TINJAUAN PUSTAKA. keterlibatan siswa pada proses belajar mengajar, untuk berani mengemukakan

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional

BAB II MODEL PEMBELAJARAN TALKING STICK DAN AKTIVITAS BELAJAR SISWA MATERI SUMBER DAYA ALAM. 1. Pengertian Model Pembelajaran Talking Stick

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN TALKING STICK TERHADAP AFEKTIF RECEIVING DAN RESPONDING SISWA. (Artikel) Oleh DIRA TIARA

KOMPETENSI GURU MADRASAH IBTIDAIYAH MENDESAIN PENILAIAN SIKAP DALAM PEMBELAJARAN SESUAI KURIKULUM 2013

Jurnal Pendidikan Akuntansi Indonesia, Vol. IX. No. 1 Tahun 2011, Hlm PENILAIAN AFEKTIF DALAM PEMBELAJARAN AKUNTANSI. Oleh Sukanti 1.

II. TINJAUAN PUSTAKA. mempengaruhi satu sama lain, baik antara mahluk-mahluk itu sendiri maupun

PENILAIAN AFEKTIF DALAM PEMBELAJARAN AKUNTANSI. Sukanti. Abstrak

BAB I PENGEMBANGAN AFEKTIF ANAK USIA DINI

STRATEGI PENERAPAN DOMAIN AFEKTIF DI LINGKUP PERGURUAN TINGGI

BAB I PENDAHULUAN. terjadi tanpa interaksi antar pribadi. Hal ini menjadi tuntutan dalam dunia

BAB II KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS TINDAKAN. Menurut Gagne (dalam Slameto, 2007:43) lima kategori hasil belajar yaitu

BAB II KAJIAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Model pembelajaran talking stick merupakan model pembelajaran yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Model pembelajaran mempunyai andil yang cukup besar dalam kegiatan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

PENERAPAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF GROUP INVESTIGATION

Kurikulum Berbasis TIK

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PARADIGMA. Dalam tinjauan pustaka ini diuraikan beberapa konsep, pendapat dan teori yang

BAB II MODEL PEMBELAJARAN NOVICK DAN HASIL BELAJAR

HASIL BELAJAR BIOLOGI MELALUI PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN LEARNING STARTS WITH A QUESTION

BAB I PENDAHULUAN. Praktikum biologi merupakan kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dalam

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Pengertian Ilmu Pengetahuan Sosial

TAKSONOMI BLOOM Diana Mutiah, M.Si

PENINGKATAN PEMAHAMAN PEMANFAATAN SATUAN PANJANG DAN BERAT MELALUI MODEL PEMBELAJARAN TALKING STICK. Sri Handayani

BAB II KAJIAN PUSTAKA

PENGERTIAN TUJUAN PEMBELAJARAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu faktor yang sangat penting bagi kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 9. tentang Perlindungan Anak mmenyatakan bahwa setiap anak berhak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Penggunaan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Picture And Picture Dan Tipe Talking Stick Dengan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Talking Stick

ANALISIS SIKAP MAHASISWA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN TATA BOGA PADA PRAKTIK PENYELENGGARAAN EVENT ORGANIZER

BAB II KAJIAN PUSTAKA. ada di sekitar individu. Menurut Sudjana dalam Rusman. (2011: 1) Belajar

IMPLIKASI EVALUASI PROSES KULIAH EVOLUSI MANUSIA PADA DOMAIN AFEKTIF MAHASISWA

PROSEDUR PENYUSUNAN INSTRUMEN NON-TEST MENGGUNAKAN SKALA LIKERT

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai empat kompetensi, yakni kompetensi pedagogik, kompetensi. aspek kompetensi pedagogik adalah guru mampu melakukan tindakan

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam sistem pembelajaran. Ketiga dimensi tersebut saling berkaitan satu

BAB II KAJIAN PUSTAKA. tepat untuk diterapkan guna mencapai apa yang diharapkan yaitu menciptakan manusia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan mampu menggunakan metode ilmiah untuk memecahkan masalah yang dihadapinya.

UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN AFEKTIF SISWA MELALUI PENGGUNAAN STRATEGI PEMBELAJARAN ACTIVE KNOWLEDGE SHARING

STRATEGI PENERAPAN DOMAIN AFEKTIF DI LINGKUP PERGURUAN TINGGI

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN. perlu dilakukan usaha atau tindakan untuk mengukur hasil belajar siswa. Hamalik

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan harus dilaksanakan sebaik mungkin dengan mengarahkan berbagai

I. PENDAHULUAN. Dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah, kegiatan belajar mengajar

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA

PENGEMBANGAN INSTRUMEN PENILAIAN AFEKTIF PADA MATERI LAJU REAKSI DI PRODI PENDIDIKAN KIMIA FKIP UNIVERSITAS JAMBI

BAB II LANDASAN TEORI

I. TINJAUAN PUSTAKA. A. Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah (Problem Based Learning)

MANFA NFA TUJUAN PEMBELAJARAN

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN. dipelajari oleh pembelajar. Jika siswa mempelajari pengetahuan tentang konsep,

BAB I PENDAHULUAN. berfungsi untuk memperjelas istilah pada permasalahan yang ada.

BAB II Kajian Pustaka

BAB I PENDAHULUAN. sitematis ke arah perubahan tingkah laku menuju kedewasaan peserta didik.

BAB I PENDAHULUAN. yang dikenal umum yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. 1 Untuk

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DIKLAT/BIMTEK KTSP 2009 DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL HALAMAN 1/20

Kumpulan Artikel Mahasiswa Pendidikan Teknik Informatika (KARMAPATI) Volume 3, Nomor 3, Juli 2014 ISSN

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. perbaikan dalam pengelolaan pembelajaran dan pengelolaan kelas bagi siswa

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pembelajar setelah mengalami aktivitas belajar 5

KATA OPERASIONAL TAKSONOMI BLOOM VERSI BARU UNTUK MATA PELAJARAN BIOLOGI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN alinea ke 4 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Mencerdaskan kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan model utama untuk meningkatkan kualitas

PENERAPAN PROBLEM BASED LEARNING (PBL) DALAM LESSON STUDY UNTUK MENGASAH KEMAMPUAN ANALISIS MAHASISWA

Tugas Evaluasi Pendidikan RANAH PENGETAHUAN MENURUT BLOOM

II. TINJAUAN PUSTAKA. Banyak guru yang telah melaksanakan kegiatan pembelajaran melalui

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu kepribadian

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pendekatan discovery adalah suatu prosedur mengajar yang dapat. mengalami sendiri bagaimana cara menemukan atau menyelidiki

II. TINJAUAN PUSTAKA. Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam merencanakan pembelajaran ialah

PENGARUH PEMBELAJARAN EKOSISTEM BERBASIS MASALAH GLOBAL TERHADAP PENGUASAAN KONSEP, KEMAMPUAN PENALARAN DAN KESADARAN LINGKUNGAN SISWA KELAS X

BAB I PENDAHULUAN. atau maju. Suatu Negara dikatakan maju apabila memiliki sumber daya manusia

BAB II HASIL BELAJAR MATEMATIKA PADA POKOK BAHASAN MENGHITUNG LUAS PERSEGI DAN PERSEGI PANJANG DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME

Aplikasi Pengetahuan

I. PENDAHULUAN. Pendidikan Nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang. Negara Republik Indonesia tahun 1945 berfungsi mengembangkan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Active Learning melalui Teknik Group to Group Exchange. Active learning/ pembelajaran aktif adalah pembelajaran yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Marilah kita kaji sejenak arti kata belajar menurut Wikipedia Bahasa

ESENSI PENGETAHUAN TRANSFER PENGETAHUAN. Penerapan Pengetahuan (Application of Knowledge) 12/05/2014

BAB II KAJIAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. hidup sebagai komponen biotik dan makhluk tak hidup sebagai komponen

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Bagian 2. EVALUASI : Prinsip, Karakteristik Kualitas, Taksonomi Hasil Belajar, Ragam Bentuk dan Prosedur.

Makalah Afektif. Siti Hamidah. Workshop Guru-Guru MAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Model pembelajaran kooperatif saat ini banyak diterapkan oleh guru dalam

Kebijakan Assessment dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)

II. TINJAUAN PUSTAKA. suatu proses pembelajaran. Perubahan yang terjadi pada siswa sejatinya

BAB II KAJIAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. interaksi antara seseorang dengan lingkungan. Menurut Sugandi, (2004:10), dirinya dengan lingkungan dan pengalaman.

. UNIVERSITAS NEGERI PADANG. Ma kala h. MlLlH PERPL'STtKPCld I UNIV. NE6ERI PADRNO!

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Peran pendidikan sangat dibutuhkan dalam mempersiapkan dan

EMOSI DAN SUASANA HATI

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk selalu berfikir dan mencari hal-hal yang baru. Pendidikan tidak

BAB V PEMBAHASAN. Fiqih dengan melalui penerapan model pembelajaraan kooperatif tipe picture and

REVITALISASI COOPERATIVE LEARNING MODEL THINK PAIR SHARE DALAM MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA. Oleh: N U R D I N

Transkripsi:

9 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Model Pembelajaran Talking Stick Model Talking Stick merupakan salah satu model yang menekankan pada keterlibatan siswa pada proses belajar mengajar, untuk berani mengemukakan pendapat. Metode ini dapat memberikan motivasi kepada siswa supaya belajar aktif dalam memahami dan menemukan konsep, sehingga siswa mampu menghubungkan soal dengan teori yang ada, misalnya pada bagian contoh soal yang merupakan bagian dari bahan belajar siswa dapat digunakan untuk menggambarkan teori, konsep dari materi pembelajaran yang dibahas dalam diskusi antara siswa dengan guru (Styawati, 2011: 4). Menurut Suyatno (2009: 71) (dalam Suarni, 2012: 17) menyatakan bahwa, Model talking stick merupakan model pembelajaran yang dirancang untuk mengukur tingkat penguasaan materi pelajaran oleh siswa dengan menggunakan tongkat. Pembelajaran dengan model ini dilakukan dengan bantuan tongkat, siswa yang memegang tongkat wajib menjawab pertanyaan dari guru setelah siswa mempelajari materi pokoknya. Sedangkan menurut Ramadhan (2010) (dalam Suarni, 2012: 17) mengungkapkan bahwa Talking Stick (tongkat berbicara) adalah model yang pada mulanya digunakan oleh penduduk asli Amerika untuk mengajak semua

10 orang berbicara atau menyampaikan pendapat dalam suatu forum (pertemuan antarsuku). Tongkat berbicara telah digunakan selama berabad-abad oleh suku-suku indian sebagai alat menyimak secara adil dan tidak memihak. Tongkat berbicara sering digunakan kalangan dewan untuk memutuskan siapa yang memunyai hak berbicara. Pada saat pimpinan rapat mulai berdiskusi dan membahas masalah, ia harus memegang tongkat berbicara. Tongkat akan pindah ke orang lain apabila ia ingin berbicara atau menanggapinya. Dengan cara ini tongkat berbicara akan berpindah dari satu orang ke orang lain jika orang tersebut ingin mengemukakan pendapatnya. Apabila semua mendapatkan giliran berbicara, tongkat itu lalu dikembalikan lagi ke ketua/pimpinan rapat. Dalam bidang pendidikan Talking Stick termasuk salah satu model pembelajaran yang dilakukan dengan bantuan tongkat, siapa yang memegang tongkat wajib menjawab pertanyaan dari guru setelah siswa mempelajari materi pokoknya. Pembelajaran Talking Stick sangat cocok diterapkan bagi siswa SD/MIN, SMP/MTs, SMA/MAN/SMK. Selain melatih berbicara, model ini akan menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan dan membuat siswa aktif. Model pembelajaran talking stick salah satu model pembelajaran yang kooperatif. Model pembelajaran ini dilakukan dengan bantuan tongkat, siapa yang memegang tongkat wajib menjawab pertanyaan dari guru setelah siswa mempelajari materi pokoknya.

11 Menurut pendapat Dahlan (2000: 120) (dalam Suarni, 2012: 17) bahwa model pembelajaran Talking Stick menggunakan sebuah tongkat sebagai alat penunjuk giliran siswa yang mendapat tongkat akan diberi pertanyaan dan harus dijawab. Kemudian secara estafet tongkat tersebut berpindah ke tangan siswa lain secara bergiliran, demikian seterusnya sampai seluruh siswa mendapat tongkat dan pertanyaan. Sedangkan menurut pendapat dari Sudjana (2001: 10) (dalam Suarni, 2012: 18) yang menyatakan bahwa, model pembelajaran talking stick merupakan model pembelajaran yang menggunakan alat berupa tongkat sebagai alat bantu bagi guru untuk mengajukan pertanyaan kepada siswa dengan menimbulkan suasana yang menyenangkan. Tongkat tersebut digilirkan pada siswa dan bagi siswa mendapatkan tongkat sesuai dengan aba-aba dari guru, maka siswa diberi pertanyaan oleh guru dan harus dijawab. Dari dua penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran talking stick adalah tongkat sebagai alat bantu guru estafet secara bergiliran yang harus menjawab mendapat pertanyaan guru. Setelah menjelaskan pengertian model pembelajaran tersebut, tentu model pembelajaran talking stick mempunyai langkah-langkahnya. Adapun langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam model Talking Stick menurut Hanafiah dan Suhana, (2012: 48) yaitu sebagai berikut: 1. Guru membentuk kelompok yang terdiri dari 5-6 orang. 2. Guru menyiapkan sebuah tongkat yang panjangnya 20 cm.

12 3. Guru menyampaikan materi pokok yang akan dipelajari, kemudian memberikan kesempatan kepada para kelompok untuk membaca dan mempelajari materi pegangannya. 4. Siswa berdiskusi membahas masalah yang terdapat dalam wacana. 5. Setelah kelompok selesai membaca materi pelajaran dan mempelajarinya, guru mempersilahkan anggota kelompok untuk menutup wacananya. 6. Guru mengambil tongkat dan memberikan kepada salah satu anggota kelompok, setelah itu guru memberikan pertanyaan dan anggota kelompok yang memegang tongkat tersebut harus menjawabnya. Demikian seterusnya sampai sebagian besar siswa mendapat bagian untuk menjawab setiap pertanyaan dari guru. 7. Siswa lain boleh membantu menjawab pertanyaan jika anggota kelompoknya tidak bisa menjawab pertanyaan. 8. Guru memberikan kesimpulan. 9. Guru melakukan evaluasi /penilaian, baik secara kelompok maupun individu. 10. Guru menutup pembelajaran. Di Dalam model pembelajaran Talking Stick, model ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Adapun kekurangan dan kelebihan dari model Talking Stick menurut Suprijono (2010: 110) sebagai berikut : Kelebihan model Talking Stick a) menguji kesiapan siswa, b) melatih siswa membaca dan memahami materi dengan cepat, c) memacu siswa agar lebih giat belajar (belajar dahulu), d) siswa berani mengemukakan pendapat Kekurangan model Talking Stick yaitu membuat siswa senam jantung.

13 Penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa talking stick dipakai sebagai tanda seseorang memunyai hak suara (berbicara) yang diberikan secara bergiliran atau bergantian. B. Afektif Hasil belajar menurut Bloom 1976 (dalam Abdul, 2008: 2) mencakup prestasi belajar, kecepatan belajar, dan hasil afektif. Andersen, 1981 (dalam Abdul: 2) sependapat dengan Bloom bahwa karakteristik manusia meliputi cara yang tipikal dari berpikir, berbuat, dan perasaan. Tipikal berpikir berkaitan dengan ranah kognitif, tipikal berbuat berkaitan dengan ranah psikomotor, dan tipikal perasaan berkaitan dengan ranah afektif. Ranah afektif mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi, atau nilai. Ketiga ranah tersebut merupakan karakteristik manusia sebagai hasil belajar dalam bidang pendidikan. Menurut Popham, 1995 (dalam Abdul, 2008: 2), ranah afektif menentukan keberhasilan belajar seseorang. Orang yang tidak memiliki minat pada pelajaran tertentu sulit untuk mencapai keberhasilan belajar secara optimal. Seseorang yang berminat dalam suatu mata pelajaran diharapkan akan mencapai hasil pembelajaran yang optimal. Oleh karena itu, semua pendidik harus mampu membangkitkan minat semua peserta didik untuk mencapai kompetensi yang telah ditentukan. Selain itu ikatan emosional sering diperlukan untuk membangun semangat kebersamaan, semangat persatuan, semangat nasionalisme, rasa sosial, dan sebagainya. Untuk itu semua dalam

14 merancang program pembelajaran, satuan pendidikan harus memperhatikan ranah afektif. Keberhasilan pembelajaran pada ranah kognitif dan psikomotor dipengaruhi oleh kondisi afektif peserta didik. Peserta didik yang memiliki minat belajar dan sikap positif terhadap pelajaran akan merasa senang mempelajari mata pelajaran tertentu, sehingga dapat mencapai hasil pembelajaran yang optimal. Walaupun para pendidik sadar akan hal ini, namun belum banyak tindakan yang dilakukan pendidik secara sistematik untuk meningkatkan minat peserta didik. Oleh karena itu untuk mencapai hasil belajar yang optimal, dalam merancang program pembelajaran dan kegiatan pembelajaran bagi peserta didik, pendidik harus memperhatikan karakteristik afektif peserta didik. Menurut Krathwohl, 1961 (dalam Abdul, 2008: 2-3) bila ditelusuri hampir semua tujuan kognitif mempunyai komponen afektif. Dalam pembelajaran sains, misalnya di dalamnya ada komponen sikap ilmiah. Sikap ilmiah adalah komponen afektif. Tingkatan ranah afektif menurut taksonomi Krathwohl ada lima, yaitu: receiving (attending), responding, valuing, organization, dan characterization. 1. Tingkat receiving Pada tingkat receiving atau attending, peserta didik memiliki keinginan memperhatikan suatu fenomena khusus atau stimulus, misalnya kelas, kegiatan, musik, buku, dan sebagainya. Tugas pendidik mengarahkan perhatian peserta didik pada fenomena yang menjadi objek pembelajaran afektif. Misalnya pendidik mengarahkan peserta didik agar senang

15 membaca buku, senang bekerjasama, dan sebagainya. Kesenangan ini akan menjadi kebiasaan, dan hal ini yang diharapkan, yaitu kebiasaan yang positif. 2. Tingkat responding Responding merupakan partisipasi aktif peserta didik, yaitu sebagai bagian dari perilakunya. Pada tingkat ini peserta didik tidak saja memperhatikan fenomena khusus tetapi ia juga bereaksi. Hasil pembelajaran pada ranah ini menekankan pada pemerolehan respons, berkeinginan memberi respons, atau kepuasan dalam memberi respons. Tingkat yang tinggi pada kategori ini adalah minat, yaitu hal-hal yang menekankan pada pencarian hasil dan kesenangan pada aktivitas khusus. Misalnya senang membaca buku, senang bertanya, senang membantu teman, senang dengan kebersihan dan kerapian, dan sebagainya. 3. Tingkat valuing Valuing melibatkan penentuan nilai, keyakinan atau sikap yang menunjukkan derajat internalisasi dan komitmen. Derajat rentangannya mulai dari menerima suatu nilai, misalnya keinginan untuk meningkatkan keterampilan, sampai pada tingkat komitmen. Valuing atau penilaian berbasis pada internalisasi dari seperangkat nilai yang spesifik. Hasil belajar pada tingkat ini berhubungan dengan perilaku yang konsisten dan stabil agar nilai dikenal secara jelas. Dalam tujuan pembelajaran, penilaian ini diklasifikasikan sebagai sikap dan apresiasi.

16 4. Tingkat organization Pada tingkat organization, nilai satu dengan nilai lain dikaitkan, konflik antar nilai diselesaikan, dan mulai membangun sistem nilai internal yang konsisten. Hasil pembelajaran pada tingkat ini berupa konseptualisasi nilai atau organisasi sistem nilai. Misalnya pengembangan filsafat hidup. 5. Tingkat characterization Tingkat ranah afektif tertinggi adalah characterization nilai. Pada tingkat ini peserta didik memiliki sistem nilai yang mengendalikan perilaku sampai pada waktu tertentu hingga terbentuk gaya hidup. Hasil pembelajaran pada tingkat ini berkaitan dengan pribadi, emosi, dan sosial. Menurut Dettmer, 2006 (dalam Nur aini 2011: 9) Affective Domain (Ranah Afektif) berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek perasaan dan emosi, seperti minat, sikap, apresiasi, dan cara penyesuaian diri. Level afektif versi lama terdiri dari 5 level yakni; receiving (attending), responding, valuing, organization, dan characterization by a value or value complex. Pada versi terbaru, level domain afektif terdiri dari receive, respond, value, organize, internalize, characterize, wonder, dan aspire menurut Dettmer (2006) (dalam Wicaksono, 2012: 112-113). Kata operasional pada setiap level domain afektif dan contohnya dapat dilihat pada tabel berikut.

17 Tabel 1. Kata operasional pada setiap level domain afektif No Level Afektif Kata Operasional Contoh 1 Receive (menerima) Peserta didik memiliki keinginan memperhatikan suatu fenomena khusus atau stimulus, misalnya kelas, kegiatan, musik, buku, dan sebagainya Keterbukaan, kepedulian, perhatian, ketertarikan, berminat, dll Contoh pernyataan pada angket Saya tertarik untuk menjadi anggota Biologi Study Club (BSC) Saya selalu memperhatikan penjelasan guru biologi Saya sulit memahami pelajaran biologi. Menurut saya, belajar biologi 2 Respond (menanggapi) Pada tingkat ini peserta didik tidak saja memperhatikan fenomena khusus tetapi ia juga bereaksi. 3 Value (nilai) Valuing melibatkan penentuan nilai, keyakinan atau sikap yang menunjukkan derajat internalisasi dan komitmen 4 Organize (mengatur) Pada tingkat organization, nilai satu dengan nilai lain dikaitkan, konflik antar nilai diselesaikan, dan mulai membangun sistem nilai internal yang konsisten. 5 Internalize (Menginternalisasi) menjawab, membantu, senang, menyesuaikan, menyambut, melakukan, dll lengkap, menunjukkan, membedakan, menjelaskan, rendah, bentuk, memulai, mengundang, bergabung, membenarkan, mengusulkan, membaca, laporan, pilih, berbagi, belajar, bekerja, dll mengatur, menggabungkan, membandingkan, lengkap, membela, merumuskan, generalisasi, mengidentifikasi, mengintegrasikan, memodifikasi, ketertiban, mempersiapkan, berhubungan, mensintesis bertindak, tampilan, pengaruh, mendengarkan, mengubah, mempertunjukkan, memenuhi syarat, merevisi, melayani, memecahkan, sangat penting Contoh pernyataan pada angket: Saya senang membaca buku biologi. Saya selalu membantu teman yang kesulitan dalam pelajaran biologi Contoh pernyataan pada angket: Saya membaca buku biologi minimal 3 kali dalam seminggu. Pelajaran biologi sebaiknya dilakukan dengan cara praktek lapangan Contoh pernyataan pada angket: Saya mengatur waktu khusus untuk belajar biologi di rumah Contoh pernyataan pada angket: Pembelajaran biologi memberikan pengaruh positif terhadap pola hidup saya. Saya akan mengubah kebiasaan buruk yang merusak lingkungan menjadi kebiasaan untuk menjaga lingkungan.

18 verifikasi, dll 6 Characterize (Karakter) Pada tingkat ini peserta didik memiliki sistem nilai yang mengendalikan perilaku sampai pada waktu tertentu hingga terbentuk gaya hidup. Mencirikan menggolongkan menggambarkan memberi ciri menandakan menunjukkan sifat 7 Wonder (Keingintahuan) Mengagumi Renungan bertanya-tanya Berpikir Heran Ingin tahu 8 Aspire (cita-cita) keinginan, harapan, tujuan, impian, motivasi Dimodifikasi dari Wilson (dalam Nur Aini, 2011: 9) Contoh pernyataan pada lembar observasi: Siswa menunjukkan sifat pola hidup sehat setelah mempelajari biologi Siswa membuang sampah pada tempatnya yang menandakan bahwa siswa tersebut mencintai lingkungan. Contoh pernyataan pada angket: Pelajaran biologi memberikan saya pemahaman untuk lebih mencintai lingkungan, sehingga saya berkomitmen untuk selalu menjaga kebersihan lingkungan. Saya berolah raga setiap hari yang mencirikan saya menerapkan pola hidup sehat Contoh pernyataan pada angket: Saya mengagumi betapa sempurnanya Tuhan menciptakan sebuah ekosistem Pembelajaran biologi membuat saya merasa lebih ingin tahu tentana alam. Jika nilai biologi saya rendah, saya akan berfikir untuk mencari strategi belajar yang lebih baik. Jika ada fenomena biologi yang saya temui, saya akan mencari tahu tentang fenomena tersebut dari buku atau bertanya pada orang. Contoh pernyataan pada angket: Saya berharap pembelajaran biologi akan semakin inovatif dan kreatif. Saya belajar biologi dengan rajin supaya bisa menjadi peneliti bidang biologi.

19 Sejak disusunnya taksonomi oleh Benyamin Bloom pada tahun 1956, maka tujuan pendidikan dibagi ke dalam tiga domain, yaitu: a) Ranah Kognitif memuat perilaku-perilaku yang menekankan aspek intelektual, seperti pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan berpikir, b) Ranah Afektif memuat tentang perilaku-perilaku yang menekankan pada aspek perasaan dan emosi, seperti minat, sikap, apresiasi, dan penyesuaian diri, dan c) Ranah Psikomotor berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek keterampilan motorik seperti menari, menggambar, menggunakan komputer, dan mengoperasikan mesin. Domain afektif menurut taksonomi Bloom memiliki beberapa tingkatan, yaitu: receiving (attending), responding, valuing, organizing, dan characterization by a value atau value complex Krathwohl, Bloom & Masia, 1964: 176-185 (dalam Wicaksono, 2012: 113).

20 Secara rinci domain afektif memiliki tingkatan-tingkatan sebagai berikut. Tabel 2. Tingkatan-tingkatan Domain Afektif menurut Taksonomi Bloom (dalam Wicaksono, 2012: 114). Tingkatan Sub-Tingkatan Receiving (attending) Awarenes Willing to Receive Controlled (selected attention) Responding Aquiescence in responding Willingness to respond Satisfactionin response Valuing Penerimaan terhadap nilai-nilai yang dianut (acceptance of value) Preferensi nilai Komitmen Organization Conceptualization of a value Characterization by value (value complex) Organization of a value system Generalized set Characterization Pada tingkatan receiving (attending), fokus pembelajaran adalah pada asumsi, artinya pada saat pembelajar diberi penjelasan tentang sebuah fenomena atau diberi stimulus, maka pembelajar akan mau menerima keberadaan fenomena atau stimulus tersebut. Terdapat 3 (tiga) sub tingkatan, yaitu kesadaran (awareness), kemauan untuk menerima (willingness to receive), dan perhatian tertentu (selected attention). Kesadaran agak berbeda dengan perilaku kognitif, terutama pada saat merespon sebuah stimulus. Di dalam perilaku kognitif, pembelajar dapat mengungkapkan respon atas sebuah stimulus, sedangkan di sub level ini pembelajar hanya menerima stimulus tersebut tanpa ada kewajiban untuk menyatakan sebuah respon. Sebagai contoh, pembelajar hanya memperhatikan

21 lingkungan sekitar yang dianggap menarik seperti perabot kelas, bangunan sekolah tanpa memberikan komentar. Pada sub level kemauan untuk menerima, pembelajar hanya memiliki kemauan untuk menerima stimulus yang diberikan oleh pengajar, sehingga pembelajar hanya berada dalam keadaan pasif menerima dengan cara memperhatikan apa yang diberikan kepadanya. Contoh di sub level ini adalah pada saat pembelajar telah bersedia untuk memperhatikan apa yang diucapkan oleh sang pengajar, meski tidak harus mampu memahami apa yang sedang diucapkan, tetapi sudah terdapat kemauan untuk berusaha fokus kepada apa yang sedang dikatakan atau sedang diterangkan pada saat itu. Pada sub level yang ke-3 yaitu perhatian tertentu (selected attention), pembelajar telah mampu menerima stimulus secara sadar sehingga mampu memilah dengan baik stimulus yang diberikan oleh pengajar di luar stimulus yang ada pada saat itu. Sebagai contoh, si pembelajar telah mampu memilah antara satu rumus dengan rumus yang lain dalam sebuah pelajaran di bidang sains. Pada tingkatan menanggapi (responding), fokus pembelajaran adalah pada respon individu terhadap suatu fenomena, jadi lebih dari hanya sekadar memperhatikan. Pada tingkatan ini seorang pengajar dapat melihat secara langsung ketertarikan si pembelajar pada materi yang sedang diajarkan pada saat itu. Pada tingkatan ini, terdapat 3 (tiga) sub tingkatan, yaitu: acquiescence in responding, willingness to respond, dan satisfaction in response. Pada subtingkatan persetujuan dalam merespon (acquiescence in responding),

22 pembelajar mulai menunjukkan kepatuhan terhadap peraturan yang diterapkan atau menunjukkan reaksi terhadap kewajiban yang disampaikan oleh pengajar. Demikian pula, pada willingness to respond si pembelajar telah menunjukkan sikap sukarela dalam melaksanakan tugas yang diberikan oleh pengajar. Sedangkan pada sub-tingkatan satisfaction in response, pengajar dapat melihat secara jelas kepuasan dan rasa senang yang ditunjukkan oleh para pembelajar secara eksplisit. Pada tingkatan valuing, pembelajar akan menunjukkan komitmennya berdasarkan nilai yang dianutnya yang selanjutnya akan menuntun perilaku pembelajar. Kondisi ini sangat berbeda dengan konsep motivasi eksternal yang hanya mengarah kepada kepatuhan. Terdapat 3 (tiga) sub tingkatan valueing, yaitu penerimaan terhadap nilai-nilai yang dianut (acceptance of value), preferensi nilai, dan komitmen. Pada sub-tingkatan acceptance of value, pembelajar telah memiliki keyakinan bahwa dirinya telah memiliki nilai-nilai tertentu dalam dirinya dan memiliki kemauan untuk dapat diidentifikasi oleh orang lain berdasarkan keyakinan tersebut. Misalnya, seorang siswa memiliki keyakinan bahwa dirinya dapat bertoleransi dengan banyak orang yang berasal dari berbagai daerah asal. Pada subtingkatan preference of value, pembelajar tidak hanya yakin pada nilai yang telah dia miliki, namun juga berusaha untuk mempertahankan nilai-nilai tersebut. Sedangkan pada sub-tingkatan commitment, seseorang tidak hanya percaya terhadap suatu nilai tetapi juga berusaha berkomitmen kepada nilai

23 tersebut sehingga pada akhirnya akan menjadi sebuah motivasi dalam melakukan suatu tindakan. Pada tingkatan organisasi (organization), pembelajar sudah sampai pada tahapan mempercayai nilai-nilai tertentu, selanjutnya ia akan dihadapkan pada lebih dari satu nilai atau beberapa nilai yang harus dipercayainya. Pada tingkatan ini, pembelajar mulai mengorganisasi nilai-nilai tersebut dan mencari hubungan antara satu nilai dengan nilai yang lain, dan selanjutnya berusaha menemukan nilai yang menurutnya paling dominan. Organization memiliki 2(dua) sub tingkatan, yaitu: conceptualization of a value dan organization of a value system. Sebagai lanjutan dari level sebelumnya, maka pada conceptualization of a value, seorang pembelajar mulai merelasikan nilai-nilai yang dia miliki dan berusaha mencari nilai mana yang seharusnya dia pegang teguh. Selanjutnya, setelah melakukan abstraksi dari nilai yang dia miliki pada sub-tingkatan organization of a value system, pembelajar akan berusaha mengorganisasi seluruh nilai yang ia temukan. Pada tingkatan yang terakhir yaitu characterization by value set atau value complex, pembelajar dianggap telah memiliki nilai yang kuat di dalam dirinya, maka ia akan berusaha melakukan generalisasi terhadap perilakunya dan mengintegrasikan keyakinan, ide dan tingkah laku menjadi sebuah filosofi hidup. Terdapat dua sub level yaitu: generalized set dan characterization. Pada sub-tingkatan generalized set, seorang pembelajar telah mampu bersikap konsisten dari dalam diri sendiri atau internal berdasarkan nilai-nilai yang telah ia miliki. Sedangkan sub-tingkatan characterization merupakan puncak dari

24 proses internalisasi. Karenanya, pada sub level ini pembelajar telah mampu memiliki filosofi pribadi yang kuat dan konsisten. Gambar 2. Skema domain afektif (Wicaksono, 2012: 115).