BAB I PENDAHULUAN. Indonesia kaya akan sumber bahan pangan yang berpotensi untuk. diolah menjadi produk pangan, namun banyak sumberdaya pangan lokal

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan terigu oleh masyarakat Indonesia terus meningkat. Berdasarkan data dari APTINDO (2014) dilaporkan bahwa konsumsi tepung

BAB I PENDAHULUAN. antara lain serealia, palmae, umbi-umbian yang tumbuh subur di hampir

BAB I PENDAHULUAN. penganekaragaman produk pangan, baik berupa serealia (biji-bijian), tahun terjadi peningkatan konsumsi tepung terigu di

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini ketergantungan masyarakat terhadap tepung terigu untuk

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, teksturnya yang lembut sehingga dapat dikonsumsi anak-anak

BAB I PENDAHULUAN. ini disebabkan karena Indonesia belum mampu memproduksi gandum di dalam

I. PENDAHULUAN. kurangnya Indonesia dalam menggali sumberdaya alam sebagai bahan pangan

BAB I PENDAHULUAN. penyakit pada konsumen (Silalahi, 2006). Salah satu produk yang. makanan ringan, jajanan atau cemilan. Makanan ringan, jajanan atau

BAB I PENDAHULUAN. Mie merupakan jenis makanan hasil olahan tepung yang sudah. dikenal oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Mie juga merupakan

BAB I PENDAHULUAN. oleh konsumen rumah tangga dan industri makanan di Indonesia. Tepung

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Kekurangan Vitamin A (KVA) adalah keadaan di mana simpanan. pada malam hari (rabun senja). Selain itu, gejala kekurangan vitamin A

BAB I PENDAHULUAN. Ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap konsumsi tepung. terigu cukup tinggi. Berbagai produk pangan yang diolah menggunakan

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan beras ditempatkan sebagai makanan pokok yang strategis.

BAB I PENDAHULUAN. impor. Volume impor gandum dari tahun ke tahun semakin meningkat. Berdasarkan data APTINDO (2013), Indonesia mengimpor gandum

BAB I PENDAHULUAN. kekurangan vitamin A (KVA). KVA yaitu kondisi kurang zat gizi mikro

I PENDAHULUAN. Pemikiran, 1.6 Hipotesis Penelitian, dan 1.7 Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah,

BAB I PENDAHULUAN. (APTINDO, 2013) konsumsi tepung terigu nasional meningkat 7% dari tahun

I. PENDAHULUAN ton (US$ 3,6 juta) (Jefriando, 2014). Salah satu alternatif pemecahan

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I. PENDAHULUAN. Produk pangan fungsional (fungtional food) pada beberapa tahun ini telah

BAB I PENDAHULUAN. pada tahun 2010 mengimpor terigu sebesar kg, untuk tahun

BAB I PENDAHULUAN. seperti selulosa, hemiselulosa, dan pektin. Karbohidrat pada ubi jalar juga

PENDAHULUAN. terigu dari negara Timur Tengah seperti Turki, Srilanka, dan Australia. Impor

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Produk olahan yang paling strategis untuk dikembangkan dalam. rangka menunjang penganekaragaman (diversifikasi) pangan dalam waktu

BAB I PENDAHULUAN. Proses penggilingan padi menjadi beras tersebut menghasilkan beras sebanyak

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia diantaranya pisang ambon, pisang raja, pisang mas, pisang kepok

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang memiliki potensi di sektor

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan hidup. Pemenuhan kebutuhan pangan dapat dilakukan dengan

I. PENDAHULUAN. kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis

PERBANDINGAN TEPUNG SINGKONG DENGAN TEPUNG TALAS DAN KONSENTRASI SERBUK TEH HIJAU TERHADAP KARAKTERISTIK COOKIES (KUE KERING) BERBASIS UMBI- UMBIAN

I PENDAHULUAN. Karakteristik tepung yang digunakan akan menentukan karakteristik cookies yang

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya jumlah penduduk indonesia setiap tahun menyebabkan

I. PENDAHULUAN. ketergantungan terhadap tepung terigu, maka dilakukan subtitusi tepung terigu

I PENDAHULUAN. Indonesia kaya akan sumber daya tanaman umbi-umbian, termasuk aneka

1 I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Waktu dan Tempat Penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. Konsumsi rata-rata kue kering di kota dan di pedesaan di Indonesia 0,40

I PENDAHULUAN. gembili, sagu, kimpul, gadung dan sebagainya (Muhandri, 2015)

BAB I PENDAHULUAN. dan jagung, dan ubi kayu. Namun, perkembangan produksinya dari tahun ke tahun

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. namun WHO menetapkan remaja (adolescent) berusia antara tahun.

I. PENDAHULUAN. seluruh penduduk Indonesia. Pemenuhan kebutuhan pangan harus dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. yang pesat, sehingga memerlukan zat-zat gizi yang tinggi setiap kilogram berat

Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dapat mengkonsumsi berbagai jenis pangan sehingga keanekaragaman pola

PERBANDINGAN KADAR PROTEIN DAN LEMAK MI ALTERNATIF DARI PATI GANYONG (Canna edulis Ker) DAN PATI UBI KAYU (Manihot utilissima Pohl) SKRIPSI

I. PENDAHULUAN. Pangan fungsional adalah pangan yang kandungan komponen aktifnya dapat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masyarakat Indonesia memiliki kebiasaan bahwa belum makan kalau belum mengkonsumsi nasi. Adanya kebiasaan ini

I PENDAHULUAN. Hipotesis Penelitian, Tempat dan Waktu Penelitian. dapat diolah menjadi berbagai jenis makanan bernilai gizi tinggi seperti kacang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan. penduduk yang mempunyai angka pertumbuhan yang tinggi sekitar 1.

BAB 1 PENDAHULUAN. Sebagian besar produk makanan jajanan di pasaran yang digemari. anak-anak berbahan dasar tepung terigu. Hal ini dapat menyebabkan

SUBSTITUSI TEPUNG BIJI NANGKA PADA PEMBUATAN KUE BOLU KUKUS DITINJAU DARI KADAR KALSIUM, TINGKAT PENGEMBANGAN DAN DAYA TERIMA

BAB I PENDAHULUAN. Berbasis Sumber Daya Lokal yang tertulis dalam Peraturan Presiden RI

BAB I PENDAHULUAN. prevalensinya terus meningkat secara global, termasuk di Indonesia.

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia kaya akan sumber daya alam, termasuk di dalamnya kekayaan

BAB I PENDAHULUAN. populer di kalangan masyarakat. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan. Dasar (2013), sebanyak 3,8% penduduk Indonesia mengonsumsi mi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dibuat dengan menambahkan santan, gula merah, daun pandan dan. pisang.menurut Veranita (2012), bolu kukus adalah bolu yang berbahan

I PENDAHULUAN. Penelitian merupakan sebuah proses dimana dalam pengerjaannya

mi. Sekitar 40% konsumsi gandum di Asia adalah mi (Hoseney, 1994).

I. PENDAHULUAN. Pisang adalah tumbuhan berdaun besar memanjang dari famili musaceae dan

lain-lain) perlu dilakukan (Suryuna, 2003).

BAB I PENDAHULUAN. Kekurangan Energi Protein (KEP) merupakan salah satu. permasalahan gizi di Indonesia (Herman, 2007). Balita yang menderita KEP

BAB I PENDAHULUAN. maka perlu untuk segera dilakukan diversifikasi pangan. Upaya ini dilakukan

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras.

I PENDAHULUAN. hidup dan konsumsinya agar lebih sehat. Dengan demikian, konsumen saat ini

BAB I PENDAHULUAN. diantaranya adalah umbi-umbian. Umbi-umbian dapat tumbuh dengan baik

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Tanaman singkong adalah komoditas tanaman umbi-umbian yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Melalui penganekaragaman pangan didapatkan variasi makanan yang

BAB I PENDAHULUAN. diizinkan, berbentuk khas mie (Badan Standarisasi Nasional, 1992). Berdasarkan survey oleh USDA dalam Anonim A (2015) mengenai

I PENDAHULUAN. meningkatkan produktivitas pangan dalam negeri. Kebijakan pembangunan

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang

PENDAHULUAN. Pangan merupakan bahan-bahan yang dimakan sehari-hari untuk memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini masyarakat banyak mengonsumsi mi sebagai makanan alternatif

I. PENDAHULUAN. dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu

BAB I PENDAHULUAN. oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan mulai

1 I PENDAHULUAN. yang cukup baik terutama kandungan karbohidrat yang tinggi.

I PENDAHULUAN. Umumnya dalam sebuah penelitian diawali dengan identifikasi masalah. hipotesis dan sekaligus untuk menjawab permasalahan penelitian.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. dimanfaatkan sebagian kecil masyarakat (Chasanah dkk., 2013).

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN. (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu

I. PENDAHULUAN. Bab ini akan menguraikan mengenai: (1.1) Latar belakang, (1.2) Identifikasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. didalamnya terkandung senyawa-senyawa yang sangat diperlukan untuk

I PENDAHULUAN. (6) Hipotesa Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. Indonesia merupakan negara yang rawan terkena bencana.

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

I. PENDAHULUAN. disebabkan oleh berbagai macam masalah. Menurut McCarl et al., (2001),

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi

BAB I PENDAHULUAN. SUSENAS 1999 sampai dengan 2007 menunjukkan bahwa pola konsumsi

I. PENDAHULUAN. Tanaman nangka (Artocarpus heterophyllus Lamk.) adalah jenis tanaman

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Mutu gizi makanan seseorang dapat diperbaiki dengan mengkonsumsi

BAB I PENDAHULUAN. setelah nasi dan menjadi makanan populer dikalangan masyarakat. Roti

PEMANFAATAN TEPUNG UMBI GARUT (Maranta arundinaceae L.) DALAM PEMBUATAN BUBUR INSTAN DENGAN PENCAMPURAN TEPUNG TEMPE SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. talas memiliki ukuran granula pati yang sangat kecil yaitu 1-4 µm. ukuran

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia kaya akan sumber bahan pangan yang berpotensi untuk diolah menjadi produk pangan, namun banyak sumberdaya pangan lokal tersebut yang belum termanfaatkan hingga saat ini (Angelina, dkk, 2013). Tepung terigu selama ini digunakan sebagai bahan dasar dalam pengolahan atau pembuatan hampir semua produk pangan. Permasalahan yang terjadi saat ini adalah tepung terigu masih diimpor dari negara lain dan berpotensi menimbulkan ketergantungan produk pangan berbahan dari tepung terigu (Khoiri, 2013). Hal ini dapat dilihat pada pembuatan produk pangan yang diolah menggunakan tepung terigu dari tahun ke tahun semakin meningkat. Berdasarkan data dari APTINDO pada tahun 2014 Indonesia mengimpor terigu sebesar 44,560 MT (APTINDO, 2014). Sorgum (Sorghum bicolor L.moench) merupakan salah satu jenis pangan lokal yang belum banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. Sorgum di daerah tropis mempunyai toleransi dan adaptasi yang tinggi terhadap kekeringan (musim kemarau). Pada iklim dan situasi pengairan yang tidak memungkinkan dapat ditanami dengan hasil yang bagus sorgum dapat tumbuh pada kondisi tersebut (Rohajatein, 2010). Sorgum di Indonesia merupakan tanaman sereal pengganti padi dan jagung. Pengembangan produk olahan sorgum masih terbatas (Suarni, 2012). Kurang dikenalnya produk olahan sorgum di masyarakat 1

dibandingkan dengan produk olahan pangan berbahan dasar gandum menyebabkan terbatasnya produk olahan berbahan dasar sorgum (Suarni, 2004). Nama sorgum berbeda antarnegara, antara lain great millet dan guinea cora di Afrika Barat, kafir corn di Afrika Utara, milo sogo di Amerika Serikat, kaoliang di Cina, durra di Sudan, chotam di India, cantel di Jawa, dan gandrum di Sunda. Sorgum berperan penting sebagai tanaman penghasil pangan, energi, dan bahan industri lainnya (Sirappa, 2003). Bentuk olahan sorgum khas Indonesia antara lain dapat diolah diolah sebagai nasi, nagasari, apem, lemper, wajik, jadah, tapai, krasikan, widaran, dodol, kue gapit, dan lain sebagainya (Suarni, 2004). Telah banyak dihasilkan produk setengah jadi dari sorgum yang diperlukan industri pengolahan makanan, salah satunya sorgum yang diolah menjadi tepung. Pengolahan sorgum menjadi produk setengah jadi lebih dianjurkan karena memiliki daya simpan yang lebih lama, mudah dicampur (substitusi), dapat diperkaya dengan zat gizi (fortifikasi) dan lebih cepat diolah salah satunya menjadi biskuit (Suarni, 2004). Biskuit sorgum merupakan produk makanan kering yang digemari oleh masyarakat. Pada umumnya biskuit dibuat dari bahan dasar tepung terigu yang diproses dengan pemanggangan sampai kadar air kurang dari 5% (Gracia dkk, 2009 ; Astawan, 2009). Kandungan gizi utama pada biskuit adalah karbohidrat. Karbohidrat memegang peranan penting pada produk biskuit karena akan mempengaruhi warna dan daya patah pada biskuit (Rudianto dkk, 2014). Sorgum tanpa sosoh mengandung tinggi zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh, diantaranya adalah karbohidrat dan protein apabila dibandingkan 2

dengan sorgum sosoh sehingga dapat digunakan untuk substiusi pangan. Kandungan karbohidrat tersebut juga tidak kalah dibanding serealia lain seperti beras dan jagung. Kandungan gizi sorgum per 100 gram yaitu pada karbohidrat (72,0 gram), protein (10,6 gram), lemak (3,4 gram) dan total serat (6,7 gram). Karbohidrat pada beras per 100 gram (81,6 gram), protein (6,8 gram), lemak (0,5 gram), dan total serat (2,8 gram). Pada jagung per 100 gram mengandung karbohidrat (74,2 gram), protein (9,4 gram), lemak (4,7 gram), dan total serat (7,3 gram) (Yuwono, 2015). Protein yang terkandung dalam tepung sorgum tanpa sosoh sangat baik untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangan anak usia dini. Protein merupakan zat gizi kunci untuk pertumbuhan fisik anak karena sangat dibutuhkan tulang dan otot. Protein juga dibutuhkan untuk perkembangan fungsi otak sehingga dapat meningkatkan fungsi belajar/kognitif anak (Primasoni, 2009). Secara umum bahan pangan lokal memiliki banyak keunggulan dibanding terigu, antara lain kandungan seratnya tinggi, indeks glikemiknya rendah dan tidak mengandung gluten. Gluten bersifat elastis dan kenyal sehingga digunakan sebagai kerangka adonan yang dapat mempengaruhi sifat elastisitas dan tekstur produk yang dihasilkan (Widyaningsih dan Murtini, 2006). Gluten harus dihindari oleh penderita autis karena dapat menyebabkan gangguan pada sistem pertahanan tubuh. Kandungan tinggi seratnya baik untuk penderita diabetes karena serat dapat memperlambat konversi karbohidrat menjadi gula sehingga peningkatan gula dalam darah meningkat secara perlahan. 3

Kualitas biskuit selain ditentukan oleh nilai gizinya juga ditentukan dari warna, aroma, cita rasa (sifat organoleptik) dan sifat fisik. Formula bahan pembuatan biskuit juga akan mempengaruhi sifat organoleptik dan sifat fisik. Sifat fisik ditentukan berdasarkan tekstur dan warna biskuit (Asni, 2004). Tekstur termasuk indikator mutu fisik yang cukup penting pada biskuit. Tekstur dari biskuit meliputi kerenyahan, kekerasan (hardness), dan daya patah atau keretakan (frakturability). Kekerasan erat hubungannya dengan kerenyahan, dimana biskuit yang keras berarti memiliki kerenyahan yang rendah sehingga sulit untuk dihancurkan atau dipatahkan (Hartoyo, 2006). Tekstur pada biskuit dipengaruhi oleh amilosa dan amilopektin. Perbandingan antara amilosa dan amilopektin akan memberikan efek dalam penggunaannya pada makanan, kadar amilosa dan amilopektin berperan dalam pembentukan tekstur biskuit. Fungsi dari pati sebagai bahan makanan menghasilkan kemampuan perekat (sifat amilopektin), hal ini membuat struktur biskuit menjadi lebih kokoh. Molekul-molekul amilosa akan berikatan satu sama lain serta berikatan dengan molekul amilopektin pada bagian luar granula, sehingga kembali terbentuk butir pati yang membengkak dan menjadi semacam jaring-jaring yang membentuk mikrokristal. Proses ini disebut retrogradasi. Pada makanan ringan, retrogradasi bertujuan untuk membentuk tekstur yang renyah (Winarno, 2002). Tekstur juga dipengaruhi oleh protein yang terdapat pada sorgum tanpa sosoh. Biji sorgum tanpa sosoh memiliki kadar protein lebih tinggi dibandingkan dengan biji sorgum sosoh. Hal tersebut disebabkan karena protein ikut terbawa ketika penyosohan akibat protein yang berada di bagian endosperm yang dekat dengan aleuron banyak yang terkikis (Suarni,2004). 4

Biskuit dengan substitusi sorgum tanpa sosoh mempengaruhi warna biskuit. Warna ini disebabkan karena adanya tanin dalam jumlah tinggi (Narsih dkk, 2008). Warna pada produk biskuit juga dapat ditentukan berdasarkan reaksi kecoklatan enzimatis pada tanin yang merupakan senyawa fenolik kemudian dipicu oleh reaksi oksidasi yang dikatalisis oleh enzim fenol oksidase atau polifenol oksidase. Kedua enzim ini dapat mengkatalisis reaksi oksidasi senyawa fenol yang menyebabkan perubahan warna menjadi coklat (Kusnandar, 2011). Warna merupakan salah satu profil visual yang menjadi kesan pertama konsumen dalam menilai bahan makanan. Warna memiliki peran dan arti penting dalam komoditas pangan, dimana warna dapat mempengaruhi penerimaan konsumen terhadap komoditas tersebut. Suatu produk makanan yang bernilai gizi tinggi, rasa enak, dan tekstur yang baik, namun jika warna kurang menarik maka produk tersebut akan kurang diminati (Kartika dkk, 1988). Berdasarkan latar belakang tersebut maka dilakukan penelitian mengenai substitusi tepung sorgum tanpa sosoh pada pembuatan biskuit dilihat dari warna dan daya patah. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, masalah yang akan dikaji pada penelitian ini adalah Bagaimana Pengaruh Substitusi Tepung Sorgum Tanpa Sosoh terhadap Warna dan Daya Patah Biskuit. 5

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui pengaruh substitusi tepung sorgum tanpa sosoh terhadap warna dan daya patah pada biskuit sorgum tanpa sosoh. 2. Tujuan Khusus a. Mendeskripsikan warna dan daya patah pada biskuit sorgum tanpa sosoh. b. Menganalisis pengaruh substitusi tepung sorgum tanpa sosoh terhadap warna biskuit sorgum tanpa sosoh c. Menganalisis pengaruh substitusi tepung sorgum tanpa sosoh terhadap daya patah biskuit sorgum tanpa sosoh. d. Menginternalisasi nilai-nilai Islam. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Peneliti Untuk menambah wawasan dan pengetahuan dalam penelitian tentang pengaruh substitusi tepung sorgum tanpa sosoh terhadap warna dan daya patah pada biskuit sorgum tanpa sosoh. 2. Bagi Masyarakat Sebagai sumber informasi tentang pemanfaatan sorgum tanpa sosoh untuk pembuatan biskuit. 3. Bagi Penelitian Lanjutan Dapat dijadikan acuan bagi penelitian sejenis. 6