PENGARUH KEBERADAAN CENTRAL BUSINESS DISTRICT (CBD) SIMPANG LIMA GUMUL TERHADAP KONVERSI LAHAN PERTANIAN, KABUPATEN KEDIRI AS AD ALI MUTAKIN

dokumen-dokumen yang mirip
II. TINJAUAN PUSTAKA. sumberdaya lahan (land resources) sebagai lingkungan fisik terdiri dari iklim, relief,

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah

Identifikasi Kemampuan Pelayanan Ekonomi dan Aksesibilitas Pusat Kegiatan Lokal Ngasem di Kabupaten Kediri

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang penelitian

ARAHAN PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI JAGUNG DI KABUPATEN KEDIRI

DAFTAR ISI. PRAKATA... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xii

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

TINJAUAN PUSTAKA. (Heady dan Jensen, 2001) penggunaan lahan paling efisien secara ekonomi adalah

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. nafkah. Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan. Hampir

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang

PENATAAN WILAYAH PERTANIAN INDUSTRIAL Alih Fungsi Lahan. Julian Adam Ridjal PS Agribisnis Universitas Jember

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang. kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi.

PENDAHULUAN Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA Konversi Lahan Konversi lahan merupakan perubahan fungsi sebagian atau seluruh

II. TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. individu manusia setelah pangan dan sandang. Pemenuhan kebutuhan dasar

PENDAHULUAN Latar Belakang

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. bahan pangan utama berupa beras. Selain itu, lahan sawah juga memiliki

TINJAUAN PUSTAKA. dan daerah, sarana penumbuhan rasa kebersamaan (gotong royong), sarana

BAB I PENGANTAR. masa yang akan datang. Selain sebagai sumber bahan pangan utama, sektor pertanian

ANALISIS NILAI EKONOMI LAHAN (LAND RENT) PADA LAHAN PERTANIAN DAN PERMUKIMAN DI KECAMATAN CIAMPEA, KABUPATEN BOGOR. Oleh ANDIKA PAMBUDI A

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

BAB I PENDAHULUAN. sektor non pertanian merupakan suatu proses perubahan struktur ekonomi.

2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengembangan Wilayah

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

STUDI MANAJEMEN ESTAT PADA KAWASAN SUPERBLOK MEGA KUNINGAN, JAKARTA (Studi Kasus: Menara Anugrah dan Bellagio Residences) TUGAS AKHIR

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. banyak, masih dianggap belum dapat menjadi primadona. Jika diperhatikan. dialihfungsikan menjadi lahan non-pertanian.

ISSN DAMPAK ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN TERHADAP KETAHANAN PANGAN

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang yaitu bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. asasi manusia, sebagaimana tersebut dalam pasal 27 UUD 1945 maupun dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sumber daya alam yang terdapat pada suatu wilayah pada dasarnya merupakan modal

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

PENENTUAN WILAYAH POTENSIAL KOMODITAS JAGUNG DI KABUPATEN KEDIRI

BAB I PENDAHULUAN. Tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Medan saling berkaitan

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Salah satu permasalahan yang dihadapi negara yang sedang berkembang

I. PENDAHULUAN. pada setiap tahunnya juga berpengaruh terhadap perkembangan pembangunan

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Kesiapan Kebijakan dalam Mendukung Terwujudnya Konsep Kawasan Strategis Cepat Tumbuh (KSCT)

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN JOMBANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Ruang sebagai wadah dimana manusia, hewan dan tumbuhan bertahan

II. LANDASAN TEORI. A. Alih Fungsi Lahan. kehutanan, perumahan, industri, pertambangan, dan transportasi.

Bab V Analisis, Kesimpulan dan Saran

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Pola (Pemanfaatan) Ruang

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONVERSI LAHAN PERTANIAN STUDI KASUS: KECAMATAN JATEN, KABUPATEN KARANGANYAR

KABUPATEN CIANJUR PERATURAN BUPATI CIANJUR

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang. kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi.

PENDAHULUAN Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. serta pendorong dan penarik tumbuhnya sektor sektor ekonomi, dapat. dan pengangguran serta dapat mensejahterakan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. komunitas mengubah ekosistem hutan atau lahan kering menjadi sawah adalah

BAB I PENDAHULUAN. mengenai faktor-faktor yang tidak hanya berasal dari faktor demografi saja

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR KONVERSI LAHAN SAWAH IRIGASI TEKNIS DI PROVINSI JAWA BARAT ELVIRA G.V. BUTAR-BUTAR

REFORMA AGRARIA SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Septi Sri Rahmawati, 2015

I. PENDAHULUAN. Indonesia selama ini dikenal sebagai negara yang memiliki sumber daya alam

ANALISIS PERMINTAAN DAN SURPLUS KONSUMEN TAMAN WISATA ALAM SITU GUNUNG DENGAN METODE BIAYA PERJALANAN RANI APRILIAN

PENGARUH PEMBANGUNAN PERUMAHAN PONDOK RADEN PATAH TERHADAP PERUBAHAN KONDISI DESA SRIWULAN KECAMATAN SAYUNG DEMAK TUGAS AKHIR

I. PENDAHULUAN. utama perekonomian nasional. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

SALINAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PELAKSANAAN TRANSMIGRASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SRAGEN TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. Lahan menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kehidupan. manusia. Fungsi lahan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Geo Image 1 (1) (2012) Geo Image.

3. Pola hubungan spasial intra-interregional di Kapet Bima dapat diamati dari pergerakan arus barang dan penduduk antar wilayah, yakni dengan

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan di daerah lebih efektif dan efisien apabila urusan-urusan di

BUPATI PROBOLINGGO PROVINSI JAWA TIMUR

Transkripsi:

1 PENGARUH KEBERADAAN CENTRAL BUSINESS DISTRICT (CBD) SIMPANG LIMA GUMUL TERHADAP KONVERSI LAHAN PERTANIAN, KABUPATEN KEDIRI AS AD ALI MUTAKIN DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

2

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* 3 Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Keberadaan Central Business District (CBD) Simpang Lima Gumul Terhadap Konversi Lahan Pertanian, Kabupaten Kediri adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Maret 2014 As Ad Ali Mutakin NIM H44080034

4 ABSTRAK AS AD ALI MUTAKIN. Pengaruh Keberadaan Central Business District (CBD) Simpang Lima Gumul terhadap Konversi Lahan Pertanian, Kabupaten Kediri. Dibimbing oleh NINDYANTORO. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pola dan karakteristik alih fungsi lahan pertanian beserta faktor dan laju alih fungsi lahan pertanian di Kabupaten Kediri. Metode analisis deskriptif digunakan untuk menganalisis pola, karakteristik dan laju alih fungsi lahan. Sementara itu untuk menganalisis faktor-faktor digunakan model regresi linear berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola dan karakteristik konversi lahan di Kabupaten Kediri secara spontan masih sangat sedikit dibandingkan dengan yang direncanakan. Pemerintah berhasil mengatasi masalah defisit lahan pertanian melalui program percetakan sawah. Secara empiris faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian pada taraf nyata ditingkat petani di Kecamatan Ngasem yang pertama adalah jumlah tanggungan, yang menunjukkkan pertumbuhan pesat pasca pembukaan kawasan. Kedua adalah jarak lahan dari pusat central business district. Ketiga adalah harga lahan pertanian per/meter persegi. Keempat adalah luas lahan yang dimiliki sebelumnya. Implikasi dari hal ini pemda perlu berkoordinasi dengan para pemilik tanah yang luas agar konversi dapat terkendali. Kata kunci: central business district, konversi lahan, Simpang Lima Gumul ABSTRACT AS AD ALI MUTAKIN. The linkages of existence Central Business District (CBD) Simpang Lima Gumul with Agricultural Land Conversion, Kediri Regency. Guided by NINDYANTORO. This study aims to examine the pattern and characteristics of agricultural land convertion and its factor and the rate of agricultural land conversion in Kediri Regency. Descriptive analysis method used to analyze the patterns, characteristics and the rate of land conversion. Meanwhile, to analyze the factors used multiple linear regression models. The results showed that the patterns and characteristics of land conversion in Kediri Regency spontaneously still very little compared by the plan. The government managed to overcome the problem of agricultural land deficit through by extensification farmland program. Empirically the factors that influence agricultural land convertion in the real level of the farmer in Ngasem Subdistrict the first is the number of dependents, which is indicating the rapid growth of the region after opening area. The second is the distance of the area from the center of he central business district. Third is the price of agricultural land per/ square meter. The fourth is land held previously. The implication of this is that local government needs to coordinate with the owners of wide land so the conversion can be controlled. Keywords: central business district, land conversion, Simpang Lima Gumul

5 PENGARUH KEBERADAAN CENTRAL BUSINESS DISTRICT (CBD) SIMPANG LIMA GUMUL TERHADAP KONVERSI LAHAN PERTANIAN, KABUPATEN KEDIRI AS AD ALI MUTAKIN Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

6

7 Judul Skripsi : Pengaruh Keberadaan Central Business District (CBD) Simpang Lima Gumul terhadap Konversi Lahan Pertanian, Kabupaten Kediri Nama : As Ad Ali Mutakin NIM : H44080034 Disetujui oleh Ir Nindyantoro, MSP Pembimbing Diketahui oleh Dr Ir Aceng Hidayat, MT Ketua Departemen Tanggal Lulus:

Judul Skripsi: Pengaruh Keberadaan Central Business District (CBD) Simpang Lima Gumul terhadap Konversi Lahan Pertanian, Kabupaten Kediri Nama : As Ad Ali Mutakin NIM : H44080034 Disetujui oleh Ir Nindyantoro, MSP Pembimbing Diketahui oleh Tanggal Lulus: 1 0 ", 2014

8 PRAKATA Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah S.W.T yang telah memberikan rahmat, dan hidayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam selalu disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. Judul skripsi ini adalah Pengaruh Keberadaan Central Business District (CBD) Simpang Lima Gumul terhadap Konversi Lahan Pertanian, Kabupaten Kediri, yang dilaksanakan pada bulan mei 2013 hingga Maret 2014. Penulis mengucapkan terimakasih yang setulus-tulusnya kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi serta kerjasama dalam penyusunan skripsi ini terutama kepada: 1. Ayahanda tercinta (Sumali), Ibunda tercinta (Siti aisah), adik saya tercinta (Tanto Wiyahya dan Abdul Rohman Zauhari), Om Yudi dan Tante ulfa, serta keluarga besar yang telah memberikan kasih sayang, motivasi, dukungan moril maupun materil, serta limpahan do a yang tak pernah putus kepada penulis. 2. Ir Nindyantoro MSP selaku dosen pembimbing yang telah memberikan waktu dan tenaga untuk memberikan bimbingan, arahan, motivasi dengan penuh kesabaran serta kebaikan yang sangat membantu dan memberikan inspirasi penulis selama ini. 3. Adi Hadianto, SP, MSi selaku dosen penguji utama dan Asti Istiqomah, SP selaku dosen perwakilan departemen. 4. Kepala Kesbangpolinmas Kabupaten Kediri, Kepala BAPPEDA Kabupaten Kediri, Bapak Camat Ngasem, dan Bapak Kepala Desa beserta jajarannya serta para ketua RT dan RW yang telah membantu penulis dalam memperoleh data dan informasi. 5. Saudari Nurul Haq Sari yang telah memberikan limpahan doa, semangat, dan motivasi kepada penulis 6. Sahabat penulis: Mahmud, Pramudi, Dewi, Ruben, Ai, Daus, Dea, Anna, Kiki, Agustina, Rifki, Ayu, dan Dika kalian adalah sahabat terbaik. Terima kasih atas motivasi dan semangatnya. 7. Teman-teman di kostan Wisma Rizki : Awir, Danang, Wisnu, Caesar, Iqra, Aziz, Anang, Akbar, Dio, Esa, Gogo, Arif, dan Pem. Keluarga besar di ESL 45 dan teman-teman ESL 46 yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terimakasih atas berbagai ilmu, kebersamaan, doa, semangat, bantuan, dan dukungan kalian selama ini. 8. Seluruh Dosen dan Tenaga Pendidikan Departemen ESL yang telah membantu selama penulis menyelesaikan studi di ESL. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu dalam membantu proses persiapan hingga penyusunan skripsi ini. Semoga kebaikan yang telah diberikan mendapat balasan dari Allah SWT. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak khususnya kepada pembuat kebijakan dan perencanaan pembangunan di Kecamatan Ngasem, Kabupaten Kediri Bogor, Maret 2014 As Ad Ali Mutakin

DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR. DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR ISI 9 Halaman viii viii ix I. PENDAHULUAN 1 1.1 Latar Belakang 1 1.2 Perumusan Masalah 3 1.3 Tujuan Penelitian 4 1.4 Ruang Lingkup Penelitian 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 5 2.1 Pembangunan Wilayah 5 2.1.1 Rencana Tata Ruang Wilayah 6 2.1.2 Pemindahan Pusat Kota Kabupaten 9 2.1.3 Central Business District (CBD) 10 2.2 Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya Terhadap Perkembangan Wilayah 12 2.3 Lahan dan Fungsi Utama Lahan 13 2.4 Konversi Lahan 14 2.4.1 Definisi Konversi 14 2.4.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan 16 2.5 land Rent 17 2.5 Penelitian Terdahulu 18 III. KERANGKA PEMIKIRAN 21 3.1 Kerangka Teoritis 21 3.1.1 Teori Konversi Lahan 21 3.1.2 Teori Lokasi 22 3.2 Kerangka Operasional 25 3.3 Hipotesis 28 IV. METODE PENELITIAN 29 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 29 4.2 Metode Penelitian 29 4.3 Jenis dan Sumber Data 29

10 4.4 Metode Pengambilan Sampel 30 4.5 Metode Analisis Data 30 4.5.1 Analisis Deskriptif 31 4.5.2 Analisis Laju Alih Fungsi Lahan 31 4.5.3 Analisis Regresi Linear Berganda 32 V. GAMBARAN UMUM 37 5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian 37 5.1.1 Kabupaten Kediri 37 5.1.2 Kecamatan Ngasem 37 5.2 Gambaran Umum Central Business District Simpang Lima Gumul (CBD SLG) 38 5.2.1 Potensi Kawasan Central Business District 38 5.2.2 Fasilitas Pendukung CBD SLG 39 5.3 Karakteristik Responden 42 5.3.1 Jenis Kelamin 42 5.3.2 Tingkat Umur 43 5.3.3 Tingkat Pendidikan 43 5.3.4 Jenis Pekerjaan 44 5.3.5 Alasan Konversi Lahan 45 VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 47 6.1 Pola dan Karakteristik Alih Fungsi Lahan 47 6.2 Laju Alih Fungsi Lahan Pertanian di Kabupaten Kediri 52 6.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan ditingkat Petani 54 VII. SIMPULAN DAN SARAN 61 7.1 Simpulan 61 7.2 Saran 62 DAFTAR PUSTAKA 63 LAMPIRAN 66

11 DAFTAR TABEL Halaman 1.1 Jumlah penduduk Kabupaten Kediri Tahun 2001-2011 dengan laju pertumbuhannya 2 4.1 Matriks metode analisis data 31 4.2 Selang nilai statistik durbin watson serta keputusannya 34 6.1 Luas alih fungsi lahan sawah tahun 2003-2009 di Kabupaten Kediri 48 6.2 Luas dan Laju Alih Fungsi Lahan Sawah 2009-2011 di Setiap Kecamatan 50 6.3 Luas dan laju alih fungsi lahan sawah di Kabupaten Kediri 53 6.4 Hasil interpretasi koefisien determinasi faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di tingkat petani 56 6.5 Jumlah penduduk Kabupaten Kediri Tahun 2001-2011 dengan laju pertumbuhannya 57 DAFTAR GAMBAR Halaman 3.1 Ilustrasi hubungan antara land rent dengan kapasitas penggunaan lahan 22 3.1 Pengaruh Jarak Terhadap Biaya Transportasi dan Land Rent 23 3.3 Kurva Bid-rent Individu 24 3.4 Alokasi Lahan Permukiman dengan Preferensi yang Relatif Tinggi Terhadap Aksessibilitas 25 3.5 Diagram kerangka pemikiran 27 5.1 Hubungan jenis kelamin dengan pendidikan 42 5.2 Hubungan umur dengan status kependudukan 43 5.3 Hubungan tingkat pendidikan dengan jenis pekerjaan 44 5.4 Hubungan jenis pekerjaan dengan pendapatan 45 5.5 Hubungan alasan menjual lahan dengan pendapatan 46 6.1 Luas Lahan Sawah di Kabupaten Kediri Tahun 2001-2011 47 6.2 Pola Konversi Lahan di Kecamatan Ngasem 51

12 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Kuisioner Penelitian 66 2 Peta Kawasan Strategis Kabupaten Kediri 69 3 Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kediri tahun 2011 dalam RTRW 70 4 Konversi lahan yang dilakukan responden 72 5 Hasil Olahan Data Regresi Linear Berganda Fungsi Faktor- Faktor 73 6 Dokumentasi Kegiatan 76

1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terus meningkat secara fluktuatif memiliki dampak terhadap meningkatnya perkembangan wilayah. Perkembangan suatu wilayah ditandai oleh perkembangan sektor ekonomi dan peningkatan kelengkapan fasilitas-fasilitas pelayanan umum di suatu wilayah, seperti sekolah, pertokoan, industri, dan lain sebagainya. Sejalan dengan itu, wilayah yang mengalami perkembangan menjadi daya tarik berpindahnya penduduk ke wilayah tersebut dan proses ini menyokong pertambahan penduduk secara signifikan. Sejalan dengan perkembangan suatu wilayah dan meningkatnya pertambahan penduduk, kebutuhan akan lahan terus meningkat pesat. Sementara itu ketersediaan lahan pada dasarnya tidak berubah, meskipun kualitas tingkat kesuburannya dapat ditingkatkan. Pada kondisi tersebut maka peningkatan kebutuhan lahan untuk suatu kegiatan produksi akan mengurangi ketersediaan lahan untuk kegiatan produksi lainnya. Hal inilah yang menyebabkan seringnya terjadi benturan dalam penggunaan lahan. Kabupaten Kediri merupakan salah satu wilayah yang mengalami perkembangan wilayah cukup pesat. Hal ini ditandai dengan pembangunan kawasan Central Business District (CBD) Simpang Lima Gumul yang mulai dibuka untuk umum tahun 2008. Pembangunan kawasan Simpang Lima Gumul dimulai pada tahun 2002 dan masih dalam proses penyelesaian pembangunan. Keberadaan kawasan CBD Simpang Lima Gumul memicu perkembangan sektor ekonomi, hal ini dikarenakan infrastruktur yang dibangun untuk mendukung kawasan CBD menjadi daya tarik bagi masyarakat sekitar untuk berkunjung dan juga menjadi daya tarik bagi pengusaha/investor untuk berinvestasi. Semakin berkembangnya pembangunan dan meningkatnya pertambahan penduduk di Kabupaten Kediri, maka lahan yang dibutuhkan untuk kegiatan non pertanian seperti permukiman, perdagangan, dan industri semakin meningkat. Hal tersebut yang menyebabkan sering terjadinya benturan dalam penggunaan lahan. Alih fungsi lahan cenderung tidak dapat dihindari, hal ini disebabkan

2 perkembangan land rent indutri dan permukiman yang lebih tinggi dibandingkan land rent pertanian, yang semakin memicu perubahan tataguna lahan pertanian. Kabupaten Kediri mengalami pertumbuhan penduduk yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Pertambahan penduduk ini menyebabkan keperluan bangunan juga ikut bertambah. Tidak hanya bangunan rumah untuk tempat tinggal, tetapi juga infrastruktur lain yang mendukung masyarakat, seperti sekolah, perkantoran, rumah sakit, dan jalan raya. Adapun gambaran tren peningkatan jumlah penduduk Kabupaten Kediri dapat dilihat pada Tabel 1.1 berikut ini. Tabel 1.1 Jumlah penduduk Kabupaten Kediri Tahun 2001-2011 dengan laju pertumbuhannya tahun Jumlah penduduk (jiwa) Pertambahan penduduk laju penduduk (%) 2001 1.401.130 2002 1.407.921 6.791 0,485 2003 1.415.500 7.579 0,538 2004 1.423.234 7.734 0,546 2005 1.438.783 15.549 1,093 2006 1.445.695 6.912 0,480 2007 1.453.619 7.924 0,548 2008 1.461.566 7.947 0,547 2009 1.475.815 14.249 0,975 2010 1.499.768 23.953 1,623 2011 1.576.160 76.392 5,094 Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Kediri Menurut Santoso (2013) meningkatnya perkembangan wilayah di Kabupaten Kediri dimulai ketika Bupati Kabupaten Kediri yang menjabat saat itu H. Sutrisno (2000-2010) membuat kebijakan untuk memindahkan ibukota Kabupaten Kediri. Pusat pemerintahan Kabupaten Kediri sebelumnya berada di Kota Kediri. Pemindahan pusat pemerintahan Kabupaten Kediri sebelumnya telah lama direncanakan ke Kecamatan Pare, namun rencana tersebut dibatalkan. Akhirnya ibukota Kabupaten Kediri diputuskan berada di Kecamatan Ngasem. Pemilihan Kecamatan Ngasem merupakan jalan tengah dan jawaban dari penolakan pemindahan ibukota kabupaten ke Kecamatan Pare oleh kecamatan lainnya. Pusat pemerintahan di wilayah Kecamatan Ngasem berada di Desa Sukorejo. Kecamatan inilah tempat dibangunnya Central Business District di wilayah Kota Baru Gumul.

3 1.2 Perumusan Masalah Sumberdaya lahan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia karena sumberdaya lahan merupakan salah satu sektor yang diperlukan dalam setiap bentuk aktivitas manusia. Penggunaan lahan pada umumnya tergantung pada kemampuan lahan dan lokasi lahan. Penggunaan lahan untuk daerah-daerah pemukiman, industri dan perdagangan tergantung pada lokasi lahan. Sedangkan untuk pertanian penggunaan lahan tergantung pada tingkat kesuburan lahan tersebut. Lahan yang memiliki tingkat kesuburan bagus dan lokasi yang strategis akan terdapat kompetisi dalam pemanfaatannya. Kompetisi yang terjadi biasanya terdapat pada lahan-lahan subur yang berada di daerah perkotaan maupun di daerah sub urban. Kompetisi dalam pemanfaatan lahan biasanya terjadi antara sektor pertanian dengan sektor lainnya seperti pemukiman, industri maupun perdagangan. Secara umum, sumberdaya lahan akan dimanfaatkan oleh pemiliknya untuk tujuantujuan yang memberikan harapan memperoleh penghasilan yang tertinggi. Pemilik lahan akan menggunakan lahan yang dimilikinya sesuai dengan manfaat penggunaan tertinggi dan terbaik. Penilaian pemilik lahan untuk penggunaan terbaik dan tertinggi tergantung pada orientasi yang ingin dicapai yaitu orientasi ekonomi, sosial maupun lingkungan. Jika penilaian lahan berdasarkan orientasi ekonomi lebih tinggi daripada orientasi lainnya maka lahan akan digunakan untuk pemanfaatan yang memberikan nilai ekonomi tinggi. Pada daerah perkotaan dan sub urban umumnya sektor pertanian terkalahkan oleh sektor pemukiman, industri maupun perdagangan sehingga lahan-lahan pertanian dikonversi menjadi pemukiman, industri maupun perdagangan. Konversi lahan pertanian menimbulkan dampak positif dan negatif. Dampak positif yang dirasakan adalah munculnya kawasan pemukiman baru untuk memenuhi kebutuhan perumahan, peningkatan kegiatan perdagangan serta adanya tambahan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari retribusi dan pajak. Selain dampak positif konversi lahan pertanian juga menyebabkan dampak negatif. Dampak negatif yang dirasakan akibat konversi lahan pertanian antara lain adalah hilangnya kesempatan memproduksi pangan, hilangnya hamparan efektif yang mampu mengurangi air limpasan dan hilangnya fungsi ekologi dari lahan

4 pertanian tersebut. Oleh karena itu, dalam pengelolaan sumberdaya lahan perlu mempertimbangkan banyak aspek. Selain aspek ekonomi dalam pengelolaan sumberdaya lahan juga perlu memperhatikan aspek sosial dan lingkungan. Berdasarkan fenomena yang terjadi, ada beberapa permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, meliputi: 1. Bagaimana pola atau karakteristik alih fungsi lahan di Kabupaten Kediri? 2. Berapakah laju alih fungsi lahan di Kabupaten Kediri? 3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian pada tingkat petani? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah diatas, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengkaji pola atau karakteristik alih fungsi lahan di Kabupaten Kediri. 2. Menghitung laju alih fungsi lahan pertanian di Kabupaten Kediri. 3. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian pada tingkat petani. 1.4 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup memiliki tujuan untuk mengetahui batas penelitian. Wilayah penelitian terletak di Desa Paron, Desa Gogorante dan Desa Sumberejo yang ketiganya masuk dalam administrasi Kecamatan Ngasem dengan populasi penelitian merupakan petani di ketiga desa tersebut. Petani tersebut adalah petani yang mentransaksikan hak kepemilikan lahannya, petani yang melakukan alih fungsi lahannya sendiri dan petani yang tidak melakukan alih fungsi lahan. Alih fungsi lahan yang terjadi berupa perubahan lahan pertanian menjadi fungsi lain yang tidak bisa diubah menjadi lahan pertanian kembali. Lahan pertanian yang dianalisis terbatas pada lahan sawah dan hasil produksi berupa padi, jagung dan tebu. Faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan dilihat dari faktor langsung yang mempengaruhi keputusan petani. Penelitian ini tidak mencakup dampak yang dirasakan petani karena telah melakukan alih fungsi lahan.

5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Wilayah Jayadinata (1999) mendefinisikan wilayah dalam pengertian geografis sebagai kesatuan alam yaitu alam yang serba sama, atau homogen, atau seragam, kesatuan manusia, yaitu masyarakat serta kebudayaannya yang serba sama yang mempunyai ciri (kekhususan) yang khas, sehingga wilayah tersebut dapat dibedakan dari wilayah lain. Menurut Rustiadi dan Anwar (2000), wilayah adalah satu satuan atau unit geografis dengan batas-batas tertentu, dimana bagian bagiannya (sub wilayah) satu sama lain tergantung secara fungsional. Dari pengertian di atas dapat dikatakan pengertian wilayah bersifat relatif yaitu tidak ada batasan yang luas. Oleh karena itu, pembagian wilayah tergantung dari tujuan analisis wilayah tersebut. Dalam konsep wilayah nodal, maka wilayah ditafsirkan sebagai sel hidup yang mengandung inti dan plasma. Inti adalah pusat atau kutub yang berfungsi sebagai pusat konsentrasi tenaga kerja, lokasi industri, dan jasa serta pasar bahan mentah. Plasma mengandung pengertian wilayah belakang (hinterland) yang berfungsi sebagai pemasok tenaga kerja, pemasok bahan mentah, serta pasar dari industri dan jasa. Pertumbuhan penduduk, meningkatnya sarana perhubungan, menurunnya secara relatif sektor pertanian sebagai penopang kehidupan masyarakat petani di perdesaan dan daya tarik kota menyebabkan terjadinya arus urbanisasi dari desa ke kota atau dari daerah belakang atau plasma ke pusat-pusat atau inti. Disisi lain dengan adanya ketersediaan infrastruktur di pusat atau di inti, tenaga kerja yang berlimpah menyebabkan banyak industri bertumbuh di pusat dan wilayah pengenal pinggiran kota inti. Adanya perbedaan pertumbuhan wilayah dalam lingkup suatu negara, menyebabkan dalam suatu kawasan yang lebih luas akan terdapat beberapa macam karakteristik wilayah ditinjau dari aspek kemajuannya, yaitu (1). wilayah maju; (2). wilayah sedang berkembang; (3). wilayah belum berkembang; dan (4). wilayah tidak berkembang. Wilayah maju adalah wilayah yang telah berkembang yang biasanya berfungsi sebagai pusat pertumbuhan, biasanya terdapat pemusatan penduduk, industri, pemerintahan dan sekaligus pasar yang potensial. Selain itu juga dicirikan oleh tingkat

6 pendapatan yang tinggi, tingkat pendidikan dan kualitas sumberdaya manusia yang juga tinggi. Wilayah yang sedang berkembang biasanya dicirikan oleh pertumbuhan yang cepat dan merupakan wilayah penyangga dari wilayah maju, karena itu mempunyai aksesibilitas yang sangat baik terhadap wilayah maju. Wilayah yang belum berkembang dicirikan oleh tingkat pertumbuhan yang masih rendah baik secara absolut, maupun secara relatif, namun memiliki potensi sumberdaya alam yang belum dikelola atau dimanfaatkan. Wilayah ini masih didiami oleh tingkat kepadatan penduduk yang masih rendah. Selain itu wilayah ini belum mempunyai aksesibilitas yang baik terhadap wilayah lain. Struktur ekonomi wilayah ini masih didominasi oleh sektor primer dan biasanya belum mampu membiayai pembangunan secara mandiri. Wilayah yang tidak berkembang dicirikan oleh dua hal : Pertama adalah wilayah tersebut memang tidak memiliki potensi baik potensi sumberdaya alam maupun potensi lokal, sehingga secara alami sulit sekali berkembang dan mengalami pertumbuhan. Kedua adalahwilayah tersebut sebenarnya memiliki potensi baik sumberdaya alam atau lokal maupun keduanya, tetapi tidak dapat berkembang dan tumbuh karena tidak memiliki kesempatan dan cenderung dieksploitasi oleh wilayah yang lebih maju. Wilayah ini dicirikan oleh tingkat kepadatan penduduk yang jarang dan kualitas sumberdaya manusia yang rendah, tingkat pendapatan yang rendah, tidak memiliki infrastruktur yang lengkap dan tingkat aksesibilitas yang rendah. Wilayah yang memiliki sumberdaya yang berlimpah, namun tidak berkembang dicirikan oleh tingkat kebocoran wilayah yang tinggi, dimana manfaat tertinggi dari manfaat sumberdaya alam tersebut dinikmati oleh wilayah lainnya. 2.1.1 Rencana Tata Ruang Wilayah Didalam UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dijelaskan bahwa prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti, daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah, yang ditetapkan dalam Undang-Undang tersebut. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa dalam menangani urusan

7 pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Selain itu penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan antar Daerah dengan Daerah lainnya, dan juga mampu menjamin hubungan yang serasi antar Daerah dengan Pemerintah. Disamping itu karena kemampuan atau kapasitas sumberdaya manusia di daerah relatif masih sangat terbatas. Oleh karena itu perlu pengurangan dominasi perencanaan dari atas yang menuju pemberdayaan perencanaan dari bawah. Walaupun perencanaan dari atas tersebut tidak selalu berarti negatif, namun sudah saatnya dilakukan upaya peningkatan pemberdayaan seluruh lapisan masyarakat dalam proses dan pelaksanaan pembangunan. Hal itu bertujuan agar keterpaduan perencanaan dari atas dengan perencanaan yang datang dari bawah dapat diwujudkan secara optimal. Ditinjau dari kondisi yang ada saat ini, Kabupaten Kediri memiliki wilayah seluas 1.386,05 km 2 dan memiliki kondisi yang beraneka ragam baik sumber daya alam, sumber daya manusia, maupun perkembangan wilayahnya. Oleh karena itu, diperlukan strategi pengembangan kawasan yang baik untuk memacu perkembangan yang terarah dan untuk mengurangi kesenjangan pertumbuhan antar wilayah. Pengarahan perkembangan yang akan datang diupayakan agar pertumbuhan tersebut dapat seoptimal mungkin untuk mendorong perkembangan wilayah dan sektor yang potensial pada setiap wilayah. Perkembangan wilayah dapat di optimalkan bila pada setiap wilayah mempunyai satu pusat dan diharapkan akan dapat mendorong perkembangan sekitarnya melalui proses interaksi wilayah. Dimungkinkan dengan adanya konsep tersebut dapat berjalan dengan baik, maka permasalahan pertumbuhan ekonomi wilayah dan pemerataan hasil pembangunan akan lebih mudah tercapai. Secara konseptual permasalahan ini dapat dilakukan dengan menetapkan struktur tata ruang wilayah yang ideal yaitu dengan menetapkan kota kota kunci. Pada umumnya kota ini memiliki karakter kota terbesar di wilayahnya, lokasinya central, aksesnya bagus dan memiliki sektor atau kegiatan tertentu yang dapat

8 memacu perkembangan pada wilayah sekitarrnya. Kota-kota kunci ini yang nantinya akan menjadi penentu pertumbuhan atau perkembangan bagi wilayah sekitarnya, sehingga perbedaan perkembangan antar wilayah akan dapat dicegah tanpa harus mengesampingkan perkembangan wilayah yang potensial untuk berkembang BAPEDDA (2013). Penetapan kota-kota kunci dalam tata ruang wilayah di Kabupaten Kediri di tetapkan dengan model regionalisasi atau penentuan Sub Satuan Wilayah Pengembangan (SSWP) dan setiap SSWP memiliki wilayah pendukung dan pusat SSWP harus diberi kelengkapan yang berupa penunjang sosial ekonomi dalam pelayanan sub regional. Wilayah pusat juga harus memiliki aksesibilitas yang tinggi pada wilayah sekitarnya dan ke Kediri sebagai pusat SSWP, sedangkan fasilitas sosial ekonomi harus ada pada setiap SSWP. Berdasarkan kondisi yang ada di Kabupaten Kediri, penetapan sistem tata ruang wilayah yang direncanakan adalah dengan membagi wilayah yang ada menjadi 7 (tujuh) wilayah pengembangan dan kegiatan utamanya BAPPEDA (2011) sebagai berikut: 1. SSWP A terdiri dari Kecamatan Grogol, Tarokan dan Banyakan dengan pusat di Kecamatan Grogol. Kegiatan yang akan dikembangkan di wilayah ini antara lain pendidikan, industri kecil/menengah, perdagangan dan pertanian. 2. SSWP B terdiri dari Kecamatan Ngadiluwih, Mojo, Kras, Kandat dan Ringinrejo dengan pusat di Kecamatan Ngadiluwih. Kegiatan yang dikembangkan di wilayah ini antara lain pertanian, perdagangan, pendidikan, pariwisata dan industri kecil/menengah. 3. SSWP C terdiri dari Kecamatan Ngancar dan Wates dengan pusat di Kecamatan Wates. Kegiatan yang akan dikembangkan di wilayah ini adalah pertanian, perhubungan, perdagangan, industri kecil dan pariwisata. 4. SSWP D terdiri dari Kecamatan Ngasem, Gampengrejo, Gurah, Pagu, Kayenkidul dan Plosoklaten dengan pusat di Kecamatan Ngasem. Kegiatan yang akan dikembangkan di wilayah ini antara lain perdagangan, industri, pendidikan, pusat pemerintahan, pemasaran/jasa, pertanian dan pariwisata. 5. SSWP E terdiri dari Kecamatan Pare, Badas, Puncu, Kepung dan Kandangan yang berpusat di Kecamatan Pare. Kegiatan yang akan dikembangkan di

9 wilayah ini antara lain pertanian, Agro industri, perdagangan, pariwisata, perhubungan dan pendidikan. 6. SSWP F yang terdiri dari Kecamatan Papar, Plemahan, Kunjang dan Purwoasri berpusat di Kecamatan Papar dengan kegiatan yang dikembangkan yakni pertanian, perdagangan, Transportasi dan industri. 7. SSWP G terdiri dari Kecamatan Semen yang menuju perbatasan Kota Kediri, dengan pengembangan kegiatan wilayah yakni perdagangan, industri kecil, pariwisata dan pertanian. 2.1.2 Pemindahan Pusat Kota Kabupaten Ibukota Kabupaten merupakan suatu pusat administrasi pemerintahan yang setingkat dengan kota. Di situ ditempatkan kegiatan fungsional pemerintahan yang mengurus dan menyelenggarakan segala kegiatan dan administrasi yang berada di bawahnya yaitu kecamatan. Kecamatan membawahi administrasi dibawahnya yaitu sejumlah kelurahan dan desa. Kabupaten merupakan alat penghubung antar propinsi, antar kabupaten atau kota dalam suatu propinsi dan menjaga kesatuan wilayah administrasinya. Disamping itu Ibukota kabupaten sebagai suatu kota harus dapat berfungsi sebagai pusat pelayanaan bagi kegiatan sosial budaya, sosial ekonomi dan sosial politik suatu wilayah kabupaten. Untuk itu harus mampu menyediakan jasa pelayanaan dalam menunjang fungsi tersebut, dalam artian menyediakan sumber penghidupan dan kehidupan bagi penduduk kota itu sendiri Sugiarto (1995) dalam Indafa`a (2006). Sejalan dengan gerak laju pembangunan saat ini, Kabupaten Kediri tumbuh dan berkembang cepat, baik fisik, perekonomian, sosial, budaya maupun jumlah penduduk. Perkembangan pembangunan di Kabupaten Kediri perlu terus dipacu dengan menumbuhkan pusat-pusat perekonomian di seluruh wilayah, untuk itu perlu diimbangi dengan pengaturan tata ruang wilayah khususnya bagi Ibukota Kabupaten Kediri. Salah satu upaya yang dilakukan adalah memindahkan Ibukota Kabupaten Kediri yang sebelumnya berada di Kota Kediri ke Ngasem selaku pusat seluruh aktivitas pemerintahan dan pembangunan. Sesuai dengan kebijakan pembangunan nasional, dalam rangka pemerataan pembangunan dan keseimbangan pembangunan antar wilayah di Kabupaten Kediri

10 upaya pemindahan pusat pemerintahan dari Kota Kediri ke Ngasem pada dasarnya telah mendapatkan persetujuan prinsip dari Bupati Kediri melalui Surat Nomor 100/3967/2005 tanggal 17 Desember 2005 perihal Pengiriman Dokumen Calon Ibukota Kabupaten Kediri dan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Kediri Nomor 13/DPRD/2005 tanggal 14 Desember 2005 tentang Penetapan Nama dan Peta serta Batas-batas wilayah Calon Ibukota Kabupaten Kediri serta Rekomendasi Gubernur Nusa Tenggara Timur Nomor Pem.135/530/2005 tanggal 15 Desember 2005 mengenai rekomendasi Kecamatan Ngasem sebagai Ibukota Kabupaten Kediri. 2.1.3 Central Business District Menurut Sitohang (1977) dalam Indafa`a (2006) pengertian CBD adalah wadah konsentrasi kegiatan bisnis. Jenis kegiatan tersebut diantaranya perdagangan, kegiatan belanja dan sebagainya, dengan karakteristik penggunaannya lebih banyak untuk kegiatan perkantoran dan pemerintahan. CBD merupakan kawasan yang didalamnya menampung aktifitas yang relatif padat atau kegiatan yang multifungsional. Kegiatan yang berada di dalamnya meliputi diantaranya yang paling menonjol adalah kegiatan perdagangan, jasa dan perkantoran. Central Business District (CBD) atau Daerah Pusat Kegiatan (DPK) adalah bagian kecil dari kota yang merupakan pusat dari segala kegiatan politik, sosial budaya, ekonomi dan teknologi. Central Business District memiliki ciri-ciri yang membedakannya dari bagian kota yang lain, Mulyawan (2010). Ciri-ciri tersebut adalah : a. Adanya pusat perdagangan, terutama sektor retail. b. Banyak kantor-kantor institusi perkotaan. c. Tidak dijumpai adanya industri berat/manufaktur. d. Permukiman jarang, dan kalaupun ada merupakan permukiman mewah(apartemen)sehingga populasinya jarang. e. Ditandai adanya zonasi vertikal yaitu banyak bangunan bertingkat yang memiliki diferensiasi fungsi. f. Adanya pedestrian yaitu suatu zona yang dikhususkan untuk pejalan kaki karena sering terjadi kemacetan lalu lintas. Tetapi zona ini baru ada di negara-negara maju.

11 g. Adanya multi storey yaitu perdagangan yang bermacam-macam dan ditandai dengan adanya supermarket/mall. h. Sering terjadi masalah penggusuran untuk redevelopment/renovasi bangunan. Menurut teori konsentris Burgess (1925) Daerah Pusat Kota (DPK) atau Central Business District (CBD) adalah pusat kota yang letaknya tepat di tengah kota dan berbentuk bundar yang merupakan pusat kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan politik, serta merupakan zona dengan derajat aksesibilitas tinggi dalam suatu kota. DPK atau CBD tersebut terbagi atas dua bagian, yaitu: pertama, bagian paling inti atau RBD (Retail Business District) dengan kegiatan dominan pertokoan, perkantoran, dan jasa; kedua bagian di luarnya atau WBD (Wholesale Business District) yang ditempati oleh bangunan dengan peruntukan kegiatan ekonomi skala besar, seperti pasar, pergudangan, dan gedung penyimpanan barang supaya tahan lama. Dalam era otonomi yang memberlakukan pasar bebas dalam globalisasi ekonomi, Indonesia sebagai negara berkembang mulai berbenah diri, hal ini dapat terlihat di sebagian besar di kota-kota di Indonesia yang berlomba-lomba membangun daerahnya, salah satunya dapat dilihat di CBD Simpang Lima Semarang yang merupakan tren masyarakat Semarang, sebagai tempat kegiatan yang multifungsi dan diperuntukkan sebagai kawasan perdagangan, perkantoran, hunian, pendidikan dan rekreasi. Kawasan CBD Simpang Lima ini merupakan pusat perekonomian terbesar di Kota Semarang yang didukung oleh jalur segitiga perekonomian Bulu, Peterongan, Johar. Keberadaan CBD ini mampu membangkitkan perekonomian kota dan menjadi konsentrasi kegiatan utama yang komplek bagi Kota Semarang. Kawasan menurut Pasal 1 butir 20 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yaitu wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budidaya. Kawasan menurut Pasal 1 butir 21-30 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 terdiri dari : a. Kawasan Lindung b. Kawasan Budidaya c. Kawasan Perdesaan

12 d. Kawasan Agropolitan e. Kawasan Perkotaan f. Kawasan Metropolitan g. Kawasan Megapolitan h. Kawasan Strategis Nasional i. Kawasan Strategis Provinsi j. Kawasan Strategis Kabupaten/Kota Kawasan Simpang Lima Gumul termasuk di dalam kategori kawasan perdesaan (Pasal 1 butir 23 UU Nomor 26 Tahun 2007) yaitu : Wilayah yang mempunyai kegiatan utamanya adalah pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Kawasan Simpang Lima Gumul juga termasuk di dalam kategori kawasan agropolitan (Pasal 1 butir 24 UU Nomor 26 Tahun 2007) yaitu : Kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai system produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan satuan sistem permukiman dan sistem agribisnis. 2.2 Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah Pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk di suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu dibandingkan waktu sebelumnya. Prediksi jumlah penduduk yang akan datang dapat bermanfaat untuk mengetahui kebutuhan dasar penduduk, tidak hanya di bidang sosial dan ekonomi tetapi juga di bidang pemenuhan kebutuhan akan lahan misalnya penggunaan lahan (BPS Indonesia, 2000). Badan Pusat Statistik Indonesia (2000) menyatakan pertumbuhan penduduk suatu wilayah atau negara dapat dihitung dengan membandingkan jumlah penduduk awal (misal P0) dengan jumlah penduduk di kemudian hari (misal Pt). Tingkat pertumbuhan penduduk dapat dihitung dengan menggunakan rumus geometrik. Dengan rumus pertumbuhan geometrik, angka pertumbuhan penduduk (rate of growth) sama untuk setiap tahun, rumusnya:

13 P t = P 0 (1 + r) t Keterangan: P0 = jumlah penduduk awal Pt = jumlah penduduk t tahun kemudian r = tingkat pertumbuhan penduduk t = jumlah tahun dari 0 ke t Menurut Fandeli et al. (2008) perkembangan penduduk menyebabkan pemanfaatan sumber daya alam yang tidak memperhatikan kelestarian. Perkembangan penduduk menyebabkan kebutuhan lahan semakin meningkat dan menyebabkan peralihan fungsi hutan ke penggunaan yang lain. Selanjutnya Sitorus et al. (2010) menyatakan perkembangan jumlah penduduk yang terlalu banyak dapat mengakibatkan penggunaan sumberdaya yang berlebihan. 2.3 Lahan dan Fungsi Utama Lahan Lahan adalah suatu wilayah daratan bumi yang ciri-cirinya mencakup semua tanda pengenal (attributes) atmosfer, lahan, geologi, timbulan (relief), hidrologi dan populasi tumbuhan dan hewan, baik yang bersifat mantap maupun yang bersifat mendaur, serta hasil kegiatan manusia masa lalu dan masa kini, sejauh hal-hal tadi berpengaruh murad (significant) atas penggunaan lahan pada masa kini dan masa mendatang. Jadi, lahan mempunyai ciri alami dan budaya. Menurut Arsyad (2010), penggunaan lahan dibagi ke dalam dua kelompok utama yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan non pertanian. Penggunaan lahan pertanian dibedakan secara garis besar ke dalam peggunaan lahan pertanian seperti tegalan, sawah, kebun karet, hutan produksi, dan sebagainya. Sedangkan penggunaan lahan bukan pertanian dapat dibedakan atas penggunaan kota dan desa (permukiman), industri, rekreasi, dan sebagainya. Barlowe (1978) membagi penggunaan lahan untuk (1) lahan permukiman, (2) lahan industri dan perdagangan, (3) lahan bercocok tanam, (4) lahan peternakan dan penggembalaan, (5) lahan hutan, (6) lahan mineral/pertambangan, (7) lahan rekreasi, (8) lahan pelayanan jasa, (9) lahan transportasi, dan (10) lahan tempat pembuangan. Menurut Barlowe (1978), faktor-faktor yang mempengaruhi pola penggunaan lahan adalah faktor fisik-biologis, faktor pertimbangan ekonomi, dan faktor institusi (kelembagaan). Faktor fisik-biologis berkaitan dengan lingkungan

14 fisik dimana manusia berada. Faktor ini memberikan dukungan sifat-sifat alamyang sesuai dengan letaknya, keadaan bahan penunjang untuk kegiatan manusia, dan komunitas manusia, diantaranya mencakup keadaan geologi, tanah, air, iklim, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan kependudukan. Faktor pertimbangan ekonomi meliputi produktivitas, pemasaran, transportasi, dan kebutuhan yang dicirikan oleh keuntungan, keadaan pasar, dan transportasi. Faktor kelembagaan dicirikan oleh ada tidaknya hukum pertanahan yang berlaku di masyarakat dan tidak bertentangan dengan keadaan sosial budaya serta kepercayaan yang secara empirik dapat diterima dan dilaksanakan oleh masyarakat. Suparmoko (1989) penggunaan lahan oleh masyarakat pada suatu wilayah merupakan pencerminan dari kegiatan manusia pada wilayah yang mendukungnya. Pemanfaatan sumberdaya lahan untuk berbagai penggunaan bertujuan untuk menghasilkan barang-barang pemuas kebutuhan manusia yang terus meningkat sebagai akibat pertambahan penduduk dan perkembangan ekonomi. Saefulhakim dan Nasoetion (1996), menyatakan bahwa penggunaan lahan merupakan suatu proses yang dinamis, perubahan yang terus menerus, sebagai hasil dari perubahan pada pola dan besarnya aktivitas manusia sepanjang waktu. Hal ini mengakibatkan masalah yang berkaitan dengan lahan merupakan masalah yang kompleks. Penggunaan lahan merupakan refleksi perekonomian dan preferensi masyarakat. Berhubung perekonomian dan preferensi masyarakat ini bersifat dinamis sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan dinamika pembangunan, maka penggunaan lahanpun bersifat dinamis bisa berkembang ke arah peningkatan kesejahteraan masyarakat dan juga sebaliknya. 2.4 Konversi Lahan 2.4.1 Definisi Konversi Konversi lahan merupakan perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang membawa dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan tersebut. Alih fungsi lahan dalam artian perubahan atau penyesuaian penggunaan disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang semakin bertambah jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik (Utomo et al. 1992).

15 Menurut Sumaryanto et al. (1994) menjelaskan alih guna lahan dari segi pengembangan sumberdaya merupakan suatu bentuk dari perubahan alokasi sumberdaya antara sektor penggunaan. Akibat struktur trasformasi perekonomian yang mengarah pada semakin meningkatnya peran sektor non pertanian, menyebabkan terjadinya perubahan komposisi besaran dan laju penggunaan sumberdaya (tenaga kerja, modal dan tanah) antar sektor. Lazimnya, sektor-sektor ekonomi dengan pertumbuhan yang tinggi akan diikuti dengan laju penggunaan sumberdaya yang lebih tinggi. Akibatnya relokasi sumberdaya dari sektor pertanian ke non pertanian sangat sulit dihindari. Perkembangan sektor pertanian pada umumnya terjadi pada wilayahwilayah yang berlahan subur. Pada wilayah-wilayah inilah berkembang pusat-pusat pemukiman penduduk sehingga menuntut pemerintah daerah setempat untuk membangun fasilitas-fasilitas umum dan prasarana-prasarana diwilayah tersebut. Adanya pusat pemukiman penduduk, ketersediaan prasarana dan berdasarkan pertimbangan faktor-faktor lokasi, yaitu dekatnya lokasi dengan pemukiman sebagai sumber tenaga kerja, maka penggunan lahan untuk penggunaan non pertanian seperti industri cenderung untuk berkembang di wilayah ini (Nuryati, 1995). Konversi lahan sawah sebenarnya wajar terjadi apabila dilakukan di lahan yang kurang subur, tapi pada kenyataannya konversi lahan sawah dilakukan pada lahan-lahan sawah yang subur dan produktif. Sehingga hal ini dalam jangka yang panjang akan mendatangkan banyak masalah, seperti hilangganya produksi padi yang mengakibatkan swasembada pangan (beras) tidak tercapai, mata pencaharian menjadi berkurang yang dulu bekerja menjadi petani dan buruh tani sekarang menjadi pengangguran karena lahan garapan sudah beralih fungsi ke non pertanian. Sihaloho (2004) menjelaskan bahwa konversi lahan adalah alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian atau dari lahan non pertanian ke lahan pertanian. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dijelaskan bahwa konversi lahan dipengaruhi dua faktor utama, yaitu: 1. Faktor pada aras makro yang meliputi perubahan industri, pertumbuhan pemukiman, pertumbuhan penduduk, intervensi pemerintah, dan kemiskinan ekonomi.

16 2. Faktor pada aras mikro yang meliputi pola nafkah rumah tangga (struktur ekonomi rumah tangga), kesejahteraan rumah tangga (orientasi nilai ekonomi rumah tangga), dan strategi bertahan hidup rumah tangga. 2.4.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Alih fungsi lahan pada dasarnya merupakan hal yang wajar terjadi, namun pada kenyataanya konversi lahan menjadi masalah karena terjadi diatas lahan pertanain produktif. Berdasarkan hal tersebut, Pakpahan (1993) membagi faktor yang mempengaruhi konversi dalam kaitannya dengan petani, yakni faktor tidak langsung dan faktor langsung. Faktor tidak langsung antara lain perubahan struktur ekonomi, pertumbuhan penduduk, arus urbanisasi dan konsistensi implementasi rencana tata ruang. Sedangkan faktor langsung dipengaruhi oleh pertumbuhan pembanguan sarana trasforasi, pertumbuhan lahan untuk industri, pertumbuhan sarana pemukiman dan sebaran lahan sawah. Faktor langsung dipengaruhi oleh faktor tidak langsung, seperti pertumbuhan penduduk akan menyebabkan pertumbuhan pemukiman, perubahan struktur ekonomi ke arah industri dan jasa akan meningkatkan kebutuhan pembanguan sarana trasfortasi dan lahan untuk industri, serta peningkatan arus urbanisasi akan meningkatkan tekanan penduduk atas lahan di pinggiran kota. Alih fungsi lahan menjadi isu penting karena sebagian besar terjadi padalahan pertanian produktif dan adanya indikasi pemusatan penguasaan lahan di satu pihak dan proses fragmentasi lahan di pihak lain (Pakpahan et al, 1993). Konversi lahan pertanian menjadi non pertanian menurut Winoto (2005) disebabkan oleh 5 faktor yaitu: 1. Faktor kependudukan, yaitu peningkatan dan penyebaran penduduk di suatu wilayah. Pesatnya peningkatan jumlah penduduk telah meningkatkan permintaan tanah. Selain itu, peningkatan taraf hidup masyarakat juga turut berperan menciptakan tambahan permintaan lahan. 2. Faktor ekonomi, yaitu tingginya land rent yang diperoleh aktifitas sektor non pertanian dibandingkan dengan sektor pertanian. Rendahnya insentif untuk bertani disebabkan tingginya biaya produksi, sementara harga hasil pertanian relatif rendah dan berfluktuasi. Selain itu karena faktor kebutuhan

17 keluarga petani yang semakin mendesak menyebabkan terjadinya konversi lahan. 3. Faktor sosial budaya, antara lain keberadaan hukum waris yang menyebabkan terfragmentasinya tanah pertanian, sehingga tidak memenuhi batas minimun skala ekonomi usaha yang menguntungkan. 4. Perilaku myopic, yaitu mencari keuntungan jangka pendek namun kurang memperhatikan jangka panjang dan kepentingan nasional secara keseluruhan. Hal ini tercermin dari rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang cenderung mendorong konversi tanah pertanian untuk penggunaan tanah non pertanian. 5. Lemahnya sistem perundang-undangan dan penegakan hukum dari peraturan yang ada. 2.5 Land Rent Rustiadi et al. (2009) menyatakan bahwa land rent merupakan nilai dari kegiatan yang dilakukan pada sebidang lahan yang menghasilkan pendapatan bersih tiap meter persegi per tahun. Land rent adalah nilai surplus ekonomi sebagai bagian dari nilai produk total atau pendapatan total yang ada setelah pembayaran dilakukan untuk semua faktor biaya total (Barlowe, 1986). Nilai land rent yang lebih tinggi dapat menggeser kegiatan usaha yang mempunyai land rent lebih rendah. Hal ini dapat mempengaruhi dinamika perubahan penggunaan lahan. Secara umum aktivitas industri memiliki nilai land rent paling besar kemudian perdagangan, pemukiman, pertanian, dan kehutanan. Keterkaitan nilai land rent dengan perubahan penggunaan lahan sangat erat, karena penggunaan lahan cenderung akan berubah dari aktivitas dengan land rent rendah ke aktivitas dengan land rent yang lebih tinggi. Perubahan penggunaan lahan ini merupakan akibat dari perkembangan nilai land rent usaha non pertanian yang lebih tinggi dari pada land rent pertanian di suatu lokasi yang lebih produktif. Menurut Hardjowigeno et al (1999), lahan paling sedikit mempunyai tiga jenis nilai dalam ekonomi lahan, yaitu : 1. Ricardian Rent, nilai lahan yang berkaitan dengan sifat dan kualitas tanah 2. Locational Rent, nilai lahansehubungan dengan sifat lokasi relatif dari lahan 3. Enviromental Rent, sifat tanah sebagai komponen utama ekosistem

18 Menurut Barlowe (1978) nilai ekonomi lahan dapat dibedakan menjadi dua yaitu : 1. Sewa Lahan (contract rent) sebagai pembayaran dari penyewa kepada pemilik dimana pemilik melakukan kontrak sewa dalam jangka waktu tertentu. 2. Keuntungan usaha (economic rent atau land rent) yang merupakan surplus pendapatan di atas biaya produksi atau harga input lahan yang memungkinkan faktor produksi lahan dapat dimanfaatkan dalam proses produksi. Konsep David Ricardo yang berkaitan dengan sewa atas dasar perbedaan dalam kesuburan lahan terutama pada masalah sewa di sektor pertanian. Teori sewa model Ricardo ditentukan berdasarkan perbedaan dalam kualitas lahan yang hanya melihat faktor-faktor kemampuan lahan untuk membayar sewa tanpa memperhatikan faktor lokasi lahan. Faktor lokasi dalam menetukan nilai sewa lahan diamati oleh Von Thunen yang menemukan bahwa sewa lahan di daerah yang dekat dengan pusat pasar lebih tinggi daripada daerah yang lebih jauh dari pusat pasar. Menurut Von Thunen sewa lahan berkaitan dengan perlunya biaya transport dari daerah yang jauh ke pusat pasar (Suparmoko, 1989) Lahan yang lokasinya dekat pasar oleh masyarakat digunakan untuk daerah pusat kegiatan ekonomi yang akan memberikan pendapatan dan kapasitas sewa yang tinggi untuk berbagai alternatif penggunaan, seperti untuk industri-industri atau kegiatan lain yang lebih menguntungkan. Bila mekanisme pasar terus berlangsung, maka penggunaan lahan yang mempunyai land rent yang lebih besar relatif mudah menduduki lokasi utama dan menekan serta menggantikan posisi penggunaan lahan yang mempunyai land rent yang lebih kecil. Secara umum besaran land rent dari berbagai kegiatan dapat diurutkan dari yang terbesar sebagai berikut : Industri, Perdagangan, Permukiman, Pertanian Intensif, Pertanian Ekstensif (Barlowe, 1978). Hal ini dapat disimpulkan bahwa sektor-sektor yang komersial dan strategis mempunyai land rent yang tinggi. Sehingga sektor-sektor tersebut berada di kawasan strategis. 2.6 Penelitian Terdahulu Astuti, 2011 dalam penelitiannya yang berjudul keterkaitan harga lahan terhadap laju konversi lahan pertanian di hulu sungai Ciliwung Kabupaten Bogor.

19 Tujuan dari penelitian yang dilakukan Astuti (2011) adalah untuk: (1) Mengidentifikasi laju konversi lahan di Kecamatan Cisarua. (2) Menganalisis keterkaitan harga lahan terhadap laju konversi lahan pertanian di Kecamatan Cisarua. (3) Mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi penduduk dalam mengkonversi lahan di hulu sungai. Metode analisis data yang digunakan adalah metode deskriptif dan kuantitatif, analisis kualitatif menggunakan metode linear berganda, analisis kuantitatif menggunakan metode Korelasi Pearson. Hasil dari penelitian yang dilakukan adalah harga lahan di tingkat Kecamatan Cisarua pada tahun 2001-2010 berhubungan positif terhadap konversi lahan. Laju konversi semakin tinggi karena harga lahan di Kecamatan Cisarua lebih murah dibandingkan dengan daerah asal mayoritas pembeli yaitu Jakarta dimana pembeli memiliki keinginan untukberinvestasi. Anugrah, 2005 dalam penelitiannya yang berjudul analisis faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah ke penggunaan pertanian di Kabupaten Tangerang. Tujuan dari penelitian yang dilakukan Anugrah (2005) adalah untuk: (1) mengidentifikasi perkembangan dan pola konversi lahan sawah selama sepuluh tahun terakhir di wilayah Kabupaten Tangerang. (2) mengidentifikasi dampak konversi lahan sawah seiring dengan terjainya pergeseran struktur ekonomi di Kabupaten Tangerang. (3) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya konversi lahan sawah ke penggunan non pertanian di Kabupaten Tanggerang. Metode analisis data yang digunakan adalah metode deskriptif dan kuantitatif. Analisis kuantitatif menggunakan metode linear berganda, Location Quotient (LQ), surplus pendapatan/ tenaga kerja dan elastisitas pendapatan/ tenaga kerja. Hasil dari penelitian yang dilakukan adalah terjadi konversi lahan sebesar 5.407 Ha selama periode 1994-2003 di Kabupaten Tangerang. Rata- rata kehilangan produksi padi per hektar lahan sawah yang terkonversi selama periode 1994-2003 yaitu sebesar 3.588,11 ton per tahun, sedangkan kehilangan nilai produksi yaitu sebesar Rp 48.439.417.500. Hasil perhitungan LQ berdasarkan indikator pendapatan menunjukkan bahwa sektor pertanian merupakan sektor basis dan mampu memberikan nilai surplus pendapatan positif.

20 Utama, 2006 dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah ke penggunan non sawah di Kabupaten Ciberon. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk: (1) mengetahui berapa besar dan laju konversi lahan sawah ke penggunaan non sawah di Kabupaten Cirebon, (2) mengetahui pola konversi lahan sawah dan (3) menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap konversi lahan sawah ke penggunan non sawah di Kabupaten Cirebon. Metode analisis data yang digunakan adalah metode analisis diskritif dan kuantitatif. Analisi regresi digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang yang mempengaruhi konversi lahan sawah menggunankan metode Ordinary Least Square (OLS). Hasil dari penelitian ini adalah laju konversi di Kabupaten Cirebon pada tahun 1990-2004 sebesar 5.877 ha atau sekitar 391,47 ha per tahun. Pola konversi lahan sawah terbesar terjadi pada sawah tada hujan yaitu sebesar 41,54 persen dari luas lahan yang terkonversi. Sedangkan faktor-faktor yang memepengaruh konversi lahan adalah: kepadatan penduduk, produktivitas lahan, kontribusi PDRB non pertanian dan pertumbuhan pajanng aspal jalan. Hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah dalam penelitian ini metode yang akan digunakan untuk mengetahui pola dan laju alih fungsi lahan digunakan metode analisi deskriptif. Sementara itu untuk menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan petani melakukan konversi lahan sawah menggunakan metode analisis regresi linier berganda dan regresi logistic. Lokasi penelitian yang akan dilakukan yaitu berlokasi di Desa Tugurejo, Desa Paron, Desa Gogorante yang masuk dalam administrasi Kecamatan Ngasem, Kabupaten Kediri, Jawa Timur.

21 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Teoritis Kerangka pemikiran teoritis berisi tentang teori-teori yang melandasi dan mendukung penelitian. Teori yang digunakan mencakup hal-hal yang berhubungan dengan pergeseran struktur ekonomi dan konversi lahan sawah. 3.1.1. Teori konversi lahan Menurut Pakpahan (1993) konversi lahan sawah ke penggunaan lain dapat terjadisecara langsung maupun tidak langsung. Konversi lahan sawah secara langsung umumnya terjadi sebagai akibat dari keputusan pemilik lahan sawah untuk mengalihkan lahan tersebut ke jenis pemanfaatan lain, diantaranya di pengaruhi oleh perubahan struktur ekonomi, pertumbuhan ekonomi, arus urbanisasi dan konsistensi implementasi rencana tataruang, sedangkan konversi lahan secara tidak langsung terjadi sebagai akibat makin menurunnya kualitas lahan sawah ataupun makin rendahnya income opportunity dari lahan tersebut secara relatif, diantaranya dipengaruhi oleh pertumbuhan pembangunan sarana transportasi, pertumbuhan kebutuhan lahan untuk industri, pertumbuhan sarana pemukiman dan sebaran lahan pertanian. Dalam masyarakat modern lahan yang memberikan keuntungan lebih tinggi digunakan untuk keperluan industri dan perdagangan jika dibandingkan dengan penggunaan lainnya. Kemudian penggunaan untuk pemukiman, lalu diikuti dengan lahan pertanian, hutan dan yang terakhir adalah berupa lahan tandus. hal terlihat pada gambar 3.1. Apabila disajikan 3 dimensi bentuk itu menyerupai sebuah kerucut dengan pusat kota berada di tengahnya. Dalam pelaksanaannya, ada dua gejala yang muncul jika mekanisme pasar diterapkan Barlowe (1978) 1. Semakin besar land rent maka daya saing penggunaan tanah untuk menduduki prime location semakin besar. 2. Penggunaan tanah yang mempunyai land rent yang lebih besar akan menggeser penggunaan tanah dengan land rent yang lebih kecil.

22 Sumber : Barlowe, 1978 Gambar 3.1. Ilustrasi hubungan antara land rent dengan kapasitas penggunaan lahan Berdasarkan kedua teori diatas maka penggunaan lahan yang memiliki keuntungan komparatif tertinggi seperti perdagangan dan industri mempunyai kapasitas penggunaan lahan yang terbesar, sedangkan sektor pertanian mempunyai keuntungan komparatif yang lebih rendah sehingga alokasi penggunaan lahan untuk pertanian akan semakin kecil. 3.1.2. Teori Lokasi Berdasarkan teori lokasi Von Thunen dalam Suparmoko (1989), bahwa surplus ekonomi suatu lahan banyak ditentukan oleh lokasi ekonomi (jaraknya ke kota). Menurut Von Thunen, bahwa biaya transportasi dari lokasi suatu lahan ke kota (pasar) merupakan input produksi yang penting, makin dekat lokasi suatu lahan ke kota maka makin tinggi aksesibilitasnya atau biaya transport makin rendah, oleh karena itu sewa lahan akan semakin mahal berbanding terbalik dengan jarak. Semakin jauh jarak ke pusat pasar maka biaya transportasi semakin mahal sehingga land rent semakin turun sejalan dengan semakin meningkatnya biaya transportasi. Hal ini dapat diilustrasikan seperti pada Gambar 3.2 Misalkan pada jarak 0 km (tepat di lokasi pasar) biaya transportasi tidak ada, maka biaya total produksi sebesar OC (land rent tinggi), kemudian pada jarak OM biaya transportasi meningkat menjadi BA sehingga biaya total produksi menjadi MA, sehingga land rent-nya menjadi lebih rendah. Pada jarak OK biaya transportasi sebesar UT,

23 sehingga biaya total produksi sebesar KT, pada kondisi demikian tidak mendapatkan surplus. Oleh karena itu land rent berbanding terbalik dengan jarak, semakin besar jarak maka land rent semakin kecil. land rent (Rp) land rent (Rp) P T Land rent A C B Biaya transport U O M K O L K Jarak ke pasar (Km) Jarak ke pasar (Km) keterangan gambar : 0 : Pusat pasar P : Harga produk C : Biaya produksi M, K, L : Jarak Sumber : Yunus 2004 Gambar 3.2. Pengaruh Jarak Terhadap Biaya Transportasi dan Land Rent Teori lokasi lahan juga dapat ditunjukkan menurut McCann (2001) yang menjelaskan bahwa dalam rangka membangun sebuah kurva Bid-rent, diasumsikan bahwa titik M merupakan pusat bisnis atau pusat kota. Sementara itu D merupakan jarak yang harus ditempuh seseorang dari permukiman menuju tempat kerja atau pusat kota. Selain itu, diasumsikan bahwa perjalanan seseorang menuju titik M akan menimbulkan biaya transportasi. Model Bid-rent dapat menunjukkan jarak permukiman dari pusat kota. Secara empiris, jika jarak permukiman semakin jauh dari pusat kota, maka sewa lahan akan lebih rendah karena semakin besarnya biaya transportasi yang harus dikeluarkan seseorang untuk menuju pusat kota tersebut. Beberapa kurva Bid-rent individu dapat menunjukkan tingkat utilitas yang berbeda antara individu dengan individu lainya. Perbedaan utilitas tersebut disebabkan oleh kendala dalam anggaran yang dimiliki setiap individu. Dimana

24 tingkat utilitas masing-masing individu akan berbeda untuk setiap tingkat pendapatan. Perbedaan tingkat utilitas U individu yang digambarkan oleh kurva Bid-rent BR1, BR2 dan BR3 dimana kurva BR3 menunjukkan tingkat utilitas tertinggi, atau dapat ditulis dengan U(BR1) < U( BR2) < U( BR3). Pernyataan tersebut ditunjukkan pada gambar 3.3 Rent/m 2 BR1 BR2 BR3 M D (jarak dalam meter) keterangan gambar : BR1 : Utilitas Bid rent 1 BR2 : Utilitas Bid rent 2 BR3 : Utilitas Bid rent 3 Sumber : McCann (2001) Gambar 3.3. Kurva Bid-rent Individu Menurut McCann (2001) alokasi lahan permukiman dengan preferensi yang relatif tinggi terhadap asessibilitas. Dalam kondisi tertentu, elastisitas pendapatan terhadap permintaan asksessibilitas lebih tinggi dibandingkan elastisitas pendapatan terhadap permintaan ruang. Kelompok dengan pendapatan menengah akan memilih untuk tinggal di daerah yang berdekatan dengan pusat kota. Sedangkan kelompok dengan pendapatan tinggi akan lebih memilih untuk tinggal di pusat kota. Hal ini berdasarkan elastisitas pendapatan masing-masing kelompok terhadap permintaan asksessibilitas. Kondisi ini dapat dilihat pada gambar 3.4.

25 Rent/m 2 W Kurva Bid rent berpendapatan tinggi Kurva Bid rent berpendapatan menengah Kurva Bid-rent berpendapatan rendah M dh dm d1 d (jarak dalam meter) Sumber : McCann (2001) Gambar 3.4. Alokasi Lahan Permukiman dengan Preferensi yang Relatif Tinggi Terhadap Aksessibilitas Gambar tersebut menunjukkan bahwa kelompok yang memiliki pendapatan tinggi akan memilih tinggal di daerah yang memiliki jarak sebesar dh dari pusat kota M. Kelompok yang berpendapatan menengah akan tinggal di daerah yang berdekatan dengan perbatasan dh. Jarak lahan permukiman kelompok yang berpendapatan menengah adalah sebesar dm dari pusat kota M. Sementara itu kelompok yang berpendapatan rendah akan menempati wilayah pinggir kota yang memiliki jarak sebesar d1 dari puast kota M. Semakin dekat dengan pusat kota maka harga lahan semakin tinggi jika dibandingkan harga lahan yang jauh dari pusat kota. Hal ini karena aksessibilitas terhadap lahan tersebut. 3.2. Kerangka Operasional Pemindahan ibukota kabupaten merupakan salah satu cara pemerintah kabupaten memperbaiki pelayanan kepada masyarat di kabupaten tersebut. Pemindahan ini akan mendorong pemerintah kabupaten untuk membangun infrastruktur, sarana dan prasarana yang membantu kelancaran kegiatan pemerintahan di kabupaten. Pembangunan Central Business Districk (CBD) di ibukota kabupaten akan mempercepat pertumbuhan ekonomi di kecamatan terpilih dalam kabupaten tersebut. Jika hal itu diimbangi dengan perencaan tata guna lahan

26 dalam Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang mendukung pembangunan kawasan, maka akan semakin mempercepat pembangunan ditingkat kabupaten. Perkembangan sektor ekonomi di suatu kawasan mendorong perubahan penggunaan lahan di kawasan tersebut. Hal ini mendorong perubahan penggunaan sumberdaya lahan ke penggunaan yang memberikan nilai ekonomi lebih tinggi. Lahan yang awalnya berupa lahan pertanian diubah menjadi bentuk lain yang memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi. Selain itu, pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat menyebabkan kebutuhan akan tempat tinggal serta sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup juga ikut meningkat. Keberadaan lahan yang relatif tetap memaksa lahan pertanian untuk dialihfungsikan menjadi bentuk lain berupa pemukiman dan infrastruktur kependudukan. Alih fungsi lahan pertanian merupakan tuntutan terhadap pembangunan di sektor non pertanian. Adanya alih fungsi lahan dari pertanian ke non pertanian ini dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor ditingkat petani secara langsung mempengaruhi keputusan petani untuk mengalihfungsikan atau menjual lahan yang dimilikinya. Faktor di tingkat wilayah dalam bentuk penetapan pola penggunaan lahan dalam RTRW mempengaruhi penggunaan lahan secara langsung maupun tidak langsung.

27 Pembangunan Wilayah Peningkatan Jumlah Penduduk Rencana Tata Ruang Wilayah Pembangunan CBD Pemindahan Ibukota Kabupaten Tingkat Kelahiran Urbanisasi Peningkatan Kebutuhan Penggunaan lahan Pemindahan Hak Kepemilikan Lahan Konversi lahan Pola dan Laju Alih Fungsi Lahan Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan ditingkat Petani Analisis Regresi Linear Berganda Simpulan dan Saran Keterangan Batasan penelitian aliran Gambar 3.5 Diagram kerangka pemikiran Gambar

28 3.3.Hipotesis Berdasarkan landasan teori dan kajian penelitian terdahulu tentang konversi lahan, maka disusun hipotesis dari penelitian sebagai berikut ini: 1. Pemanfaatan lahan non pertanian memberikan nilai keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan lahan pertanian. Hal ini menyebabkan petani pemilik lahan cenderung untuk mengalihfungsikan lahan pertanian mereka ke non pertanian yang lebih menguntungkan secara ekonomi. 2. Jumlah tanggungan petani adalah jumlah orang yang untuk keperluan hidupnya dibiayai oleh petani. Semakin banyak jumlah tanggungan petani maka petani semakin membutuhkan dana untuk memenuhi kebutuhannya. Menjual lahan adalah satu cara mendapatkan tambahan dana untuk mencukupi kebutuhan hidup yang ditanggung petani. Oleh karena itu jumlah tanggungan berpengaruh positif pada laju konversi lahan. 3. Jarak lahan pertanian dari pusat kegiatan berpengaruh negatif terhadap laju konversi lahan. Menurut teori konsentris semakin menuju ke pusat maka aktifitas ekonomi akan semakin padat. Semakin dekat dengan pusat kawasan maka demand akan kepemilikan lahan semakin meningkat. Demand kepemilikan lahan yang tinggi mempengaruhi harga dari lahan tersebut. Semakin tinggi harga lahan pertanian maka keinginan petani untuk menjual lahan semakin tinggi karena akan mendatangkan keuntungan. 4. Semakin luas lahan yang dimiliki petani akan mengakibatkan petani akan semakin kesulitan untuk mengelola seluruh lahannya. Mengurangi jumlah lahan dengan cara menjualnya, membantu petani meringankan pengelolaan lahan. Selain mempermudah pengelolaan petani akan mendapatkan uang dengan lebih instan dari pada menunggu waktu panen. Oleh karena itu luas lahan pertanian berpengaruh positif pada laju konversi lahan.

29 IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di tiga desa yang berbatasan langsung dengan kawasan Central Business District (CBD) Simpang Lima Gumul. Pemilihan lokasi tersebut dilakukan secara sengaja (purposive) yang disesuaikan dengan tujuan penelitian. Pertimbangan memilih lokasi karena desa tersebut termasuk desa yang berkategori cukup padat yang letaknya berbatasan langsung dengan CBD. Desa tersebut adalah Desa Gogorante, Desa Paron dan Desa Tugurejo yang masuk dalam administrasi Kecamatan Ngasem, Kabupaten Kediri. Pengambilan data primer dilaksanakan dari bulan Juni hingga September 2013. 4.2 Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei dengan wawancara menggunakan kuesioner kepada dua jenis responden. Untuk menentukan faktorfaktor yang mempengaruhi konversi lahan pada tingkat petani respondenya adalah petani yang melakukan konversi lahan, petani yang tidak melakukan konversi lahan, dan petani yang mentransaksikan kepemilikan lahan. Untuk menganalisis pola, karakteristik dan juga laju konversi lahan di Kabupaten Kediri menggunakan data hasil wawancara dan data sekunder dari instansi terkait (BAPPEDA, BPN, Dinas Pertanian, DISPENDA, BPS) dan tokoh masyarakat. Metode ini memerlukan alat bantu kuesioner yang digunakan sebagai instrumen penelitian. Kuesioner merupakan lembaran yang berisi beberapa pertanyaan dengan struktur yang baku (Prasetyo dan Jannah 2005). 4.3 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data cross section. Data dikumpulkan ini dalam suatu waktu tertentu. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari responden melalui survei langsung/wawancara dengan menggunakan kuesioner. Data primer digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan di tingkat petani. Data sekunder diperoleh dari BAPPEDA, DISPENDA, Badan Pusat Statistika (BPS), Dinas Pertanian, Kantor

30 Kecamatan Ngasem, buku bacaan, perpustakaan, dan literatur-literatur yang relevan dengan penelitian serta internet. Data sekunder digunakan untuk mengetahui laju alih fungsi lahan. 4.4 Metode Pengambilan Sampel Pengambilan sample dilakukan dengan menggunakan metode snowball sampling. Teknik snowball sampling merupakan bentuk dari non probability sampling method. Metode ini dipilih karena jumlah populasi yang akan diteliti tidak diketahui secara pasti. Cara ini dilakukan dengan mencari sample pertama dan mewawancarainya. Setelah itu peneliti meminta sample pertama tadi untuk menunjukan orang lain yang kira-kira bisa dijadikan sample yang sesuai dengan kriteria yang diinginkan dan begitu pula seterusnya. Dalam hal ini populasi yang akan diteliti tidak memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sample. Responden dalam penelitian ini terbagi dalam dua kategori, yaitu petani dengan lahan usaha taninya pernah dialihfungsikan dan petani yang pernah mentransaksikan hak kepemilikan lahannya. Petani tersebut dipilih karena dianggap tahu seluk-beluk produksi sawahnya dan mempunyai kekuasaan untuk mengalihfungsikan lahan miliknya. Penelitian ini telah dilaksanakan dengan mengambil responden sebanyak 30 orang. Penetapan sample ini didasarkan pada pendapat Juanda (2009) yang menyatakan, bahwa jika tidak ada informasi mengenai ragam dari populasi maka ukuran sample minimum yang menggunakan analisis data statistik adalah 30 responden dimana populasi di anggap menyebar normal. 4.5 Metode Analisis Data Tujuan dari analisis data adalah menarik kesimpulan dari data yang dikumpulkan oleh peneliti ke dalam bentuk yang lebih mudah untuk diinterpretasikan. Metode analisis data dalam penelitian ini disajikan dalam bentuk matriks. Matriks metode analisis data dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Matriks metode analisis data No Tujuan Sumber Data Metode Analisis Data 1 Mengkaji pola atau Badan Pusat Statistik dan Analisis deskriptif karakteristik alih fungsi wawancara dengan tokoh lahan di Kabupaten Kediri. 2 Menghitung laju alih fungsi lahan pertanian di Kabupaten Kediri. 3 Mengidentifikasi faktorfaktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian pada tingkat petani. Sumber : Data primer diolah, 2013 masyarakat dan petani Badan Pusat Statistik Kabupaten Kediri Dinas Pertanian Kabupaten Kediri dan wawancara dengan petani 31 Analisis laju alih fungsi lahan Analisis regresi linier dan analisis regresi logistik Analisis data dilakukan menggunakan alat bantu program komputer Microsoft Office Exel 2007 dan Statistical Program Service Solution (SPSS) 16.0. 4.5.1 Analisis Deskriptif Analisis deskriptif merupakan metode pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat mengenai masalah-masalah yang ada dalam masyarakat, tata cara yang berlaku, serta situasi-situasi tertentu termasuk tentang hubungan, kegiatan, sikap, pandangan, serta proses yang sedang berlangsung dan pengaruh dari suatu fenomena. Dengan Menggunakan analisis deskriptif, maka akan diperoleh gambaran mengenai pola atau karakteristik dan faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian di Kabupaten Kediri. 4.5.2 Analisis Laju Alih Fungsi Lahan Menurut Astuti (2011), persamaan penyusutan lahan digunakan dalam perhitungan laju alih fungsi lahan pertanian. Laju alih fungsi lahan dapat ditentukan dengan cara menghitung laju penyusutan lahan secara parsial. Laju penyusutan lahan secara parsial dapat dijelaskan secara berikut: V = L t L t 1 L t 1 x100%... (1) dimana: V = Laju penyusutan lahan (%) Lt = Luas lahan tahun ke-t (m²) Lt-1 = Luas lahan tahun sebelum t (m²) Laju alih fungsi lahan dapat ditentukan melalui selisih antara luas lahan tahun ke-t dengan luas lahan tahun sebelum t (t-1). Kemudian dibagi dengan luas

32 tahun sebelum t tersebut dan dikalikan dengan 100 persen. Hal ini dilakukan juga pada tahun-tahun berikutnya sehingga diperoleh laju alih fungsi lahan setiap tahun. Nilai V<0 berarti bahwa luas lahan tersebut mengalami penyusutan. 4.5.3 Analisis Regresi Linear Berganda Dalam mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi penurunan lahan akibat alih fungsi lahan pertanian digunakan model analisis regresi linear berganda. Analisis regresi adalah sebuah alat analisis statistik yang memberikan penjelasan tentang pola hubungan (antara dua variabel atau lebih). Tujuan dari analisis regresi ini adalah meramalkan nilai rata-rata satu variabel. Metode ini sebenarnya menggambarkan hubungan antara peubah bebas atau independent (Y) dengan peubah tak bebas atau dependent (X). Persamaan model regresi linear berganda untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan adalah sebagai berikut : Y = α + β 1 JT β 2 JCBD + β 3 HLPP β 4 PDSP + β 5 LLDS + ε... (2) dimana: Y = Luas lahan pertanian yang terkonversi (m²) α = Intersep βi JT = Koefisien regresi = Jumlah tanggungan (jiwa) JCBD = Jarak dari pusat CBD (m) HLPP = Harga lahan permeter persegi (Rp/m²) PDSP = Pendapatan dari sektor pertanian (dalam seribu Rp/bulan) LLDS = Luas lahan dimiliki sebelumnya (m²) ε = Error Term/Residual Hipotesis yang dibangun dalam penelitian ini terkait variabel-variabel yang diduga berpengaruh terhadap kegiatan alih fungsi lahan di tingkat petani adalah: 1. Jumlah tanggungan (JT) adalah jumlah orang yang untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya ditanggung oleh petani. Jumlah orang yang harus ditanggung petani dianggap mempengaruhi keputusan untuk menjual lahan. karena semakin banyak jumlah tanggungannya maka petani semakin membutuhkan uang.

2. Jarak dari CBD (JCBD) adalah jarak lahan pertanian yg dikonversi atau ditransaksikan dengan pusat kawasan CBD yaitu Monumen Simpang Lima Gumul. Menurut Von Thunen semakin jauh dari pusat maka land rent dari lahan akan semakin berkurang. Hal ini karena aktivitas terpusat di pusat CBD. 3. Harga lahan permeter persegi (HLPP) adalah harga lahan per/meter persegi. Harga permeter diduga mempengaruhi keputusan menjual atau mengkonversi lahan. Karena semakin tinggi harga lahan maka permintaan akan lahan semakin menurun, sehingga mempengaruhi jumlah luas lahan yang ditransaksikan. 4. Pendapatan dari sektor pertanian (PDSP) adalah pendapatan dari pertanian tanpa dikurangi biaya produksi pertanian dan banyaknya output yang dikonsumsi. Semakin tinggi pendapatan sektor pertanian maka penerimaan petani akan meningkat sehingga hal ini berpengaruh terhadap keputusan untuk menjual atau mengkonversikan lahan. 5. Luas lahan dimiliki sebelumnya (LLDS) adalah luas lahan petani sebelum menjual lahan sawahnya. Semakin banyak luas lahan yang dimiliki sebelumnya maka kemampuan petani untuk mengelola seluruh lahannya akan berkurang. Sehingga hal ini berpengaruh terhadap keputusan untuk menjual atau mengkonversikan lahan. 4.5.4 Pengujian Parameter Regresi Pengujian statistik terhadap model yang dapat dilakukan adalah : 1. Uji Koefisien Determinasi yang Disesuaikan (Adj-R 2 ) Penambahan variabel bebas akan menyebabkan bertambahnya nilai R 2. Permasalahan tersebut dapat diselesaikan dengan menghitung Adj-R 2. Adj-R 2 adalah koefisien determinasi yang telah disesuaikan, sehingga penambahan nilainya menjadi terbebas dari pengaruh penambahan jumlah variabel bebas. Arti dari nilai Adj-R 2 secara harfiah sama dengan nilai R 2, hanya saja Adj-R 2 lebih tepat karena telah menghilangkan pengaruh dari jumlah variabel. Adj-R 2 dapat dirumuskan sebagai berikut: Adj-R 2 = 1 Dimana: RSS = Residual of Sum Square TSS = Total of Sum Square RSS (n K 1) TSS (n 1) 33

34 n K = jumlah observasi = jumlah koefisien 2. Uji Koefisien Regresi Menyeluruh (F) Uji F dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas secara bersamasama terhadap variabel terikat. Adapun prosedur yang digunakan : H0 : β1 = β2 = β3 =... = βi = 0 H1 : minimal ada satu βi 0 F hit = Dimana: JKR = Jumlah Kuadrat Regresi JKG = Jumlah Kuadrat Galat/Residual k = Jumlah variabel terhadap intersep n = Jumlah pengamatan (sample) JKR (k 1) JKG (n k) Apabila Fhit < Ftab maka H0 diterima yang berarti bahwa variabel bebas secara keseluruhan tidak berpengaruh nyata terhadap variabel terikat. Sedangkan apabila Fhit > Ftab maka H0 ditolak yang berarti bahwa variabel bebas berpengaruh nyata terhadap variabel terikat. 3. Uji Koefisien Regresi Parsial (t) Uji t dilakukan untuk menghitung koefisien regresi masing-masing variabel bebas sehingga dapat diketahui pengaruh masing-masing variabel bebas terhadap variabel terikat. Menurut Gujarati (2002), adapun prosedur pengujiannya: H0 : β1 = 0 H1 : β1 0 Dimana: b = parameter pendugaan βt = parameter hipotesis Seβ = standar error parameter β t hit = b β t Seβ Jika thit < ttabel α/2, maka H0 diterima, artinya variabel bebas yang diuji tidak berpengaruh nyata terhadap variabel terikat. Namun, jika thit > ttabel α/2, maka H0 ditolak, artinya variabel bebas yang diuji berpengaruh nyata terhadap variabel terikat.

35 Pengujian asumsi klasik terhadap model yang dapat dilakukan adalah : 1. Uji Normalitas Uji normalitas bertujuan untuk melihat apakah pada model tersebut residual terdistribusi normal atau tidak. Model yang baik harus mempunyai residual yang terdistribusi normal atau hampir normal. Uji yang dapat digunakan adalah dengan membuat histrogram normalitas. Nilai probality yang lebih besar dari taraf nyata α menandakan residual terdistribusi secara normal. 2. Uji Heterokedastisitas Homoskedastisitas adalah salah satu asumsi pendugaan metode kuadrat terkecil dengan ragam galat konstan dalam setiap amatan. Pelanggaran atas asumsi homoskedastisitas adalah heteroskedastisitas. Uji heteroskedastisitas digunakan untuk mengetahui varians residual (error) apakah konstan atau tidak. Menguji asumsi heteroskedastisitas dapat dilihat dari gambar scatterplot (Yamin dan Kurniawan 2009). Selain itu, dapat digunakan uji Gletjer yang meregresikan antara variabel independen dengan nilai absolut residualnya. Hipotesis yang digunakan adalah sebagai berikut : H0 : homoskedastisitas H1 : heteroskedastisitas Tidak terjadi pelanggaran asumsi heteroskedastisitas jika nilai probabilitas (pvalue) lebih dari alpha maka terima H0. 3. Uji Autokolerasi Uji autokorelasi dilakukan untuk melihat ada atau tidaknya korelasi antara residual dengan residual lain. Uji yang digunakan untuk mendeteksi autokorelasi adalah uji DW (Durbin Watson test). Nilai statistik DW berada diantara 1,55 dan 2,46 maka menunjukkan tidak ada autokorelasi (Firdaus 2004). Tabel 4.2 merupakan selang nilai statistik DW serta keputusannya. Tabel 4.2 Selang nilai statistik durbin watson serta keputusannya Hipotesis nol Keputusan Jika tidak ada autokorelasi positif Tolak 0 < d < dl tidak ada autokorelasi positif tidak ada keputusan dl d du tidak ada autokorelasi negatif Tolak 4-dl < d <4 tidak ada autokorelasi negatif tidak ada keputusan 4-du d 4-dl tidak ada autokorelasi positif dan negatif jangan tolak du < d < 4-du Sumber : Gujarati 2007b

36 Cara mendeteksi autokorelasi apabila nilai DW mendekati 2 maka pelanggaran asumsi autokorelasi tidak terjadi. Nilai statistik uji ini adalah : keterangan : ρ = korelasi antar residual DW 2 (1 - ρ) Tidak ada autokorelasi jika ρ sama dengan nol sehingga apabila nilai DW mendekati 2 maka nilai ρ mendekati nol. Artinya, apabila nilai DW mendekati 2 maka autokorelasi tidak terjadi. 4. Uji Multikolinearitas Multikolinearitas adalah adanya hubungan linear sempurna antar variabel bebas dalam suatu model. Hal ini terjadi jika nilai R 2 tinggi namun banyak variabel yang tidak signifikan dari uji t. Suatu model yang mempunyai sifat ini maka interpretasi dari model tersebut akan menjadi sulit. Salah satu cara untuk mendeteksi adanya multikolinearitas yaitu dengan melihat nilai VIF (Variance Inflation Factor) dari masing-masing variabel. Jika nilai VIF > 10 maka terjadi masalah multikolinearitas yang serius.

37 V. GAMBARAN UMUM 5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Lokasi yang dipilih untuk analisis dalam penelitian ini yaitu di Kecamatan Ngasem, Kabupaten Kediri. Daerah tersebut dipilih karena keberadaan kawasan CBD yang mempengaruhi tingginya alih fungsi lahan akibat pembangunan industri dan pemukiman. Kecamatan Ngasem merupakan salah satu Kecamatan di Kabupaten Kediri. Kecamatan tersebut merupakan Kecamatan dengan basis pertanian, Namun dalam RTRW Kabupaten Kediri Kecamatan tersebut termasuk dalam wilayah yang akan diperuntukan untuk pemukiman dan industri. 5.1.1 Kabupaten Kediri Kabupaten Kediri merupakan bagian dari provinsi Jawa Timur dan beribukota di Kecamatan Ngasem. Kabupaten Kediri berada pada posisi 111 o 47 05 112 o 18 20 Bujur Timur dan 7 o 36 12 8 o 00 32 Lintang Selatan. Kondisi topografi terdiri dari dataran rendah dan pegunungan yang dilalui aliran sungai Brantas yang membelah dari selatan ke utara. Kabupaten Kediri diapit oleh lima kabupaten yaitu Tulungagung (disebelah Barat-Selatan), Nganjuk (Barat- Utara), Jombang (Utara-Timur), Malang (Timur), dan Blitar (Selatan). Kabupaten ini memiliki luas wilayah sebesar 138.605 ha dengan jumlah penduduk sekitar 1.576.160 jiwa. Luas lahan sawah 47.166 hektar dan lahan non sawah 91.439 hektar. Wilayah tersebut terdiri atas 26 kecamatan, satu kelurahan, dan 343 desa. 5.1.2 Kecamatan Ngasem Kecamatan Ngasem merupakan pecahan dari Kecamatan Gampengrejo. Kecamatan Ngasem resmi dibentuk sejak 1 januari 2009. Luas wilayah Kecamatan Ngasem adalah 22.09 km 2. Kecamatan Ngasem terdiri dari 12 desa, 19 dusun, 73 rukun warga dan 346 rukun tetangga. Semua desa terletak di daerah dataran rendah. Batas wilayahnya di sebelah barat Kota Kediri dan Kecamatan Gampengrejo, sebelah utara Kecamatan Pagu, sebelah timur Kecamatan Gurah, dan sebelah selatan dengan Kota Kediri.

38 Penduduk Kecamatan Ngasem pada akhir tahun 2011 sejumlah 63.601 jiwa terdiri dari 31.692 laki-laki dan 31.909 perempuan. Jumlah rumah tangga 18.447 dengan kepadatan penduduk yaitu 2.913 jiwa per/km 2. Penelitian ini dilakukan di tiga desa dari dua belas desa yang masuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Ngasem. Tiga desa tersebut dipilih secara sengaja karena merupakan desa yang berbatasan langsung dengan kawasan CBD. Ketiga desa tersebut adalah : 1. Desa Gogorante memiliki luas wilayah 1.71 km 2 terbagi dalam 8 RW dan 25 RT. Jumlah penduduk di Desa Gogorante berjumlah 4.219 jiwa. 2. Desa Paron memiliki luas wilayah 1.59 km 2 terbagi dalam 8 RW dan 23 RT. Jumlah penduduk di Desa Paron berjumlah 3372 jiwa. 3. Desa Tugurejo memiliki luas wilayah 2.81 km 2 terbagi dalam 9 RW dan 35 RT. Jumlah penduduk di Desa Tugurejo berjumlah 5.054 jiwa. 5.2 Gambaran Umum Central Business District Simpang Lima Gumul Kawasan CBD berada di Kecamatan Ngasem, dengan Monumen Simpang Lima Gumul sebagai pusatnya. Kawasan CBD sebelum dibangun merupakan lahan pertanian dan perkebunan yang status kepemilikanya di bawah pemerintah Kabupaten Kediri, sehingga memungkinkan untuk pengembangan Ibukota Kabupaten Kediri. Secara lokal, Kecamatan Ngasem keberadaanya berbatasan antara Kota Kediri dan Kecamatan Gurah yang memiliki potensi daerah perdagangan. 5.2.1. Potensi kawasan Central Business District Simpang Lima Gumul Sebagai daerah pusat kegiatan, CBD Simpang Lima Gumul Kabupaten Kediri memeliki potensi untuk dikembangkan, potensi kawasan CBD Simpang Lima Gumul yaitu : 1. Posisi Kawasan sebagai kawasan pembangunan, daerah Simpang Lima Gumul mempunyai potensi yang amat besar untuk dikembangkan menjadi daerah pusat perdagangan, ini terkait dengan posisi dan letak Simpang Lima Gumul mempunyai akses yang bagus dengan daerah lain, seperti Kabupaten Blitar dan Kabupaten Tulungagung. Hal ini bisa dilihat pada peta kawasan strategis pada lampiran. 2.

39 2. Permukiman terletak menyebar di sepanjang koridor Jalan arah Kediri-Pare dan dibelakang wilayah perencanaan Jalan Arca totok kerot dengan masyarakat pekerja pabrik atau buruh. Adanya jalan raya Simpang Lima yang merupakan titik pertemuan dan jalan utama, sehingga daerah ini ramai dan sering dilalui. 3. Pendidikan yang ada disekitar kawasan yaitu Sekolah Dasar dan taman kanakkanak, berada di sekitar jalan yang menuju Plosoklaten. Pendidikan banyak di daerah Kota Kediri, sehingga kawasan ini merupakan kawasan yang sering dilalui untuk aktifitas pendidikan. 4. Perkantoran di sekitar kawasan terdapat kantor pertanian yang berada berseberangan dengan kawasan perencanaan. Kantor dan gedung bulog terdapat di sebelah Barat kawasan yang dibatasi oleh sungai. Sedangkan kantor kabupaten berada ± 1 km sebelah Barat dari wilayah perencanaan. 5. Perdagangan sepanjang jalan utama didominasi oleh kegiatan perdagangan dan jasa. Fasilitas perdagangan yang ada berupa toko serba ada, restaurant, ruko dan Pasar berada ± 1Km sebelah selatan kawasan 6. Usaha perdagangan dan industri rumah tangga seperti makanan, pakaian, mebel, kerajinan yang menjadi keuntungan tersendiri bagi daerah ini. Kabupaten Kediri merupakan penghasil pertanian yang hasilnya banyak diambil oleh pedagang luar kota, seperti Surabaya, Solo, Jakarta dan lain-lain yang proses penjualannya banyak menyebar di pasar-pasar tradisional. Berdasarkan potensinya kawasan CBD Simpang Lima Gumul diperlukan untuk mewadahi kegiatan perdagangan dan bisnis. 5.2.2. Fasilitas pendukung Central Business District Simpang Lima Gumul Simpang Lima Gumul sebuah CBD yang pada umumnya sebagai tempat berdirinya pusat pemerintahan, perdagangan dan jasa harus memenuhi berbagai syarat dalam hal fasilitas fisik yang dibangun. Menurut RTRW Kabupaten Kediri (2003) pusat pelayanan berskala kota harus meliputi fasilitas pendidikan, kesehatan, perdagangan dan jasa, peribadatan, serta olahraga yang melayani tingkat kota atau wilayah perencanaan. Fasilitas yang ada di Monumen Simpang Lima Gumul sebagai CBD adalah sebagai berikut: 1. Monumen Simpang Lima Gumul (SLG), adalah icon dari CBD Kabupaten Kediri. Monumen ini juga merupakan icon Kabupaten Kediri. Bentuk dan

40 ukuran Monumen SLG sama dengan monumen L Arc de Triomphe yang terdapat di Perancis. Monumen ini diberi nama simpang lima karena monumen ini dikelilingi oleh lima simpang jalan yang mengarah ke daerah yang berbeda. Untuk memasuki monumen ini tidak dikenakan biaya, dengan tujuan untuk menjadikan kawasan ini menjadi ramai oleh pengunjung dengan adanya sarana pariwisata. 2. Convention Hall (Aula Pertemuan), lokasi gedung pertemuan ini berada di selatan monumen SLG. Convention hall ini dibangun dua lantai dengan berbagai fasilitas layaknya sebuah gedung pertemuan. Convention hall ini digunakan untuk berbagai kegiatan pertemuan seperti seminar, penyuluhan dan pertemuan dengan kepala daerah. Dengan adanya gedung pertemuan di CBD ini akan meningkatkan perekonomian daerah, sebab gedung ini akan disewakan dengan kapasitas lebih dari 500 orang. 3. Bank Daerah adalah Salah satu fasilitas di CBD SLG adalah Bank Daerah Kabupaten Kediri. Bank ini merupakan sarana untuk membantu mengelola keuangan daerah. Prinsip dari bank daerah ini hampir sama dengan bank perkreditan rakyat. Masyarakat Kabupaten Kediri akan dibantu dengan peminjaman modal untuk membantu usaha yang mereka jalankan. 4. Sub Terminal Gumul Transportasi merupakan sarana penting dalam menunjang perekonomian suatu daerah. Subterminal Gumul merupakan upaya untuk menunjang transportasi kawasan CBD SLG. Disamping terminal terdapat Dinas Perhubungan Kabupaten Kediri. Keberadaan dinas perhubungan yang dekat akan lebih memperlancar koordinasi transportasi di Kabupaten Kediri. 5. Waterpark (Gumul Paradise Island), menurut Bupati Kediri, Kawasan Simpang Lima Gumul merupakan kawasan yang diproyeksikan sebagai pusat perdagangan yang bisa memperkenalkan dan menjual produk masyarakat dari home industry. Salah satu cara untuk menjadikan kawasan ini menjadi ramai oleh pengunjung adalah dengan membangun sarana pariwisata. Keberadaan Gumul Paradise Island ini akan menarik masyarakat Kediri dan sekitarnya untuk berkunjung ke kawasan SLG. Berbagai wahana permainan yang tersedia di Gumul Paradise Island, seperti fun boomerang, speed slide, jamur air, flying

41 fox dan kid water play set. Keberadaan Gumul Paradise Island memberikan dampak positif bagi masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan SLG, salah satunya adalah mengurangi pengangguran. Berbagai peluang usaha dapat tercipta, seperti menyediakan jasa penitipan kendaraan/parkir serta menjual berbagai makanan, barang ataupun oleh-oleh bagi pengunjung. 6. Studio JTV Kediri, Media komunikasi sangat dibutuhkan dalam pengembangan suatu wilayah, apalagi suatu pembangunan kota baru seperti Kabupaten Kediri dengan SLG sebagai CBD-nya. Di SLG ada studio JTV Kediri yang terletak di dalam monumen. Stasiun televisi ini menyiarkan berita dan berbagai perkembangan di Kediri dan sekitarrnya, sehingga mampu mempermudah penyebaran informasi terkini kepada masyarakat. 7. Sirkuit motor croos, Sirkuit ini dibangun dengan tujuan memperkenalkan CBD SLG kepada dunia internasional. Salah satu event internasoinal yang pernah di selenggarakan di sirkuit motor croos SLG adalah Surya Power Cross International Championship (SPCIC) 2012. Central Business District Simpang Lima Gumul masih dalam proses penyelesaian pembangunan, Perancangan kedepannya CBD SLG akan dilengkapi dengan: 1. Hotel dan mall, berdasarkan informasi yang diperoleh dari Bapak Bambang BAPPEDA Kabupaten Kediri untuk pembangunan hotel dan mall akan bekerja sama dengan pihak swasta. Pemerintah Kabupaten berperan sebagai pihak penyedia lahan sementara untuk pembangunannya diserahkan kepada pihak swasta. 2. Komplek pertokoan dan pusat grosir, pembangunan komplek pertokoan dan pusat grosir sudah dalam proses pembebasan lahan. Pertokoan dan pusat grosir ditujukan untuk memasarkan hasil industri dan UKM masyarakat Kabupaten Kediri. 3. Pusat produk-produk unggulan dan cindera mata, di tempat ini akan ditawarkan beragam produk home industry masyarakat, seperti tas dan dompet dari batok kelapa, batik khas kediri, aneka bentuk kerajinan tembikar, berbagai aksesoris hingga sandal dan pakaian.

42 5.3 Karakteristik Responden 5.3.1 Jenis Kelamin Berdasarkan hasil pengambilan responden sebanyak 30 orang. Responden berdasarkan jenis kelamin didominasi oleh laki laki sebanyak 24 orang (80 persen) dibandingkan dengan perempuan sebanyak 6 orang (20 persen). Hal ini terjadi karena laki-laki laki laki adalah pemimpin keluarga yang mempunyai peran sebagai pengambil keputusan untuk keluarga. Responden perempuan yang melakukan kegiatan konversi ataupun transaksi lahan disebabkan karena lahan yang dijual atas nama perempuan dan juga yang bertidak sebagai pemimpin keluarga karena suami mereka sudah meninggal atau sudah cerai. Hasil perhitungan tabulasi silang antara jenis kelamin dan tingkat pendidikan didapatkan. Responden pelaku alih fungsi lahan didominasi oleh lakilaki dengan tingkat pendidikan Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA), masing masing sebanyak 20 persen. Hasil ini menujukan bahwa responden laki-laki dengan tingkat pendidikan SD, SMP, dan SMA mengkonversikan lahan lebih besar daripada perempuan dengan tingkat pendidikan yang sama. Perbandingan jenis kelamin dengan tingkat pendidikan ditunjukan pada gambar 5.1. 20 Tingkat Pendidikan Persentase (%) 15 10 tidak lulus sd lulus sd lulus smp lulus sma 5 lulus d3 0 Laki-Laki Jenis Kelamin Perempuan lulus PT Sumber: Data Primer, Diolah (2013) Gambar 5.1 Hubungan jenis kelamin dengan pendidikan

43 5.3.2 Tingkat Umur Tingkat umur responden cukup bervariasi dengan distribusi umur antara 35-73 tahun. Responden terbanyak dari kelompok umur 50-59 tahun sebanyak 15 orang (50%) sedangkan kelompok umur paling sedikit melakukan konversi adalah kelompok umur 70-79 tahun sebanyak 2 orang (6,66 persen). Dilihat dari kelompok usia kerja, kelompok umur mendekati tidak produktif kerja paling sedikit melakukan konversi ataupun transaksi lahan. Tabulasi silah antara umur dengan status kependudukan responden dapat dilihat pada gambar 5.2. Responden dengan umur antara 50-59 tahun dengan status kependudukan sebagai penduduk asli adalah responden terbanyak dalam melakukan konversi lahan. Hal ini karena responden yang merupakan penduduk asli berumur antara 50 59 tahun mempunyai kewajiban tambahan yaitu mewariskan lahan kepada keturunannya, hal ini mempengaruhi mereka dalam pengambilan keputusan untuk menjual atau tidak menjual lahan. Salah satu cara termudah dalam pembagian warisan adalah dengan membaginya dalam bentuk nominal angka uang. Hal tu dapat dicapai dengan menjual lahan. 40 Persentase (%) 35 30 25 20 15 10 5 0 30-39 40-49 50-59 60-69 70-79 Status Kependudukan asli pendatang Umur Sumber: Data Primer, Diolah (2013) Gambar 5.2. Hubungan umur dengan status kependudukan 5.3.3 Tingkat pendidikan Latar belakang tingkat pendidikan responden sebanyak 30 orang, responden dengan latar belakang tamat SMP yang paling banyak melakukan konversi atau transaksi lahan. Responden yang paling banyak mempunyai latar belakang

44 pendidikan lulus SMP hanya bekerja sebagai petani. Responden yang menjual lahan paling sedikit adalah responden yang tidak tamat SD dan lulus D3 Hasil tabulasi silah antara tingkat pendidikan dengan ragam jenis pekerjaan didapatkan responden terbanyak adalah responden yang luus SMP dengan pekerjaan sebagai petani yaitu sebanyak 6 orang (20 persen). Responden dengan pendidikan SD dengan pekerjaan sebagai petani menyusul sebesar 5 orang (16,66 persen). Responden dengan pendidikan SMA mepunyai variasi jenis pekerjaan sebanyak empat jenis pekerjaan. Hal ini karena lowongan pekerjaan pada waktu itu yaitu saat umur responden mencari pekerjaan latar pendidikan SMA banyak dibutuhkan sebagai pegawai, sehingga kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan lebih banyak dan lebih beraneka ragam. Perbandingan antara tingkat pendidikan dengan jenis pekerjaan dilihat pada Gambar 5.3. 20 Pekerjaan Persentase (%) 15 10 5 PNS / Swasta pedagang petani wirawasta 0 tidak lulus sd lulus sd lulus smp lulus sma lulus d3 lulus PT Pendidikan Sumber: Data Primer, Diolah (2013) Gambar 5.3. Hubungan tingkat pendidikan dengan jenis pekerjaan 5.3.4 Jenis Pekerjaan Responden dilihat dari jenis pekerjaan paling banyak bekerja sebagai petani sebayak 16 orang (53,33 persen). Hal ini karena walaupun Kecamatan adalah ibukota kabupaten dengan perencanaan pembangunan sebagai kota kabupaten, kecamatan ini mempunyai potensi yang besar dibidang pertanian. Paling sedikit adalah bidang wiraswasta yaitu 2 orang (6,66 persen).

45 Hasil tabulasi antara jenis pekerjaan dan tingkat pendapatan menunjukkan bahwa, jenis pekerjaan responden pada penelitian ini sebagian besar merupakan petani dengan pendapatan kurang dari Rp 1.000.000 per/bulan sebanyak 8 orang (26,66 persen). Kecenderungan petani dengan pendapatan kurang dari Rp 1.000.000 per/bulan untuk mengkonversikan atau mentransaksikan lahannya lebih tinggi, karena kebutuhan hidupnya lebih banyak yang belum tercukupi. Oleh karena itu petani melakukan konversi atau transaksi lahan demi pemenuhan kebutuhan hidupnya. Dengan demikian jenis pekerjaan dengan pendapatan juga berpengaruh dalam keputusan responden untuk menkonversikan atau mentransaksikan lahan. Perbandingan jenis pekerjaan dengan pendapatan dapat dilihat pada Gambar 5.4. Persentase (%) 30 25 20 15 10 5 0 PNS / Swasta pedagang petani wirawasta Pekerjaan Pendapatan < 1.000.000 1.000.000-1.500.000 1.500.000-2.000.000 2.000.000-2.500.000 2.500.000-3.000.000 Sumber: Data Primer, Diolah (2013) Gambar 5.4. Hubungan jenis pekerjaan dengan pendapatan 5.3.5 Alasan Konversi Lahan Dari 30 responden yang diteliti, responden dengan alasan membantu pemerintah dan berpendapatan Rp 3.500.000 per/bulan adalah yang paling banyak mentransaksikan dan mengkonversikan lahannya yaitu sebanyak 6 orang (20 persen). Membantu pemerintah disini adalah mengizinkan pembelian lahan oleh Pemerintah Kabupaten terkait proyek pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah di Desa Tugurejo. Responden dengan pendapatan lebih dari Rp 3.500.000 memiliki alasan mentransaksikan lahan lebih banyak. Hal ini karena responden dengan pendapatan Rp 3.500.000 mempunyai jumlah lahan yang lebih luas dibandingkan dengan responden dengan pendapatan dibawahnya. Dengan demikian jumlah pendapatan

46 dan alasan mengkonversi lahan mempengaruhi responden dalam melakukan transaksi lahan. Perbandingan alasan menjual dengan pendapatan dapat dilihat pada Gambar 5.5. Persentase (%) 20 15 10 5 0 A B C D E F G Pendapatan Perbulan Alasan Konversi harga lahan tinggi investasi kebutuhan sehari hari membantu pemerintah modal usaha pembagian warisan produktifitas menurun Sumber: Data Primer, Diolah (2013) Gambar 5.5. Hubungan alasan menjual lahan dengan pendapatan Keterangan : A = Rp < 1.000.000 B = Rp 1.000.000-1.500.000 C = Rp 1.500.000 2.000.000 D = Rp 2.000.000-2.500.000 E = Rp 2.500.000-3.000.000 F = Rp 3.000.000-3.500.000 G = Rp > 3.500.000

47 VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Pola dan Karakteristik Alih Fungsi Lahan Alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian di Kabupaten Kediri terjadi hampir setiap tahun. Alih fungsi lahan pertanian di Kabupaten Kediri umumnya menjadi industri, pemukiman, maupun sarana dan prasarana seperti jalan raya, sekolah, dan perkantoran. Perubahan luas lahan sawah yang terjadi di Kabupaten Kediri dapat dilihat pada Gambar 6.1 berikut ini. 47400 47300 Luas Lahan Sawah (ha) 47200 47100 47000 46900 Luas Lahan Sawah 46800 Tahun Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Kediri 2012 (diolah) Gambar 6.1. Luas Lahan Sawah di Kabupaten Kediri Tahun 2001-2011 Gambar tersebut menunjukan pola luas lahan sawah yang relatif menurun dari tahun 2003 sampai tahun 2011, namun pada tahun 2005 dan 2006 penurunan tersebut dapat ditekan dengan pertambahan luas sawah yang luasnya lebih besar dari pada jumlah lahan yang terkonversi. Hal ini menyebabkan luas lahan pertanian selama periode 2003 sampai 2011 mengalami peningkatan. Perubahan luas lahan pertanian pada tahun 2003 sampai dengan 2011 didominasi oleh peran pemerintah daerah dalam rangka mempertahankan luasan lahan pertanian. Pemerintah Daerah melakukan kebijakan pencetakan lahan sawah baru dari lahan kering seperti kebun, tanah kosong, rawa, dan hutan yang ada. Pembukaan lahan ini dilakukan untuk mempertahankan kondisi wilayah Kabupaten Kediri yang berbasis pertanian. Laju

48 pernyusutan dan pertambahan luas sawah tiap tahunnya dapat dilihat pada Tabel 6.1. Tabel 6.1. Luas alih fungsi lahan sawah tahun 2003-2009 di Kabupaten Kediri Tahun Luas sawah pencetakan sawah baru (Ha) Luas Sawah Terkonversi (Ha) laju penyusutan luas sawah (%) 2003 47000 2004 46981 0 19-0,04 2005 47188 207 0 0,441 2006 47330 142 0 0,301 2007 47327 0 3-0,006 2008 47320 0 7-0,015 2009 47311 0 9-0,019 Total 349 38 Rata-rata 58 6 0,110 Sumber: Badan Pusat Statistik diolah, 2013 Pada table 6.1 selama periode tahun 2003-2009 terjadi peningkatan luas lahan pertanian sebesar 349 hektar. Peningkatan itu terjadi pada tahun 2005 dan 2006. Penurunan luas lahan terjadi terus menerus namun terjadi pada jumlah yang kecil. Penurunan luas lahan selama periode 2003-2009 adalah sebesar 43 hektar. Luas lahan baru dan luas lahan terkonversi merepresentasikan perubahan lahan di Kabupaten Kediri selama periode tahun 2003-2009. Konversi lahan terjadi secara kontinu namun pada jumlah yang kecil namun peran pemerintah dalam mempertahankan luas lahan pertanian sangat dominan. Pembukaan lahan baru merupakan wujud implementasi RTRW tahun 2003, pada bab III mengenai sektor prioritas. Kebijaksanan dasar pembangunan dalam sektor prioritas menempatan seluruh Sub Satuan Wilayah Pengembangan (SSWP) mendorong sektor pertanian sebagai sektor utama karena berperan sebagai penggerak utama perekonomian daerah Kabupaten Kediri. Kebijaksaan dasar pembangunan daerah Kabupaten Kediri yang mendukung pertanian dalam RTRW 2003 yaitu: 1. Menjaga keberadaan potensi produk unggulan daerah dengan segala sumberdaya yang dipunyai. 2. Mengembalikan pertumbuhan ekonomi yang pernah dicapai sebelum krisis, menjaga dan meningkatkan ketahanan pangan yang berbasis pada keragaman sumberdaya bahan pangan.

49 3. Mempertahankan keberadaan sektor pertanian, perdagangan dan industri sebagai penggerak utama perekonomian daerah. Kebijakan RTRW tahun 2003 berlaku hingga 2010. Kebijakan RTRW yang baru adalah RTRW 2011 yang berlaku dari tahun 2010 hingga 2030. RTRW 2011 menekankan pembangunan Kabupaten Kediri pengembangan fasilitas kawasan perkotaan. Pengembangan kawasan perkotaan identik dengan pembangunan kawasan industri, kawasan perdagangan, dan kawasan perkantoran. Wujud dari implementasi dari pengeloaan tata ruang yang baru dalam RTRW 2011 adalah dibukanya kawasan industri yang berada di Kecamatan Badas. Terdapat enam Kecamatan yang di proyeksikan untuk kawasan industri yaitu Kecamatan Pare, Kunjang, Badas, Gampeng Rejo, Kandat dan Wates namun untuk Kecamatan Pare dan Gampeng Rejo sudah dibangun sebelum RTRW tersebut ditetapkan. Peta mengenai struktur ruang wilayah Kabupaten Kediri terdapat pada Lampiran 3. Perkembangan laju luas lahan sawah setelah berlakunya RTRW 2011 dianalisis dalam perubahan penggunaan lahan pada tingkat kecamatan. Luas konversi lahan pada setiap kecamatan dihitung berdasarkan data BPS Kabupaten Kediri setelah terjadi pemekaran wilayah dari 23 kecamatan pada tahun 2000 menjadi 26 kecamatan pada tahun 2009. Tahun 2009 sampai tahun 2011 dari 26 Kecamatan yang ada di Kabupaten Kediri terdapat satu Kecamatan yang mengalami konversi lahan cukup besar yaitu Kecamatan Badas (6,05 persen). Lahan yang terkonversi di Kecamatan Badas sebagian besar digunakan untuk kawasan industri dan pemukiman. Luas dan laju alih fungsi lahan sawah 2009-2011 di setiap kecamatan dapat dilihat pada Tabel 6.2.

50 Tabel 6.2 Luas dan Laju Alih Fungsi Lahan Sawah 2009-2011 di Setiap Kecamatan luas penggunaan lahan (Ha) No Kecamatan tahun 2009 tahun 2011 pertumbuhan 1 Mojo 1.530 1.530 0 0,00 2 Semen 1.474 1.474 0 0,00 3 Ngadiluwih 1.171 1.171 0 0,00 4 Kras 1.966 1.966 0 0,00 5 Ringinrejo 1.381 1.377 4 0,29 6 Kandat 1.654 1.655-1 -0,06 7 Wates 2.365 2.366-1 -0,04 8 Ngancar 917 917 0 0,00 9 Plosoklaten 2.143 2.174-31 -1,45 10 Gurah 2.555 2.555 0 0,00 11 Puncu 413 413 0 0,00 12 Kepung 2.252 2.252 0 0,00 13 Kandangan 1.892 1.860 32 1,69 14 Pare 1.949 1.947 2 0,10 15 Badas 2.281 2.143 138 6,05 16 Kunjang 2.365 2.365 0 0,00 17 Plemahan 3.503 3.503 0 0,00 18 Purwoasri 2.579 2.644-65 -2,52 19 Papar 2.472 2.472 0 0,00 20 Pagu 1.711 1.661 50 2,92 21 Keyenkidul 2.365 2.353 12 0,51 22 Gampengrejo 995 995 0 0,00 23 Ngasem 1.262 1.262 0 0,00 24 Banyakan 1.166 1.166 0 0,00 25 Grogol 1.260 1.255 5 0,40 26 TArokan 1.690 1.690 0 0,00 Total 47311 47166 145 0,31 Sumber: Badan Pusat Statistik diolah, 2013 pertumbuhan (%) Luas lahan sawah yang terkonversi pada tahun 2009-2011 pada tabel 6.2 menunjukkan jumlah terkonversi tertinggi adalah Kecamatan Badas. Konversi di kecamatan Badas adalah bentuk dari intervensi pemerintah dalam rangka penetapan RTRW 2011. Dipilihnya Kecamatan Badas berdasarkan pertimbangan lokasi kecamatan yang berdekatan dengan pusat pertumbuhan ekonomi yaitu Kecamatan Pare dan merupakan jalur transportasi utama antara Kabupaten Kediri dengan Kabupaten Jombang untuk menuju Kota Surabaya. Dari dua pola konversi yaitu pada waktu 2003-2010 dan 2010-2011, pola dan kharakteristik konversi lahan di Kabupaten Kediri didominasi oleh peran dan

intervensi Pemerintah Daerah dalam rangka penetapan tata ruang dengan dasar RTRW. Menurut Sumaryo dan Tahlim (2005), ada dua pola alih fungsi lahan. Pertama, alih fungsi lahan yang dilakukan secara langsung oleh pemilik lahan yang bersangkutan, seperti membuat rumah untuk keluarganya. Kedua, alih fungsi lahan yang diawali dengan alih penguasaan lahan. Pemilik lahan menjual kepada pihak lain yang akan memanfaatkannya untuk usaha non pertanian. Pada studi kasus yang dilakukan di Kecamatan Ngasem, umumnya petani tidak mengalihfungsikan lahan secara langsung. Petani yang mengkonversi lahan secara langsung umumnya adalah petani kecil yang hanya punya lahan sawah yang dikonversi itu saja, lahan itu umumnya hasil dari pembagian warisan. Wilayah sawah tersebut tabu jika diubah menjadi rumah. Umumnya mereka menggunakan lahan kering seperti kebun jika ingin membuat rumah. Hal itu karena bertani merupakan penghasilan utama. Pola konversi lahan pertanian di Kecamatan Ngasem dapat dilihat pada gambar 6.2 dan lampiran 4. konversi 10% beli 13% beli - konversi 7% 51 jual - konversi 33% jual 37% Sumber: Data Primer (diolah) Gambar 6.2 Pola Konversi Lahan di Kecamatan Ngasem Gambar tersebut menunjukkan pola konversi lahan di Kecamatan Ngasem berdasarkan hasil wawancara kuisioner dengan tiga puluh responden. Sebanyak 37 persen responden menjual lahannya kepada pembeli namun lahan belum diubah fungsinya. Responden yang telah menjual lahannya dan sudah dikonversi oleh

52 pembeli sebanyak 33 persen jumlah ini lebih besar dari pada responden yang mengkonversikan lahannya sendiri sebanyak 10 persen. Pemerintah Daerah Kabupaten Kediri membangun berbagai infrastruktur untuk mendorong pegembangan CBD Simpang Lima Gumul. Seperti jalan, Perkantoran, arena hiburan, dan rumah sakit. Implikasi dari pembangunan ini adalah minat kepemilikan lahan di kawasan ini meningkat dan harga lahan disekitar kawasan CBD meningkat secara tajam. Hal ini mengakibatkan petani tergoda untuk menjual lahan sawah mereka kepada pihak pengembang atau perorangan. Menurut persepsi mereka, mereka dapat membeli lagi lahan baru dengan luas dua kali lipat dari luas lahan yang mereka jual sebelumnya, tetapi jaraknya lebih jauh dari pusat CBD yaitu monumen Simpang Lima Gumul. Pihak pengembang atau perorangan mengalihfungsikan lahan pertanian menjadi pemukiman atau industri. Sebagian petani di Desa Gogorante, Desa Paron dan Desa Tugurejo telah menjual lahan kepada pengembang atau perorangan, menurut informasi dari aparatur desa setempat lahan tersebut nantinya akan dijadikan pemukiman dan industri. Namun ada sebagian petani yang tidak menjual lahannya karena mereka sudah merasa nyaman dengan keseharian sebagai petani. Dapat disimpulkan bahwa pola alih fungsi lahan yang terjadi di Kabupaten Kediri adalah pola yang kedua, dimana alih fungsi lahan diawali dengan adanya alih penguasaan lahan dari petani kepada pengembang. 6.2 Laju Alih Fungsi Lahan Pertanian di Kabupaten Kediri Alih fungsi lahan sawah selama periode 2003-2011 di Kabupaten Kediri berfluktuatif dari tahun ke tahun. Secara umum lahan sawah di Kabupaten Kediri selama sembilan tahun terakhir bertambah sebesar 349 hektar. Pertambahan luas lahan tersebut menyebabkan luas sawah di Kabupaten Kediri berubah dari luas 47.000 hektar pada tahun 2003 menjadi 47.349 hektar pada akhir tahun 2011. Laju pernyusutan dan pertambahan luas sawah tiap tahunnya dapat dilihat pada Tabel 6.3.

53 Tabel 6.3. Luas dan laju alih fungsi lahan sawah di Kabupaten Kediri Tahun Luas sawah pencetakan sawah baru (Ha) Luas Sawah Terkonversi (Ha) laju penyusutan luas sawah (%) 2003 47000 2004 46981 0 19-0,04 2005 47188 207 0 0,441 2006 47330 142 0 0,301 2007 47327 0 3-0,006 2008 47320 0 7-0,015 2009 47311 0 9-0,019 2010 47306 0 5-0,011 2011 47166 0 140-0,296 Total 349 183 0,354439539 Rata-rata 38,7778 20,3333 0,0394 Sumber: Badan Pusat Statistik diolah, 2013 Pada Tabel 6.3 nilai laju penyusutan luas sawah yang bertanda negatif menggambarkan adanya penyusutan luas lahan sawah akibat alih fungsi lahan. Nilai yang bertanda positif menggambarkan adanya pencetakan sawah baru. Luas penyusutan lahan sawah selama sembilan tahun terakhir di Kabupaten Kediri cukup kecil, yaitu dengan total sekitar 183 hektar. Sementara itu luas percetakan sawah baru selama sembilan tahun terakhir sebesar 349 hektar. Jadi selama sembilan tahun terakhir terjadi peningkatan luas sawah di Kabupaten Kediri sebesar 166 hektar. Peningkatan luas sawah di Kabupaten Kediri dimulai pada tahun 2005 sebesar 0,441 persen atau 207 hektar dan pada tahun 2006 sebesar 0,301 persen atau 142. Peningkatan ini adalah tindakan nyata Pemerintah Kabupaten dalam rangka mempertahankan kondisi pertanian di wilayah Kabupaten Kediri dengan cara pembukaan lahan baru. Pembukaan lahan sawah tersebut diambi dari lahan kebun, tanah kosong, rawa dan hutan. Percetakan lahan pertanian selama 2 tahun tersebut mampu mengganti luas lahan yang hilang selama sembilan tahun terakhir. Penurunan luas lahan terbesar adalah pada tahun 2011 dimana lahan berkurang sebanyak 140 hektar dari 47.306 hektar menjadi 17.166 hektar. Pada tahun tersebut luas sawah menyusut sebesar 0,29 persen, hal ini menandakan mulainya industrialisasi di Kabupaten Kediri.

54 6.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan di Tingkat Petani Analisis dalam penentuan faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan di tingkat petani digunakan analisis regresi linier berganda. Data yang digunakan dalam menentukan model tersebut merupakan data primer hasil wawancara langsung yang dilakukan peneliti pada bulan juli sampai september 2013. Peneliti mengolah data-data tersebut menggunakan program Statistical Program Service Solution 16.0. Penelitian ini merupakan survei pada tingkat mikro yaitu pada tingkat rumah tangga yang pernah menjual lahannya atau mengkonversikan lahannya secara langsung pada kurun waktu tahun 2005 hingga 2011. Metode analisis yang digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan dalam penelitian ini dengan cara memasukkan beberapa variabel bebas. Variabel yang digunakan dalam model adalah jumlah tanggungan, jarak dari CBD, harga lahan per/meter persegi, pendapatan dari sektor pertanian, dan luas lahan yang dimiliki petani sebelum transaksi atau konversi lahan. Setelah dilakukan pengolahan data maka didapat model terbaik secara ekonomi dan statistik. Berdasarkan hasil analisis regresi linier berganda, maka didapat model untuk faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan oleh petani. Berikut model hasil analisis regresi linier berganda yang merupakan fungsi luas lahan yang dikonversi. Y = α + 415,544JT 0,8JCBD + 0,003HLPP 0,026PDSP + 0,349LLDS + ε dimana: Y α βi JT = Luas lahan pertanian yang terkonversi (m²) = Intersep = Koefisien regresi = Jumlah tanggungan (jiwa) JCBD = Jarak dari pusat CBD (m) HLPP = Harga lahan permeter persegi (Rp/m²) PDSP = Pendapatan dari sektor pertanian (dalam seribu Rp/bulan) LLDS = Luas lahan dimiliki sebelumnya (m²) ε = Error Term/Residual

Berdasarkan hasil intrepretasi dari model regresi pada Tabel 6.4 dibawah ini, besarnya adjusted R 2 sebesar 0,652, hal ini berarti 65,2% konversi lahan dapat dijelaskan oleh variasi dari lima variabel independen jumlah tanggungan, jarak dari CBD, harga lahan permeter persegi, pendapatan dari sektor pertanian, dan luas lahan dimiliki sebelumnya. Sedangkan sisanya dijelaskan oleh sebab-sebab yang lain di luar model. Taraf nyata yang digunakan dalam model ini adalah 15 %. Model yang digunakan ini merupakan model yang paling baik. Konstanta bernilai negatif (-1.442,725) menyatakan bahwa dengan mengasumsikan ketiadaan variabel JT, JCBD, HLPP, PDSP, dan LLDS maka konversi lahan cenderung mengalami penurunan. Tabel 6.4 Hasil interpretasi koefisien determinasi faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di tingkat petani Model Unstandardized Coefficients B Std. Error (Constant) -1.442.725 972.261.151 Sig. Collinearit y Statistics JT 415.544 261.881 *.126 1.193 JCBD -.800.272 **.007 1.077 HLPP.003.001 **.000 1.138 PDSP -.026.108.808 1.431 LLDS.349.075 **.000 1.485 R-square R-square adj. 71.2 persen 65.2 persen Durbin-Watson 1,656 Sig. F 0.000 Asymp. Sig. (2- tailed) Sumber : Data primer diolah, 2013 keterangan : ** : nyata pada taraf (α=1%) * : nyata pada taraf (α=15%) 0,992 Dari lima variabel independen pada tabel 6.4 diketahui bahwa variabelvariabel yang berpengaruh nyata (signifikan) terhadap model regresi pada α=15% adalah JT, JCBD, HLPP, dan LLDS. Masing masing variabel ini memiliki nilai signifikasnsi atau P-value 0,126, 0,007, 0,000, dan 0,000. Keempat variabel tersebut memiliki signifikansi atau P-value < 0,15. Hal ini menyatakan bahwa ketiga variabel tersebut berpengaruh nyata terhadap faktor-faktor pendorong konversi lahan pada taraf nyata α = 15 %. VIF 55

56 Model regresi yang baik tidak diperbolehkan melanggar asumsi klasik, yaitu tidak terjadi multikolinearitas, heteroskedastisitas, autokorelasi, dan uji asumsi normalitas. Hasil uji tersebut dalam analisis faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan ditingkat petani adalah sebagai berikut : 1 Uji Multikolinearitas Uji multikolinearitas didasarkan pada nilai VIF yang terdapat pada model yang telah diregresikan. Nilai VIF yang kurang dari 10 (VIF < 10) menunjukkan tidak terjadi multikolinearitas. Hasil regresi dalam penelitian ini tidak terdapat masalah multikolinearitas karena semua variabel VIF nya kurang dari 10 (VIF < 10). Tabel 6.4 menunjukkan tidak terjadi masalah multikolinearitas pada nilai VIF. 2 Uji Heteroskedastisitas Uji Heteroskedastisitas dapat dilihat pada grafik scatterplots dan uji gletser. Berdasarkan grafik scatterplot pada Lampiran 5 terlihat bahwa titik-titik menyebar secara acak serta tersebar baik diatas maupun dibawah angka 0 pada sumbu Y. Dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi masalah heteroskedastisitas pada model regresi. Selain itu, pada Lampiran 5 merupakan hasil uji gletser yang menunjukkan tidak terjadi masalah heteroskedastisitas karena semua variabel bebas atau independent, Sig. (2-tailed) lebih besar dari taraf nyata yang digunakan (α=0.15). 3 Uji Autokorelasi Uji autokorelasi didasarkan dengan menggunakan uji Durbin-Watson (DW). Nilai DW antara 1.55 dan 2.46 menunjukkan tidak ada autokorelasi (Firdaus 2004). Hasil pengolahan data didapat nilai DW sebesar 1.656. Dapat disimpulkan tidak terjadi masalah autokorelasi dalam model regresi. Nilai DW dalam model ditunjukkan dalam Tabel 6.4 dan Lampiran 2. 4 Uji Normalitas Uji normalitas berdasarkan pada uji Kolmogorov-Smirnov dengan menggunakan software SPSS 16. Tabel 6.4 dan Lampiran 5 menunjukkan nilai signifikansi 0.992, yang artinya data terdistribusi normal pada taraf (α=0.15). Nilai Asymp. Sig. (2-tailed) 0.992 lebih besar dari (α=0.15) maka asumsi residual menyebar normal terpenuhi. Tidak terjadi pelanggaran asumsi klasik dalam model regresi, hal ini menunjukkan model layak untuk digunakan. Beberapa variabel yang secara nyata

dan tidak nyata berpengaruh terhadap luas lahan yang dikonversi adalah sebagai berikut: 1. Jumlah tanggungan Hasil regresi menunjukkan bahwa jumlah tanggungan mempunyai hubungan positif dengan nilai koefisien 415,544. Artinya, jika jumlah tanggungan dalam keluarga bertambah 1 jiwa maka diduga rata-rata luas lahan yang dijual akan meningkat 415,544 m 2 sesuai dengan hipotesis. Variabel jumlah tanggungan memiliki sig 0.12,6 yang berarti variabel tersebut berpengaruh nyata terhadap luas lahan yang dikonversi dengan taraf nyata (α=0.15). Hasil regresi berpengaruh karena semakin banyak jumlah tanggungan yang ada dalam suatu keluarga maka kebutuhan yang harus terpenuhi akan semakin meningkat sehingga pemilik lahan akan tertarik menjual lahannya dikarenakan tidak memiliki sumber lain, sehingga semakin tinggi jumlah tanggungan maka luas lahan yang dikonversi akan semakin meningkat seiring dengan kebutuhan yang diperlukan. Jumlah tanggungan yang terus meningkat menyebabkan jumlah penduduk meningkat dengan cepat. Hal ini sejalan dengan pertambahan penduduk di Kabupaten Kediri yang terus meningkat dari tahun ketahun. Laju pertumbuhan tertinggi adalah pada tahun 2001 yaitu sebanyak 5,094 persen atau meningkat sebanyak 76,392 penduduk. Jumlah pertumbuhan penduduk Kabupaten Kediri pada tahun 2001-2011 dapat dilihat pada Tabel 6.5 berikut ini. Tabel 6.5 Jumlah penduduk Kabupaten Kediri Tahun 2001-2011 dengan laju pertumbuhannya tahun Jumlah penduduk (jiwa) Pertambahan penduduk laju penduduk (%) 2001 1.401.130 2002 1.407.921 6.791 0,485 2003 1.415.500 7.579 0,538 2004 1.423.234 7.734 0,546 2005 1.438.783 15.549 1,093 2006 1.445.695 6.912 0,480 2007 1.453.619 7.924 0,548 2008 1.461.566 7.947 0,547 2009 1.475.815 14.249 0,975 2010 1.499.768 23.953 1,623 2011 1.576.160 76.392 5,094 Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Kediri 57

58 2. Jumlah dari pusat CBD Hasil regresi menunjukkan bahwa jarak dari pusat CBD mempunyai hubungan negatif dengan nilai koefisien -0,008. Artinya, jika jarak dari pusat CBD bertambah 1 meter maka diduga rata-rata luas lahan yang dikonversika atau di transaksikan akan menurun seluas 0,008 m 2 sesuai dengan hipotesis. Variabel jarak dari pusat CBD memiliki sig 0.007 yang berarti variabel tersebut berpengaruh nyata terhadap luas lahan yang dikonversi dengan taraf nyata (α=0.01). Hasil regresi berpengaruh karena semakin jauh dari pusat CBD maka biaya transportasi semakin mahal sehingga land rent semakin turun sejalan dengan semakin meningkatnya biaya transportasi. Hal ini sesuai dengan teori lokasi Von Thunen, menurut Von Thunen bahwa biaya transportasi dari lokasi suatu lahan ke kota (pasar) merupakan input produksi yang penting, makin dekat lokasi suatu lahan ke kota maka makin tinggi aksesibilitasnya atau biaya transport makin rendah, oleh karena itu sewa lahan akan semakin mahal berbanding terbalik dengan jarak. Hal ini sesuai dengan hipotesis bahwa semakin jauh jarak dari pusat CBD maka semakin berkurang luas lahan yang dikonversikan. 3. Harga lahan per/meter persegi Hasil regresi menunjukkan bahwa harga lahan per/meter persegi mempunyai hubungan yang positif dengan nilai koefisien 0.003, artinya, jika harga lahan per/meter persegi meningkat 1 000 rupiah maka diduga rata-rata luas lahan yang dikonversi akan meningkat 3 m 2. Hal ini sesuai dengan hipotesis yang dikemukakan sebelumnya. Variabel harga lahan per/meter persegi memiliki sig 0.000 yang berarti harga lahan memberikan pengaruh nyata terhadap luas lahan yang dikonversi dengan taraf nyata (α=0.01). Harga lahan merupakan salah satu faktor penting yang menentukan keputusan penduduk dalam mengkonversi lahan. Hasil penelitian ini relevan dengan hasil penelitian Sihaloho (2004) bahwa konversi lahan pada aras mikro dipengaruhi oleh faktor pola nafkah rumah tangga (struktur ekonomi rumah tangga), kesejahteraan rumah tangga (orientasi nilai ekonomi rumah tangga), dan strategi bertahan hidup rumah tangga. Hal tersebut membuktikan bahwa harga lahan berpengaruh terhadap keputusan pemilik lahan dalam menjual lahannya.

59 Apabila dalam rumah tangga responden terjadi masalah dalam hal keuangan maka penjualan lahan menjadi salah satu strategi untuk bertahan hidup. 4. Pendapatan dari sektor pertanian Hasil regresi menunjukkan bahwa pendapatan dari sektor pertanian mempunyai hubungan yang negatif dengan nilai koefisien -0,026. Artinya, jika pendapatan meningkat 1.000.000 rupiah maka diduga rata-rata luas lahan yang dikonversi akan menurun sebesar 26 m 2. Variabel pendapatan memiliki sig 0.808 yang berarti variabel pendapatan dari sektor pertanian tidak memberikan pengaruh nyata terhadap luas lahan yang dikonversi dengan taraf nyata (α=0.15). Hal ini disebabkan oleh beragamnya jenis pekerjaan yang dimiliki responden meskipun jumlah responden terbesar adalah petani. Hasil regresi ini sesuai dengan hipotesis bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan dari sektor pertanian maka konversi lahan juga akan semakin rendah. Pemilik lahan mengurangi luas lahan yang ditransaksikan dengan adanya peningkatan pendapatan. Hal ini disebabkan karena kebutuhan rumah tangga responden yang tercukupi jika pendapatan dari sektor pertanian mengalami peningkatan. Hal tersebut mendorong responden untuk menjaga lahan mereka yang merupakan aset utama bagi pekerjaannya sebagai petani. 5. Luas lahan yang dimiliki sebelumnya Hasil regresi menunjukkan bahwa luas lahan yang dimiliki saat menjual mempunyai hubungan yang positif dengan nilai koefisien 0.349. Artinya, jika luas lahan yang dimiliki meningkat 1000 meter persegi maka diduga rata-rata luas lahan yang dikonversi akan meningkat 349 m 2, hal ini sesuai dengan hipotesis yang dikemukakan sebelumnya bahwa luas lahan berpengaruh positif pada luas lahan yang dikonversi. Variabel luas lahan yang dimiliki sebelum menjual memiliki sig 0.000 yang berarti variabel memberikan pengaruh nyata terhadap luas lahan yang dikonversi dengan taraf nyata (α=0.01). Hasil regresi berpengaruh karena semakin luas ukuran lahan yang dimiliki sebelumnya kemampuan untuk mengelola seluruh lahan pertanian yang dimiliki akan berkurang. Mentransaksikan sebagian lahannya dianggap jalan pintas untuk mengurangi luas lahan yang dimiliki petani selain karena motivasi mendapatkan karena motivasi untuk mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi. Hasil penelitian

60 ini relevan dengan hasil penelitian sebelumnya seperti yang dilakukan oleh Utomo et al. (1992) bahwa lahan sebagai modal alami utama yang melandasi kegiatan kehidupan. Berdasarkan sejumlah variabel yang telah dijelaskan di atas, pada tingkat mikro keinginan seseorang untuk mengkonversi lahan dipengaruhi oleh empat faktor, jumlah tanggungan, jarak dari CBD, harga lahan permeter persegi, pendapatan dari sektor pertanian, dan luas lahan dimiliki sebelumnya. Berry (1987) dalam Yunus (2006) menyatakan bahwa pesatnya perkembangan suatu kota dan tingginya laju pertumbuhan jumlah penduduk, secara langsung membuat kebutuhan lahan akan menjadi tinggi. Ketersediaan lahan yang terbatas dan jumlah relatif tetap membuat nilai lahan akan meningkat.

61 VII. SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Simpang Lima Gumul diharapkan menjadi pusat pertumbuhan baru di Kabupaten Kediri. Rencanaan kawasan yang mendorong pertumbuhan daerah belum dapat diapliakasikan sepenuhnya. 1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola dan karakteristik konversi lahan di Kabupaten Kediri secara spontan atau langsung masih sangat sedikit dibandingkan dengan yang direncanakan. Bahkan pemerintah melalui program-programnya berhasil mengatasi masalah defisit lahan pertanian melalui program ekstensifikasi berupa percetakan sawah. 2. Secara empiris faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian pada taraf nyata ditingkat petani di Kecamatan Ngasem adalah : a. Jumlah tanggungan. Dikaitkan dengan fakta yang dibahas pada bagian pendahuluan yang menunjukkkan pertumbuhan pesat pasca pembukaan kawasan maka konversi lahan akan masih akan terus terjadi. b. Jarak lahan dari central business district. Hal ini sesuai dengan apa yangg diharapkan pada perencanaan simpang lima gumul. c. Harga lahan pertanian per/meter persegi. Harga lahan mengikuti mekanisme pasar atau tidak ditentukan oleh pemerintah. Sehinggga untuk melakukan pengendalian konversi lahan dengan cara melakukan pencandangan lahan pertanian. Misalnya dari tanah negara yang habis masa konversinya. d. Luas lahan yang dimiliki sebelumnya. Implikasi dari hal ini pemda perlu berkoordinasi dengan para pemilik tanah yang luas agar konversi dapat terkendali.

62 7.2 Saran Berdasarkan hasil, pembahasan dan simpulan yang diperoleh maka terdapat beberapa saran yang sebaiknya dipertimbangkan: 1. Perlu intensif dalam untuk menggalakkan konversi lahan pertanian di daerah yang direncanakan pembangunan. Bisa berupa infrastuktur atau kemudahan dalam administrasi. 2. Kendali pemerintah dalam mempertahankan luas lahan pertanian dengan program ekstensifikasi lahan perlu dipertahankan, selain dengan upaya peningkatan produksi lahan pertanian. 3. Berdasarkan faktor-faktor yang mempengahi konversi lahan secara empiris diperlukan kebijakan a. Menggalakkan lagi program keluarga berencana untuk mengendalikan jumlah penduduk. b. Harus ada aturan dalam tata ruang untuk mengendalikan jarak lahan maksimal dari pusat CBD untuk dikonversi. c. Perlu program pertanian untuk revitalisasi lahan pertanian agar petani tidak mudah tergoda tawaran harga lahan yang tinggi dari pembeli. d. Perlu penyuluhan luas lahan pertanian minimal untuk bertani.

63 VIII. DAFTAR PUSTAKA Anugerah F. 2005. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah ke Penggunaan Non Pertanian. Skripsi, Sarjana. Bogor (ID) Institut Pertanian Bogor. Arsyad, S. 2010. Konservasi Tanah dan Air. Edisi Kedua. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor Press. Astuti D. 2011. Keterkaitan Harga Lahan Terhadap Laju Konversi Lahan di Hulu Sungai Ciliwung Kabupaten Bogor. Skripsi, Sarjana. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor. Badan Pusat Statistik. 2012. Kabupaten Kediri Dalam AngkaTahun 2012. Kabupaten Kediri (ID). BPS. Badan Pusat Statistik. 2011. Kecamatan Ngasem Dalam AngkaTahun 2011. Kecamatan Ngasem (ID). BPS. Badan Pusat Statistik Indonesia. 2000. Statistika Indonesia. [internet], [diacu 2013 juni 5]. Tersedia dari : http://www.datastatistik-indonesia.com. Bappeda Kabupaten Kediri. 2011. Peraturan Daerah Kabupaten Kediri nomor 14 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kediri, Kediri (ID). BAPPEDA. Bappeda Kabupaten Kediri. 2003. Rencana Tata RuangWilayah (RTRW) Kabupaten Kediri 2003-2010. Kabupaten Kediri (ID). Bappeda. Barlowe R. 1978. Land Resources Economics: The Economics of Real Estate. New Jersey. Prentice-Hall. [Bupati Kediri], 2005. Penetapan Nama dan Peta serta Batas-batas wilayah Calon Ibukota Kabupaten Kediri. Kediri (ID). Fandeli C, Retno Nur Utami, dan Soifudin Nurmansyah. 2008. Audit lingkungan. Yogyakarta (ID). Gadjah Mada University Press. Gujarati D.N. 2007a. Dasar-dasar Ekometrika Edisi Ketiga Jilid 1. Jakarta (ID): Erlangga. Gujarati D.N. 2007b. Dasar-dasar Ekometrika Edisi Ketiga Jilid 2. Jakarta (ID): Erlangga. Firdaus M. 2004. Ekonometrika Suatu Pendekatan Aplikatif. Jakarta (ID): Bumi Aksara. Hardjowigeno, S., Widiatmaka dan A. S. Yogaswara. 1999. Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tata Guna Tanah. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Indafa`a N. 2006. Perencanaan dan Perancangan CBD simpang Lima Gumul di Kabupaten Kediri Dengan Penekanan pada Pemanfaatan Dan Pengolahan

64 Tata Guna Lahan. Skripsi. Surakarta (ID). Universitas Sebelas Maret Surakarta. Jayadinata JT. 1999. Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Pedesaan, Perkotaan, dan Wilayah Edisi Ketiga. Bandung (ID). Institut Teknologi Bandung. Juanda B. 2009. Ekonometrika Permodelan dan Pendugaan. Bogor (ID). IPB Press. Juanda B. 2009. Metodologi Penelitian Ekonomi & Bisnis, edisi kedua. Bogor (ID). IPB Press. McCann, Philip. 2001. Urban and Regional Economics. United States. Oxford University Press. Mulyawan I. 2010. Central Business District (CBD) [internet]. [diacu 2013 juni 2]. Tersedia dari: http://moeljawan.blogspot.com/2010/03/central-businessdistrict-cbd.html. Nuryati, L. 1995. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah Kepenggunaan Non Sawah. Skripsi, Sarjana. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor. Pakpahan A, N Sumaryanto, Syafa'at. 1993. Analisis Kebijaksanaan Konversi Lahan Sawah ke Penggunaan Non Pertanian. Bogor (ID). Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Prasetyo B, L.M. Jannah. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta (ID): PT. Raja Grafindo Persada. [Presiden Negara Republik Indonesia]. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemenrintah Daerah. Jakarta (ID). [Presiden Negara Republik Indonesia]. 2007. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Jakarta (ID). Rustiadi E. dan A. Anwar. 2000. Permasalahan Pembangunan Wilayah Riau Menyongsong Otonomi Wilayah. Makalah Konsultasi Regional PDRB se- Provinsi Riau. Tanggal 21 September 2000. Pekanbaru (ID). Saefulhakim, R. S. dan L. I. Nasoetion. 1996. Kebijakan Pengendalian Sawah Beririgasi Teknis dalam Proseding Penelitian Tanah No.12 Tahun 1996. Pusat Penelitian Tanah. Bogor (ID). Santoso D. 2013. Sejarah Kabupaten Kediri [internet]. [diacu 2013 juni 2]. Tersedia dari: http://digdyo.blogspot.com/2013/05/sejarah-kabupaten-kediri.html Sihaloho M. 2004. Konversi Lahan Pertanian dan Perubahan Struktur Agraria di Kelurahan Mulyoharjo Kecamatan Bogor Selatan. Tesis. Bogor(ID). Institut Pertanian Bogor. Sitorus, S. R. P., O. Haridjaja, A. Iswati, dan D. R. Panuju. 2010. Pengembangan Metodologi untuk Identifikasi Tingkat Degradasi Lahan di Lahan Kering Mendukung Pendayagunaan Lahan Terlantar untuk Keperluan Pertanian. Laporan Hasil Penelitian. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Sumaryanto et al (2005). Analisis Kebijaksanaan Konversi Lahan Sawah ke. Penggunaan Non Pertanian. Laporan Penelitian Tahun II. Bandar Lampung (ID). Universitas Lampung. Sumaryo S Tahlim. 2005. Pemahaman Dampak Negatif Konversi Lahan Sawah Sebagai Landasan Perumusan Strategi Pengendaliannya. Prosiding Seminar Penanganan Konversi Lahan dan Pencapaian Pertanian Abadi. Bogor (ID). LPPM IPB. Suparmoko. 1989. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan: Suatu Pendekatan Teoritis. Yogyakarta(ID). PAU-UGM. Utama D. 2006. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah ke Penggunaan non Sawah di Kabupaten Cirebon. Skripsi. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor. Utomo. 1992. Alih Fungsi Lahan: Tinjauan Analisis dalam Makalah Seminar Pembangunan dan Pengendalian Alih Fungsi Lahan. Bandar Lampung (ID). Universitas Lampung. Winoto J. 2005. Kebijakan Pengendalian Alih Funsi Tanah Pertanian dan Implementasinya. Prosiding Seminar Penanganan Konversi Lahan dan Pencapaian Pertanian Abadi. Bogor (ID). LPPM IPB. Yamin, S. dan Kurniawan, H. 2009. SPSS Complete : Teknik Analisis Statistik Terlengkap dengan Software SPSS. Jakarta (ID). Salemba Infotek. Yunus. H. 2004. Struktur tata ruang kota. Yogyakarta (ID). Pustaka pelajar. 65

66 Lampiran 1. Kuisioner Penelitian INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN Jl. Kamper level 5 wing 5 Kampus IPB Dramaga Bogor (16680) KUISIONER PENELITIAN Hari/Tanggal :... Nomor Responden :... Nama Responden :... Alamat Responden :...... No. Telepon/ HP :... Kuesioner ini digunakan sebagai bahan wawancara untuk narasumber dalam skripsi mengenai Keterkaitan Konversi Lahan Pertanian dengan Keberadaan Central Bussines District (CBD) Simpang Lima Gumul, Kabupaten Kediri" oleh As Ad Ali Mutakin (H44080034). Kami memohon partisipasi saudara untuk mengisi kuesioner ini dengan teliti dan lengkap sehingga dapat menjadi data yang objektif. Informasi yang saudara berikan akan dijamin kerahasiaanya, tidak untuk dipublikasikan, dan tidak untuk digunakan dalam kepentingan politis. Atas perhatian dan partisipasi Saudara, Saya ucapkan terima kasih. A. Karakteristik Responden 1. Jenis kelamin : L/P 2. Umur :... tahun 3. Status pernikahan : belum/sudah menikah 4. Pendidikan formal terakhir Tidak Sekolah Lulus SMA Tidak Lulus SD Lulus PT Lulus SD Lainnya... Lulus SLTP 5. Pendidikan non-formal a.... Lamanya :... bulan/tahun b.... Lamanya :... bulan/tahun c.... Lamanya :... bulan/tahun 6. Status kependudukan Penduduk asli Pendatang Lainnya... 7. Lama tinggal :... tahun 8. Jumlah tanggungan keluarga... orang 9. Pekerjaan Anda saat ini a. PNS/Swasta c. Pedagang e. Wirawasta b. Petani d. Buruh f. Lainnya,

67 10. Pekerjaan sampingan Ada a. sebagai... penghasilan Rp.../bulan b. sebagai... penghasilan Rp.../bulan c. sebagai... penghasilan Rp.../bulan Tidak ada B. Kondisi Pertanian 1. Pengalaman Bertani :... tahun 2. Status Kepemilikan lahan Milik Sendiri Sewa Menggarap (bagi hasil) Lainnya... 3. Luas total lahan pertanian yang dimiliki...ha 4. Luas lahan sawah yang dimiliki...ha 5. Luas lahan bangunan (di dalam lahan pertanian) yang dimiliki...m 2 6. Jarak lahan pertanian dengan rumah... km/m 7. Jarak lahan pertanian dengan jalan raya... km/m 8. Jarak lahan pertanian dengan CBD Simpang Lima Gumul... km/m 9. Jumlah panen padi per tahun... kali 10. Produktifitas lahan sawah pada musim rendeng.../ha 11. Jumlah hasil panen yang dikonsumsi sendiri dan digunakan untuk bibit pada musim rendeng adalah... 12. Harga jual padi pada musim rendeng Rp.../... 13. Biaya pertanian sampai satu kali panen pada musim rendeng a. Sewa Lahan : e. Air : b. Bibit : f. Pajak : c. Pupuk : g. Transpotasi : d. Upah : h. Lainnya : 14. Produktifitas lahan sawah pada musim kering.../ha 15. Jumlah hasil panen yang dikonsumsi sendiri dan digunakan untuk bibit pada musim kering adalah... 16. Harga jual padi pada musim kering Rp.../... 17. Biaya pertanian sampai satu kali panen pada musim kering a. Sewa Lahan : e. Air : b. Bibit : f. Pajak : c. Pupuk : g. Transpotasi : d. Upah : h. Lainnya :

68 C. Persepsi Terhadap Alih Fungsi Lahan 1. Pernah menjual lahan atau properti a. Ya b. Tidak 2. Jika ya berupa lahan 1. Rumah dan Pekarangan (Lahan Kering) 2. Lahan Sawah (Lahan Basah) 3. Jika lahan pertanian (1.1) alasannya a. Produktifitas menurun b. Hasil atau usaha menurun c. 1 & 2 4. Jika lahan pertanian (2.2) transaksinya a. Tahun... Luasnya... Harga jual/menjadi... Jarak dengan CBD... b. Tahun... Luasnya... Harga jual/menjadi... Jarak dengan CBD... c. Tahun... Luasnya... Harga jual/menjadi... Jarak dengan CBD... 5. Pendapatan hasil pertanian (padi) sebelum menjual lahan satu kali panen Rp... 6. Pendapatan sampingan sebelum menjual lahan Rp.../bulan 7. Pernah ditawari untuk menjual lahan pertanian Ya a. Pelaku... Luasnya... Harga jual... b. Pelaku... Luasnya... Harga jual... c. Pelaku... Luasnya... Harga jual... Tidak 8. Jika seandainya lahan akan di jual, yang selanjutnya dilakukan petani Bertani tetapi pindah ke wilayah lain Ganti pekerjaan sebagai... Tidak bekerja lagi

69 Lampiran 2. Peta Kawasan Strategis Kabupaten Kediri Sumber: Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kabupaten Kediri 2013

70 Lampiran 3. Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kediri tahun 2011 dalam RTRW Sumber: Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kabupaten Kediri 2013 Gambar Peta Rencana Struktur Ruang Wilayah Kabupaten Kediri

71 Sumber: Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kabupaten Kediri 2013 Gambar Peta Rencana Pola Ruang Wilayah Kabupaten Kediri

72 Lampiran 4. Konversi Lahan yang dilakukan oleh Responden nomer Konversi / transaksi LLDS LKLP LLT LKPK 1 jual 5203.13 0 2390.63 0 2 beli 2812.50 0 2812.50 0 3 jual - konversi 5343.75 0 1125.00 1125.00 4 jual 5625.00 0 1406.25 0 5 beli - konversi 1406.25 0 365.63 365.63 6 beli 9843.75 0 2812.50 0 7 jual 5625.00 0 1406.25 0 8 jual 1406.25 0 1406.25 0 9 jual 6328.13 0 1406.25 0 10 konversi 5625.00 140.63 0 0 11 jual - konversi 4500.00 0 2390.63 2390.63 12 jual - konversi 7312.50 0 3796.88 3796.88 13 jual - konversi 5203.13 0 2390.63 2390.63 14 jual - konversi 4781.25 0 2601.56 2601.56 15 jual - konversi 11812.50 0 4781.25 4781.25 16 konversi 2039.06 351.56 0 0 17 jual - konversi 15892.19 0 5892.19 5892.19 18 jual - konversi 7390.63 0 2390.63 2390.63 19 jual - konversi 9843.75 0 4781.25 4781.25 20 jual - konversi 12585.94 0 5554.69 5554.69 21 jual 7812.50 0 2812.50 0 22 jual 7031.25 0 4218.75 0 23 jual 11250.00 0 1406.25 0 24 konversi 1406.25 520.31 0 0 25 beli 0 0 8437.50 0 26 jual 3375.00 0 1617.19 0 27 beli - konversi 0 0 7000.00 7000.00 28 beli 9281.25 0 4781.25 0 29 jual 4078.13 0 6890.63 0 30 jual 5492.19 0 3023.44 0 Sumber: Data Primer (diolah) Keterangan LLDS : Luas lahan yang dimiliki sebelumnya (m²) LKLP : Luas lahan yang dikonversi langsung oleh petani (m²) LLTL : Luas lahan yang ditransaksikan (m²) LKPK : Luas lahan yang dikonversi oleh pihak kedua (m²) Konversi / transaksi 1. Konversi : petani melakukan konversi tanpa perantara 2. Jual : petani menjual lahannya 3. Beli : petani membeli lahan baru 4. Jual konversi : petani menjual lahan selanjutnya pihak pembeli mengkonversinya 5. Beli konversi : petani membeli lahan baru lalu mengkonversi lahan baru tersebut

Lampiran 5. Hasil Olahan Data Regresi Linear Berganda Fungsi Faktor- Faktor ANOVA b Model Sum of Squares df Mean Square F Sig. 1 Regression 9.660E7 5 1.932E7 11.872.000 a Residual 3.906E7 24 1627416.016 Total 1.357E8 29 a. Predictors: (Constant), luas_sebelumnya, jarak, tanggungan, harga_permeter, income_tani b. Dependent Variable: luas_konversi 73 Model Uji Multikolinearitas Unstandardized Coefficients Coefficients a Standardized Coefficients Collinearity Statistics B Std. Error Beta t Sig. Tolerance VIF 1 (Constant) -1442.725 972.261-1.484.151 tanggungan 415.544 261.881.190 1.587.126.838 1.193 jarak -.800.272 -.334-2.938.007.929 1.077 harga_permeter.003.001.602 5.153.000.879 1.138 income_tani -.026.108 -.032 -.246.808.699 1.431 luas_sebelumnya.349.075.620 4.647.000.674 1.485 a. Dependent Variable: luas_konversi keterangan : Hasil regresi dalam penelitian ini tidak terdapat masalah multikolinearitas karena semua variabel VIF nya kurang dari 10 (VIF<10). Uji Autokorelasi Model R R Square Model Summary b Adjusted R Square Std. Error of the Estimate Durbin-Watson 1.844 a.712.652 1275.70217 1.656 a. Predictors: (Constant), luas_sebelumnya, jarak, tanggungan, harga_permeter, income_tani b. Dependent Variable: luas_konversi Keterangan: Nilai DW antara 1.55 dan 2.46 menunjukkan tidak ada autokorelasi (Firdaus 2004). Hasil pengolahan data didapat nilai DW sebesar 1.656.

74 Uji Normalitas (Kolmogorov-Smirnov) : One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Unstandardized Residual N 30 Normal Parameters a Mean.0000000 Std. Deviation 1.16052878E3 Most Extreme Differences Absolute.079 Positive.074 Negative -.079 Kolmogorov-Smirnov Z.434 Asymp. Sig. (2-tailed).992 a. Test distribution is Normal. Nilai Asymp. Sig. (2-tailed) 0.992 lebih besar dari (α=0.15) maka asumsi residual menyebar normal terpenuhi. Uji Heteroskedastisitas Gambar: scatterplot

75 Uji Gletjer : Model Unstandardized Coefficients Coefficients a Standardized Coefficients Collinearity Statistics B Std. Error Beta t Sig. Tolerance VIF 1 (Constant) 885.135 471.812 1.876.073 tanggungan -86.502 127.084 -.138 -.681.503.838 1.193 jarak.015.132.022.116.909.929 1.077 harga_permeter -8.981E-5.000 -.064 -.322.750.879 1.138 income_tani.045.052.194.870.393.699 1.431 luas_sebelumnya.037.036.234 1.029.314.674 1.485 a. Dependent Variable: uji_residual keterangan : Uji Gletjer untuk mendeteksi ada atau tidaknya masalah heteroskedastisitas. Hasil uji gletjer menunjukkan tidak terjadi masalah heteroskedastisitas yang dapat dilihat pada Sig. Nilai semua variabel Sig.nya melebihi α=0,15.

76 Lampiran 6. Dokumentasi Kegiatan