BAB III ANALISA GEOMEKANIKA DAN REKAHAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV MODEL GEOLOGI DAN DISTRIBUSI REKAHAN

BAB I PENDAHULUAN. Eksplorasi hidrokarbon memerlukan analisis geomekanika untuk. menghindari berbagai masalah yang dapat mempengaruhi kestabilan sumur

BAB I PENDAHULUAN. Masalah-masalah pemboran (drilling hazards) seperti lost circulation

BAB VI KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING

Untuk mengetahui klasifikasi sesar, maka kita harus mengenal unsur-unsur struktur (Gambar 2.1) sebagai berikut :

IDENTIFIKASI KEBERADAAN REKAHAN PADA FORMASI KARBONAT MELALUI REKAMAN LOG DAN BATUAN INTI

BAB IV ANALISIS KORELASI INFORMASI GEOLOGI DENGAN VARIOGRAM

ANALISA GEOMEKANIKA DAN DISTRIBUSI REKAHAN PADA LAPANGAN PANAS BUMI AWIBENGKOK, PROPINSI JAWA BARAT, INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Pliosen Awal (Minarwan dkk, 1998). Pada sumur P1 dilakukan pengukuran FMT

BAB IV VALIDASI MODEL SIMULASI DENGAN MENGGUNAKAN DATA LAPANGAN

BAB IV PEMODELAN PETROFISIKA RESERVOIR

Acara Well Log Laporan Praktikum Geofisika Eksplorasi II

BAB II TEORI DASAR II.1. Model Reservoir Rekah Alam

BAB V KARAKTERISASI REKAHAN PADA FASIES BATUGAMPING

Evaluasi Formasi dan Estimasi Permeabilitas Pada Reservoir Karbonat Menggunakan Carman Kozceny, Single Transformasi dan Persamaan Timur

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN UMUM SUMUR

DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR SINGKATAN SARI ABSTRACT.

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan yang sangat penting di dalam dunia industri perminyakan, setelah

BAB I PENDAHULUAN I-1

SIFAT FISIK TANAH DAN BATUAN. mekanika batuan dan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu :

BAB V ANALISIS 5.1 Penampang Hasil Curve Matching

RESUME KEKAR. A. Definisi Kekar

Strain, Stress, dan Diagram Mohr

BAB V INTERPRETASI DATA. batuan dengan menggunakan hasil perekaman karakteristik dari batuan yang ada

BAB V ANALISA. dapat memisahkan litologi dan atau kandungan fluida pada daerah target.

Overpressure dan Geomekanik Daerah Deepwater pada Lapangan Verde, Selat Makassar Sarah Sausan (37322) BAB I PENDAHULUAN

BAB IV RESERVOIR KUJUNG I

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB V KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING

Seminar Nasional Cendekiawan 2015 ISSN:

GAYA PEMBENTUK GEOLOGI STRUKTUR

EVALUASI FORMASI SUMURGJN UNTUK PENENTUAN CADANGAN GAS AWAL (OGIP) PADA LAPANGAN X

BAB II PERAMBATAN GELOMBANG SEISMIK

BAB III PEMODELAN RESERVOIR

I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Gambar 1.1

BAB IV UNIT RESERVOIR

BAB I PENDAHULUAN. Analisis fasies dan evaluasi formasi reservoar dapat mendeskripsi

Analisa Injection Falloff Pada Sumur X dan Y di Lapangan CBM Sumatera Selatan dengan Menggunakan Software Ecrin

V. INTERPRETASI DAN ANALISIS

Bab I Pendahuluan. I.1 Maksud dan Tujuan

Klasifikasi Fasies pada Reservoir Menggunakan Crossplot Data Log P-Wave dan Data Log Density

BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN


BAB V ANALISA SEKATAN SESAR

DISKRIPSI GEOLOGI STRUKTUR SESAR DAN LIPATAN

DISKRIPSI GEOLOGI STRUKTUR SESAR DAN LIPATAN

BAB IV PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA GEOFISIKA

Bab III Pengolahan dan Analisis Data

Berikut ini adalah log porositas yang dihasilkan menunjukkan pola yang sama dengan data nilai porositas pada inti bor (Gambar 3.18).

BAB III DASAR TEORI. 3.1 Analisa Log. BAB III Dasar Teori

KEKAR (JOINT) Sumber : Ansyari, Isya Foto 1 Struktur Kekar

Bab 2. Teori Gelombang Elastik. sumber getar ke segala arah dengan sumber getar sebagai pusat, sehingga

Pemodelan Sintetik Gaya Berat Mikro Selang Waktu Lubang Bor. Menggunakan BHGM AP2009 Sebagai Studi Kelayakan Untuk Keperluan

EVALUASI PENANGGULANGAN LOST CIRCULATION PADA SUMUR M-1 DAN M-2 LAPANGAN X PHE WMO

Bab III Gas Metana Batubara

BAB IV PENGOLAHAN DAN ANALISA ANOMALI BOUGUER

TRANSFER MOMENTUM FLUIDA STATIK

Anis Berry dan Widya Utama Laboratorium Geofisika, Jurusan Fisika, FMIPA Institut Teknologi Sepuluh Nopember Kampus ITS Sukolilo, Surabaya 60111

DAFTAR ISI BAB I. PENDAHULUAN... 1

Mampu menentukan harga kejenuhan air pada reservoir

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah

BAB III PEMODELAN GEOMETRI RESERVOIR

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang

Rani Widiastuti Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut t Teknologi Sepuluh hnopember Surabaya 2010

Jl. Raya Palembang-Prabumulih KM.32 Indralaya Sumatera Selatan, Indonesia Telp/Fax. (0711) ;

BAB II GELOMBANG ELASTIK DAN EFEK VIBRASI

I.PENDAHULUAN 1 BAB II. TINJAUAN UMUM LAPANGAN

Evaluasi Cadangan Minyak Zona A dan B, Lapangan Ramses, Blok D Melalui Pemodelan Geologi Berdasarkan Data Petrofisika

Salah satu reservoir utama di beberapa lapangan minyak dan gas di. Cekungan Sumatra Selatan berasal dari batuan metamorf, metasedimen, atau beku

Porositas Efektif

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

PENENTUAN CEMENTATION EXPONENT (m) TANPA ADANYA CLEAN ZONE DAN WATER BEARING PADA RESERVOAR KARBONAT

BAB V KARAKTERISASI REKAHAN DI FASIES BATUGAMPING

HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN KATA PENGANTAR HALAMAN PERSEMBAHAN SARI

BAB III TEORI DASAR. Metode seismik refleksi merupakan suatu metode yang banyak digunakan dalam

I. PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang

ANALISIS GEOMEKANIKA PADA BATUAN DASAR, DI AREA JS-1 RIDGE BAGIAN SELATAN, CEKUNGAN JAWA TIMUR UTARA

BAB 6 PEMBAHASAN POTENSI PANAS BUMI DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB IV INTERPRETASI SEISMIK

BAB III TEORI FISIKA BATUAN. Proses perambatan gelombang yang terjadi didalam lapisan batuan dikontrol oleh

ANALISIS PETROFISIKA DAN PERHITUNGAN CADANGAN GAS ALAM LAPANGAN KAPRASIDA FORMASI BATURAJA CEKUNGAN SUMATERA SELATAN

BAB 4 ANALISIS FASIES SEDIMENTASI DAN DISTRIBUSI BATUPASIR C

BAB IV. ANALISIS KARAKETERISASI ZONA PATAHAN

BAB IV ANALISIS DAN PENGOLAHAN DATA

INTERPRETASI LOG SONIK UNTUK DETEKSI REKAHAN. Tugas Akhir. Oleh: WAHISH ABDALLAH IMAN NIM

BAB VI KARAKTERISASI REKAHAN PADA FASIES BATUGAMPING

Sistem Sumur Dual Gas Lift

BAB V INTERPRETASI HASIL PENGUKURAN RESISTIVITAS

BAB II TEORI DASAR. Di dalam ilmu kebumian, permeabilitas (biasanya bersimbol κ atau k)

BAB IV INTERPRETASI KUANTITATIF ANOMALI SP MODEL LEMPENGAN. Bagian terpenting dalam eksplorasi yaitu pengidentifikasian atau

STRIKE-SLIP FAULTS. Pemodelan Moody dan Hill (1956)

Seminar Nasional Cendekiawan 2015 ISSN: EVALUASI PEREKAHAN HIDROLIK PADA SUMUR GAS BERTEKANAN TINGGI

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL...

GEOPHYSICAL WELL LOGGING (PENLOGAN SUMUR GEOFISIK )

BAB IV TEKANAN FORMASI

Transkripsi:

BAB III ANALISA GEOMEKANIKA DAN REKAHAN III.1 Data dan Metode Analisis Penentuan hubungan antara tegasan in-situ dengan suatu rekahan tidak terlepas dari pembuatan model geomekanika. Beberapa parameter harus dipenuhi untuk dapat membuat sebuah model geomekanika, yaitu: tegasan, tekanan pori, sifat fisik dari batuan, batuan penutup dan rekahan/patahan yang terjadi secara alamiah (Gambar III.1 & III.2). Gambar III.2 menunjukan parameter-parameter yang dibutuhkan untuk membuat sebuah model geomekanika, dari data mentah, data terproses sampai analisa. Tingkat kepercayaan sebuah model geomekanika tergantung dari parameter yang digunakan. Semakin baik kualitas setiap parameter akan memberikan tingkat kepercayaan yang lebih tinggi terhadap model geomekanikanya Gambar III.1. Model Geomekanika (modifikasi dari Geomechanics International, Inc., 2000) 3.1

Gambar III.2. Diagram alir untuk analisisa geomekanika dan rekahan (modifikasi dari Geomechanics International, Inc., 2000) III.2 Analisa Geomekanika III.2.1 Tegasan Vertikal (Sv) Besar tegasan vertikal terutama disebabkan oleh adanya gaya gravitasi. Suatu lapisan dengan kandungan fluida di dalamnya merupakan penyebab utama dari tegasan ini, dan dikenal juga dengan instilah tegasan overburden. Besar tegasan vertikal merupakan penjumlahan seluruh tegasan yang bekerja pada arah vertikal terhadap batuan, tetapi untuk kebanyakan aplikasi geomekanika, nilai ini sebanding dengan tegasan overburden. Integrasi antara densitas batuan yang terekam pada log densitas dengan besarnya gaya gravitasi menyatakan besarnya tegasan overburden yang dialami oleh suatu lapisan pada kedalaman tertentu (Zoback dkk, 2003). Hal ini bisa dituliskan dengan persamaan : Sv = 0 z ρg dz (3.1) 3.2

Dimana Sv adalah tegasan vertikal, ρ adalah densitas batuan yang terekam oleh log densitas, g adalah nilai akselerasi gravitasi yang konstan, dan z adalah kedalaman dari data log densitas. III.2.1.1. Tegasan Vertikal pada Sumur AWI 1-2 Gambar III.3. memperlihatkan hasil perhitungan tegasan vertikal pada Sumur AWI 1-2, adapun nilai densitas batuan yang digunakan berasal dari log densitas dan pengukuran conto inti pemboran / core. Dari hasil perhitungan, keduanya menunjukan tren yang sama dan tren liniar dari hasil perhitungan tegasan vertikal pada sumur ini adalah sebesar 1.122 psi / ft. Gambar III.3. Tegasan Vertikal pada Sumur AWI 1-2 III.2.1.2. Tegasan Vertikal pada Sumur AWI 2-1 Gambar III.3. memperlihatkan hasil perhitungan tegasan vertikal pada Sumur AWI 2-1, adapun nilai densitas batuan yang digunakan hanya berasal dari log densitas dan 3.3

tren liniar dari hasil perhitungan tegasan vertikal pada sumur ini adalah sebesar 1.069 psi / ft. Gambar III.4. Tegasan Vertikal pada Sumur AWI 2-1 III.2.2 Tekanan Pori (Pp) Tekanan pori dapat ditentukan melalui pengukuran langsung seperti melalui DST, RFT, atau uji alir pada sumur yang telah di produksi. Pada lapangan awibengkok tekanan pori pada kondisi awal mempunyai gradien 0.54 psi/ft (Sugiaman, 2003; Acuna, dkk, 2008). Untuk sumur AWI 1-2 dan 2-1 tidak terdapat data tekanan pori hal ini dikarenakansumur-sumur tersebut merupakan sumur-sumur yang dibor pertama kali dalam tahap eksplorasi, sehingga data tekanan pori diambil dari sumur lain di lapangan ini. Gambar III.5. menggambarkan hasil pengukuran dan gradien liniar tekanan pori pada kondisi awal di lapangan Awibengkok. 3.4

Gambar 3.5. Tekanan Pori pada kondisi awal di Lapangan Awibengkok (Sugiaman, 2003) III.2.3 Tegasan Horizontal Minimum (Sh min) Metode paling efektif dalam penentuan besar tegasan horizontal minimum (Sh min) pada suatu sumur pemboran adalah dengan tes rekahan hidraulik. Sayangnya, tes ini tidak selalu dilakukan, atau kalaupun dilakukan pada casing seats hanya akan 3.5

didapatkan beberapa data saja. Tes leak-off konvensional tidak diciptakan untuk menentukan nilai tegasan horizontal minimum, tetapi dengan sedikit modifikasi tes ini bisa menjadi extended leak-off dan memberikan tambahan data menggenai kondisi tegasan yang terjadi. Gambar III.6. menunjukan bagaimana hubungan antara tes yang dilakukan dengan kondisi lubang sumur / batuan disekitarnya. Gambar III.6. Berbagai macam tes yang dilakukan untuk menentukan kekuatan batuan pada lubang sumur. (Geomechanics International, Inc., 2000) Pada sumur AWI 1-2 dilakukan tes extended Leak-off atau kondisi dimana tes Formation Break Down Pressure pada gambar III.6 tercapai,dan setelah digabung dengan data-data lain dari sumur-sumur sekitarnya maka didapatkan gradien liniar tegasan horizontal minimum di lapangan Awibengkok adalah sebesar 0.54 psi/ft (Sugiaman, 2003) (Gambar III.7). 3.6

Gambar III.7. Tegasan Horizontal Minimum pada Lapangan Awibengkok (Sugiaman, 2003) III.2.4 Tegasan Horizontal Maksimum (SH maks) III.2.4.1 Arah Tegasan Horizontal Maksimum Pengamatan terhadap rekahan yang terbentuk akibat pemboran untuk mengetahui arah tegasan horisontal maksimum telah banyak dilakukan (Barton dkk., 1998; Castillo dkk., 2000). Rekahan yang terbentuk akibat pemboran terjadi pada batuan yang homogen dan elastik karena adanya konsentrasi tekanan di sekitar sumur pemboran yang melebihi kekuatan batuan akibat aktivitas pemboran. Rekahan ini terjadi jika tegasan vertikal merupakan salah satu bagian dari tegasan utama dan arahnya relatif sejajar dengan sumur pemboran. Kenampakan rekahan akibat pemboran dapat berupa breakout maupun rekahan induced. Arah tegasan utama dapat diperoleh dengan 3.7

menggunakan log kaliper, namun meskipun lengan kaliper dapat menentukan arah dari breakout, tetapi informasi yang diperoleh mengenai bentuk lubangnya sangat sedikit. Perkembangan teknologi menghadirkan pembacaan akustik atau ultrasonik dengan Borehole televiewer, sedangkan yang lainnya menggunakan alat perekam gambar secara elektrik berdasarkan perbedaan resistivitas. Ukuran rekahan induced yang dapat dibaca oleh kedua alat ini semakin kecil, selain itu bentuk breakout pun dapat terlihat dengan jelas. Kenampakan-kenampakan akan breakout, rekahan induced, washout, rekahan dan lapisan dapat dilihat pada gambar III.8. Arah breakout dan rekahan induced akan saling tegak lurus dimana breakout akan terbentuk pada arah tegasan horisontal minimum sedangkan rekahan induced akan terbentuk pada arah tegasan horisontal maksimum. (Geomechanics International, 2000) (gambar III.8). Gambar III.8. Penampakan geometri rekahan, breakout, washout, dan rekahan tensile di lubang sumur pada log gambar. (Geomechanics International, 2000) Berdasarkan pengamatan pada log gambar di Sumur AWI 1-2, penampakan brekaout tidaklah dijumpai akan tetapi rekahan induced banyak dijumpai. Hasil pengamatan dari rekahan induced, pada sumur ini umumnya berarah N 30 0 E - N 37 0 E atau Timur 3.8

Laut / NE tren. Berdasarkan hasil pengamatan tersebut maka pada Sumur AWI 1-2 mempunyai arah tegasan horizontal maksimum Timur Laut Barat Daya (NE SW), hal ini dikarenakan rekahan induced yang terbentuk akan searah dengan arah tegasan horisontal maksimum yang ada. (Gambar III.9). Gambar III.9. Arah tegasan horisontal maksimum pada sumur AWI 1-2 Berdasarkan pengamatan pada log gambar di Sumur AWI 2-1, penampakan brekaout tidaklah dijumpai akan tetapi rekahan induced banyak dijumpai. Hasil pengamatan dari rekahan induced, pada sumur ini umumnya berarah N 35 0 E - N 47 0 E atau Timur Laut / NE tren. Berdasarkan hasil pengamatan tersebut maka pada Sumur AWI 2-1 mempunyai arah tegasan horizontal maksimum Timur Laut Barat Daya (NE SW), hal ini dikarenakan rekahan induced yang terbentuk akan searah dengan arah tegasan horisontal maksimum yang ada. (Gambar III.10). Gambar III.11 menunjukan, posisi sumur AWI 1-2 dan AWI 2-1 di lapangan Awibengkok beserta arah tegasan horisontal maksimum, berdasarkan anallisa di kedua sumur tersebut di ketahui pada daerah lapangan Awibengkok arah tegasan horisontal maksimum adalah berarah Timur Laut Barat Daya (NE SW) 3.9

Gambar III.10. Arah tegasan horisontal maksimum pada sumur AWI 2-1 Gambar III.11. Arah tegasan horisontal maksimum pada lapangan Awibengkok 3.10

III.2.4.2 Besaran Tegasan Horizontal Maksimum Berdasarkan data breakout dan rekahan induced dapat diperkirakan kekuatan batuan. Konsentrasi stress elastik di sekitar sumur pemboran ditentukan berdasarkan persamaan Kirsch. Terjadinya rekahan dipengaruhi oleh tiga tegasan (dua berarah horisontal dan satu berarah vertikal), kekuatan batuan, temperatur, tekanan pori, dan tekanan lumpur pemboran. Pada sumur pemboran vertikal dimana salah satu dari tegasan berarah vertikal, hubungan dari tegasan utama dapat dituliskan sebagai berikut: σ θθ = S h min + S H maks 2(S H maks S h min ) cos 2θ 2 P 0 ΔP σ ΔT (3.2) dimana θ adalah sudut yang diukur dari arah tegasan horisontal maksimum (SH maks). Sh min menyatakan besar tegasan horisontal minimum, P 0 adalah tekanan pori, ΔP merupakan selisih antara berat lumpur dengan tekanan pori, dan σ ΔT merupakan total dari tegasan akibat perubahan suhu karena pendinginan pada lubang pemboran sebesar Δ T (Zoback dkk., 2003). Berdasarkan persamaan di atas, harga maksimum akan didapatkan pada saat θ = 90 0, 270 0 atau pada saat arahnya sejajar dengan SH maks sehingga : σ θθ max = 3 S H maks S h min 2 P 0 Δ P σ ΔT (3.3) Breakout pada sumur pemboran akan muncul pada saat konsentrasi tegasan maksimum melebihi kekuatan kompresi batuan (Zoback dkk, 2003). Sedangkan konsentrasi tegasan akan bernilai minimum pada saat θ = 0 0, 180 0 atau pada saat arahnya sejajar dengan Sh min, sehingga : σ θθ min = 3 S h min S H max 2 P 0 σ ΔT (3.4) Konsentrasi tegasan kompresif terkecil akan muncul pada arah tegasan horisontal maksimum dan akan membentuk rekahan induced pada sumur dinding sumur 3.11

pemboran (Brudy dan Zoback, 1993). Pada saat sumbu sumur pemboran sejajar dengan salah satu tegasan utama, dinding rekahan tensile ini akan berada tegak lurus dengan arah breakout. Pada sumur yang vertikal, rekahan induced akan paralel dengan sumur pemboran dan terjadi pada arah dimana konsentrasi tegasan minimum. Gejala ini hanya terjadi pada dinding sumur pemboran dan tidak berdampak luas pada formasi batuan, kecuali jika tekanan dari lumpur pemboran melebihi tegasan utama minimum. Dari persamaan 3.4, dimana σ min θθ akan sama dengan Tekanan lumpur pada saat pengeboran / P mud, untuk saat ini σ ΔT diabaikan dan Δ T ~ 0 maka dapat ditulis persamaan dimana rekahan induced terbentuk sebagai berikut (Zoback dkk, 2003): P mud = 3 S h min S H max P 0 (3.5) Berdasarkan persamaan diatas maka apabila terjadi rekahan induced dan kita mengetahui besaran tegasan horisontal minimum, tekanan pori, dan tekanan lumpur pemboran pada kedalaman tersebut maka tegasan horisontal maksimum bisa didapat. Adapun hasil perhitungan pada sumur AWI 1-2 terplot pada gambar III.12 dengan gradien sebesar 0,93 psi / ft sedangkan pada sumur AWI 2-1 terplot pada gambar III.13 dengan gradien sebesar 0,89 psi / ft. 3.12

Gambar III.12. Tegasan horisontal maksimum pada sumur AWI 1-2 Gambar III.13. Tegasan horisontal maksimum pada sumur AWI 2-1 3.13

III.2.5. Model Geomekanika Berdasarkan hasil perhitungan dan analisa terhadap tegasan vertikal, tekanan pori, tegasan horisontal minimum, arah dan besaran tegasan horisontal maksimum pada sumur AWI 1-2 dan AWI 2-1 maka didapat lapangan awibengkok ini berdasarkan klasifikasi Anderson (1951) berada pada rezim tegasan normal dimana tegasan vertikal (Sv) > tegasan horisontal maksimum (SH max) > tegasan horisontal minimum (Sh min). (Gambar III-14, III-15, III-16). Gambar III.14. Model Geomekanika sumur AWI 1-2 3.14

Gambar III.15. Model Geomekanika sumur AWI 2-1 Gambar III.16. Hubungan antara rezim patahan dengan tegasan utama (Geomechanics International, 2000) 3.15

III.3 Analisa Rekahan Rekahan reservoir (A reservoir fracture) adalah rekahan pada reservoir yang secara maksroskopik berupa diskontinuitas planar akibat deformasi atau diagenesa fisik pada batuan. Apabila terkait dengan deformasi brittle, maka kemungkinan akan bersifat terbuka, dan terjadi setelah proses alterasi atau mineralisasi. Apabila terkait dengan deformasi ductile, maka kemungkinan akan terbentuk lapisan batuan yang tedeformasi sangat kuat. Sebagai hasilnya maka rekahan reservoir yang ada akan menimbulkan efek negatif atau positif pada aliran fluida yang ada di batuan tersebut. Definisi yang luas ini dapat menyederhanakan penjelasan terhadap anisotropi pada aliran fluida dengan kaitan mekanisme terbentuknya dan morfologi rekahan yang ada. (Nelson, 2001) Reservoir rekahan (Fractured Reservoir) didefinisikan sebagai reservoir dengan rekahan yang terbentuk secara alamiah dan telah terbukti atau diduga terdapatnya signifikan efek hubungan antara rekahan dengan aliran fluida yang ada baik meningkatnya permeabilitas reservoir dan atau meningkatnya cadangan terukur atau meningkatnya anisotropi permeabilitas. (Nelson, 2001) III.3.1 Jenis dan Arah Rekahan Ada 3 tipe rekahan yang diinterpretasikan pada sumur AWI 1-2 dan AWI 2-1 berdasarkan log image yaitu rekahan konduktif, rekahan resistif, dan rekahan induced (Gambar III.17 & III.19). Dasar pembagian rekahan konduktif dan resistif adalah berdasarkan nilai bacaan resistivitas dari alat Formation Micro Imager (FMI) atau Formation Micro Scaner (FMS) yang digunakan pada kedua sumur tersebut. Berdasarkan data tes seperti tes spinner dan analisa conto batuan induk (core) pada sumur AWI 1-2 didapatkan bahwa rekahan yang bersifat terbuka dan produktif merupakan tipe rekahan konduktif pada log image, rekahan resistif pada conto batuan induk (core) merupakan rekahan/urat-urat (vein) yang telah diisi oleh mineral, dan rekahan induced adalah rekahan yang hampir sejajar dengan lubang bor dan diakibatkan karena proses pengeboran. 3.16

Hasil dari interpretasi pada kedua sumur tersebut memperlihatkan bahwa baik rekahan konduktif maupun resistif mempunyai arah jurus relatif sama yaitu arah Timur Laut Barat Daya (NE SW) dengan dominasi besaran dip berkisar antara 30 85 derajat berarah Barat Laut (NW) (Gambar III.18 & III.20). Rekahan resistif mempunyai jurus dan kemiringan relatif lebih acak hal ini dikarenakan oleh proses pembentukannya yang berulang kali / beberapa periode, sedangkan rekahan konduktif berdasarkan penelitian terdahulu akan terbentuk paling akhir, hal ini bisa dipahami karena apabila rekahan yang ada bersifat terbuka dan pada saat dilakukan pemboran masih terbuka maka rekahan tersebut akan diisi oleh lumpur pemboran, pada saat dilakukan pengukuran dengan alat Formation Micro Imager (FMI) atau Formation Micro Scaner (FMS) maka lumpur pemboran akan bersifat lebih konduktif dibandingkan dengan formasi batuan yang ada. Gambar III.17. Interpretasi rekahan pada sumur AWI 1-2 3.17

Gambar III.18. Arah jurus dan kemiringan rekahan pada sumur AWI 1-2 3.18

Gambar III.19. Interpretasi rekahan pada sumur AWI 2-1 3.19

Gambar III.20. Arah jurus dan kemiringan rekahan pada sumur AWI 2-1 Kesamaan arah jurus dari rekahan resistif dan konduktif yang berarah Timur Laut Barat daya (NE SW) dapat disimpulkan bahwa rekahan konduktif atau rekahan yang terbuka pada saat ini kemungkinan merupakan hasil reaktifasi dari rekahan resistif (urat / vein) yang ada. 3.20

III.3.2 Analisa Petrofisika Rekahan Analisa petrofisika pada sumur AWI 1-2 dan AWI 2-1 dilakukan untuk mengetahui parameter-parameter yang diperlukan untuk membuat model geologi dan model distribusi rekahan. Nilai porositas rekahan didefinisikan sebagai besaran volume rongga dari rekahan dibagi oleh total volume batuan yang ada (persamaan 3.6)(Gambar III.21). Фf = Volume Rongga Rekahan Total Volume Batuan (3.6) Gambar III.21 menunjukan ilustrasi porositas rekahan pada batu gamping dengan nilai porositas rekahan berkisar antara 0.1 hingga 5 % (Tiab dan Donaldson, 2004) Gambar III.21. Porositas rekahan pada batu gamping yang menunjukan hubungan antara rongga rekahan dengan volume batuan yang ada, A.) porositas rekahan 0.15%, B.) porositas rekahan 1.0%, C.) porositas rekahan 5%, D.) porositas rekahan 0.3%, E.) porositas rekahan 0.3 %. (modifikasi dari Tiab dan Donaldson, 2004) 3.21

Perhitungan porositas pada kedua sumur dilakukan berdasarkan data dari log porositas (NPHI), densitas (RHOB), dan sonik (dt). Perhitungan nilai porositas dari log densitas berdasarkan rumus di bawah ini (Schlumberger, 2000): Ф den = ρ ma ρ b ρ ma ρ f (3.7) dimana ρ ma adalah nilai densitas dari matrix pada formasi, ρ b adalah nilai pengukuran log, dan ρ f adalah nilai densitas dari fluida. Perhitungan nilai porositas dari log sonik berdasarkan rumus di bawah ini (Aguilera, 1995): φs = Δt Δt Δt Δt f ma ma (3.8) dimana фs adalah nilai porositas dari log sonik, Δt adalah nilai log sonik, Δt ma adalah nilai log sonik untuk matriks, dan Δtf adalah nilai log sonik untuk fluida. Nilai porositas untuk rekahan dapat dihitung berdasarkan rumus dibawah ini (Aguilera, 1995) : PHIF = PHInd PHIS (3.9) dimana PHIF adalah nilai porositas dari rekahan, PHInd adalah nilai porositas total berdasarkan log porositas dan densitas, dan PHIS adalah nilai porositas dari log sonik. Nilai permeabilitas sebuah rekahan dapat dievaluasi dengan mengangap terdapatnya sebuah rekahan yang memotong tubuh batuan atau lubang sumur (Gambar III.22). Nilai permeabilitas rekahan dapat diketahui dengan mengunakan persamaan yang diturunkan oleh Croft dan Kotyakhov dari Darcy. (Tiab dan Donaldson, 2004) 3.22

q = h3 w f Δp 12 μ L (3.10) Dimana q adalah besaran aliran fluida atau permeabilitas, h adalah tinggi atau tebal dari rekahan, W f adalah lebar dari rekahan, L adalah panjang dari rekahan, μ adalah viscositas fluida, dan ΔP adalah perbedaan tekanan. Gambar III.22. Model linear untuk aliran fluida pada rekahan (Tiab dan Donaldson, 2004) Nilai permeabilitas dari sebuah rekahan adalah nilai resultan dari ketiga buah nilai tensorial yaitu i, j, dan k atau yang mewakili sumbu x, y, dan z. Gambar III.23 menunjukan percobaan yang telah dilakukan di laboratorium untuk mengukur nilai tensorial permeabilitas berdasarkan data conto inti batuan dengan memperhatikan posisi dari sampel yang diambil terhadap data conto inti batuan. (Nelson, 2001). Adapun hasil dari pemodelan distribusi permeabilitas rekahan yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah nilai permeabilitas pada vektor i atau ki, vektor j atau kj, dan vektor k atau kk 3.23

Gambar III.23. Orientasi dari permeabilitas pada percobaan berdasarkan conto batuan, dengan melihat posisi dari conto batuan terhadap posisi sebenarnya. (Nelson, 2001) Gambar III.24 adalah contoh dari analisa petrofisika pada sumur AWI 1-2, kolom pertama adalah nilai kedalaman sumur, kolom kedua adalah kolom dengan log sinar gamma, kolom ketiga adalah kolom dengan log porositas, kolom keempat adalah kolom dengan log densitas, kolom kelima adalah kolom dengan log kecepatan kompresional dann shear dari pengukuran conto batuan induk (core), kolom keenam adalah kolom dengan log kaliper, kolom ketujuh adalah kolom tadpole untuk hasil interpretasi rekahan konduktif dan kolom kedelapan adalah kolom tadpole untuk hasil interpretasi rekahan resistif. 3.24

Dapat dilihat pada gambar III.24 nilai porositas rata-rata adalah 10% dan nilai densitas berkisar antara 2.4 2.6 g/cc. Nilai porositas baik dari log porositas (NPHI), log densitas (RHOB) dan pengukuran conto batuan induk (core) menunjukan sebuah trend yang sama, perbedaan nilai antara log porositas dengan nilai pengukuran dari conto batuan induk disebabkan karena karakteristik pengukuran log porositas tersebut mengukur indeks hidrogen yang ada di formasi sekitar lubang sumur, sedangkan pengukuran porositas pada conto batuan induk dilakukan dengan kondisi tertentu di laboratorium. Pada umumnya nilai porositas dari log akan lebih besar dibandingkan dengan nilai porositas dari pengukuran conto batuan induk. Pada sumur ini tidak dihitung porositas dari log sonik karena ketiadaan data. Gambar III.25 adalah contoh dari analisa petrofisika pada sumur AWI 2-1, kolom pertama adalah nilai kedalaman sumur, kolom kedua adalah kolom dengan log sinar gamma, kolom ketiga adalah kolom dengan log porositas, kolom keempat adalah kolom dengan log densitas, kolom kelima adalah kolom dengan log sonik, kolom keenam adalah kolom dengan log kaliper, kolom ketujuh adalah kolom tadpole untuk hasil interpretasi rekahan konduktif dan kolom kedelapan adalah kolom tadpole untuk hasil interpretasi rekahan resistif. Dapat dilihat pada gambar III.25 nilai porositas rata-rata adalah 20% dan nilai densitas berkisar antara 2.0 2.6 g/cc. Zona merah yang merupakan zona irisan dari nilai porositas total atau berdasarkan log densitas dan porositas dengan nilai porositas dari log sonik (persamaan 3.8) adalah zona yang mengindikasikan rekahan, dapat dilihat dimana zona merah yang lebar maka pada zona tersebut terdapat banyak rekahan yang diinterpretasikan pada log image, adapun kehadiran zona merah tetapi tidak adanya interpretasi rekahan pada kolom tadpole hal ini disebabkan karena ketiadaan log image di daerah tersebut. 3.25

Gambar III.24. Analisa petrofisika pada sumur AWI 1-2 3.26

Gambar III.25. Analisa petrofisika pada sumur AWI 2-1 3.27