VIII. KESIMPULAN DAN IMPLlKASl KEBIJAKAN 8.1. Kesirnpulan 1. Pola konsurnsi dan pengeluaran rata-rata rumahtangga di wilayah KT1 memiliki struktur yang searah dengan pola yang terjadi secara nasional, Jawa, rnaupun luar Jawa. Beberapa ciri yang serupa tersebut adalah pangsa pengeluaran pangan yang rnasih lebih besar (lebih dari 60 persen) dibanding pangsa pengetuaran non-pangan; diantara jenis pangan, pangsa beras terhadap struktur pengeluaran rumahtangga rnaupun dalam kontribusi konsurnsi energi (40-60 persen) dan protein (3649 persen) rnasih dorninan. 2. Tingkat konsumsi pangan surnber karbohidrat rata-rata rurnahtangga di pedesaan KTI lebih tinggi dibanding di kota, narnun untuk konsurnsi surnber protein (hewani rnaupun nabati) terjadi ha1 yang sebaliknya. Tingkat konsumsi surnber vitamin/rnineral dan pangan lainnya hampir sarna antara daerah kota dan desa. Untuk semua jenis pangan, tingkat konsurnsi per kapita rata-rata rumahtangga di KT1 meningkat dengan rneningkatnya pendapatan. Pola serupa juga terlihat untuk tingkat konsumsi energi maupun protein. 3. Pola konsumsi pangan pokok non beras di wilayah KT1 rnulai tergeser peranannya oleh beras. Propinsi-propinsi yang semula (tahun 1979) tidak berpola pangan pokok beras pada tahun 1996 bergeser ke pola beras.
4. Terdapat kecenderungan hubungan yang positif antara potensi surnberdaya wilayah dengan pola konsurnsi penduduk. Wilayah dengan potensi tanaman pangan (padi) cenderung rnengkonsumsi beras lebih tinggi dibanding wilayah lain. Dernikian halnya untuk wilayah dengan potensi perikanan, petemakan, rata-rata penduduknya mengkonsumsi kornoditas tersebut lebih banyak dibanding wilayah lain. Dengan pola konsumsi seperti itu analisis sistem permintaan menunjukkan bahwa perrnintaan kornoditas tersebut di wilayah yang bersangkutan cenderung rnernpunyai respon yang kecil (in- elastis) terhadap perubahan harga rnaupun pendapatan. 5. Permintaan pangan di pedesaan KT1 lebih responsif terhadap perubahan harga dibanding daerah kota, kecuali untuk umbi-umbian, sayuran. dan rninyak goreng. Secara umurn terlihat sernakin tinggi tingkat pendapatan semakin kurang responsif permintaan kornoditas pangan terhadap perubahan harga pangan yang bersangkutan. Kecuali untuk susu, sayuran dan makanan jadi, perrnintaan makin responsif terhadap perubahan harga untuk kelompok pendapatan rendah ke sedang, dan permintaan rnakin kurang reponsif untuk kelompok pendapatan sedang ke tinggi. 6. Terdapat hubungan substitusi antara beras dengan serealia lain, umbiumbian, rnielterigu, makanan jadi, susu, kacang-kacangan dan minyak goreng. Namun demikian perubahan harga kornoditas substitusi tersebut
sangat kecil pengaruhnya terhadap permintaan beras. Hal sebaliknya terjadi, yaitu perubahan harga beras memiliki respon yang lebih kuat terhadap perubahan permintaan komoditas-komoditas tersebut. 7. Di wilayah KT1 secara total. desa maupun kota, semua komoditas pangan yang dianalisis bersifat barang normal yang ditunjukkan oleh tanda positif dari nilai elastisitas pendapatan. Terdapat pola bahwa permintaan sebagian besar komoditas pangan di daerah pedesaan KT1 lebih responsif terhadap perubahan pendapatan dibanding di kota. Makin tinggi tingkat pendapatan permintaan komoditas pangan semakin kurang responsif terhadap perubahan pendapatan (kecuali untuk komoditas telur). Bagi kelornpok pendapatan rendah dan sedang, permintaan daging dan susu di wilayah KT1 justru mengalami penurunan apabila terjadi peningkatan pendapatan. Peningkatan pendapatan dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan lain yang lebih pokok. 8. Posisi beras sebagai pangan pokok telah rnenggeser pangan pokok non beras, yang ditunjukkan oleh besaran nilai elastisitas harga beras dibanding serealia lain atau umbi-umbian. Di NTT (semula dikenal wilayah dengan konsumsi jagung dorninan) permintaan serealia lain (jagung termasuk didalamnya) lebih responsif terhadap perubahan harga dibanding perrnintaan beras. Dernikian hafnya Maluku yang dikenal sebagai konsurnen sagu, permintaan urnbi-umbian (sagu termasuk di
dalarnnya) lebih responsif terhadap perubahan harga dibanding perrnintaan beras. 9. Dikaitkan dengan upaya pernenuhan konsurnsi zat gizi bagi kelompok penduduk berpendapatan rendah di wilayah KTI. Diperlukan upaya peningkatan pendapatan per kapita sebesar 3.0 persen dan 3.5 persen masing-masing untuk mernenuhi angka kecukupan energi dan protein sebesar 2 150 Kkallkapl hr dan 46.2 grlkaplhari. 10. Ketidakseirnbangan antara luas dan potensi wilayah KT[ dengan jumlah penduduk (SDM) dan terbatasnya infrastruktur merupakan kendala utama dalarn pemacuan percepatan pembangunan wilayah KTI. 8.2. lrnplikasi Kebijakan 1 Besarnya peranan beras dalam pola konsumsi rurnahtangga di wilayah KT1 baik dalam alokasi pengeluaranlanggaran rumahtangga, kontribusi terhadap konsurnsi energi dan protein rnaupun lebih kuatnya respon perubahan harga beras terhadap kornoditas substitusilkornplernennya, rnengindikasikan bahwa intervensi kebijakan di bidang perberasan tetap diperlukan. Narnun demikian dalarn irnplernentasinya dipedukan prioritas kebijakan yang berbeda antar wilayah. Wilayah dengan respon perubahan harga lebih kuat dari perubahan pendapatan lebih tepat diterapkan kebijakan stabilisasi harga beras. Namun untuk wilayah dimana respon pendapatan lebih kuat dari perubahan harga, rnaka
kebijakan penciptaan lapangan kerja di wilayah tersebut yang dapat mendorong peningkatan pendapatan akan lebih tepat. Selain itu diperlukan upaya penggalakan pengernbangan pangan lokal non beras sesuai potensi wilayah KT1 untuk rnenekan laju pergeseran pola pangan pokok ke arah pola beras. 2. Mengingat untuk sebagian besar jenis pangan daerah pedesaan dan golongan penduduk berpendapatan rendah memiliki respon yang lebih kuat terhadap perubahan pendapatan maupun harga-harga kornoditas pangan, rnaka prioritas kebijakan di bidang pangan (dan gizi) perlu lebih rnemfokuskan pada kelompok tersebut. Pada kelompok tersebut tingkat konsurnsi energi dan protein (pada tahun 1996) masih lebih rendah dari angka kecukupan yang direkomendasikan. Diperlukan peningkatan pendapatan per kapita sekitar 3-3.5 persen untuk memenuhi kebutuhan konsurnsi zat gizi yang diperlukan. Peningkatan pendapatan tersebut perlu dibarengi dengan kebijakan sosialisasi dan peningkatan pengetahuan tentang pangan dan gizi melalui penyuluhan, pendidikan dan iklan layanan masyarakat melalui media massa. 3. Penetapan 13 kawasan andalan di witayah KT1 perlu didorong realisasinya. Dalam ha1 ini perlu diciptakan situasi yang kondusif untuk mengundang investor menanamkan modalnya di wilayah KTI. Mengutip istilah Bachtiar (1997). membedah isolasi alam rnerupakan keharusan awal guna membedah kernacetan pembangunan di lrian Jaya (dan
wilayah KTI pada urnumnya). karena terbatasnya sarana infrastruktur menjadi salah satu pengharnbat utarna rendahnya rninat investor menanamkan modal ke KTI. Dengan terbukanya isolasi wilayah, rnobilitas penduduk tidak lagi terharnbat dan rnendorong aktivitas ekonorni lebih berkernbang. Pada gilirannya peningkatan jurnlah penduduk dengan rneningkatnya aktivitas ekonomi wilayah KT1 akan rnendorong peningkatan perrnintaan terhadap komoditas pangan di wilayah KTI. Untuk ini perlu antisipasi kebijakan di bidang penyediaan dan distribusi pangan di wilayah KTI. 8.3. Kontribusi Penelitian 1. Penelitian ini rnemperkaya kajian pola konsurnsi dan perrnintaan pangan yang telah banyak dilakukan di Indonesia. Namun demikian studi ini dapat rnengisi keterbatasan studi konsurnsi dan permintaan pangan di wilayah KTI. Hasil kajian diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi pengambil kebijakan dalam perencanaan. distribusi dan alokasi pangan dan gizi di wilayah KTI. 2. Studi ini menunjukkan bukti empiris adanya hubungan positif antara potensi sumberdaya wilayah dengan pola konsurnsi penduduk setempat. Wilayah dengan potensi tanarnan pangan (padi), penduduknya rnengkonsumsi beras lebih tinggi dibanding wilayah lainnya. Dernikian halnya wilayah dengan potensi peternakan atau perikanan, tingkat
konsumsi hasil ternak (daging) atau ikan di wilayah relatif lebih tinggi dibanding wilayah lain. 3. Hasil penelitian menunjukkan pula secara empiris peran beras yang dominan dalam struktur pengeluaran rumah tangga rnaupun kontribusi konsumsi energi dan protein di wilayah KTI. Selain itu secara empiris terbukti pula adanya pergeseran pola konsumsi pangan pokok di wilayah KT1 yang mengarah kepada pola beras. 4. Analisis permintaan pangan di KT1 menunjukkan secara emperis perlunya prioritas kebijakan pangan dan gizi di wilayah KT1 kepada kelornpok pendapatan rendah dan daerah pedesaan. Hal ini ditunjukkan oleh respon perubahan perrnintaan yang lebih kuat oleh kelompok pendapatan rendah dan daerah pedesaan dibanding daerah kota dan kelompok pendapatan sedang dan tinggi. 8.4. Keterbatasan Penelitian 1. Penelitian ini rnenggunakan data Susenas tahun 1996, setelah analisis selesai dilakukan data yang lebih b a yaitu ~ Susenas tahun 1999 baru tersedia. Oleh karena itu penelitian ini tidak rnarnpu mengungkap fakta yang lebih aktual rnaupun menangkap perubahan pola konsumsi dan permintaan pangan setelah adanya krisis ekonomi yang mulai melanda perekonomian Indonesia sejak tahun f 997.
2. Sesuai dengan ketersediaan data Susenas, analisis yang dilakukan bersifat parsial yaitu hanya menelaah sisi konsumen dan mengabaikan konsumen yang berperan pula sebagai produsen bahan pangan. Dalam ha1 ini rurnahtangga pertanian tidak dianalisis secara khusus, karena urnumnya rumahtangga pertanian (tanaman pangan) berperan sebagai produsen sekaligus juga sebagai konsumen. 3. Penggunaan peubah JART dalam penelitian ini tidak rnernpertimbangkan jenis kelarnin dan kelornpok umur. Padahal untuk rnenghitung konsumsi zat gizi pengelompokan tersebut diperlukan agar penghitungan konsumsi lebih akurat. 4. Analisis yang dilakukan dalarn penelitian ini terbatas pada wilayah propinsi, daerah kota-desa dan kelompok pendapatan. Padahal isu hangat saat ini antara lain adalah dilaksanakannya Undang-Undang Otonomi Daerah yang pada intinya mernberikan keleluasaan yang besar kepada pengarnbil keputusan di tingkat kabupaten. Oleh karena itu hasil penelitian ini belurn dapat dirnanfaatkan secara maksirnal bagi pengambil keputusan di tingkat kabupaten. 8.5. Saran Untuk Penelitian Lanjutan 1. Penelitian pola konsumsi dan analisis permintaan pangan di wilayah KT1 dengan rnenggunakan data Susenas terbaru (1999) akan dapat rnengungkap fakta yang lebih aktual dan rnenangkap perubahan pola
konsumsi dan perrnintaan pangan di wilayah KT1 setelah terjadi krisis ekonorni. 2. Penelitian yang akan datang disarankan menggunakan model analisis yang lebih kornprehensif ("household model") yang rnernpertimbangkan rumahtangga pertanian sebagai produsen sekaligus sebagai konsumen bahan pangan. Untuk keperluan ini diperlukan data rurnahtangga yang rneliputi proses produksi dan konsurnsi serta pengeluaran untuk bahan pangan. 3. Analisis permintaan dengan cakupan wilayah sampai tingkat kabupaten akan rnernperkaya analisis disamping berrnanfaat bagi pengarnbil keputusan tingkat kabupaten dalam rnerumuskan kebijakan di bidang pangan dan gizi. Untuk ini diperlukan data survei konsurnsi dan pengeluaran rumahtangga semacarn Susenas untuk cakupan wilayah kabupaten. 4. Mernasukkan peubah JART dengan rnempertimbangkan komposisi umur dan jenis kelarnin pada model perrnintaan maupun studi pola konsurnsi pangan akan mernperkaya analisis terutarna dikaitkan dengan upaya pemenuhan konsurnsi zat gizi.