VIII. KESIMPULAN DAN IMPLlKASl KEBIJAKAN. memiliki struktur yang searah dengan pola yang terjadi secara nasional,

dokumen-dokumen yang mirip
V. POLA PENGELUARAN DAN KONSUMSI PANGANlGlZl

Bab ini akan membahas hal-ha1 berikut: (1) pengujian restriksi, (2) respon perubahan pendapatan. (5) pemintaan pangan antar wilayah.

Ketahanan Pangan yaitu pencegahan dan penanganan kerawanan pangan dan gizi. Kerawanan pangan adalah suatu kondisi ketidakcukupan pangan

IV. METODA PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk rnengernbangkan daerah yang. bersangkutan. Tujuan dari pernbangunan daerah adalah untuk

I. PENDAHULUAN. Dalarn pernbangunan ekonorni Indonesia, sektor perdagangan luar

IX. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Dilihat dan asal-usulnya, kelapa sawit bukanlah tanarnan asli lndonesia,

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

I. PENDAHULUAN. bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan

11. TINJAUAN PUSTAKA. Bagian ini akan mengulas berbagai studi tentang pola konsumsi,

Pengolahan dan Analisis Data

BAB I PENDAHULUAN. cukup mendasar, dianggapnya strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. laut ini, salah satunya ialah digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan.

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Secara konstitusional koperasi telah mendapat posisi politis

V. PRODUKSI DAN PERAN SUB SEKTOR PETERNAKAN KABUPATEN BENGKALlS. adalah ternak sapi, kerbau, kambing, babi, ayarn buras, ayarn pedaging,

Dalarn rnengantisipasi rneningkatnya perrnintaan konsurnen

Kelapa sawit termasuk salah satu komoditi andalan lndonesia di. sektor lndustri Agribisnis, karena kelapa sawit merupakan bahan baku

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan sektor yang berperan penting terhadap pemenuhan

dirnensi kehidupan terrnasuk sektor agribisnis akan sangat berpengaruh pada derajat persaingan pada tingkat lokal, wilayah dan nasional tetapi

I. PENDAHULUAN. merupakan kebutuhan dasar manusia. Ketahanan pangan adalah ketersediaan

PERAN SEKTOR INDUSTRI DALAM MENDUKUNG KEANEKARAGAMAN PANGAN

POLA KONSUMSI PANGAN POKOK DI BEBERAPA PROPINSI DI INDONESIA

KOMPOSISI KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN YANG DIANJURKAN

BAB l PENDAHULUAN. Pasar Farrnasi lndonesia rnerupakan salah satu sektor yang

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

METODE. Keadaan umum 2010 wilayah. BPS, Jakarta Konsumsi pangan 2 menurut kelompok dan jenis pangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

METODE PENELITIAN Desain, Sumber dan Jenis Data

PERUBAHAN KONSUMSI DAN PENGELUARAN RUMAH TANGGA DI PERDESAAN: Analisis Data SUSENAS Handewi P.Saliem dan Ening Ariningsih

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN. Pertanian. Konsumsi Pangan. Sumber Daya Lokal.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

METODE PENELITIAN. No Data Sumber Instansi 1 Konsumsi pangan menurut kelompok dan jenis pangan

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) BADAN KETAHANAN PANGAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

VII. SIMPULAN. Berdasarkan basil penelitian mengenai dampak kebijakan makroekonomi

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

Peran dan fungsi pemerintah pada era otonomi daerah adalah. berupa pelayanan dan pengaturan (fasilitator, regulator dan dinamisator)

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN

PENDAHULUAN. Latar Belakang

menjadi peubah-peubah eksogen, yaitu persamaan harga irnpor dan persarnaan harga dunia. Adanya kecenderungan volume impor daging sapi yang terus

KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI MENDUKUNG PERCEPATAN PERBAIKAN GIZI

BAB I PENDAHULUAN. adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang di olah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Konsumsi beras di Indonesia semakin meningkat setiap tahunnya

PERBEDAAN POLA PANGAN HARAPAN DI PEDESAAN DAN PERKOTAAN KABUPATEN SUKOHARJO (Studi di Desa Banmati dan Kelurahan Jetis)

BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 16 TAHUN 2011

Pengembangan Jagung Nasional Mengantisipasi Krisis Pangan, Pakan dan Energi Dunia: Prospek dan Tantangan

TINJAUAN PUSTAKA. Konsumsi Pangan dan Faktor yang Mempengaruhinya

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONSUMSI IKAN PADA KELUARGA NELAYAN DAN BUKAN NELAYAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN STATUS GIZl BALITA

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONSUMSI IKAN PADA KELUARGA NELAYAN DAN BUKAN NELAYAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN STATUS GIZl BALITA

BAB l PENDAHULUAN. bidang perkebunan dan perindustrian teh dan karet dengan produksi yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL

ANALISIS KETAHANAN PANGAN REGIONAL DAN TINGKAT RUMAH TANGGA (Studi Kasus di Provinsi Sulawesi Utara)

I. PENDAHULUAN. nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar

BAB VIII KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. 1. Tingkat partisipasi konsumsi rumah tangga di DIY menurut wilayah tempat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KONSUMSI DAN KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN RUMAHTANGGA PERDESAAN DI INDONESIA: Analisis Data SUSENAS 1999, 2002, dan 2005 oleh Ening Ariningsih

BAB I PENDAHULUAN. untuk jangka waktu tertentu yang akan dipenuhi dari penghasilannya. Dalam

DATA STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2014

SISTEM KEWASPADAAN PANGAN DAN GIZI

Oleh : DlNA RATNA SARI A

I. PENDAHULUAN. Dalarn rangka pernbangunan bidang ekonomi, sektor pertanian sangat

IV. POLA KONSUMSI RUMAH TANGGA MISKIN DI PULAU JAWA

Kesimpulan. Beberapa kesimpulan yang menjadi perhatian dari penelitian ini disusun

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

LAMPIRAN: Surat No.: 0030/M.PPN/02/2011 tanggal 2 Februari 2011 B. PENJELASAN TENTANG KETAHANAN PANGAN

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap

PELUANG DAN TANTANGAN lndustrl BERBASlS HASIL SAMPING PENGOLAXAN PAD!

KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi oleh suatu kelompok sosial

PENDAHULUAN. Latar Belakanq. Setiap keluarga berusaha mernenuhi kebutuhan dengan menggunakan

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG

Oleh AGUS RIYANTO JURUSAN ILMU-ILMU SOSIAL EKONOMI PERTANIAN FAKULTAS BERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR A

22/02/2017. Outline SURVEI KONSUMSI PANGAN. Manfaat survei konsumsi pangan. Metode Survei Konsumsi Pangan. Tujuan Survei Konsumsi Pangan

I. PENDAHULUAN. Pertanian dan Pangan (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), pp

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Kebijakan otonomi daerah yang bersifat desentralisasi telah merubah

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Nainggolan K. (2005), pertanian merupakan salah satu sektor

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) : MEWUJUDKAN JAWA TIMUR LEBIH SEJAHTERA, BERDAYA SAING MELALUI KETAHANAN PANGAN YANG BERKELANJUTAN

BAB I PENDAHULUAN. dalam kebijakan pangan nasional. Pertumbuhan ekonomi di negara negara

ditunjukkan oleh kenaikan RGDP, disebabkan karena biaya produksi yang relatif lebih murah mampu mendorong kenaikan produksi barang-barang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pangsa Pengeluaran Pangan Rumah Tangga. Ketahanan pangan merupakan kondisi dimana terpenuhinya pangan bagi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESA PENELITIAN

PDB 59,4 % dan terhadap penyerapan tenaga

STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2013

memegang peranan penting dalam menunjang keberhasilan agribisnis di yang baik dan benar akan mampu mengeliminasi

I. PENDAHULUAN. rakyat secara merata dan adil, penyediaan pangan dan gizi yang cukup memadai

POLA PANGAN HARAPAN (PPH)

PENDAHULUAN. Jumlah penduduk lndonesia yang besar dengan laju tingkat

IV. POLA KONSUMSI RUMAHTANGGA

I. PENDAHULUAN. Industri daging olahan merupakan salah satu industri yang bergerak dalam bidang

Statistik (1999) menunjukkan bahwa Standar Nasional kebutuhan protein. hewani belum terpenuhi, dan status gizi masyarakat yang masih

BAB I. PENDAHULUAN. pembangunan Nasional. Ketersediaan pangan yang cukup, aman, merata, harga

PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN DAN GIZI : FAKTOR PENDUKUNG PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

1. KETAHANAN PANGAN YANG BERKELANJUTAN, TANTANGAN DAN HARAPAN DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN DI INDONESIA 2. PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN KEMISKINAN

Transkripsi:

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLlKASl KEBIJAKAN 8.1. Kesirnpulan 1. Pola konsurnsi dan pengeluaran rata-rata rumahtangga di wilayah KT1 memiliki struktur yang searah dengan pola yang terjadi secara nasional, Jawa, rnaupun luar Jawa. Beberapa ciri yang serupa tersebut adalah pangsa pengeluaran pangan yang rnasih lebih besar (lebih dari 60 persen) dibanding pangsa pengetuaran non-pangan; diantara jenis pangan, pangsa beras terhadap struktur pengeluaran rumahtangga rnaupun dalam kontribusi konsurnsi energi (40-60 persen) dan protein (3649 persen) rnasih dorninan. 2. Tingkat konsumsi pangan surnber karbohidrat rata-rata rurnahtangga di pedesaan KTI lebih tinggi dibanding di kota, narnun untuk konsurnsi surnber protein (hewani rnaupun nabati) terjadi ha1 yang sebaliknya. Tingkat konsumsi surnber vitamin/rnineral dan pangan lainnya hampir sarna antara daerah kota dan desa. Untuk semua jenis pangan, tingkat konsurnsi per kapita rata-rata rumahtangga di KT1 meningkat dengan rneningkatnya pendapatan. Pola serupa juga terlihat untuk tingkat konsumsi energi maupun protein. 3. Pola konsumsi pangan pokok non beras di wilayah KT1 rnulai tergeser peranannya oleh beras. Propinsi-propinsi yang semula (tahun 1979) tidak berpola pangan pokok beras pada tahun 1996 bergeser ke pola beras.

4. Terdapat kecenderungan hubungan yang positif antara potensi surnberdaya wilayah dengan pola konsurnsi penduduk. Wilayah dengan potensi tanaman pangan (padi) cenderung rnengkonsumsi beras lebih tinggi dibanding wilayah lain. Dernikian halnya untuk wilayah dengan potensi perikanan, petemakan, rata-rata penduduknya mengkonsumsi kornoditas tersebut lebih banyak dibanding wilayah lain. Dengan pola konsumsi seperti itu analisis sistem permintaan menunjukkan bahwa perrnintaan kornoditas tersebut di wilayah yang bersangkutan cenderung rnernpunyai respon yang kecil (in- elastis) terhadap perubahan harga rnaupun pendapatan. 5. Permintaan pangan di pedesaan KT1 lebih responsif terhadap perubahan harga dibanding daerah kota, kecuali untuk umbi-umbian, sayuran. dan rninyak goreng. Secara umurn terlihat sernakin tinggi tingkat pendapatan semakin kurang responsif permintaan kornoditas pangan terhadap perubahan harga pangan yang bersangkutan. Kecuali untuk susu, sayuran dan makanan jadi, perrnintaan makin responsif terhadap perubahan harga untuk kelompok pendapatan rendah ke sedang, dan permintaan rnakin kurang reponsif untuk kelompok pendapatan sedang ke tinggi. 6. Terdapat hubungan substitusi antara beras dengan serealia lain, umbiumbian, rnielterigu, makanan jadi, susu, kacang-kacangan dan minyak goreng. Namun demikian perubahan harga kornoditas substitusi tersebut

sangat kecil pengaruhnya terhadap permintaan beras. Hal sebaliknya terjadi, yaitu perubahan harga beras memiliki respon yang lebih kuat terhadap perubahan permintaan komoditas-komoditas tersebut. 7. Di wilayah KT1 secara total. desa maupun kota, semua komoditas pangan yang dianalisis bersifat barang normal yang ditunjukkan oleh tanda positif dari nilai elastisitas pendapatan. Terdapat pola bahwa permintaan sebagian besar komoditas pangan di daerah pedesaan KT1 lebih responsif terhadap perubahan pendapatan dibanding di kota. Makin tinggi tingkat pendapatan permintaan komoditas pangan semakin kurang responsif terhadap perubahan pendapatan (kecuali untuk komoditas telur). Bagi kelornpok pendapatan rendah dan sedang, permintaan daging dan susu di wilayah KT1 justru mengalami penurunan apabila terjadi peningkatan pendapatan. Peningkatan pendapatan dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan lain yang lebih pokok. 8. Posisi beras sebagai pangan pokok telah rnenggeser pangan pokok non beras, yang ditunjukkan oleh besaran nilai elastisitas harga beras dibanding serealia lain atau umbi-umbian. Di NTT (semula dikenal wilayah dengan konsumsi jagung dorninan) permintaan serealia lain (jagung termasuk didalamnya) lebih responsif terhadap perubahan harga dibanding perrnintaan beras. Dernikian hafnya Maluku yang dikenal sebagai konsurnen sagu, permintaan urnbi-umbian (sagu termasuk di

dalarnnya) lebih responsif terhadap perubahan harga dibanding perrnintaan beras. 9. Dikaitkan dengan upaya pernenuhan konsurnsi zat gizi bagi kelompok penduduk berpendapatan rendah di wilayah KTI. Diperlukan upaya peningkatan pendapatan per kapita sebesar 3.0 persen dan 3.5 persen masing-masing untuk mernenuhi angka kecukupan energi dan protein sebesar 2 150 Kkallkapl hr dan 46.2 grlkaplhari. 10. Ketidakseirnbangan antara luas dan potensi wilayah KT[ dengan jumlah penduduk (SDM) dan terbatasnya infrastruktur merupakan kendala utama dalarn pemacuan percepatan pembangunan wilayah KTI. 8.2. lrnplikasi Kebijakan 1 Besarnya peranan beras dalam pola konsumsi rurnahtangga di wilayah KT1 baik dalam alokasi pengeluaranlanggaran rumahtangga, kontribusi terhadap konsurnsi energi dan protein rnaupun lebih kuatnya respon perubahan harga beras terhadap kornoditas substitusilkornplernennya, rnengindikasikan bahwa intervensi kebijakan di bidang perberasan tetap diperlukan. Narnun demikian dalarn irnplernentasinya dipedukan prioritas kebijakan yang berbeda antar wilayah. Wilayah dengan respon perubahan harga lebih kuat dari perubahan pendapatan lebih tepat diterapkan kebijakan stabilisasi harga beras. Namun untuk wilayah dimana respon pendapatan lebih kuat dari perubahan harga, rnaka

kebijakan penciptaan lapangan kerja di wilayah tersebut yang dapat mendorong peningkatan pendapatan akan lebih tepat. Selain itu diperlukan upaya penggalakan pengernbangan pangan lokal non beras sesuai potensi wilayah KT1 untuk rnenekan laju pergeseran pola pangan pokok ke arah pola beras. 2. Mengingat untuk sebagian besar jenis pangan daerah pedesaan dan golongan penduduk berpendapatan rendah memiliki respon yang lebih kuat terhadap perubahan pendapatan maupun harga-harga kornoditas pangan, rnaka prioritas kebijakan di bidang pangan (dan gizi) perlu lebih rnemfokuskan pada kelompok tersebut. Pada kelompok tersebut tingkat konsurnsi energi dan protein (pada tahun 1996) masih lebih rendah dari angka kecukupan yang direkomendasikan. Diperlukan peningkatan pendapatan per kapita sekitar 3-3.5 persen untuk memenuhi kebutuhan konsurnsi zat gizi yang diperlukan. Peningkatan pendapatan tersebut perlu dibarengi dengan kebijakan sosialisasi dan peningkatan pengetahuan tentang pangan dan gizi melalui penyuluhan, pendidikan dan iklan layanan masyarakat melalui media massa. 3. Penetapan 13 kawasan andalan di witayah KT1 perlu didorong realisasinya. Dalam ha1 ini perlu diciptakan situasi yang kondusif untuk mengundang investor menanamkan modalnya di wilayah KTI. Mengutip istilah Bachtiar (1997). membedah isolasi alam rnerupakan keharusan awal guna membedah kernacetan pembangunan di lrian Jaya (dan

wilayah KTI pada urnumnya). karena terbatasnya sarana infrastruktur menjadi salah satu pengharnbat utarna rendahnya rninat investor menanamkan modal ke KTI. Dengan terbukanya isolasi wilayah, rnobilitas penduduk tidak lagi terharnbat dan rnendorong aktivitas ekonorni lebih berkernbang. Pada gilirannya peningkatan jurnlah penduduk dengan rneningkatnya aktivitas ekonomi wilayah KT1 akan rnendorong peningkatan perrnintaan terhadap komoditas pangan di wilayah KTI. Untuk ini perlu antisipasi kebijakan di bidang penyediaan dan distribusi pangan di wilayah KTI. 8.3. Kontribusi Penelitian 1. Penelitian ini rnemperkaya kajian pola konsurnsi dan perrnintaan pangan yang telah banyak dilakukan di Indonesia. Namun demikian studi ini dapat rnengisi keterbatasan studi konsurnsi dan permintaan pangan di wilayah KTI. Hasil kajian diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi pengambil kebijakan dalam perencanaan. distribusi dan alokasi pangan dan gizi di wilayah KTI. 2. Studi ini menunjukkan bukti empiris adanya hubungan positif antara potensi sumberdaya wilayah dengan pola konsurnsi penduduk setempat. Wilayah dengan potensi tanarnan pangan (padi), penduduknya rnengkonsumsi beras lebih tinggi dibanding wilayah lainnya. Dernikian halnya wilayah dengan potensi peternakan atau perikanan, tingkat

konsumsi hasil ternak (daging) atau ikan di wilayah relatif lebih tinggi dibanding wilayah lain. 3. Hasil penelitian menunjukkan pula secara empiris peran beras yang dominan dalam struktur pengeluaran rumah tangga rnaupun kontribusi konsumsi energi dan protein di wilayah KTI. Selain itu secara empiris terbukti pula adanya pergeseran pola konsumsi pangan pokok di wilayah KT1 yang mengarah kepada pola beras. 4. Analisis permintaan pangan di KT1 menunjukkan secara emperis perlunya prioritas kebijakan pangan dan gizi di wilayah KT1 kepada kelornpok pendapatan rendah dan daerah pedesaan. Hal ini ditunjukkan oleh respon perubahan perrnintaan yang lebih kuat oleh kelompok pendapatan rendah dan daerah pedesaan dibanding daerah kota dan kelompok pendapatan sedang dan tinggi. 8.4. Keterbatasan Penelitian 1. Penelitian ini rnenggunakan data Susenas tahun 1996, setelah analisis selesai dilakukan data yang lebih b a yaitu ~ Susenas tahun 1999 baru tersedia. Oleh karena itu penelitian ini tidak rnarnpu mengungkap fakta yang lebih aktual rnaupun menangkap perubahan pola konsumsi dan permintaan pangan setelah adanya krisis ekonomi yang mulai melanda perekonomian Indonesia sejak tahun f 997.

2. Sesuai dengan ketersediaan data Susenas, analisis yang dilakukan bersifat parsial yaitu hanya menelaah sisi konsumen dan mengabaikan konsumen yang berperan pula sebagai produsen bahan pangan. Dalam ha1 ini rurnahtangga pertanian tidak dianalisis secara khusus, karena urnumnya rumahtangga pertanian (tanaman pangan) berperan sebagai produsen sekaligus juga sebagai konsumen. 3. Penggunaan peubah JART dalam penelitian ini tidak rnernpertimbangkan jenis kelarnin dan kelornpok umur. Padahal untuk rnenghitung konsumsi zat gizi pengelompokan tersebut diperlukan agar penghitungan konsumsi lebih akurat. 4. Analisis yang dilakukan dalarn penelitian ini terbatas pada wilayah propinsi, daerah kota-desa dan kelompok pendapatan. Padahal isu hangat saat ini antara lain adalah dilaksanakannya Undang-Undang Otonomi Daerah yang pada intinya mernberikan keleluasaan yang besar kepada pengarnbil keputusan di tingkat kabupaten. Oleh karena itu hasil penelitian ini belurn dapat dirnanfaatkan secara maksirnal bagi pengambil keputusan di tingkat kabupaten. 8.5. Saran Untuk Penelitian Lanjutan 1. Penelitian pola konsumsi dan analisis permintaan pangan di wilayah KT1 dengan rnenggunakan data Susenas terbaru (1999) akan dapat rnengungkap fakta yang lebih aktual dan rnenangkap perubahan pola

konsumsi dan perrnintaan pangan di wilayah KT1 setelah terjadi krisis ekonorni. 2. Penelitian yang akan datang disarankan menggunakan model analisis yang lebih kornprehensif ("household model") yang rnernpertimbangkan rumahtangga pertanian sebagai produsen sekaligus sebagai konsumen bahan pangan. Untuk keperluan ini diperlukan data rurnahtangga yang rneliputi proses produksi dan konsurnsi serta pengeluaran untuk bahan pangan. 3. Analisis permintaan dengan cakupan wilayah sampai tingkat kabupaten akan rnernperkaya analisis disamping berrnanfaat bagi pengarnbil keputusan tingkat kabupaten dalam rnerumuskan kebijakan di bidang pangan dan gizi. Untuk ini diperlukan data survei konsurnsi dan pengeluaran rumahtangga semacarn Susenas untuk cakupan wilayah kabupaten. 4. Mernasukkan peubah JART dengan rnempertimbangkan komposisi umur dan jenis kelarnin pada model perrnintaan maupun studi pola konsurnsi pangan akan mernperkaya analisis terutarna dikaitkan dengan upaya pemenuhan konsurnsi zat gizi.