BAB VII PENUTUP. sosio-kultural dan struktural. Pemikiran dan aksi politik tersebut

dokumen-dokumen yang mirip
DAFTAR ISI HALAMAN DEPAN HALAMAN DALAM PERNYATAAN KEASLIAN PERSETUJUAN PERNYATAAN KESEDIAAN PERBAIKAN DISERTASI UCAPAN TERIMA KASIH TRANSLITERASI

BAB IX PENUTUP IX.1. Kesimpulan

2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rak

BAB I PENDAHULUAN. Peran strategis Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah sebagai lembaga

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR..TAHUN.. TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. kepada daerah. Di samping sebagai strategi untuk menghadapi era globalisasi,

PENGUATAN FUNGSI LEGISLASI DPRD DALAM PEMBUATAN RAPERDA INISIATIF. Edy Purwoyuwono Dosen Fakultas Hukum Universitas Widya Gama Mahakam Samarinda

I. PENDAHULUAN. dibagi-baginya penyelenggaraan kekuasaan tersebut, agar kekuasaan tidak

II. TINJAUAN PUSTAKA. kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut

BAB II PENGATURAN TUGAS DAN WEWENANG DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI INDONESIA. A. Kewenangan Memberi Pertimbangan dan Fungsi Pengawasan Dewan

I. PENDAHULUAN. wilayah dan tataran kehidupan publik, terutama dalam posisi-posisi pengambilan

BAB I PENDAHULUAN. tahun 2004 dan UU No. 33 tahun 2004 merupakan tonggak awal. pelaksanaan otonomi daerah dan proses awal terjadinya reformasi

BAB I. PENDAHULUAN. kepala eksekutif dipilih langsung oleh rakyat. Sehingga kepala eksekutif tidak

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan gambaran umum lokasi penelitian, deskripsi dan pembahasan

BAB I PENDAHULUAN. Daerah yang berkaitan dengan kedudukan, fungsi dan hak-hak DPRD, menangkap aspirasi yang berkembang di masyarakat, yang kemudian

PEMIKIRAN POLITIK DAN GERAKAN SOSIOKULTURAL KEWARGANEGARAAN KAUM INTELEKTUAL MUSLIM NEO-MODERNIS DALAM PENGUATAN DEMOKRASI DAN CIVIL SOCIETY

BAB I PENDAHULUAN. keuangan daerah secara ekonomis, efisien, efektif, transparan, dan. akuntabel (Pramita dan Andriyani, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. memburuk, yang berdampak pada krisis ekonomi dan krisis kepercayaan serta

BAB I PENDAHULUAN. Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang

URGENSI UNDANG-UNDANG PEMILU DAN PEMANTAPAN STABILITAS POLITIK 2014

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kekuasaan yang berfungsi

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi telah membawa perubahan terhadap sistem politik, sosial,

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah menuntut adanya partisipasi masyarakat dan. transparansi anggaran sehingga akan memperkuat pengawasan dalam proses

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Andriyana, 2015

VI. KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI. 1. TVRI Stasiun Sulawesi Tenggara sebagai televisi publik lokal dan Sindo TV

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan otonomi daerah yang digulirkan dalam era reformasi dengan. dikeluarkannya ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 adalah tentang

BAB I PENDAHULUAN. peraturan perundang-undangan baik berupa Undang-Undang (UU) maupun

BAB I PENDAHULUAN. mengedepankan akuntanbilitas dan transparansi Jufri (2012). Akan tetapi dalam

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI. Bab ini menyajikan sejumlah kesimpulan yang meliputi kesimpulan

BAB I. Kebijakan otonomi daerah, telah diletakkan dasar-dasarnya sejak jauh. lamban. Setelah terjadinya reformasi yang disertai pula oleh gelombang

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. demokrasi, desentralisasi dan globalisasi. Jawaban yang tepat untuk menjawab

BAB 6 PENUTUP. Berebut kebenaran..., Abdil Mughis M, FISIP UI., Universitas Indonesia 118

I. PENDAHULUAN. akuntabilitas bagi mereka yang menjalankan kekuasaan. Hal ini juga

BAB I PENDAHULUAN. Ditetapkannya Peraturan Pemerintah (PP) 105 Tahun 2000 tentang pengelolaan

MEMBANGUN KUALITAS PRODUK LEGISLASI NASIONAL DAN DAERAH * ) Oleh : Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H, M.Si**)

BAB I PENDAHULUAN. jumlah suara yang sebanyak-banyaknya, memikat hati kalangan pemilih maupun

BAB V PENUTUP. 1. Indonesia merupakan sebuah negara multikultural dan plural, yang terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. mengeluarkan satu paket kebijakan tentang otonomi daerah yaitu: Undang-

SOSIOLOGI PENDIDIKAN

Hubungan Antar Lembaga Negara IRFAN SETIAWAN, S.IP, M.SI

BAB I PENDAHULUAN. terhadap pengelolaan pemerintahan yang baik. Salah satu agenda reformasi yaitu

BAB I PENDAHULUAN. konstitusional terhadap prinsip kedaulatan rakyat. Hal ini dinyatakan dalam Pasal

Perempuan dan Pembangunan Berkelanjutan

12 Media Bina Ilmiah ISSN No

PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH, PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN DANA ALOKASI UMUM TERHADAP PENGALOKASIAN ANGGARAN BELANJA MODAL

BAB I PENDAHULUAN. dikelola salah satunya dengan mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi

Denis M c Q u a il. Teori Komunikasi Massa c Q a il

SAMBUTAN KETUA DPR RI BAPAK H. MARZUKI ALIE, SE, MM. PADA ACARA PERESMIAN KANTOR BARU PWNU SUMATERA UTARA Medan, 06 Januari 2010

BAB V KESIMPULAN. relasi antara ideologi dan gerakan sosial keagamaan. Dengan melihat penelitian yang

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. mengatur kepentingan Bangsa dan Negara. Lembaga pemerintah dibentuk

BAB V PENUTUP. Penelitian ini menghasilkan beberapa kesimpulan terkait dengan fokus

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memungkinkan terjadinya integritas sosial, merupakan hubungan-hubungan yang

reformasi yang didasarkan pada Ketetapan MPR Nomor/XV/MPR/1998 berarti pada ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 menjadi dasar pelaksanaan

Kata Kunci : Pengawasan DPRD, dan Harmonisasi Hubungan Kepala Daerah serta DPRD.

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA HUBUNGAN LEGISLATIF DAN EKSEKUTIF DALAM PELAKSANAAN LEGISLASI, BUDGETING, DAN PENGAWASAN

BAB I PENDAHULUAN. daya daerah, dan (3) Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi. keuangan daerah secara ekonomis, efesien, efektif, transparan, dan

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi diawal 1998 dapat dikatakan tonggak perubahan bangsa Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Pengawasan keuangan negara secara konstitusional dilakukan oleh suatu badan

BAB I PENDAHULUAN. sekelompok orang yang akan turut serta secara aktif baik dalam kehidupan politik dengan

BAB I PENDAHULUAN. saat itu dalam berbagai bentuk film-film ini akhirnya memiliki bekas nyata di benak

BAB V PE N U T U P A. Simpulan

ABSTRAK (RINGKASAN PENELITIAN)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pemilihan Umum (Pemilu) adalah salah satu cara dalam sistem

BAB I PENDAHULUAN. mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam

Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Asahan Kata Kunci : Pengawasan DPRD, Pemerintah Daerah, Harmonisasi Hubungan Kepala Daerah dan DPRD

BAB I PENDAHULUAN. politik sangat dominan dalam proses pengambilan keputusan penetapan

Oleh Dra. Hj. Siti Masrifah, MA (Ketua Umum DPP Perempuan Bangsa) Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PKB 1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. demorasi secara langsung, desa juga merupakan sasaran akhir dari semua program

BAB I PENDAHULUAN. dewan melainkan juga dipengaruhi latar belakang pendidikan dewan,

BAB I PENDAHULUAN. Keterlibatan perempuan di panggung politik merupakan isu yang

BAB I PENDAHULUAN. Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah

PENINGKATAN KUALITAS PERAN DAN FUNGSI PENGAWASAN ANGGOTA DPRD

BAB I PENDAHULUAN. adalah melalui kegiatan pendidikan. Sebagai bagian dari masyarakat, kegiatan

PELAKSANAAN FUNGSI LEGISLASI DPR RI OLEH: DRA. HJ. IDA FAUZIYAH WAKIL KETUA BADAN LEGISLASI DPR RI MATERI ORIENTASI TENAGA AHLI DPR RI APRIL

BAB I PENDAHULUAN. direalisasikan melalui wakil-wakilnya di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

TINJAUAN MATA KULIAH...

BAB I PENDAHULUAN. manajemen pemerintah, salah satunya adalah terkait dengan manajemen keuangan

BAB I REFORMASI TATA PEMERINTAHAN DAN INOVASI DI KABUPATEN KEBUMEN. Sejak menggelindingnya semangat desentralisasi, pemerintah daerah di

BAB I PENDAHULUAN. dari amanah yang diemban pemerintah dan menjadi faktor utama dalam

BAB 1 PENGANTAR Latar Belakang. demokrasi sangat tergantung pada hidup dan berkembangnya partai politik. Partai politik

BAB I PENDAHULUAN. dikehendaki. Namun banyak pula yang beranggapan bahwa politik tidak hanya

JAKARTA, 11 Juli 2007

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan (check and balances) antara Pemerintah dan DPR RI. Ketiga fungsi

Makalah Mengenai Keberadaan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) Dalam Ketatanegaraan Indonesia BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. terwujudnya good governance. Hal ini memang wajar, karena beberapa penelitian

kinerja DPR-GR mengalami perubahan, manakala ada keberanian dari lembaga legislatif untuk kritis terhadap kinerja eksekutif. Pada masa Orde Baru,

H. TOTOK DARYANTO, SE A-489 / FRAKSI PARTAI AMANAT NASIONAL DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

APAKAH AGENDA KEBIJAKAN ITU?

BAB I PENDAHULUAN. diubah dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan

BAB I PENDAHULUAN. negara tersebut ( Dalam prakteknya secara teknis yang

BAB III. Metodologi Penelitian

RINGKASAN. Peran Pemerintah Daerah Dalam Mengoptimalkan Pengelolaan Zakat Di Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat

I. PENDAHULUAN. Peran serta masyarakat dalam pendidikan pada dasarnya bukan merupakan sesuatu

BAB V PENUTUP. ini. Varian fundamentalisme sudah banyak dikategorisasikan oleh para

Transkripsi:

438 BAB VII PENUTUP A. Kesimpulan. Penelitian tentang etika politik legislator muslim era demokrasi lokal ini menitikberatkan pada pemikiran dan aksi yang dijalankan legislator dalam arena sosio-kultural dan struktural. Pemikiran dan aksi politik tersebut dikonseptualisasikan menjadi konsepsi etika politik yang mendasari setiap legislator tersebut memasuki sirkulasi kekuasaan di lembaga legislatif daerah. Konseptualisasi etika politik dalam arena sosial dan kultural diperlihatkan dengan model stratifikasi struktur dan model stratifikasi tindakan. Model stratifikasi tersebut menggambarkan pola interaksi sebagai agen dengan struktur di luar diri setiap legislator tersebut. 1. Konsepsi etika politik sebagai produk konseptualisasi dari pemikiran dan aksi politik dalam arena sosial-kultural melibatkan beberapa unsur yang terdiri dari pengalaman pendidikan, keterlibatan dan interaksi organik dalam organisasi sosial keagamaan dan politik yang diperkuat dengan solidaritas mekanik sehingga melahirkan kepercayaan dan legitimasi politik menuju struktur kekuasaan. Konsepsi etika legislator tersebut adalah kerjasama dan penghargaan, keadilan publik, perjuangan dan pengabdian, kepercayaan politik, komitmen dan akuntabilitas, serta idealitas dan realitas. Setiap konsepsi etika politik tersebut lahir dari pemikiran dan tindakan yang dikonseptualisasikan sedemikian rupa melalui pendekatan sosiologis, filosofis dan teologis. Interaksi dalam jejaring struktur sosial dan kultural tersebut juga

439 memperlihatkan budaya politik individual setiap legislator yang bercorak patrimonialisme dan rasionalisme. Dua bentuk budaya politik tersebut diperlihatkan melalui interaksi dalam jejaring struktur tersebut. Pada akhirnya, konsepsi etika politik terbentuk dalam dualitas struktural dimana hubungan antara agen dengan strukturnya bersifat dialektis. 2. Manifestasi etika politik merupakan pengejawantahan konsepsi etika politik dalam jejaring struktur kekuasaan di lembaga legislatif. Manifestasi tersebut dijalankan melalui fungsi dan peran legislasi, penyusunan anggaran, pengawasan kebijakan, partisipasi dan komunikasi politik. Dalam manifestasi tersebut terdapat dua implikasi yang ditimbulkan, yakni pengekangan dan pemberdayaan. Implikasi pengekangan terdapat dalam fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Implikasi tersebut disebabkan oleh kelemahan kapasitas, dominasi dan hegemoni otoritas yang bersifat hirarkis-struktural dan gejala pragmatisme politik yang berpusat pada modal. Implikasi pemberdayaan terwujud melalui fungsi partisipasi dan komunikasi publik serta agenda kunjungan kerja. Namun dua fungsi terakhir masih menimbulkan persoalan publik berupa pencitraan diri yang bersifat narsistik dan sublimatif serta jebakan politik konsumerisme. Budaya politik yang tampak kepermukaan adalah budaya partisan sebagai implikasi dominasi dan hegemoni elit legislatif dan eksekutif.

440 B. Implikasi Teoritik. Penelitian etika politik dengan memposisikan legislator muslim sebagai subyek dan informan menegaskan bahwa etika politik tidak bisa menjadi justifikasi yang hanya didasarkan pada aspek pemikiran maupun aksi politik. Sebaliknya, etika politik legislator muslim di sini harus berangkat dari proses mulai dari arena sosio-kultural dimana unsur pendidikan, interaksi sosial dan pengalaman struktural. Arena struktural bagi legislator tersebut menjadi medan manifestasi atas konsepsi etika politik yang dibangun sejak awal. Dalam arena struktural ini, pergeseran dan kesinambungan konsepsi etika tersebut terjadi sedemikian rupa. Dengan demikian, etika politik legislator muslim ini bukan bersifat filosofis dan abstrak namun bersifat sosiologis yang meniscayakan proses interaksi dalam jejaring struktur yang meruanglingkupi. Realitas tersebut menimbulkan implikasi teoritik. Menurut Shomali, terdapat dua bentuk etika, yakni relativisme etika dan absolutisme etika. Relativisme etika menegaskan bahwa tidak ada prinsip moral yang benar secara universal. Kebenaran prinsip moral bersifat relatif atas dasar relatifitas budaya serta pilihan individu. Sementara absolutisme etika menegaskan bahwa prinsip moral itu berlaku secara universal bagi siapapun dan dimanapun. Meski demikian, baik relativisme etika maupun absolutisme etika memerlukan pemahaman tentang bagaimana prinsip etika tersebut dikonstruksikan secara sosial. Disini, Shomali meminjam perspektif konstruksi atas realitas sosial Berger dan Luckman bahwa dua prinsip etika diatas tidak lepas dari beberapa unsur dalam konstruksi tersebut, yakni eksternalisasi, obyektifasi dan internalisasi.

441 Berangkat dari penegasan Shomali diatas maka kajian etika politik ini bersifat sosiologis dengan menggunakan perspektif strukturasi yang digagas oleh Anthony Giddens. Perspektif strukturasi ini memposisikan legislator sebagai agen yang berada dalam jaringan struktur sosial-kultural dan struktural. Jika dalam perspektif konstruksionisme sosial Berger dan Luckman terjadi fundamentalisme subyek, maka perspektif strukturasi Giddens justru memposisikan pemikiran dan tindakan agen atau aktor dalam keseimbangan yang disebut dengan dualitas struktural. Dua bentuk stratifikasi, yakni model stratifikasi agen dan model stratifikasi struktur menggambarkan bagaimana tindakan agen baik dalam arena sosio-kultural maupun struktural. Meski demikian, implikasi teoritik lain yang muncul kepermukaan bahwa perspektif strukturasi khususnya unsur-unsur teoritik tidak bisa diberlakukan secara integral, sebaliknya bersifat parsial. Hal ini didasarkan bahwa analisis data yang diperoleh dari lapangan tidak selalu bisa difahami berdasarkan unsur-unsur teoritik. Argumentasi ini pula yang mempertegas bahwa teori strukturasi tidak bisa dilepaskan dari bias eropa-sentrisme yang pada mulanya lahir dari teori globalisasi dan ideologi. Meski demikian, beberapa unsur teoritik tersebut dapat menghasilkan deskripsi menarik secara empiris, meski disadari bahwa beberapa aspek pemikiran dan aksi yang bersifat abstrak yang sebenarnya mengandung unsur makna, harus sedikit diabaikan. C. Keterbatasan Studi. Kajian etika politik legislator muslim di lembaga legislatif daerah Lamongan ini menampakan beberapa keterbatasan. Pemikiran dan aksi politik sebagai formulasi masalah hanya terfokus pada wilayah etika dengan analisis sosiologis.

442 Padahal etika politik tersebut juga memerlukan pendekatan juridis dengan konsekwensi berupa reduksi sebagai etika hukum. Disamping itu, perspektif strukturasi menitikberatkan pada hubungan antara agen dengan struktur atau agen dengan agensi melalui dua bentuk stratifikasi, yakni struktur dan tindakan. Sementara analisis etika politik tersebut juga menampakan bias teoritis sebagai konsekwensi triangulasi teoritik yang digunakan dalam kajian ini. Dari sini dapat dipertegas bahwa kajian etika politik dalam perspektif sosiologis dengan penalaran induktif justru menghasilkan deskripsi holistik meski tidak lepas dari bias teoritis. Keterbatasan berikutnya berkaitan dengan sumber data bahwa kajian ini memposisikan hasil wawancara dan dokumen lembaga legislatif sebagai data primer. Observasi partisipan untuk mengamati peristiwa-peristiwa hanya dilakukan dalam arena struktural melalui agenda sidang paripurna. Untuk mengikuti agenda tersebut, peneliti harus menggunakan kapasitas pribadi sebagai anggota lembaga komisioner pemerintah daerah Lamongan yang secara rutin diundang untuk mengikuti agenda tersebut. Sementara untuk kepentingan wawancara baik dilakukan di kantor legislatif maupun di rumah informan menggunakan kapasitas sebagai peneliti. Di samping itu, informan penelitian etika politik legislator muslim ini hanya terdiri dari enam informan anggota lembaga tersebut periode 2009-2014. Dengan demikian, kajian ini dilakukan menjelang akhir periode atau jabatan di lembaga tersebut. D. Rekomendasi. Beberapa keterbatasan studi yang ditegaskan diatas maka terdapat beberapa rekomendasi yang perlu ditegaskan.

443 1. Diperlukan kajian etika politik legislator muslim baik pada lembaga legislatif pusat (DPR-RI), legislatif propinsi (DPRD Propinsi), legislatif kabupaten (DPRD Kabupaten) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) atas dasar bahwa lembaga tersebut merupakan produk sistem demokrasi representatif yang menggunakan legitimasi kedaulatan rakyat. Dominasi perspektif hukum dan administrasi pemerintahan justru mempertegas kekurangan perspektif sosiologis, antropologis dan filosofis. Dominasi hukum dan administrasi pemerintahan tersebut pada akhirnya menggunakan pendekatan perilaku (behavioral approach) yang terpusat pada institusi. Padahal pendekatan institusionalis-behavioral tersebut merupakan mazhab lama di Amerika Serikat yang mulai kehilangan signifikansinya. Dengan kata lain, etika politik bukan sekedar sebagai sinkronisasi konsepsi dan manifestasi dengan aturan-aturan institusional dan behavioral namun tidak lepas dari bias subyektifitas. 2. Diperlukan kajian etika politik lembaga eksekutif, khususnya kepala daerah, guna terbangun kesinambungan terkait pemikiran dan aksi politik dari sistem pembagian atau pemisahan kekuasaan tersebut. Sebab tidak bisa dipungkiri bahwa problem etis legislator secara hirarkis dari pusat hingga daerah tidak bisa dilepaskan dari fungsi dan peran kepala daerah tersebut.

444 Agen. Legislator Intelektualitas Religiusitas Modalitas Gambar Peta Konseptualisasi Etika Politik. Dualitas Struktural Struktur Struktur Sosial Struktur Budaya Struktur Instutisional lokal Konseptualisasi Etika Politik Budaya Politik Praktek Demokrasi

445 Agen Gambar Peta Manifestasi Etika Politik Struktur Etika Politik Legislator Kerjasama dan Penghargaan Keadilan Kebijakan Perjuangan dan Pengabdian Kepercayaan Idealis dan Realis Komitmen dan Akuntabel enabling Dualitas struktural constraining Lembaga Legeslatif Legislating Budgeting Controling Communicating Budaya Politik (Partisipan) Praktek Demokrasi (Reflektif)