluarkan keputusan yang terkait dengan upaya distorsi perdagangan karet alam melalui pembentukan International Tripartite Rubber Corporation (ITRO). Kesepakatan ini direspon dengan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan nomor 58/MPP/Krp/I/2002 pada tanggal 31 Januari 2002 mengenai penugasan Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) sebagai National Tripartite Rubber Corporation (NTRC).