HASIL DAN PEMBAHASAN Pertambahan Tinggi Tiap Minggu Pertambahan tinggi tanaman mempengaruhi peningkatan jumlah produksi. Berdasarkan analisis ragam diketahui bahwa perlakuan pemupukan dan perlakuan interval pemanenan berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap tinggi tanaman, begitu pula interaksi antar perlakuan berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap tinggi tanaman, sehingga dilakukan uji lanjut pada interaksi antar perlakuan. Data rataan pertambahan tinggi rumput gajah pada tiap minggunya pada periode kedua dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Pertambahan Tinggi Rumput Gajah Tiap Minggu pada Periode Kedua Interval Pemanenan (cm) P0 10,35± 0,50 b 8,31± 2,34 c 8,49 ± 1,83 c 9,05± 1,13 B P1 23,48± 3,79 a 9,13± 3,22 b 13,79 ± 2,80 b 15,47± 7,32 A P2 24,35± 3,20 a 9,52± 5,18 b 13,61 ± 3,49 b 15,83± 7,66 A 19,40± 7,84 A 8,99± 0,62 C 11,96 ± 3,01 B Keterangan: Superscrip huruf kecil yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (P<0,05). Superscrip huruf besar yang berbeda pada kolom atau baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05). P 0 (kontrol), P 1 (Dosis Pupuk Penuh tanpa FMA), P 2 (Dosis Pupuk Setengah+FMA). Berdasarkan hasil uji jarak Duncan diketahui bahwa rataan pertambahan tinggi pada perlakuan P 2 H 30 tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan perlakuan P 1 H 30, rataan pertambahan tinggi tanaman pada perlakuan P 2 H 50 tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan perlakuan P 0 H 30, P 1 H 50, P 1 H 60, dan P 2 H 60. Hasil ini menunjukkan bahwa penambahan FMA sebagai pengganti setengah dosis pupuk berpengaruh terhadap pertambahan tinggi rumput gajah. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Zhang et al. (2011), tanaman yang diinokulasi FMA memiliki tinggi yang lebih baik dibanding tanaman yang tidak diinokulasi FMA, dan aplikasi inokulasi FMA dalam tanah lapang dengan penggunaan dosis pupuk organik yang optimal sangat meningkatkan pertumbuhan jagung dan serapan hara. pertambahan tinggi pada P 2 H 30 dan P 1 H 30 nyata (P<0,05) lebih tinggi jika dibandingkan perlakuan P 0 H 30, P 0 H 50, P 1 H 50, P 2 H 50, P 0 H 60, P 1 H 60 dan P 2 H 60. Hal 10
ini karena pada perlakuan P 0 H 50, P 1 H 50, P 2 H 50, P 0 H 60, P 1 H 60, dan P 2 H 60 tanaman rumput gajah telah memasuki masa generatif. Sajimin et al. (1999) menyatakan bahwa, hingga umur 42 hari rumput gajah masih berada pada masa vegetatif sehingga produksi daunnya masih tinggi. Rumput yang telah memasuki masa generatif tidak bertambah produksi daunnya (Sajimin et al., 2005). Pada masa generatif, meristem vegetatif berubah menjadi reproduktif (mulai membentuk bunga) sehingga sebagian berubah menjadi meristem generatif (Salisbury dan Ross, 1995), mengakibatkan pertumbuhan tinggi tanaman terhambat. Sedangkan pada perlakuan P 0 H 30 pertambahan tinggi terhambat dikarenakan kurangnya asupan zat hara oleh tanaman. Produksi Berat Kering Produksi berat kering dianalisis pada tiap periode pemanenan. Produksi berat kering pada periode panen pertama jika dibandingkan dengan periode panen kedua menunjukkan hasil yang lebih baik (Gambar 2). Hal ini dapat disebabkan tanah yang dipakai berulang kali mengakibatkan kandungan haranya banyak terkuras (Djazuli dan Trisilawati, 2004), sehingga mengakibatkan menurunnya produksi BK pada periode selanjutnya. Periode 1 Peiode 2 100.00 80.00 60.00 70.30 59.24 40.00 39.86 33.96 20.00 0.00-20.00 9.03 7.76 P0 P1 P2 Gambar 3. Produksi Berat Kering Rumput Gajah pada Periode Pemanenan Pertama dan Kedua. P 0 (kontrol), P 1 (Dosis Pupuk Penuh tanpa FMA), P 2 (Dosis Pupuk Setengah+FMA) 11
Periode Panen Pertama. Data produksi BK periode panen pertama dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan analisis ragam diketahui bahwa perlakuan pemupukan dan perlakuan interval pemanenan berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap produksi BK periode panen pertama, sedangkan interaksi antar perlakuan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap produksi BK periode panen pertama, sehingga dilakukan uji lanjut pada interaksi antar perlakuan. Tabel 2. Produksi Berat Kering Rumput Gajah Periode Pertama Interval Pemanenan (gram/tanaman) P 0 3,23± 1,41 e 8,38± 7,41 e 15,49± 10,51 d 9,03± 6,16 B P 1 23,27± 13,34 c 91,27± 41,93 a 96,38± 48,54 a 70,30± 40,82 A P 2 27,20± 11,77 c 60,22± 33,21 b 90,29± 42,93 a 59,24± 31,56 A 17,90 ± 12,86 B 53,29 ± 41,88 A 6739 ± 45,05 A Keterangan: Superscrip huruf kecil yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (P<0,05). Supersrip huruf besar pada kolom atau baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05). P 0 (kontrol), P 1 (Dosis Pupuk Penuh tanpa FMA), P 2 (Dosis Pupuk Setengah+FMA). Hasil uji jarak Duncan menunjukkan bahwa meskipun perlakuan P 1 H 50 nyata (P<0,05) lebih baik jika dibandingkan P 2 H 50, produksi BK pada perlakuan P 2 H 60 tidak berbeda nyata jika dibandingkan perlakuan P 1 H 60 dan P 1 H 50. Begitu pula perlakuan P 2 H 30 menunjukkan hasil tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan perlakuan P 1 H 30, dan berbeda nyata (P<0,05) dibanding perlakuan P 0 H 60, P 0 H 50, dan P 0 H 30. Hal ini disebabkan FMA berpengaruh terhadap efektivitas penyerapan unsur hara yang diberikan kepada tanaman. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Karti et al. (2012), inokulasi FMA mampu meningkatkan berat kering tajuk dan akar, protein kasar, dan kecernaan bahan organik pada Stylosanthes seabrana. Selain meningkatkan penyerapan zat hara, FMA memiliki manfaat lain seperti perlindungan terhadap patogen, menjaga stabilitas tanah (Rooney et al., 2011), dan mampu memberikan kontribusi terhadap berbagai faktor stress pada tanaman seperti kekeringan, tanah masam, dan toksisitas logam berat (Finlay, 2004). Periode Panen Kedua. Berdasarkan analisis ragam diketahui bahwa perlakuan pemupukan berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap produksi BK periode panen kedua, sedangkan perlakuan interval pemanenan terhadap produksi BK periode 12
panen kedua berpengaruh nyata (P<0,05). Interaksi antar perlakuan berpengaruh tidak nyata (P<0,01) terhadap produksi BK periode kedua, sehingga tidak dilakukan uji lanjut pada interaksi antar perlakuan, tetapi hanya dilakukan uji lanjut pada tiap faktor perlakuan, yakni faktor pemupukan dan faktor interval pemanenan. Data produksi BK pada periode panen kedua dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Produksi Berat Kering Rumput Gajah Periode Kedua Interval Pemanenan (gram/tanaman) P 0 3,40 ± 2,14 8,33 ± 3,44 11,56 ± 5,66 7,76 ± 3,77 b P 1 32,44 ± 6,40 34,30 ± 8,91 52,84 ± 15,70 39,86 ± 13,29 a P 2 25,16 ± 4,14 36,73 ± 19,89 40,00 ± 16,65 33,96 ± 13,80 a 20,33 ± 13,68 b 26,46 ± 17,27 ab 34,80 ± 20,84 a Keterangan: Superscrip yang sama pada kolom atau baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05). P 0 (kontrol), P 1 (Dosis Pupuk Penuh tanpa FMA), P 2 (Dosis Pupuk Setengah+FMA). Hasil uji jarak Duncan produksi BK periode kedua pada faktor interval pemanenan menunjukkan perlakuan H 60 memiliki nilai rataan terbaik jika dibandingkan dengan perlakuan H 50 dan H 30, meskipun perlakuan H 60 tidak berbeda nyata (P>0,05) jika dibandingkan dengan perlakuan H 50 dan berbeda nyata (P<0,05) jika dibandingkan dengan perlakuan H 30. Hal ini menurut Polakitan dan Kairupan (2008), semakin lama interval pemotongan menunjukkan hasil lebih tinggi terhadap tinggi tanaman, produksi daun, produksi batang dan produksi hijauan. Hasil uji jarak Duncan produksi BK periode kedua pada faktor pemupukan menunjukkan perlakuan P 2 tidak berbeda nyata (P>0,05) jika dibandingkan dengan perlakuan P 1 dan berbeda nyata (P<0,05) jika dibandingkan dengan perlakuan P 0. Berdasarkan hasil tersebut menunjukkan bahwa pengaruh penggunaan FMA dengan dosis pupuk 50% efektif dalam meningkatkan penyerapan unsur hara, sehingga dapat meningkatkan produksi BK. Menurut Karti dan Setiadi (2011) pemberian FMA berpengaruh terhadap peningkatan kualitas serapan P dan N total. Pemberian FMA hanya sekali saat penanaman sehingga lebih efektif dan efisien dalam penggunaan pupuk anorganik dalam meningkatan produksi BK secara berkelanjutan pada periode panen berikutnya. 13
pengurangan dosis pupuk sebanyak 50% dengan penambahan FMA mampu bersaing dengan perlakuan dosis pupuk penuh. Pengurangan dosis pupuk sebanyak 50% dan penambahan FMA selain mengurangi biaya pupuk, juga mengurangi tingkat pencemaran pupuk yang dihasilkan. Karena menurut Munawar (2011), beberapa jenis pupuk yang banyak dipakai dipertanian, seperti yang mengandung ammonium merupakan sumber kemasaman didalam tanah, karena mudah teroksidasi. Semakin lama interval pemotongan maka akan menunjukkan hasil yang lebih tinggi terhadap produksi hijauan. Sehingga interaksi perlakuan yang terbaik terdapat pada perlakuan P 2 H 60. Pengaruh terhadap Persentase Infeksi Akar FMA merupakan fungi yang dapat berfungsi hanya jika telah menginfeksi akar tanaman inangnya, tanaman inang yang terinfeksi oleh FMA akar terlihat adanya struktur hyfa, vesikel, dan arbuskula (Karti dan Setiadi, 2011). Gambar akar yang tidak terinfeksi dan terinfeksi oleh FMA ditunjukkan oleh Gambar 3. Tidak ada infeksi vesikel hifa Arbuskula (a) (b) (c) Sumber: Dokumen Penelitian Gambar 4. Infeksi FMA pada Akar Rumput Gajah. a) Akar yang Tidak Terdapat Infeksi FMA (Perbesaran 10x10), b) Akar yang Terinfeksi FMA (Perbesaran 10x10), c) Bentuk Arbuskula (Perbesaran 40x10) persen infeksi akar dari rumput gajah dapat dilihat pada Tabel 4. Berdasarkan hasil sidik ragam interaksi antar faktor pemupukan dan faktor interval pemanenan tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap infeksi akar, begitu pula pada pengaruh faktor interval pemanenan yang menunjukkan pengaruh tidak nyata terhadap infeksi akar, sedangkan faktor pemupukan memberikan pengaruh nyata (P<0,05) terhadap persen infeksi akar pada rumput gajah. 14
Tabel 4. Persentase Infeksi Akar Interval Pemanenan (%) P 0 47,9± 8,5 41,7± 26,1 53,8± 18,5 47,8± 17,3 b P 1 79,6± 12,8 48,3± 35,0 70,8± 18,8 66,2± 25,1 a P 2 64,2± 8,8 82,1± 4,0 82,9± 0,7 76,4± 10,4 a 63,9± 16,3 57,4± 28,9 69,2± 18,3 Keterangan: Superscrip yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (P<0,05). P0 (kontrol), P1 (Dosis Pupuk Penuh tanpa FMA), P2 (Dosis Pupuk Setengah+FMA). Nilai rataan persen infeksi akar tertinggi pada perlakuan P 2 H 60 (82,9%) dan terendah pada perlakuan P 0 H 50 (41,7%). Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa rataan persentase infeksi akar perlakuan P 2 tidak berbeda nyata (P>0,05) jika dibandingkan dengan perlakuan P 1, tetapi berbeda nyata (P<0,05) jika dibandingkan dengan P 0. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman yang tidak di inokulasi FMA juga terdapat infeksi. Hal ini dikarenakan terdapatnya FMA endofit dalam tanah lapang. Menurut Muhammad et al. (2003), dalam kondisi normal biasanya akar tanaman terinfeksi oleh FMA. Infeksi FMA yang diinokulasikan lebih dipengaruhi oleh faktor abiotik termasuk tanah, kondisi lingkungan dan kegiatan pertanian (Muhammad et al., 2003), dan ditambahkan pula oleh Muthukumar dan Udaiyan (2002) yakni faktor iklim dan edafis. 15