III. KELIMPAHAN DAN SEBARAN SARANG Macrotermes gilvus Hagen

dokumen-dokumen yang mirip
Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

KELIMPAHAN, SEBARAN, DAN ARSITEKTUR SARANG SERTA UKURAN POPULASI RAYAP TANAH

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014.

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi

2016 ANALISIS KESESUAIAN LAHAN DI UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA UNTUK TANAMAN ENDEMIK JAWA BARAT MENGGUNAKAN GISARCVIEW

IV. METODE PENELITIAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan bersifat deskriptif kuantitatif. Pengamatan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

IV. METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif dengan menggunakan metode

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan

BAB III METODE PENELITIAN

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III. Penelitian inii dilakukan. dan Danau. bagi. Peta TANPA SKALA

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura

BAB I PENDAHULUAN. memiliki sebaran jenis serangga yang unik. Selain jenis-jenis yang sebarannya

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas,

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

BAHAN DAN METODE. Gambar 3 Lokasi penelitian ( ) Alat dan Bahan

BAB III METODOLOGI. Gambar 1 Lokasi Taman Nasional Ujung Kulon.

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Propinsi Sulawesi Tenggara

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian

Sistem Infornasi Geografis, atau dalam bahasa Inggeris lebih dikenal dengan Geographic Information System, adalah suatu sistem berbasis komputer yang

ANALISA DEGRADASI HUTAN MANGROVE PADA KAWASAN WISATA TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua

III. METODOLOGI PENELITIAN

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli Lokasi penelitian adalah di kawasan

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

III. RUANG DAN FUNGSI TANAMAN LANSKAP KOTA

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS.

SEBARAN POHON PAKAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii. Lesson,1827.) MENGGUNAKAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS SKRIPSI

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang

12/29/2010. PEMODELAN SPASIAL KESESUAIAN HABITAT TAPIR (Tapirus indicus Desmarest 1819) DI RESORT BATANG SULITI- TAMAN NASIONAL KERINCI-SEBLAT

DISTRIBUSI DAN KERAPATAN EDELWEIS (Anaphalis javanica) DIGUNUNG BATOK TAMAN NASIONAL BROMO TENGGER SEMERU DIDIK WAHYUDI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 2 Peta lokasi studi

4 METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

FAKTOR-FAKTOR PEMBENTUK IKLIM INDONESIA. PERAIRAN LAUT INDONESIA TOPOGRAFI LETAK ASTRONOMIS LETAK GEOGRAFIS

BAB III TINJAUAN WILAYAH YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. endangered berdasarkan IUCN 2013, dengan ancaman utama kerusakan habitat

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa

II. TINJAUAN PUSTAKA. pada tumbuhan lain yang lebih besar dan tinggi untuk mendapatkan cahaya

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juni Pengambilan

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

Asrianny, Arghatama Djuan. Laboratorium Konservasi Biologi dan Ekowisata Unhas. Abstrak

III. METODE PENELITIAN

Faktor-faktor Pembentuk Iklim Indonesia. Perairan laut Indonesia Topografi Letak astronomis Letak geografis

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih

III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki mega biodiversity

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN

Diro Eko Pramono I. PENDAHULUAN

IV. METODE PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

BAB III METODE PENELITIAN

4. SEBARAN DAERAH RENTAN PENYAKIT DBD MENURUT KEADAAN IKLIM MAUPUN NON IKLIM

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif yang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung.

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

II. METODOLOGI. A. Metode survei

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN VEGETASI BERDASARKAN NILAI NDVI DAN FAKTOR BIOFISIK LAHAN DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. dalam Ilmu Ekologi dikenal dengan istilah habitat. jenis yang membentuk suatu komunitas. Habitat suatu organisme untuk

METODE Waktu dan Tempat Metode Penelitian Analisis Vegetasi

Transkripsi:

III. KELIMPAHAN DAN SEBARAN SARANG Macrotermes gilvus Hagen Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelimpahan dan sebaran sarang rayap M. gilvus di Cagar Alam Yanlappa, Jawa Barat. Untuk mengetahui keberadaan sarang rayap M. gilvus di lokasi penelitian dibuat transek dengan arah Barat Laut ke Tenggara dari batas patok cagar alam. Jarak antar transek 50 meter dan total panjang transek 6.800 meter. Setiap sarang M. gilvus yang ditemukan ditentukan koordinatnya dengan Geophisical Position System (GPS). Sarang rayap diklasifikasikan kedalam tiga tipe berdasarkan ukurannya, yaitu sarang kecil (tinggi sarang 0,49 m), sarang sedang (tinggi sarang 0,5-0,99 m), dan sarang besar (tinggi sarang 1 m). Kemiringan lereng dan indeks tutupan tajuk (Leaf Area Index, LAI) di sekitar rayap M. gilvus juga dicatat. Disamping itu, dilakukan analisis vegetasi dengan membuat plot pengamatan berukuran 20 x 20 m untuk tingkat pohon, 10 x 10 m untuk tingkat tiang, 5 x 5 m untuk tingkat semai dengan intensitas pengambilan contoh sebesar 0,38%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola sebaran dan kelimpahan sarang rayap adalah berkelompok (cluster) dengan mengikuti kemiringan lereng (3-8%) dan penutupan tajuk terbuka (LAI 0-1) hingga terbuka ringan (LAI 1-2). Sementara itu tapak sarang tidak terkait dengan tipe vegetasi di permukaan tanah. Kata Kunci : Pemetaan, GPS, habitat, Macrotermes gilvus Hagen. Abstract A study was conducted to find out the distribution pattern and number of subterranean termite M. gilvus based on the spatial, combined with physical factors (height, slope, soil type) and biotic factors (vegetation and Leaf Area Index) which significantly influence on M. gilvus. The data collected included the geographic position mound of M. gilvus by using the GPS, mound distribution patterns, slope, Leaf Area Index (LAI) which is determined with hemipot method by taking photographs with fisheye camera for the ground cover from above. The mound of subterranean termite are classified into the types based on size namely, small mounds ( 0,49 m tall), medium mounds (0,5-0,99 m tall), and large moundss ( 1 m tall). In addition, a vegetation was also analys ed with a plot method of 20 x 20 m for trees, 10 x 10 m for small trees, and 5 x 5 m for seedling. The results of this study showed that the mounds distribution pattern is grouped following the slopes of 3-8% and open canopy coverage of LAI 0-2. Key words : Mapping, GPS, habitat, Macrotermes gilvus Hagen

13 Pendahuluan Berdasarkan proses evolusi dan penyebarannya sebagian besar spesies rayap hidup di daerah tropika dan hanya beberapa saja yang dapat bertahan di daerah beriklim dingin. Di daerah beriklim dingin rayap hanya tersebar di daerah temperate (sedang) dengan latitud 50 o LU dan 50 o LS. Namun demikian di daerah yang dingin dengan altitud tinggi seperti di puncak pegunungan Himalaya dengan ketinggian 3000 m dpl masih dapat ditemukan rayap walaupun jenis dan ragam terbatas, contohnya Archotermopsis. Menurut Emerson (1955), penyebaran rayap berhubungan dengan suhu dan curah hujan sehingga sebagian besar jenis rayap terdapat di dataran rendah tropika dan hanya sebagian kecil ditemukan di dataran tinggi. Peta sebaran sarang rayap Macrotermes spp di dunia dapat dilihat secara lengkap pada Gambar 2. Gambar 2. Peta sebaran rayap tanah Macrotermes spp di dunia (Eggleton 2000) Pola sebaran dapat terjadi secara acak, seragam atau berkelompok dalam ruang yang luas (Odum 1971). Sebaran sarang rayap tanah Coptotermes di Indonesia khususnya di Pulau Jawa telah dipetakan oleh Tarumingkeng et al. (2003). Namun demikian peta sebaran sarang rayap Macrotermes secara khusus belum pernah dilakukan di Indonesia maupun di habitat alaminya di Asia Tenggara. Rayap jenis ini memiliki habitat alami di kawasan hutan alam dimana pengaruh suhu, kelembaban dan curah hujan relatif stabil. Namun dengan perubahan iklim global dan perubahan kondisi habitat hutan alami, dewasa ini

14 memungkinkan telah terjadi perubahan sebaran sarangnya. Informasi ini belum dieksplorasi secara rinci dan dalam. Pada hutan tropik, rayap memiliki keragaman yang tinggi. Hal ini disebabkan pada kawasan hutan alam memiliki ekosistem yang beragam (Indrawan et al. 2007). Ada beberapa alasan tingginya keragaman ekosistem mempengaruhi keragaman rayap. Pertama, spesies tropik dapat lebih tenggang terhadap relung ekologi yang tumpang tindih, dengan menganggap relung itu sebagai corak ragam lingkungan mikro pada habitat tropik yang majemuk, terutama di dalam hutan. Hal ini berdampak pada daerah tropik banyak memberikan kesempatan pembentukan spesies dibandingkan pada iklim sub tropik. Kedua, tersedianya sumberdaya yang melimpah, terutama dalam hal pakan. Ketiga, banyaknya pemangsaan dan parasitisme dalam lingkungan tropik cenderung membatasi berlimpahnya spesies tertentu dan mempersulit spesies tertentu untuk menambah besaran populasinya. Dengan demikian lebih banyak jumlah spesies yang menghuni habitat itu dibandingkan dengan kelimpahannya (Odum 1971). Di luar hutan hujan tropik rayap kurang begitu banyak jenisnya. Hal ini diduga karena ekosistem yang kurang beragam namun dari sisi jumlah individu dalam satu koloni lebih banyak (Meyer et al. 2003). Secara vertikal banyak dugaan bahwa di daerah dataran rendah tropik basah keragaman jenis rayap lebih banyak dibandingkan di daerah dataran tinggi (Ewusie 1990). Pada daerah dataran rendah dengan suhu yang hangat banyak memberi kesempatan rayap untuk berkembang biak dibandingkan dengan daerah yang bersuhu agak dingin. Rayap Macrotermes umumnya banyak bermukim pada suhu yang hangat (Nandika et al. 2003). Namun sampai saat ini data rinci mengenai hal tersebut belum dieksplorasi dengan baik yaitu dalam hal pola penyebaran spasial berdasarkan ketinggian tempat belum banyak diketahui. Adanya perbedaan relung ekologi berpengaruh juga pada perkembangan rayap. Di negara lain seperti Afrika Selatan yang memiliki tipe ekosistem savanna dengan vegetasi dominan Fabaceae ditemukan rayap tanah jenis Macrotermes natalensis Haviland yang mendominasi daerah ini (Meyer et al. 2001). Di daerah Eropa pada hutan sub tropis terutama pada tipe ekosistem savannanya dihuni oleh jenis lain, yaitu jenis: Macrotermes bellicosus (Korb & Linsenmair 2000). Perbedaan tipe ekosistem antara negara tropis Indonesia dan negara sub tropis di Eropa dan Afrika selain iklim yang berbeda, juga pada tipe vegetasinya. Di

15 hutan hujan tropis seperti Indonesia dengan vegetasi hutan yang heterogen jumlah sarangnya adalah > 4 sarang/ha (Vongkaluang et al. 2006), sementara di Afrika terutama pada tipe ekosistem savanna dengan vegetasi yang homogen memiliki jumlah sarang < 4 sarang/ha (Schuurman 2000; Gromadzki 2003). Faktor lingkungan yang utama mempengaruhi sebaran sarang rayap antara lain temperatur dan kelembaban, sementara itu faktor lain yang mendukung adalah curah hujan, struktur tanah dan vegetasi (Cookson & Trajstman 2002). Hal ini dapat dimengerti, karena rayap adalah serangga yang memiliki kulit tipis yang rentan terhadap proses dehidrasi oleh angin/udara kering sehingga rayap membutuhkan kelembaban yang stabil. Sebagai contoh keberadaan rayap Reticulitermes sp (Rhinotermitidae) di Florida sangat dipengaruhi oleh faktor suhu, kelembaban dan sifat tanah. Suhu berperan dalam sebaran dan aktivitas rayap saat mencari makan. Bilamana suhu permukaan tanah terlalu panas atau terlalu dingin rayap tidak melakukan foraging. Suhu ideal bagi Reticulitermes sp adalah 15-35 o C. Adapun kelembaban mendekati RH 100%, terutama pada daerah kering, memberikan kondisi yang baik pada rayap jenis ini. Tanah liat merupakan tipe tanah yang baik bagi kehidupannya karena pada tanah jenis ini saat hujan cenderung menahan kelembaban (Suiter et al. 2000). Pada rayap yang hidup di daerah subtropis, jenis-jenis kayu yang lebih disukai adalah kayu lunak (seperti : redwood, cypress, juniper) sedangkan kayu keras dan kayu-kayu yang mengandung banyak senyawa protektan kurang disukai karena bersifat toksik bagi rayap. Menurut Yoshimura et al. (2003) rayap subtropik lebih menyukai bahan berselulosa yang telah terdegradasi dengan urutan kesukaan sebagai berikut : serat selululose > kertas > kayu lapis > balok kayu lunak > balok kayu keras. Rayap Macrotermes merupakan rayap yang banyak tersebar di Asia Tenggara terutama banyak ditemukan di Indonesia, Malaysia, Singapura, Philiphina dan Thailand (Tho 1992), namun sebaran sarang berdasarkan garis lintang (latitude) dan ketinggian (altitude) tempat belum pernah dilakukan. Oleh karena itu informasi mengenai sebaran spasial dari rayap Macrotermes ini di habitat alaminya penting untuk diketahui karena belakangan rayap jenis ini telah tersebar diluar habitat alaminya. Dalam usaha mendapatkan sebaran spatial rayap tanah, umumnya dilakukan melalui pemetaan biasa/konvensional yaitu peta yang merupakan bentuk penyederhanaan kondisi permukaan bumi berbentuk hardprint/data

16 analog. Belakangan ini dengan perkembangan teknologi digital dan tata ruang maka telah berkembang sistem pemetaan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG). SIG merupakan seperangkat fungsi dengan kemampuan canggih, yang dapat digunakan oleh para profesional untuk : menyimpan, menampilkan, dan memanipulasi/mengoreksi data geografis/spasial. Sistem ini memiliki beberapa keunggulan antara lain : (1) Dapat dilakukan pada seluruh kemampuan pemetaan konvensional; (2) Dapat menentukan jarak tertentu dari titik atau garis; (3) Dengan analisis overlay, dapat digunakan lebih dari satu peta tematik dan menghasilkan coverage/peta baru; dan (4) Adanya visualisasi 3 dimensi yang dapat dikombinasikan dengan citra satelit. Dari keunggulan yang telah dijelaskan, peta spasial sebaran sarang rayap tanah Macrotermes gilvus pada penelitian ini akan menggunakan metode SIG karena akan lebih bermanfaat dibandingkan dengan pemetaan secara konvensional. Selain itu, hasilnya secara cepat dapat memvisualisasikan data sebaran sarang spasial organisme target. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola sebaran sarang rayap M. gilvus Hagen dan faktor-faktor yang mempengaruhinya yaitu kemiringan lereng, tutupan tajuk, dan tipe tanah di Cagar Alam Yanlappa, Jawa Barat. Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan bulan April 2007 - Oktober 2009 di Cagar Alam Yanlappa, Jawa Barat dengan ketinggian (50-150 mdpl) dan luas kawasan 32 Ha. Analisis sebaran spatial dilakukan di Laboratorium PPLH IPB, analisis LAI (Leaf Area Index) dilakukan di Laboratorium Konservasi Hutan-IPB, identifikasi rayap dilakukan di Laboratorium Biologi Hasil Hutan PPSHB IPB, sementara itu sebagai pembanding dilakukan identifikasi rayap Macrotermes di Natural History Museum, London. Prosedur Penelitian Survey sebaran sarang rayap dilakukan dengan metode transek jalur (Turner 2000; Lee et al. 2003a). Metode ini merupakan salah satu metode yang sering digunakan dalam pengumpulan data jenis dan jumlah sarang rayap. Jalur pengamatan ditentukan secara sistematis untuk seluruh area cagar

17 alam dengan interval lebar 50 meter dan panjang sampai batas patok wilayah cagar alam. Setiap titik awal jalur pengamatan diberi tanda patok dengan arah lintasan pengamatan menggunakan kompas. Data yang dikumpulkan meliputi posisi sarang rayap Macrotermes menurut GPS, pola sebaran sarang, data kemiringan lereng yang diperoleh dengan menggunakan Abneylevel, data Leaf Area Index (LAI) yang diperoleh dengan metode hemipot yaitu dengan cara mengambil foto menggunakan kamera fisheye dibawah lantai hutan tepat diatas sarang rayap. Sarang rayap yang ditemukan diklasifikasikan kedalam tiga tipe berdasarkan ukurannya yaitu sarang kecil (tinggi sarang 0,49 m), sarang sedang (tinggi sarang 0,5-0,99 m), dan sarang besar (tinggi sarang 1 m). Disamping itu, dilakukan analisis vegetasi pada 3 area yaitu area dengan kelimpahan sarang padat (5 sarang/ha), area dengan kelimpahan sarang sedang (3 sarang/ha), dan area dengan kelimpahan sarang rendah (tidak ada sarang) dengan membuat transek 20 x 20 m untuk tingkat pohon, 10 x 10 m untuk tingkat tiang, 5 x 5 m untuk tingkat semai pada masing-masing wilayah kelimpahan sarang (Surasana 1990). Posisi sarang rayap yang ditemukan dibuat overlay nya (metode tumpang tindih) dengan menggunakan software ArcView GIS 3.3 dan ERDAS Imagine 8.5, Sementara itu pengolahan LAI dilakukan dengan software Hemiview 2.1. Variabel vegetasi yang diamati meliputi jumlah famili, spesies, individu, nilai kerapatan mutlak (KM), frekuensi mutlak (FM) dan dominasi mutlak (DM). Index Nilai Penting (INP) setiap spesies dihitung menurut Cox (1978). Pola sebaran sarang spasial dari sarang rayap Macrotermes ditentukan dengan mengukur indeks penyebaran (dispersion index). Penentuan indeks dispersi (ID), dengan formula sebagai berikut: ID = S x 2 dimana : S 2 = keragaman contoh x = rata-rata contoh. Pola penyebaran spasial dari data sarang yang dikumpulkan diuji menggunakan uji Chi-Square untuk menentukan tipe penyebaran. Uji Chi- Square yang digunakan untuk N<30, adalah persamaan λ 2 = ID (N-1), dimana N adalah keberadaan sarang. Kriteria uji yang digunakan adalah:

18 1. Jika λhit 2 < λ 2 0.975, maka pola sebaran sarang yang terjadi adalah seragam. 2 2. Jika λ 0.975 λhit 2 λ 2 0.025, maka pola sebaran sarang yang terjadi adalah acak. 3. Jika λhit > λ 2 0.025, maka pola sebaran sarang yang terjadi adalah kelompok.

19 Hasil Penelitian Sebaran Sarang Rayap Tanah M. gilvus Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Cagar Alam Yanlappa, Jawa Barat dengan luas 32 Ha ditemukan 155 tapak sarang dengan rincian 56 sarang tipe besar (tinggi 1 m), 94 sarang tipe sedang (tinggi 0,5 0,99 m), dan 5 sarang tipe kecil (tinggi 0,49 m). Sarang -sarang tersebut menyebar secara berkelompok karena λ 2 hitung > λ 2 0.025 (Lampiran 4). Posisi keberadaan sarang memanjang dari arah Barat Laut ke Tenggara (Gambar 4). Pola sebaran sarang tersebut mengikuti wilayah kemiringan lereng 3% - 8% dan tutupan tajuk terbuka sampai tertutup ringan dengan nilai LAI 0-2 (Lampiran 3). Sarang rayap tanah M. gilvus juga cenderung berkelompok pada topografi bergelombang (undulating) dengan kelas ketinggian 50-150 m dpl. Sarang M. gilvus juga berada pada radiasi matahari relatif besar dan kelembaban cukup tinggi (80-90%). Lingkungan tersebut diyakini sesuai bagi kehidupan M. gilvus yang menyukai suhu hangat (29-30 o C) dengan kelembaban lingkungan 80% (Lee et al. 2003b). Beberapa faktor telah berhasil diidentifikasi untuk rayap tanah M. gilvus Hagen (Wood 1988; Lee et al. 2007a; Vongkaluang et al. 2006), seperti : a) memerlukan kelembaban yang tinggi dengan rentang perkembangan optimum RH : 75-90%; b) kisaran suhu 15-38 o C, serta c) curah hujan yang tinggi (3000-4000 mm/thn). Ketiga faktor tersebut berpengaruh terutama pada perkembangan kasta reproduksi (laron) saat keluar dari sarang. Schuurman (2006) mengatakan bahwa faktor edafik yang mempengaruhi keberadaan Macrotermes sp di Florida USA, adalah sifat tanah dan kandungan tanah terutama tanah tipe liat 20%. Sementara itu, Meyer et al. (2001) menyatakan bahwa rayap Macrotermes natalensis cenderung menyebar secara berkelompok mengikuti topografi, tipe tanah, dan elevasi. Rayap jenis tersebut cenderung memilih topografi bergelombang (undulating), dengan ketinggian wilayah 250-400 m dpl, curah hujan 650-700 mm/tahun, dan tipe tanah kuning-merah. Secara lengkap pola sebaran sarang M. gilvus di Cagar Alam Yanlappa dapat dilihat pada Gambar 3. Cagar alam ini memiliki kelembaban 80-90% dengan curah hujan rata-rata 2000 mm/th, tipe tanah Podsolid Merah Kuning dengan ketinggian 50-150 m dpl. Suhu ambien disekitar hutan cagar alam adalah 28-29 o C.

20 Gambar 3. Peta sebaran sarang rayap M. gilvus di Cagar Alam Jawa Barat Yanlappa, Ketinggian merupakan salah satu faktor habitat yang penting dalam penyebaran rayap M. gilvus (Tho 1992), sehingga dalam penelitian ini ketinggian termasuk ke dalam variabel yang diuji untuk memprediksi pengaruh ketinggian terhadap keberadaan rayap M. gilvus. Berdasarkan hasil pengolahan peta kontur dapat diketahui bahwa lokasi penelitian memiliki ketinggian 50 150 m dpl. Peta ketinggian diperoleh dari peta kontur dan diklasifikasikan menjadi 2

21 kelas. Penentuan kelas ketinggian menjadi 2 kelas berdasarkan rentang penyebaran sarang rayap tanah M. gilvus (50-100 m dpl dan 100-150 m dpl). Jumlah sarang rayap M. gilvus pada masing-masing kelas ketinggian, nilai LAI dan kemiringan lereng disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Kelimpahan sarang rayap tanah M. gilvus pada kelas ketinggian, nilai LAI, dan kemiringan lahan di Cagar Alam Yanlappa 2 Jumlah sarang Kelas ketinggian Luas area (m ) Kelimpahan (sarang/ha) 50-100 m dpl 258.124 75 3 100-150 m dpl 80.835 80 10 Leaf Area Index (LAI) 0-1 75.260 128 2 1-2 35.790 27 8 >2 227.911 0 0 Kemiringan lereng (%) 3-8 288.026 155 5 > 8 110.935 0 0 Data pada Tabel 1 di atas mengungkapkan bahwa jumlah dan densitas sarang rayap tanah M. gilvus berada paling banyak pada kelas ketinggian 100-150 m dpl dibandingkan dengan ketinggian 50-100 m dpl. Hal ini dapat dikatakan bahwa sarang M. gilvus menyukai ketinggian antara 100-150 m dpl. Selain itu pada ketinggian 100-150 m dpl kondisinya bergelombang, sehingga rayap M. gilvus lebih menyukai tipe topografi tersebut. Densitas sarang per hektar adalah 3 sarang untuk kelas 50-100 m dpl dan 10 sarang untuk kelas 100-150 m dpl.foto penutupan tajuk hasil pengambilan gambar hemipot disajikan pada Gambar 4. (A) (B) Gambar 4. Kondisi tutupan tajuk areal Cagar Alam Yanlappa: tertutup ringan (A) dan terbuka (B).

22 Nilai LAI semakin besar menunjukkan bahwa penutupan tajuk semakin tertutup, sehingga radiasi matahari ke bawah tajuk semakin kecil dan kelembaban dibawah tajuk semakin meningkat. Nilai dari Leaf Area Index (LAI) merupakan presentasi dari penutupan kanopi pada areal dibawah tajuk yang diproyeksikan secara vertikal. Nilai ini digunakan untuk memprediksi besarnya cahaya dan kelembaban dengan asumsi jika kanopi semakin tertutup maka cahaya yang masuk ke lantai hutan semakin kecil dan kelembabannya akan semakin tinggi. Nilai LAI di Cagar Alam Yanlappa dapat diklasifikasikan dalam 2 kelas yaitu kelas terbuka dan kelas tertutup ringan (Tabel 1). Berdasarkan hasil pengambilan data dan pengolahan data maka dapat diketahui bahwa sarang rayap tanah M. gilvus Hagen di Cagar Alam Yanlappa terletak pada tempat yang memiliki nilai LAI 0,211-1,722. Jumlah sarang M. gilvus lebih banyak pada kelas dengan nilai LAI 0-1 yakni 128 sarang sedangkan jumlah lebih kecil yaitu 27 sarang pada nilai 1-2, sedangkan pada nilai (LAI > 2) tidak ditemukan sarang. Densitas sarang per hektar adalah 2 sarang untuk kelas LAI 0-1 dan 8 sarang untuk kelas LAI 1-2. Sama halnya dengan ketinggian, kemiringan lereng pun merupakan salah satu faktor habitat yang berpengaruh terhadap keberadaan rayap (Traniello & Leuthold 2000), sehingga kelerengan merupakan salah satu variabel yang diuji dalam penelitian ini. Berdasarkan hasil pengolahan kontur, kemiringan lereng di Cagar Alam Yanlappa dibagi menjadi 2 kelas yaitu 3-8 % dan >8 %. Berdasarkan hasil pengolahan data dapat diketahui bahwa penyebaran rayap tanah M. gilvus di Cagar Alam Yanlappa adalah sebagai berikut: pada kelas dengan kemiringan lereng 3-8% terdapat 155 jumlah sarang, kelas kemiringan lereng >8% tidak dijumpai sarang. Semua sarang rayap M. gilvus terdapat pada kelas 3-8% dengan luasan 288.026 m 2. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jumlah sarang M. gilvus semakin menurun jika nilai kemiringan lerengnya semakin besar. M. gilvus tidak ditemukan ditempat dengan kemiringan lereng > 8%. Densitas sarang per hektar adalah 5 sarang/ha untuk kelas dengan kemiringan lereng 3-8%. Sebaran sarang sarang M. gilvus berdasarkan kemiringan lereng dapat dilihat pada Tabel 1. Tanah merupakan tubuh alam yang terbentuk pada permukaan bumi yang dapat menunjang pertumbuhan tanaman dengan sifat yang dihasilkan dari interaksi antara bahan induk, iklim, organisme dan waktu (Purwowidodo 1998).

23 Berdasarkan peta satuan lahan daerah kawasan hutan alam provinsi Jawa Barat dan Banten yang dibuat oleh pusat penelitian tanah dan agroklimat Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian tahun 1991, dan peta digital Bakorsurtanal 2006 diketahui bahwa seluruh kawasan Cagar Alam Yanlappa memiliki tipe tanah podsolik merah kekuningan, sehingga sarang rayap M. gilvus menyebar pada tanah tipe tersebut. Hasil analisis vegetasi menunjukkan bahwa dari areal pengamatan 1200 m 2 terdapat area sarang rayap dengan kelimpahan padat (8 sarang/ha), spesies pohon yang dominan adalah Artocarpus elastica (INP = 34,33%), tiang (Syzygium zollingerianum = 109,64%), pancang (Glycosmis pentaphylla = 26,06%), dan semai (Selaginela 32,13%). Mallotus oblongifolius (INP = 24,65%), Diospyros frutescens (INP = 49,59%); Schismatoglottis calyptrata (INP = 60,08%); merupakan spesies tumbuhan tingkat pohon, tiang, pancang dan semai yang dominan pada area kelimpahan sarang sedang (2 sarang/ha). Pada area yang tidak ada kelimpahan sarang rayap M. gilvus spesies pohon yang dominan adalah Uncaria gambir (INP = 37,21%), sedangkan spesies tiang, pancang dan semai masing-masing didominasi oleh Diospyros frutescens (INP = 62,58%); Arenga obtusifolia (INP = 25,97%); Anadendrum microstachyum (INP = 60,86%). Hasil analisis komposisi jenis (susunan) tumbuhan dan bentuk (struktur) vegetasi yang ada di wilayah Cagar Alam Yanlappa secara ringkas dapat disajikan pada (Lampiran 9-24). Berdasarkan komposisi famili, maka pada daerah dimana kelimpahan sarang rayapnya padat pada tingkat pohon dan tiang didominasi oleh famili Myrtaceae, pada tingkat pancang Arecaceae (INP = 50%), dan pada tingkat semai Lycopodiaceae (INP = 32,13%). Pada area dengan kelimpahan sarang sedang, pada tingkat pohon didominasi oleh famili Moraceae (INP = 57,41%), sedangkan untuk tiang, pancang dan semai masing-masing didominasi oleh famili Ebenaceae (INP = 49,59%), Euphobiaceae (INP = 28,69%), Araceae (INP = 82,22%). Secara lengkap, indeks nilai penting tertinggi dari famili pohon, tiang, pancang dan semai dapat dilihat pada Lampiran 10.

24 Pembahasan Pola sebaran sarang rayap tanah M. gilvus di Cagar Alam Yanlappa, cenderung membentuk pola sebaran sarang berkelompok (cluster), dengan pembentukan 3 cluster yaitu cluster dengan kelimpahan sarang padat, kelimpahan sedang dan tidak ada sarang (Gambar 4). Hal ini menunjukkan bahwa sebaran sarang rayap tanah M. gilvus sangat unik. Posisi keberadaan sarang rayap M. gilvus di Cagar Alam Yanlappa memanjang dari arah Barat Laut ke Tenggara. Posisi tersebut diduga berkaitan dengan sifat cryptobiotik (tidak menyukai sinar) pada rayap. Dalam membangun sarang, terlihat bahwa posisi sebaran sarang M. gilvus dari Barat Laut ke Tenggara adalah wilayah yang terhindar dari sinar matahari secara langsung dari Timur dan Barat. Sistem bangunan seperti ini sangat cocok didirikan pada daerah tropis yang memiliki suhu panas dan kelembaban yang tinggi. Posisi bangunan seperti ini memiliki fungsi antara lain dapat mengurangi pemanasan matahari serta memanfaatkan angin agar terjadi pendinginan karena penguapan. Parameter abiotik yang diamati dalam penelitian antara lain ketinggian tempat, jenis tanah, elevasi kelerengan, dan penutupan tajuk. Dari empat parameter tersebut terlihat bahwa elevasi kelerengan dan penutupan tajuk sangat berpengaruh pada pola sebaran sarang. Rayap M. gilvus sangat menyukai tutupan tajuk yang terbuka dengan kelas Leaf Area Index 0-1 dan elevasi kelerengan kelas 3-8%. Hasil yang sama juga dilaporkan oleh Meyer et al. (2000) yang mengatakan bahwa sebaran sebaran sarang rayap M. natalensis di Kruger National Park, Afrika Selatan sangat dipengaruhi oleh topografi tipe bergelombang dengan ketinggian kawasan 250-400 m dpl dan warna tanah merah dan kuning (Meyer et al. 1999). Sebaran sarang rayap M. gilvus berada pada tutupan tajuk terbuka sampai tertutup ringan dengan nilai LAI (leaf area index) 0-2 dengan radiasi sinar matahari GSF (global site factor) 0,22-0,91 (Lampiran 6). Lingkungan tersebut berkaitan dengan suhu ambien 28-29 o C dan kelembaban ambien 80-90% yang sesuai untuk habitat M. gilvus. Pada kondisi tutupan tajuk terbuka yaitu nilai LAI 0 dengan nilai GSF 1, maka suhu ambien bertambah tinggi yaitu 29 o C dengan kelembaban 90%. Aktivitas rayap dipengaruhi oleh suhu didalam dan diluar sarang. Pada suhu di dalam sarang, rayap memerlukan suhu optimum 30 o C, sementara untuk melakukan foraging biasanya membentuk liang kembara dengan suhu sekitar 28 o C dengan kelembaban sekitar 80% (Liu et al. 2007).

25 Sinar matahari mutlak diperlukan oleh organisme hidup dalam suatu ekosistem. Namun demikian, suhu, radiasi sinar matahari dan kelembaban merupakan faktor pembatas bagi kehidupan rayap M. gilvus (Donovan et al. 2007). Gangguan terhadap hutan yang berupa penebangan pohon akan mengakibatkan terbukanya tajuk pohon. Terbukanya tajuk pohon akan menyebabkan terjadinya perubahan faktor lingkungan seperti suhu udara, penguapan, kelembaban dan intensitas cahaya matahari pada ekosistem hutan tersebut (Indrawan 2000). Pada hutan sangat terganggu yang didominasi oleh tumbuhan bawah memberikan indikasi bahwa struktur vegetasinya merupakan struktur vegetasi dengan penutupan tajuk terbuka dan jarang (Alcaraz & Avilla 2000). Nilai LAI pada hutan yang sangat terganggu diperkirakan rendah dengan tutupan tajuk terbuka. Pola sebaran sarang M. gilvus cenderung berkelompok dengan mengikuti wilayah kemiringan lereng 3-8%. Sarang M. gilvus juga cenderung berkelompok pada topografi bergelombang (undulating) dengan kelas ketinggian 50-150 m dpl. Pada topografi bergelombang rayap M. gilvus memilih areal yang cembung dibanding areal datar (flat) dan cekung. Hal ini diduga pada areal cembung sangat baik drainasenya dibanding areal cekung dan datar. Pada area dengan permukaan datar dan cekung apabila curah hujan tinggi maka air tidak dapat mengalir dengan baik (Elkins et al. 1986). Oleh karena itu, maka dapat dipahami bahwa sifat alami topografi dengan kelerengan 3-8% relatif lebih mudah dalam membangun sarang dengan konstruksi bangunan yang kokoh. Konstruksi bangunan yang didirikan dengan kelerengan diatas 8% adalah wilayah yang rentan erosi (Ching & Adams 2008). Selain itu, kondisi dengan kemiringan lereng curam adalah wilayah yang menyulitkan rayap M. gilvus karena memerlukan banyak energi dalam melakukan aktivitas foraging. Pembangunan sarang berkaitan erat dengan daya dukung tanah (bearing capacity). Daya dukung tanah adalah tekanan maksimum suatu fondasi yang dibebankan secara vertikal dan horisontal pada massa tanah (Frick & Purwanto 1998). Tanah dengan daya dukung tinggi tidak akan banyak menimbulkan masalah yang berpengaruh pada bentuk dan tata letak bangunan.

26 Simpulan Di Cagar Alam Yanlappa, Jawa Barat ditemukan 155 sarang dengan rincian 56 sarang besar (tinggi 1 m), 94 sarang sedang (tinggi 0,5 0,99 m), dan 5 sarang kecil (tinggi 0,49 m). Sarang -sarang tersebut menyebar secara berkelompok (cluster) dengan lokasi dari arah Barat Laut ke Tenggara. Pola sebaran tersebut mengikuti wilayah kemiringan lereng 3% - 8% dan tutupan tajuk terbuka sampai tertutup ringan (nilai LAI 0-2). Sarang M. gilvus juga cenderung berkelompok pada topografi bergelombang (undulating) dengan kelas ketinggian 50-150 m dpl. Sarang rayap tersebut seluruhnya berada pada tapak yang berdrainase baik, bebas genangan air dan relatif ternaungi oleh vegetasi yang tumbuh di sekitarnya. Kondisi ini sangat ideal untuk melindungi sarang M. gilvus dari dampak buruk curahan air hujan, aliran permukaan (surface run-off), hempasan angin, dan teriknya cahaya matahari.