BAB II TINJAUAN PUSTAKA Teori Tanggapan dan Penanganan. yang diterima oleh pancaindra, bayangan di angan-angan.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Anak balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidup anak sangat tergantung pada orang tuanya (Sediaoetama, 2008).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menyusun makanan yang memenuhi persyaratan gizi dibandingkan orang lain yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada bayi dan anak, makan merupakan kegiatan natural yang terjadi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menyebabkan anak balita ini rawan gizi dan rawan kesehatan antara lain : sehingga perhatian ibu sudah berkurang.

BAB II T1NJAUAN PUSTAKA

Makanan Sehat Bergizi Seimbang Untuk Pertumbuhan dan Perkembangan Balita

TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan Rumahtangga

BAB I PENDAHULUAN. Masalah gizi khususnya balita stunting dapat menghambat proses

II. TINAJUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap makhluk hidup

BAB I PENDAHULUAN. SDM yang berkualitas dicirikan dengan fisik yang tangguh, kesehatan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN TEORI. dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi,

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Gizi merupakan faktor penting untuk mewujudkan manusia Indonesia.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian dan Karakteristik Anak Sekolah Dasar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. program darurat bagian dari jaring pengaman sosial (social safety net), namun

BAB I PENDAHULUAN. nutrisi. Millenium Development Goals (MDGs) yang merupakan. salah satunya adalah kebutuhan nutrisi (BAPPENAS, 2011).

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tetapi pada masa ini anak balita merupakan kelompok yang rawan gizi. Hal ini

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

67,3 54,5 43,6 32,7 1,8 0. Kategori umur orangtua contoh. Gambar 3 Sebaran umur orangtua contoh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan Sejahtera (NKKBS) yang dikeluarkan oleh Badan Koordinasi Keluarga

BAB 1 PENDAHULUAN. dan kesejahteraan manusia. Gizi seseorang dikatakan baik apabila terdapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keikutsertaan PAUD

PANGAN DAN GIZI SEBAGAI INDIKATOR KEMISKINAN

TINJAUAN PUSTAKA. B. PENILAIAN STATUS GIZI Ukuran ukuran tubuh antropometri merupakan refleksi darik pengaruh 4

I. PENDAHULUAN. suatu bangsa. Untuk mencapai ketahanan pangan diperlukan ketersediaan. terjangkau dan aman dikonsumsi bagi setiap warga untuk menopang

BAB I PENDAHULUAN. seutuhnya dan pembangunan masyarakat seluruhnya. Untuk menciptakan sumber daya

B A B II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas, dan produktif (Hadi, 2005). bangsa bagi pembangunan yang berkesinambungan (sustainable

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kalori yang dibutuhkan untuk kehidupan yang aktif dan sehat (Hanani, 2012).

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Masa kanak-kanak dibagi menjadi dua periode yang berbeda, yaitu masa awal

BAB I PENDAHULUAN. pendekatan penanggulangnya harus melibatkan berbagai sektor terkait.

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang bermutu. Menurut data United Nations Development Program

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia sangat dipengaruhi oleh rendahnya

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA Permasalahan Gizi Pada Balita

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

METODE PENELITIAN. Sedep n = 93. Purbasari n = 90. Talun Santosa n = 69. Malabar n = 102. n = 87. Gambar 3 Teknik Penarikan Contoh

HUBUNGAN ASUPAN ZAT BESI DENGAN KADAR HEMOGLOBIN DAN KADAR FERRITIN PADA ANAK USIA 6 SAMPAI 24 BULAN DI PUSKESMAS KRATONAN SURAKARTA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi) Keluarga sadar gizi (Kadarzi) adalalah suatu keluarga yang mampu

BAB I PENDAHULUAN atau 45% dari total jumlah kematian balita (WHO, 2013). UNICEF

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan

BAB 1 : PENDAHULUAN. tidak dapat ditanggulangi dengan pendekatan medis dan pelayanan masyarakat saja. Banyak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. Makanan Bayi

BAB 1 PENDAHULUAN. yang apabila tidak diatasi secara dini dapat berlanjut hingga dewasa. Untuk

BAB I PENDAHULUAN. yaitu sesuai standar pertumbuhan fisik anak pada umumnya. Manusia

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia meningkat dengan pesat dalam 4 dekade

BAB I PENDAHULUAN. adalah masalah gizi, yaitu kurang energi protein (KEP). Adanya gizi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. hari dalam jumlah tertentu sebagai sumber energy dan zat-zat gizi. Kekurangan

BAB PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. beberapa zat gizi tidak terpenuhi atau zat-zat gizi tersebut hilang dengan

BAB I PENDAHULUAN. yang berusia antara satu sampai lima tahun. Masa periode di usia ini, balita

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. tumbuh dan kembang anak. (Lubis, 2004). tanpa pemberian vitamin dan obat tertentu.

BAB 1 PENDAHULUAN. dipengaruhi oleh keadaan gizi (Kemenkes, 2014). Indonesia merupakan akibat penyakit tidak menular.

METODOLOGI Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Jumlah dan Teknik Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data

PENGETAHUAN IBU DALAM PENATALAKSANAAN GIZI SEIMBANG PADA KELUARGA DI DESA SIBORBORON KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN

BAB 1 PENDAHULUAN. cerdas dan produktif. Indikatornya adalah manusia yang mampu hidup lebih lama

1 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. dapat dijamin dalam kualitas maupun kuantitas yang cukup untuk pemenuhan aspirasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Status nutrisi adalah kondisi kesehatan yang dipengaruhi oleh asupan dan

BAB I PENDAHULUAN. ketahanan pangan pada tingkat nasional, regional, maupun rumah tangga. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. manusia (SDM). Ketersediaan pangan yang cukup belum dapat digunakan sebagai

kekurangan energi kronik (pada remaja puteri)

BAB I PENDAHULUAN. perlu disiapkan dengan baik kualitasnya (Depkes RI, 2001 dalam Yudesti &

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. cukup diperoleh melalui produksi pangan dalam negeri melalui upaya pertanian

BAB 1 PENDAHULUAN. disamping tiga masalah gizi lainya yaitu kurang energi protein (KEP), masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan pembangunan kesehatan di Indonesia akhir-akhir ini

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. beranekaragam, sehingga kebutuhan zat gizinya dapat terpenuhi.

BAB I PENDAHULUAN. lum masa dewasa dari usia tahun. Masa remaja dimulai dari saat pertama

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Dalam kehidupan sehari-hari, pangan mempunyai peranan penting bagi

BAB I PENDAHULUAN. pengukuran Indeks Pembangunan Manusia ( IPM ), kesehatan adalah salah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masalah gizi pada hakikatnya adalah masalah kesehatan

Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga Perubahan konsumsi pangan sebelum dan sesudah mengikuti program pemberdayaan Tingkat Kecukupan energi dan zat gizi

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Teori Tanggapan dan Penanganan 2.1.1 Pengertian Tanggapan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tanggapan berarti 1) sambutan terhadap ucapan (kritik, komentar, dsb), 2) apa yang diterima oleh pancaindra, bayangan di angan-angan. Tanggapan menurut Rakhmat (2007) adalah pengalaman tentang obyek, peristiwa, atau hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. 2.1.2 Pengertian Penanganan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), penanganan adalah proses, cara, perbuatan menangani, penggarapan. Tanggapan dan penanganan orang tua berarti adalah bagaimana orangtua menafsirkan terhadap suatu hal dan bagaimana cara menangani terhadap suatu hal tersebut. 2.2. Anak Balita Anak balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan yang pesat sehingga memerlukan zat gizi yang tinggi setiap kilogram berat badannya. Anak balita ini justru merupakan 11

kelompok umur yang paling sering menderita akibat kekurangan zat gizi karena masih dalam taraf perkembangan dan kualitas hidup anak sangat tergantung pada orang tuanya (Sediaoetama 2008). Di Indonesia anak kelompok balita menunjukkan prevalensi paling tinggi untuk penyakit kurang energi protein (KEP) dan defisiensi vitamin A serta anemia defisiensi Fe. Kelompok umur ini sulit dijangkau oleh berbagai upaya kegiatan perbaikan gizi dan kesehatan lainnya, karena tidak dapat datang sendiri ke tempat berkumpul yang ditentukan tanpa diantar, padahal yang mengantar sedang sibuk semua (Sediaoetama 2008). 2.3. Pola Makan Pola makan (food pattern) adalah kebiasaan memilih dan mengkonsumsi bahan makanan oleh sekelompok individu. Pola makan dapat memberi gambaran mengenai kualitas makanan masyarakat (Suparlan, 1993). Pola makan juga dikatakan sebagai suatu cara seseorang atau kelompok orang atau keluarga memilih makanan sebagai tanggapan terhadap pengaruh fisiologis, psikologis, kebudayaan dan sosial (Suhardjo, 2009). Pola makan yang baik mengandung makanan pokok, laukpauk, buah-buahan dan sayur-sayuran serta dimakan dalam jumlah cukup sesuai dengan kebutuhan. Dengan pola makan yang baik dan jenis hidangan yang beraneka ragam dapat menjamin 12

terpenuhinya kecukupan sumber tenaga, zat pembangun dan zat pengatur bagi kebutuhan gizi seseorang, sehingga status gizi seseorang akan lebih baik dan memperkuat daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit (Baliwati, dkk., 2004). 2.3.1. Konsumsi Makan Anak Balita Konsumsi pangan dipengaruhi oleh kebiasaan makan. Selain itu juga akan mempengaruhi kemampuan seseorang dalam melakukan pekerjaan sehingga kecukupan konsumsi pangan perlu mendapat perhatian. Anak-anak yang berasal dari keluarga dengan tingkat sosial ekonomi rendah sangat rawan terhadap gizi kurang. 2.3.1.1 Tingkat Asupan Makanan Anak Balita Zat gizi adalah zat atau unsur-unsur kimia yang terkandung dalam pangan yang diperlukan untuk metabolisme dalam tubuh secara normal. Manusia memerlukan zat gizi agar dapat hidup dengan sehat dan mempertahankan kesehatannya. Oleh karena itu, jumlah zat gizi yang diperoleh melalui konsumsi pangan harus mencukupi kebutuhan tubuh untuk melakukan kegiatan internal dan eksternal, pemeliharaan tubuh dan pertumbuhan, serta untuk aktivitas (Supariasa et al. 2002). Anak balita pada usia 1-3 tahun bersifat konsumen pasif dan usia 3-5 tahun bersifat konsumen aktif. Konsumen pasif artinya pada usia 1-3 tahun makanan yang dikonsumsi tergantung pada 13

apa yang disediakan oleh ibu, sedangkan konsumen aktif artinya anak dapat memilih makanan yang disukainya (Supriatin, 2004). Tahap awal dari kekurangan zat gizi dapat diidentifikasi dengan penilaian konsumsi pangan. Konsumsi pangan yang kurang akan berdampak terhadap kurangnya zat gizi dalam tubuh. Secara umum terdapat dua kriteria untuk menentukan kecukupan konsumsi pangan, yaitu konsumsi energi dan protein. Kebutuhan energi biasanya dipenuhi dari konsumsi pangan pokok, sedangkan kebutuhan protein dipenuhi dari sejumlah substansi hewan, seperti ikan, daging, telur dan susu (Supariasa et al. 2002). Tabel 2.1 Kebutuhan Zat Gizi Balita Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) Rata-Rata Per Hari Golongan Berat Tinggi Energi Protein Vitamin Besi/Fe Umur Badan Badan (Kkal) (g) A (mg) (Kg) (cm) (RE) 0-6 bulan 5.5 60 560 12 350 3 7-12 bulan 8.5 71 800 15 350 5 1-3 tahun 12 90 1250 23 350 8 4-6 tahun 18 110 1750 32 460 9 Sumber : Pudjiadi, 2003 : 30 2.3.1.2 Frekuensi Pola Makan Anak Balita Khomsan (2003) menyatakan bahwa frekuensi konsumsi pangan per hari merupakan salah satu aspek dalam kebiasaan makan. Frekuensi konsumsi pangan pada anak, ada yang terikat 14

pada pola makan 3 kali per hari tetapi banyak pula yang mengkonsumsi pangan antara 5 sampai 7 kali per hari atau lebih. Frekuensi konsumsi pangan bisa menjadi penduga tingkat kecukupan gizi, artinya semakin tinggi frekuensi konsumsi pangan, maka peluang terpenuhinya kecukupan gizi semakin besar. 2.3.2 Status Gizi Balita Menurut Suhardjo (2003), status gizi adalah keadaan kesehatan individu-individu atau kelompok-kelompok yang ditentukan oleh derajat kebutuhan fisik akan energi dan zat-zat gizi lain yang diperoleh dari pangan dan makanan yang dampak fisiknya diukur secara antropometri. Status gizi balita erat hubungannya dengan pertumbuhan anak, oleh karena itu perlu suatu ukuran/alat untuk mengetahui adanya kekurangan gizi dini, monitoring penyembuhan kurang gizi dan efektifitas suatu program pencegahan. Antopometri digunakan sebagai indikator pengukuran dalam penelitian ini. Tiga indeks antopometri sesuai standart baku WHO yang umum digunakan yaitu : 2.3.2.1 Berat Badan Menurut Umur (BB/U) Berat badan merupakan salah satu parameter yang memberikan gambaran massa tubuh. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau 15

menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Dalam keadaan normal, dimana keadaan kesehatan baik dan keseimbangan antara konsumsi dan kebutuhan zat gizi terjamin, maka berat badan berkembang mengikuti pertambahan umur. Sebaliknya dalam keadaan yang abnormal, terdapat 2 kemungkinan perkembangan berat badan, yaitu dapat berkembang cepat atau lebih lambat dari keadaan normal. Berdasarkan karakteristik ini, maka indeks berat badan menurut umur digunakan sebagai salah satu cara pengukuran status gizi. Mengingat karakteristik berat badan yang labil, maka indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi seseorang saat ini (Supariasa, 2002). 2.3.2.2 Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U) Tinggi badan merupakan antopometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan, relatif kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak dalam waktu yang relatif lama. Berdasarkan karakteristik tersebut, maka indeks ini menggambarkan status gizi masa lalu (Supariasa, 2002). 16

2.3.2.3 Berat Badan Menurut Tinggi Badan (BB/TB) Berat badan memiliki hubungan yang linier dengan tinggi badan. Dalam keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan berat badan dengan kecepatan tertentu. Berat badan menurut tinggi badan menggambarkan keadaan gizi pada saat ini (Supariasa, 2002). 2.4 Sulit makan 2.4.1 Pengertian Sulit makan (picky eater) adalah perilaku anak tidak mau atau menolak untuk makan, atau mengalami kesulitan mengkonsumsi makanan atau minuman dengan jenis dan jumlah sesuai usia secara fisiologis (alamiah dan wajar), yaitu mulai dari membuka mulutnya tanpa paksaan, mengunyah, menelan, hingga sampai terserap di pencernaan secara baik tanpa paksaan dan tanpa pemberian vitamin dan obat tertentu (Judarwanto, 2006). Menurut Carruth B. R dkk (1998), picky eater adalah kesulitan makan dengan gejala seperti makan hanya sedikit, sulit untuk mencoba makanan baru, secara total menghindari beberapa jenis makanan, dan memiliki makanan yang sangat disukainya. Jadi menurut peneliti, sulit makan adalah keadaan dimana anak menolak untuk makan baik itu dipaksa maupun tidak dipaksa, atau anak hanya memakan sedikit dari porsi makan yang diberikan. 17

2.4.2 Faktor yang mempengaruhi terjadinya sulit makan 2.4.2.1 Nafsu makan Sulit makan pada anak yang disebabkan oleh hilangnya nafsu makan dapat terjadi mulai dari tingkat yang ringan hingga yang berat. Gejala ringan dapat berupa kurangnya nafsu makan, pada anak terlihat dari minum susu botol yang sering sisa, mengeluarkan dan menyembur-nyemburkan makanan. Sedangkan gejala berat tampak dalam bentuk anak menutup mulutnya rapatrapat atau menolak makan dan minum susu sama sekali (Judarwanto, 2006). 2.4.2.2 Kondisi psikologis Terdapat banyak faktor psikologis yang mempengaruhi nafsu makan. Menurut Illingworth (dalam Tasmin, 2002) anak yang merasa tidak bahagia, sedih, depresi, atau merasa tidak nyaman dapat mengalami gangguan nafsu makan. 2.4.2.3 Kondisi fisik Kondisi fisik yang menyebabkan anak menjadi sulit makan yaitu karena adanya keterbatasan fisik, terutama organ-organ pencernaannya. Keterbatasan fisik dapat ditandai dengan ketidaknormalan pada sistem saluran cerna, diantaranya yaitu gangguan penyerapan atau gangguan enzim sehingga nutrisi tidak terserap dengan baik. Beberapa gangguan saluran cerna yang biasa dialami yaitu alergi makanan, celiac, reflux, kolik, pancreatic 18

insufficiency, diare, hepatitis, sirosis, bibir sumbing, dan sebagainya. Hal itu menyebabkan anak akan merasa tidak nyaman dan cenderung menolak makan sehingga menyebabkan resiko tinggi untuk gizi buruk (Dorfmann, 2008 ; Judarwanto, 2006) 2.4.2.4 Interaksi Ibu-Anak Interaksi ibu dan anak merupakan hal penting dalam proses makan. Interaksi yang positif seperti kontak mata, komunikasi dua arah, pujian, dan sentuhan, sedangkan interaksi negatif seperti memaksa makan, membujuk, mengancam, dan perilaku yang mengganggu anak (melemparkan makanan) dapat berpengaruh terhadap nafsu makannya (Claude, Anne & Bernard Bonning, 2006). 2.4.2.5 Perilaku makan orang tua Orang tua banyak mempengaruhi perkembangan pola makan pada anak. Studi kuantitatif yang dipublikasikan tahun 1998 menguji pemilihan makan pada balita yang berhubungan dengan pemilihan makan anggota keluarganya (Skinner et al., 1998). Penelitian lain juga menunjukkan bahwa praktek pemberian makan yang salah dari orang tua atau karena kurang pengalaman dapat menyebabkan anak gagal tumbuh (Williams, 2005). 2.4.2.6 Pemberian ASI Eksklusif Berdasarkan penelitian diketahui bahwa anak dengan sulit makan, diberi ASI kurang dari 6 bulan. Perilaku sulit makan 19

dibentuk karena anak terlalu dini mengenal makanan. Anak yang menyusu ASI cenderung tidak sulit makan karena anak sudah dipajankan dengan variasi rasa melalui ASI. (Galloway, 2003). 2.4.3 Gejala sulit makan Anak yang sulit makan memiliki gejala sebagai berikut : (1) Kesulitan mengunyah, menghisap, menelan makanan atau hanya bisa memakan makanan lunak atau cair, (2) Memuntahkan atau menyembur-nyemburkan makanan yang sudah masuk di mulut, (3) Makan berlama-lama dan memainkan makanan, (4) Sama sekali tidak mau memasukkan makanan ke dalam mulut atau menutup mulut rapat, (5) Memuntahkan atau menumpahkan makanan, menepis suapan dari orang tua, (6) Tidak menyukai banyak variasi makanan (Judarwanto, 2006). 2.4.4 Dampak sulit makan Sulit makan merupakan fase yang umum pada perkembangan anak yang tidak selalu menyebabkan masalah kesehatan atau sosial, namun sulit makan yang ekstrem dapat berakibat buruk, seperti gagal tumbuh, penyakit kronis, dan kematian jika tidak ditangani (Manikam & Presman, 2000). Sulit makan dapat menyebabkan anak akan kekurangan mikro dan makronutrien yang pada akhirnya dapat mengganggu 20

pertumbuhan fisik yang ditandai dengan berat badan dan tinggi badan kurang atau kesulitan untuk meningkatkan berat badan dan juga gangguan pertumbuhan kognitif (Lewinsohn, et al., 2005; Daniel, 2008; Dubois, 2007; Wright, 2008; Judarwanto, 2006). 2.5 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pola Makan dan Status Gizi Anak Balita 2.5.1 Umur Ibu Orang tua muda, terutama ibu, cenderung kurang pengetahuan dan pengalaman dalam merawat anak sehingga mereka umumnya merawat anak didasarkan pada pengalaman orang tua terdahulu. Selain itu, faktor usia muda juga cenderung menjadikan seorang ibu akan lebih memperhatikan kepentingannya sendiri daripada kepentingan anaknya, sehingga kuantitas dan kualitas perawatan kurang terpenuhi. Sebaliknya, ibu yang lebih berumur cenderung akan menerima perannya dengan sepenuh hati (Hurlock dalam Gabriel, 2008). 2.5.2 Pendidikan dan Pengetahuan Ibu Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup seharihari, khususnya dalam kesehatan dan gizi. Seseorang yang 21

mempunyai tingkat pendidikan formal yang tinggi dapat mempunyai pengetahuan gizi yang tinggi pula (Atmarita & Fallah, 2004) Masyarakat dengan tingkat pendidikan yang rendah akan lebih baik mempertahankan tradisi-tradisi yang berhubungan dengan makanan, sehingga sulit menerima informasi baru bidang gizi. Tingkat pendidikan ikut menentukan atau mempengaruhi mudah tidaknya seseorang menerima suatu pengetahuan, semakin tinggi pendidikan maka seseorang akan lebih mudah menerima informasi-informasi gizi. Dengan pendidikan gizi tersebut diharapkan tercipta pola kebiasaan makan yang baik dan sehat, sehingga dapat mengetahui kandungan gizi, sanitasi dan pengetahuan yang terkait dengan pola makan lainnya (Suhardjo, 2009). Latar belakang pendidikan seseorang merupakan salah satu unsur penting yang dapat mempengaruhi keadaan gizi karena dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi diharapkan pengetahuan atau informasi tentang gizi yang dimiliki menjadi lebih baik. Sering masalah gizi timbul karena ketidaktahuan atau kurang informasi tentang gizi yang memadai (Berg, 2002). Makin tinggi pendidikan, pengetahuan, keterampilan terdapat kemungkinan makin baik tingkat ketahanan pangan keluarga, makin baik pula pengasuhan anak, dan makin banyak keluarga memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada demikian 22

juga sebaliknya (Depkes, 2004). Menurut Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat FKM UI (2007), bahwa seseorang dengan pendidikan rendah pun akan mampu menyusun makanan yang memenuhi persyaratan gizi, kalau orang tersebut rajin mendengarkan atau melihat informasi tentang gizi. Pengetahuan tentang gizi sangat diperlukan agar dapat mengatasi masalahmasalah yang timbul akibat konsumsi gizi. Wanita khususnya ibu sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap konsumsi makanan bagi keluarga. Ibu harus memiliki pengetahuan tentang gizi baik diperoleh melalui pendidikan formal, maupun non formal (Berg, 2002). 2.5.3 Pekerjaan Ibu Pekerjaan orang tua turut menentukan kecukupan gizi dalam sebuah keluarga. Pekerjaan berhubungan dengan jumlah gaji yang diterima. Semakin tinggi kedudukan secara otomatis akan semakin tinggi penghasilan yang diterima, dan semakin besar pula jumlah uang yang dibelanjakan untuk memenuhi kecukupan gizi dalam keluarga (Sediaoetama, 2008). Bertambah luasnya lapangan kerja, semakin mendorong banyaknya kaum wanita yang bekerja terutama di sektor swasta. Di satu sisi hal ini berdampak positif bagi pertambahan pendapatan, namun di sisi lain berdampak negatif terhadap pembinaan dan pemeliharaan anak. Perhatian terhadap pemberian makan pada 23

anak yang kurang, dapat menyebabkan anak menderita kurang gizi, yang selanjutnya berpengaruh buruk terhadap tumbuh kembang anak dan perkembangan otak mereka (Mulyati, 2008). Orang tua yang bekerja terutama ibu akan mempunyai waktu yang lebih sedikit untuk memperhatikan dan mengasuh anaknya. Pada umumnya di daerah pedesaan anak yang orang tuanya bekerja akan diasuh oleh kakaknya atau sanak saudaranya sehingga pengawasan terhadap makanan dan kesehatan anak tidak sebaik jika orang tua tidak bekerja (Sediaoetama, 2008). 2.5.4 Jumlah Anggota Keluarga Anggota keluarga adalah semua orang yang biasanya bertempat tinggal di suatu keluarga, baik berada di rumah pada saat pencacahan maupun sementara tidak ada. Anggota keluarga yang telah bepergian 6 bulan atau lebih, dan anggota keluarga yang bepergian kurang dari 6 bulan tetapi bertujuan pindah atau akan meninggalkan rumah 6 bulan atau lebih, tidak dianggap anggota keluarga. Orang yang telah tinggal di suatu keluarga 6 bulan atau lebih, atau yang telah tinggal di suatu keluarga kurang dari 6 bulan tetapi berniat menetap di keluarga tersebut, dianggap sebagai anggota keluarga (BPS, 2004). Banyaknya anggota keluarga akan mempengaruhi konsumsi pangan. Suhardjo (2003) mengatakan bahwa ada hubungan sangat nyata antara besar keluarga dan kurang gizi pada masing-masing 24

keluarga. Jumlah anggota keluarga yang semakin besar tanpa diimbangi dengan meningkatnya pendapatan akan menyebabkan pendistribusian konsumsi pangan akan semakin tidak merata. Pangan yang tersedia untuk suatu keluarga besar, mungkin hanya cukup untuk keluarga yang besarnya setengah dari keluarga tersebut. Keadaan yang demikian tidak cukup untuk mencegah timbulnya gangguan gizi pada keluarga besar. Seperti juga yang dikemukakan Berg (2002) bahwa jumlah anak yang menderita kelaparan pada keluarga besar, empat kali lebih besar dibandingkan dengan keluarga kecil. Anak-anak yang mengalami gizi kurang pada keluarga beranggota banyak, lima kali lebih besar dibandingkan dengan keluarga beranggota sedikit. Dalam hubungannya dengan pengeluaran rumah tangga, Sanjur (2002) menyatakan bahwa besar keluarga yaitu banyaknya anggota suatu keluarga, akan mempengaruhi pengeluaran rumah tangga. Harper (2008), mencoba menghubungkan antara besar keluarga dan konsumsi pangan, diketahui bahwa keluarga miskin dengan jumlah anak yang banyak akan lebih sulit untuk memenuhi kebutuhan pangannya, jika dibandingkan keluarga dengan jumlah anak sedikit. Lebih lanjut dikatakan bahwa keluarga dengan konsumsi pangan yang kurang, anak balitanya lebih sering menderita gizi kurang. 25

2.5.5 Pendapatan Keluarga Tingkat pendapatan adalah rata-rata pendapatan per bulan keluarga yang dihitung dari total pengeluaran makanan dan non makanan kemudian dibagi dengan jumlah anggota keluarga. Dari data pendapatan per kapita dikelompokkan lagi berdasarkan batas garis kemiskinan untuk daerah pedesaan (BPS, 2009). Pada keluarga dengan pendapatan rendah, 60-80% dari pendapatannya dibelanjakan untuk makanan. Elastisitas pendapatan untuk makanan yang digambarkan dari persentase perubahan kebutuhan akan makanan untuk tiap 1% perubahan pendapatan, lebih besar pada keluarga yang miskin dibandingkan pada keluarga kaya (Soekirman, 2001). Dalam kaitannya dengan status gizi Soehardjo (2009) menyatakan bahwa pendapatan mempunyai hubungan yang erat dengan perubahan dan perbaikan konsumsi pangan, tetapi pendapatan yang tinggi belum tentu menjamin keadaan gizi yang baik. Menurut Berg (2002), pertambahan pendapatan tidak selalu membawa perbaikan pada konsumsi pangan, karena walaupun banyak pengeluaran uang untuk pangan, mungkin akan makan lebih banyak, tetapi belum tentu kualitas pangan yang dibeli lebih baik. Dari uraian tersebut di atas dapat diketahui bahwa antara pendapatan dan gizi, jelas ada hubungan yang menguntungkan. 26

Berlaku hampir universal, peningkatan pendapatan akan berpengaruh terhadap perbaikan kesehatan dan kondisi keluarga dan selanjutnya berhubungan dengan status gizi. Namun peningkatan pendapatan atau daya beli seringkali tidak dapat mengalahkan pengaruh kebiasaan makan terhadap perbaikan gizi yang efektif. Faktor penyebab kurang gizi, pertama makanan dan penyakit infeksi yang mungkin diderita anak. Engel dkk (1999) menambahkan faktor ketersediaan sumber daya keluarga seperti pendidikan dan pengetahuan ibu, pendapatan keluarga, pola pengasuhan, sanitasi dan kesehatan rumah, ketersediaan waktu serta dukungan ayah, sebagai faktor yang mempengaruhi status gizi. Faktor sosial ekonomi ikut mempengaruhi pertumbuhan anak. Faktor sosial ekonomi tersebut antara lain: pendidikan, pekerjaan, teknologi, budaya, dan pendapatan keluarga (Supariasa, 2001). 2.6 Kemiskinan Menurut Suparlan (1995), kemiskinan dapat didefinisikan sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau golongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku 27

dalam masyarakat yang bersangkutan. Standar kehidupan yang rendah ini secara tidak langsung tampak pengaruhnya terhadap tingkat kesehatan, kehidupan moral, dan rasa harga diri dari mereka yang tergolong sebagai orang miskin. BAPEDA menetapkan 14 indikator yang bisa disebut keluarga miskin. 14 kriteria tersebut diantaranya adalah : 1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 2. Jenis lantai rumah tanah/bambu/kayu berkualitas rendah/murahan, jenis dinding tempat tinggal bambu, rumbia/kayu kualitas rendah/tembok tanpa plester 3. Fasilitas buang air besar, tidak punya/bersama rumah tangga lain/ umum 4. Sumber air minum, sumur/mata air tak terlindung, sungai/air hujan 5. Sumber penerangan rumah tangga bukan listrik 6. Bahan bakar untuk masak sehari-hari kayu/arang/minyak tanah 7. Kemampuan membeli ayam/daging/susu per minggu/tidak pernah membeli, hanya satu kali dalam seminggu 8. Konsumsi makan/pangan kurang dari atau sama dengan 2100 kalori 9. Frekuensi makan per hari setiap anggota rumah tangga hanya satu/dua kali sehari 28

10. Kemampuan membeli baju baru untuk setiap anggota rumah tangga dalam setahun tidak bisa membeli baju setahun sekali/ hanya sekali dalam setahun 11. Kemampuan untuk membayar berobat di Puskesmas/Poliklinik, tidak mampu membayar untuk berobat 12. Lapangan pekerjaan terutama kepala rumah tangga, petani dengan luas lahan kurang dari 0,5 ha/ buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan atau pekerjaan lain yang layak miskin 13. Pendidikan tertinggi kepala keluarga, tidak pernah sekolah/tidak tamat SD/hanya tamat SD 14. Pemilikan aset atau tabungan, tidak punya tabungan atau barang yang mudah dijual dengan nilai minimal Rp. 500.000,- (seperti emas, TV, ternak, sepeda motor atau berupa modal lainnya) Untuk menentukan keparahan kemiskinan dalam sebuah keluarga ditentukan dengan cara menghitung jumlah skor yang diperoleh dari kriteria-kriteria tersebut, jika setiap kriteria sesuai dengan kondisi sebuah rumah tangga maka diberi nilai 1, kemudian setelah semuanya diberi skor maka dijumlahkan. Disebut dengan rumah tangga miskin bila skor 14, disebut rumah tangga sangat miskin bila skor 12-13, disebut rumah tangga 29

mendekati miskin bila skor 9-11, dan disebut rumah tangga tidak miskin bila skor kurang dari 9. BAPPENAS menguraikan beberapa permasalahan yang sering dihadapi oleh masyarakat miskin seperti : 1. Buruknya status gizi bayi, anak balita dan ibu karena rendahnya asupan kalori. Asupan kalori yang rendah karena stok pangan yang terbatas. 2. Kesulitan mendapatkan layanan kesehatan dasar, yang menyebabkan terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan. 3. Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan yang disebabkan oleh kesenjangan biaya pendidikan, fasilitas pendidikan yang terbatas, biaya pendidikan yang mahal, kesempatan memperoleh pendidikan yang terbatas, tingginya beban biaya pendidikan baik biaya langsung maupun tidak langsung. 4. Terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha, lemahnya perlindungan terhadap aset usaha dan perbedaan upah. 5. Terbatasnya akses layanan kesehatan dan sanitasi. Masyarakat miskin yang tinggal di kawasan nelayan, pinggiran hutan dan pertanian lahan kering kesulitan memperoleh perumahan dan lingkungan pemukiman yang sehat dan layak 30

6. Terbatasnya akses terhadap air bersih. Kesulitan untuk mendapatkan air bersih terutama disebabkan oleh terbatasnya penguasaan sumber air dan menurunnya mutu sumber air. 7. Lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah. Masyarakat miskin menghadapi masalah ketimpangan struktur penguasaan dan pemilikan tanah, serta ketidakpastian dalam penguasaan dan pemilikan lahan pertanian. 8. Memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumber daya alam, serta terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam. 9. Lemahnya jaminan rasa aman. Hal ini terkait dengan permasalahan yang terjadi di daerah konflik. 10. Lemahnya partisipasi. Rendahnya partisipasi masyarakat miskin dalam perumusan kebijakan juga disebabkan oleh kurangnya informasi baik mengenai kebijakan yang akan dirumuskan maupun mekanisme perumusan yang melibatkan mereka. 11. Besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga dan adanya tekanan hidup yang mendorong terjadinya migrasi. 31