Diskusi dan Korelasi Biostratigrafi Kuantitatif

dokumen-dokumen yang mirip
Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang

APLIKASI BIOSTRATIGRAFI KUANTITATIF DENGAN METODE RANKING AND SCALING, PADA BLOK ROKAN, CEKUNGAN SUMATERA TENGAH TESIS MUFDI FIRDAUS NIM :

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Laporan Tugas Akhir Studi analisa sekatan sesar dalam menentukan aliran injeksi pada lapangan Kotabatak, Cekungan Sumatera Tengah.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pada Sungai Kedawung. Secara geologi, menurut Pringgoprawiro (1982) formasi

BAB IV ANALISIS BIOSTRATIGRAFI DAN STRATIGRAFI SEKUEN

BAB I PENDAHULUAN. Keterdapatan mikrofosil pada batuan sangat bergantung kepada lingkungan hidup organisme

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Bab I Pendahuluan 1.1 Subjek dan Objek Penelitian 1.2 Latar Belakang Permasalahan 1.3 Masalah Penelitian

Gambar 1.1. Lokasi Penelitian di Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah

BAB I PENDAHULUAN. Cekungan Sumatera Selatan termasuk salah satu cekungan yang

BAB IV ANALISIS KORELASI INFORMASI GEOLOGI DENGAN VARIOGRAM

BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN. Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian

BAB IV ANALISIS BIOSTRATIGRAFI NANNOPLANKTON

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang

Bab III Pengolahan dan Analisis Data

a) b) Frekuensi Dominan ~22 hz

BAB I PENDAHULUAN. lebih tepatnya berada pada Sub-cekungan Palembang Selatan. Cekungan Sumatra

Bab I Pendahuluan. I.1 Maksud dan Tujuan

BAB I PENDAHULUAN. eksplorasi menjadi hal yang sangat penting tidak terkecuali PT. EMP Malacca Strait

BAB I PENDAHALUAN. kondisi geologi di permukaan ataupun kondisi geologi diatas permukaan. Secara teori

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Maksud dan Tujuan

BAB I PENDAHULUAN. Pertamina EP yang berada di Jawa Barat (Gambar 1.1). Lapangan tersebut

BAB IV MODEL GEOLOGI DAN DISTRIBUSI REKAHAN

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) Periode III ISSN: X Yogyakarta, 3 November 2012

BAB III GEOLOGI DAERAH LEPAS PANTAI UTARA MADURA

Adanya cangkang-cangkang mikro moluska laut yang ditemukan pada sampel dari lokasi SD9 dan NG11, menunjukkan lingkungan dangkal dekat pantai.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Judul Penelitian

(Gambar III.6). Peta tuning ini secara kualitatif digunakan sebagai data pendukung untuk membantu interpretasi sebaran fasies secara lateral.

IV.2 Pengolahan dan Analisis Kecepatan untuk Konversi Waktu ke Kedalaman

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB IV Kajian Sedimentasi dan Lingkungan Pengendapan

BAB III GEOMETRI DAN KARAKTERISASI UNIT RESERVOIR

IV. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian yang mengambil judul Interpretasi Reservoar Menggunakan. Seismik Multiatribut Linear Regresion

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Analisis fasies dan evaluasi formasi reservoar dapat mendeskripsi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Subsatuan Punggungan Homoklin

3.3. Pengikatan Data Sumur pada Seismik-3D (Well Seismic Tie)

BAB V INTERPRETASI DATA. batuan dengan menggunakan hasil perekaman karakteristik dari batuan yang ada

BAB I PENDAHULUAN. Untuk memenuhi permintaan akan energi yang terus meningkat, maka

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Sejarah eksplorasi menunjukan bahwa area North Bali III merupakan bagian selatan dari Blok Kangean yang

Tabel hasil pengukuran geometri bidang sesar, ketebalan cekungan dan strain pada Sub-cekungan Kiri.

BAB I PENDAHULUAN. Lapangan X merupakan salah satu lapangan eksplorasi PT Saka Energy

BAB I PENDAHULUAN. cekungan penghasil minyak dan gas bumi terbesar kedua di Indonesia setelah

KATA PENGANTAR. karunia yang sangat banyak telah diberikan-nya selama ini, salah satunya penulis

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

DAFTAR ISI. BAB IV METODE PENELITIAN IV.1. Pengumpulan Data viii

BAB IV PEMAPARAN DATA Ketersediaan Data Data Seismik Data Sumur Interpretasi

BAB I PENDAHULUAN. Analisa konektivitas reservoir atau RCA (Reservoir Connectivity Analysis)

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB III DATA DAN PENGOLAHAN DATA

8 Stratigrafi Pendahuluan. Pengantar Geologi 2012

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. telah banyak dilakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang dilakukan oleh

Bab I. Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN. Objek yang dikaji adalah Formasi Gumai, khususnya interval Intra GUF a sebagai

BAB IV GEOKIMIA PETROLEUM

ZONASI PALEONTOLOGI CEKUNGAN KUTAI BAGIAN BAWAH, DAERAH BALIKPAPAN DAN SEKITARNYA, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

II.1.2 Evolusi Tektonik.. 8

Bab IV Analisis Data. IV.1 Data Gaya Berat

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Bab V. Analisa Stratigrafi Sekuen

BIOZONASI FORAMINIFERA PLANKTONIK DI LINTASAN SUNGAI CIPAMINGKIS, DAERAH JONGGOL, PROVINSI JAWA BARAT

I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Gambar 1.1

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB IV RESERVOIR KUJUNG I

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Badan Geologi (2009), Subcekungan Enrekang yang terletak

BAB IV ANALISIS SEDIMENTASI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. Area Mahakam Selatan merupakan area lepas pantai yang berada di

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Gambar I.1. : Lokasi penelitian terletak di Propinsi Sumatra Selatan atau sekitar 70 km dari Kota Palembang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV UNIT RESERVOIR

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN YOGYAKARTA 2011

IV.5. Interpretasi Paleogeografi Sub-Cekungan Aman Utara Menggunakan Dekomposisi Spektral dan Ekstraksi Atribut Seismik

BAB I PENDAHULUAN. Pliosen Awal (Minarwan dkk, 1998). Pada sumur P1 dilakukan pengukuran FMT

BAB I PENDAHULUAN. Subjek penelitian adalah studi biostratigrafi dan lingkungan pengendapan

DAFTAR ISI BAB I. PENDAHULUAN... 1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

3.1. Penentuan Batas Atas dan Bawah Formasi Parigi

I.2 Latar Belakang, Tujuan dan Daerah Penelitian

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. Lokasi penelitian dilakukan di lantai 33 departemen G&G PT Medco E&P,

STUDI BIOSTRATIGRAFI DAN STRATIGRAFI SEKUEN LAPANGAN DURI, RIAU, CEKUNGAN SUMATERA TENGAH TUGAS AKHIR B. Oleh: Resti Samyati Jatiningrum

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB IV METODE DAN PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. eksplorasi hidrokarbon, salah satunya dengan mengevaluasi sumur sumur migas

BAB IV ANALISIS FASIES ENDAPAN TURBIDIT

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. masalah yang berhubungan dengan ilmu Geologi. terhadap infrastruktur, morfologi, kesampaian daerah, dan hal hal lainnya yang

Transkripsi:

Bab IV Diskusi dan Korelasi Biostratigrafi Kuantitatif Dari hasil analisis biostratigrafi kuantitatif ranking dan scaling yang dilakukan pada sepuluh sumur atau penampang di Blok Rokan, Cekungan Sumatera Tengah, telah menghasilkan delapan zone selang (interval zone) biostratigrafi kuantitatif, yaitu Zone I sampai Zone VIII. Masing-masing zone dicirikan oleh rata-rata kemunculan akhir dari event-event optimum sebagai penciri batas bawah dan batas atas zone. Digunakan pula beberapa event khusus (unique events) sebagai penciri umur relatif yang dijumpai pada masing-masing zone biostratigrafi kuantitatif ini. Analisis dan korelasi biostratigrafi kuantitatif yang diterapkan pada sumur atau penampang pada Blok Rokan ini hanya didasarkan pada data distribusi mikrofosil foraminifera dan nannoplangton. Hasil analisis biostratigrafi kuantitatif pada Blok Rokan ini memberikan hasil yang kurang optimal pada bagian bawah dari kedalaman sebagian besar sumur-sumur yang ada, yaitu menghasilkan pembagian biozonasi kuantitatif yang kurang rinci dan optimal. Misalnya dijumpai pada Sumur A dan Sumur B. Pada Sumur A (pada kedalaman 1580 sampai 3130 ) dan Sumur B (pada kedalaman 1820 sampai 3320 ), analisis biostratigrafi kuantitatif yang diterapkan kurang mampu untuk membagi lagi menjadi beberapa zone biostratigrafi kuantitatif yang rinci. Hal ini disebabkan oleh data distribusi mikrofosil yang digunakan, baik foraminifera ataupun nannoplangton, seluruhnya hanya menggunakan kemunculan akhir (last occurrence/lo) dari kisaran stratigrafi suatu takson spesies yang ditemukan atau dijumpai pada kedua sumur tersebut. Dengan data distribusi kemunculan awal (first occurrence/fo) dan kelimpahan puncak (acme occurrence) dari suatu takson spesies, serta adanya event-event penciri (marker events) lainnya pada suatu sumur atau penampang, akan dapat menghasilkan suatu zonasi biostratigrafi kuantitatif yang lebih optimal dan lebih rinci lagi. 65

Pada dua sumur, yaitu Sumur E dan Sumur H, hasil analisis ranking dan scaling menghasilkan beberapa event optimum yang memiliki kedalaman yang diperkirakan (probable depth) terletak pada kedalaman yang relatif sama. Hasil ini diperlihatkan pada bentuk hasil grafik scattergram yang relatif datar. Hal ini disebabkan oleh data distribusi mikrofosil yang digunakan pada kedua sumur ini adalah kurang optimal (data kurang tersedia), serta kedalaman sampel (top - bottom sample) yang diperoleh adalah relatif pendek. Keadaan di atas akan memberikan hasil yang kurang optimal bagi urutan optimum event-event yang muncul, karena bukan suatu kemunculan akhir yang sebenarnya dari event-event tersebut. Diperkirakan kisaran stratigrafi eventevent optimum tersebut lebih panjang dari hasil yang diperoleh pada grafik scattergram yang ada. Pada Sumur E (kedalaman 4220 4450 ), hasil analisis biostratigrafi kuantitatif dapat menghasilkan lima zone (Zone I, Zone II, Zone III, Zone VI, dan Zone VII) dan satu zone kisaran (Zone kisaran IV - V), sedangkan dengan hasil biostratigrafi konvensional foraminifera hanya menghasilkan satu zone kisaran saja, yaitu Zone kisaran N4 N13 (zonasi Blow, 1969). Bila hasil analisis biostratigrafi konvensional ini digunakan dalam korelasi biostratigrafi antara Sumur E dengan Sumur D dan G, maka akan sulit diterapkan untuk memperoleh korelasi biostratigrafi yang lebih rinci. Hal berbeda bila dibandingkan dengan zonasi biostratigrafi kuantitatif pada Sumur E ini yang memberikan peluang kemungkinan kedalaman yang diperkirakan (probable depth) dari event-event (kisaran stratigrafi mikrofosil) yang tidak muncul atau absen pada sumur ini dapat digunakan sebagai korelasi diantara sumur-sumur yang ada. Pada Sumur D (kedalaman 3480 ), dari hasil analisis biostratigrafi konvensional foraminifera diperoleh sebanyak empat zone dan satu zone kisaran foraminifera plangtonik (Zone N5, N6, N7 N8, N9 dan N10), dan berdasarkan analisis nannoplangton didapatkan lima zone nannoplangton 66

(Zone NN1, NN2, NN3, NN4, dan NN5). Sedangkan dengan menggunakan analisis biostratigrafi kuantitatif, didapatkan lebih banyak pembagian zonasi pada Sumur D ini, yaitu sebanyak delapan zone (Zone I dan atau lebih tua, I, II, III, IV, V, VI, dan VIII). IV.1 Korelasi Biostratigrafi Kuantitatif Kedelapan biozonasi kuantitatif yang diperoleh dari hasil penelitian ini umumnya dapat diterapkan dengan baik pada seluruh sumur yang ada, sehingga memberikan peluang untuk dapat digunakan sebagai zonasi yang lebih rinci dan detail terhadap zonasi hasil analisis biostratigrafi konvensional. Adanya biozonasi kuantitatif ini dapat dijadikan sebagai alat korelasi biostratigrafi pada sumur atau penampang di daerah penelitian. Dengan analisis biostratigrafi kuantitatif ranking dan scaling, dimungkinkan untuk mendapatkan korelasi biostratigrafi yang lebih optimal dan rinci dari kisaran stratigrafi mikrofosil yang diinginkan. Pada Gambar IV.1, diperlihatkan adanya perbedaan korelasi biostratigrafi antara hasil analisis biostratigrafi konvensional dan biostratigrafi kuantitatif dengan menggunakan event optimum Helicosphaera scissura yang merupakan spesies penciri zone kisaran NN1 NN4 (zonasi Martini, 1971). Mikrofosil nannoplangton Helicosphaera scissura (nomor kode 89) dari hasil analisis biostratigrafi konvensional (berdasarkan kedalaman sesuai dengan yang diamati/observed depth) akan lebih sulit untuk dikorelasikan antara sumur-sumur yang ada karena tidak dijumpai kehadirannya pada Sumur E dan Sumur G. Dengan hasil analisis biostratigrafi kuantitatif, didapatkan kedalaman yang diperkirakan (probable depth) dengan disertai error bar dari event optimum Helicosphaera scissura pada Sumur E dan Sumur G. Hasil ini memberikan korelasi biostratigrafi yang lebih rinci dan detail untuk dapat dilakukan diantara seluruh sumur yang ada. 67

Observed Depths Well A Well B Well D Well E Well G Well H Well J Depth (feet) (hasil analisis biostratigrafi konvensional) Probable Depths with Error Bars Well A Well B Well D Well E Well G Well H Well J Depth (feet) (hasil analisis biostratigrafi kuantitatif) Gambar IV.1 Korelasi biostratigrafi dari event optimum Helicosphaera scissura (nomor indeks ) 68

Korelasi hasil analisis biostratigrafi kuantitatif pada Blok Rokan (terletak pada bagian tengah Cekungan Sumatera Tengah) ini diperlihatkan pada Lampiran 4 dengan arah orientasi Utara - Selatan. Dari gambaran korelasi antar sumursumur tersebut (Sumur A Sumur J), terlihat bahwa umumnya seluruh zonasi yang dihasilkan oleh analisis biostratigrafi kuantitatif dapat dikorelasikan secara optimal dan lebih rinci diantara penampang atau sumur yang ada, dan tidak terjadi adanya kontradiksi antara biozonasi kuantitatif tersebut di seluruh Blok Rokan ini. Kerangka kerja stratigrafi di daerah penelitian menjadi penting mengingat selama ini target lapisan dalam kegiatan pengeboran pada skala eksplorasi maupun pengembangan masih didasarkan pada korelasi unit litostratigrafi. Padahal satuan ini secara regional maupun skala lapangan dapat menyebar secara lokal dan bersifat diakronos sehingga mengarah pada kekeliruan dalam interpretasi konektifitas akibat korelasi yang salah, karena keakuratan dalam korelasi merupakan kunci keberhasilan pengembangan lapangan. Digunakannya bioevent hasil analisis biostratigrafi kuantitatif dimungkinkan untuk dijadikan alat korelasi yang lebih rinci karena event-event optimum yang diperoleh umumnya dapat ditemukan di seluruh sumur yang ada, walaupun dari hasil analisis konvensional tidak diperoleh datanya. Kekurangan menggunakan unit biostratigrafi kuantitatif ini sebagai alat korelasi adalah distribusi bioevent masih dikontrol oleh lingkungan pengendapan (paleoenvironment) dan kemungkinan adanya keterbatasan (isolasi) biogeografi. Dalam skala blok Rokan ini, dengan jarak antara sumur-sumur yang ada relatif sangat jauh, maka digunakan bioevent yang menerus dan menyebar secara luas dan dijadikan sebagai horison kunci dalam korelasi. Suatu bioevent adalah suatu horison korelasi yang berpotensi guna apabila bioevent ini dijumpai pada lebih dari satu penampang stratigrafi. Bioevent yang digunakan sebagai horison kunci dalam korelasi biostratigrafi kuantitatif ini adalah kemunculan akhir 69

Globigerinoides obliquus obliquus (57) dari golongan foraminifera plangtonik sebagai biodatum untuk puncak atau batas atas Zone III. Dalam gambaran korelasi biostratigrafi kuantitatif ini terlihat bahwa Zone III yang dijumpai pada seluruh sumur yang ada berumur Miosen Tengah bagian bawah. Secara regional, sedimen yang diendapkan pada umur relatif ini termasuk dalam Formasi Telisa yang merupakan batuan tudung dari reservoar Kelompok Sihapas. Secara lateral, interval sedimen yang masuk dalam Zone III ini dapat diamati secara menerus dari Sumur A sampai Sumur J dengan ketebalan sedimen relatif sama pada Sumur A - Sumur B dan semakin menebal ke arah Sumur D sampai Sumur E. Ketebalan sedimen ini makin menepis ke arah tengah blok ini yaitu Sumur G, untuk kemudian relatif menebal kembali ke arah Sumur H dan J. Dilihat dari kisaran umur relatifnya, dapat diperkirakan bahwa Zone I dan Zone II masih termasuk dalam awal Miosen Tengah dan secara regional saat diendapkannya sedimen Formasi Telisa. Pelamparan interval sedimen yang masuk dalam kisaran Zone I dan Zone II ini pada sumur A dan B mempunyai ketebalan yang hampir sama, dan kemudian semakin menebal secara ekstensif pada Sumur D. Pada Zone I dan Zone II di Sumur D ini, interval sedimen yang tebal pada kedalaman ini juga mempunyai rentang waktu yang relatif panjang (zone N6 N9), sehingga dimungkinkan bahwa pada interval waktu relatif ini diendapkan pula sedimen-sedimen dari formasi lainnya yang lebih tua dari Formasi Telisa. Ke arah tengah blok ini (Sumur E dan Sumur G), ketebalan sedimen kembali semakin menepis secara drastis dan kemudian relatif menebal kembali ke arah selatan (Sumur H dan Sumur J). Zone-zone biostratigrafi kuantitatif di atas horison korelasi (Zone IV sampai Zone VII) dapat ditemukan pada sumur-sumur yang ada, kecuali pada Sumur H tidak dijumpai Zone VI dan Zone VII. Sedangkan Zone VIII hanya ditemukan pada Sumur A, Sumur B dan Sumur G. Zone IV sampai Zone VII ini termasuk dalam umur relatif Miosen Tengah dan secara regional pada 70

Cekungan Sumatera Tengah diendapkannya Formasi Telisa dan Formasi Petani. Interval sedimen yang termasuk dalam Zone IV sampai Zone VII ini pada bagian utara Blok Rokan (Sumur A dan Sumur B) mempunyai ketebalan yang relatif sama dan semakin menebal ke arah Sumur D. Ketebalan sedimen pada kisaran zone ini semakin menepis ke arah tengah blok ini, yaitu pada Sumur E dan G dan semakin ke arah selatan dari blok ini kembali relatif makin menebal (Sumur J). 71