BAB I PENDAHULUAN. pendidikan sendiri tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Pendidikan didefinisikan sebagai alat untuk memanusiakan manusia dan juga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tujuan nasional dari negara Indonesia yang tercantum dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kata adversity berasal dari bahasa Inggris yang berarti kegagalan atau kemalangan

Jurnal Diversita, 3 (1) Juni (2017) p-issn: e-issn: Jurnal Diversita. Available online

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. mempertajam keterampilan yang dimiliki serta menjalin pertemanan dengan

BAB I PENDAHULUAN. dewasa ini banyak permasalahan yang dialami para pelaku pendidikan.

BAB I PENDAHULUAN. positif dan dampak negatif dalam kehidupan kita. Berbagai macam orang dari

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa. lainnya. Masalah yang paling sering muncul pada remaja antara lain

BAB I PENDAHULUAN. sesamanya dalam kehidupan sehari-hari. Untuk menjalankan kehidupannya

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan menurut Kunandar (2009) merupakan investasi Sumber Daya

BAB 1 PENDAHULUAN. pasal 31 ayat 1 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa tiap-tiap warga negara

BAB I PENDAHULUAN. dengan menjadi mahasiswa di suatu perguruan tinggi.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu diantara sedikit negara di dunia yang

BAB 2 LANDASAN TEORI. Pada bab 2 akan dibahas landasan teori dan variabel-variabel yang terkait

BAB I PENDAHULUAN. seberapa besar perkembangan pendidikannya (Sanjaya, 2005). Menurut UU RI No

BAB I PENDAHULUAN. ketidakcocokan antara tuntutan fisiologis dan psikologis berdasarkan situasi dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perasaan cemas dan tidak nyaman ini dapat dirasakan baik oleh kelompok mayoritas

BAB 1 PENDAHULUAN. memberikan biaya pendidikan gratis bagi siswa berprestasi dan beasiswa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan atau sekolah dapat tercapai dengan lebih efektif dan efisien (Zamroni,

BAB I PENDAHULUAN. membangun bangsa ke arah yang lebih baik. Mahasiswa, adalah seseorang

BAB I PENDAHULUAN. Pada era gobalisasi ini, perkembangan masyarakat di berbagai bidang

Perkembangan Sepanjang Hayat

Amanda Luthfi Arumsari Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro Semarang ABSTRAK

H, 2016 HUBUNGAN ANTARA REGULASI EMOSI DAN KONTROL DIRI DENGAN PERILAKU BULLYING

BAB V. Kesimpulan. Studi mengenai etnis Tionghoa dalam penelitian ini berupaya untuk dapat

BAB I PENDAHULUAN. bagi masyarakat, karena banyakdari kaum laki-laki maupun perempuan, tua

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berpengaruh terhadap kemajuan perusahaan adalah karyawan yang berkualitas.

BAB I PENDAHULUAN. Salah satunya adalah krisis multidimensi yang diderita oleh siswa sebagai sumber

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang khas yang menghadapkan manusia pada suatu krisis

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih dikenal dengan multikultural yang terdiri dari keragaman ataupun

BAB I PENDAHULUAN. ada di atas rata-rata anak seusianya. Hal ini membuat anak berbakat membutuhkan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia penuh dengan keberagaman atau kemajemukan. Majemuk memiliki

BAB I PENDAHULUAN. bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia

BAB I PENDAHULUAN. terjadi perubahan-perubahan baik dalam segi ekonomi, politik, maupun sosial

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Hubungan Antara..., Melly, FPSI UI, 2008

BAB I PENDAHULUAN. Kecemasan dan ketakukan adalah sinyal peringatan. dan bertindak sebagai peringatan atas ancaman dari dalam

BAB I PENDAHULUAN. ingin dicapai dari proses pendidikan yaitu menghasilkan manusia yang terdidik

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam dunia pendidikan, sebutan UN atau Ujian Nasional sudah tidak asing

BAB II LANDASAN TEORI. berperilaku (Bandura, 1997). Selanjutnya, Bandura (1997) menambahkan bahwa selfefficacy

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang majemuk secara etnik, agama, ras dan golongan.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu memiliki kepribadian atau sifat polos dan ada yang berbelit-belit, ada

BAB I PENDAHULUAN. Mahasiswa merupakan kaum akademisi yang menempati strata paling

PENDAHULUAN. (Susetyo, 2010, h. 29), jumlah populasi orang Jawa kira-kira 47. mendominasi di Indonesia berdasarkan jumlah populasinya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Stres merupakan pengalaman atau kejadian yang dialami oleh

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Subjek berasal dari keluarga tidak harmonis, sejak kecil subjek berada dalam

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan, sehingga terus berusaha untuk memajukan kualitas pendidikan yang ada.

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB V KESIMPULAN. Bab ini berisi kesimpulan akhir dari penulisan skripsi ini. Kesimpulan ini

BAB I PENDAHULUAN. pasangan yang diinginkan menjadi bermacam-macam sesuai pandangan ideal

AKULTURASI MAHASISWA PRIBUMI DI KAMPUS MAYORITAS TIONGHOA. Oleh : Tantri Kusuma Wardhani ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dunia pendidikan semakin lama semakin berkembang sesuai dengan

BAB I PENDAHULUAN. dalam bentuk tertentu, dalam kadar berat ringan yang berbeda dan dalam. Tak seorang pun bisa terhindarkan dari stres.

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sejalan dengan meningkatnya ketergantungan ekonomi,

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah merupakan wadah bagi individu untuk mengembangkan aspek-aspek

BAB I PENDAHULUAN. di bidang tekhnologi, ilmu pengetahuan, ekonomi, dan pendidikan. Perubahan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Ujian Nasional (UN) merupakan salah satu sumber penyebab kecemasan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pendidikan rakyatnya rendah dan tidak berkualitas. Sebaliknya, suatu negara dan

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan zaman membuat manusia harus bisa beradaptasi dengan

BAB I PENDAHULUAN. seseorang (Sugiyanto dalam Cahyani,2013). Sugiyanto juga menjelaskan bahwa prestasi

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju masa

BAB I PENDAHULUAN. Perilaku menyontek atau cheating merupakan salah satu fenomena dalam

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia merupakan kondisi yang kaya akan suku bangsa atau sering

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah internasional adalah sekolah yang melayani siswa yang berasal dari sejumlah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Permasalahan yang dialami para siswa di sekolah sering kali tidak dapat

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health organization (WHO) pada tahun 2012, depresi. konsentrasi yang buruk. Sementara itu depresi merupakan gangguan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga menurut Lestari (2012) memiliki banyak fungsi, seperti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tempat yang terdekat dari remaja untuk bersosialisasi sehingga remaja banyak

I. PENDAHULUAN. istilah remaja atau adolenscence, berasal dari bahasa latin adolescere yang

BAB I PENDAHULUAN. keyakinan dan kepercayaannya. Hal tersebut ditegaskan dalam UUD 1945

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan tinggi memiliki tujuan yaitu menyiapkan peserta didik menjadi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pengertian pendidikan dijelaskan menurut Undang-undang Nomor 20 tahun 2003

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Devi Eryanti, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mengembangan berbagai potensi yang dimiliki anak. Usia 4-6 tahun adalah suatu tahap

I. PENDAHULUAN. kelompok-kelompok perorangan dengan jumlah kecil yang tidak dominan dalam

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dipandang mampu menjadi jembatan menuju kemajuan, dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dan tersebar di berbagai pulau. Setiap pulau memiliki ciri khas dan

BAB I PENDAHULUAN. yang akan menjadi penerus bangsa. Tidak dapat dipungkiri, seiring dengan terus

BAB I PENDAHULUAN. Panti asuhan merupakan suatu lembaga yang sangat populer untuk

BAB I PENDAHULUAN. yang menjembatani masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Pada usia ini individu

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan kewarganegaraan (PKn) adalah program pendidikan berdasarkan nilainilai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai sebuah negara yang masyarakatnya majemuk, Indonesia terdiri

LANDASAN SOSIOLOGIS. Ruang lingkup yang dipelajari oleh sosiologi pendidikan meliputi empat bidang :

BAB I PENDAHULUAN. kemudahan dalam kehidupan (Ozler & Polat, 2012). Kini telah banyak

HUBUNGAN ANTARA GEGAR BUDAYA DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA MAHASISWA BERSUKU MINANG DI UNIVERSITAS DIPONEGORO

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. kebiasaan, bahasa maupun sikap dan perasaan (Kamanto Sunarto, 2000:149).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pendidikan didefinisikan sebagai alat untuk memanusiakan manusia dan juga sebagai alat mobilitas vertikal ke atas dalam golongan sosial. Konsep mengenai pendidikan sendiri tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 bahwa salah satu tujuan negara yaitu mencerdaskan bangsa dan mengarahkan kepada mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pasal 31 UUD 1945 Amandemen IV ayat pertama menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa setiap orang berhak untuk mengenyam pendidikan sebagai warga negara Indonesia yang tinggal di negara Indonesia ini (Undang-Undang Dasar, 1945). Berdasarkan pernyataan dari konstitusi di atas, setiap orang siapapun dia, bersuku apapun, beragama apapun, selagi merupakan rakyat Indonesia berhak untuk mengenyam pendidikan di institusi mana pun. Indonesia sebagai negara multikultur tidak akan pernah lepas dengan diversitas sosiokultural di dalam suatu institusi pendidikan. Sebagaimana kultur didefinisikan sebagai pola perilaku, keyakinan, dan semua produk dari kelompok orang tertentu yang diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya (Chun, Organizta, & Marin, 2002; Thomas, 2000 dalam Santrock, 2008). Indonesia sebagai negara multikultural, salah satu tema penting dalam kerangka persatuan nasional berkaitan dengan persoalan-persoalan mengenai 1

pengintegrasian berbagai etnik (Mendatu, 2010). Multikultural telah menghasilkan keberagaman sebagai hasil dari perbedaan ras dan etnik yang merujuk kepada identitas diri seseorang (Mitchell & Salsbury, 1999). Penggolongan etnik di Indonesia sendiri terbagi ke dalam dua kategori besar, yakni pribumi dan non pribumi sehingga melahirkan entitas mayoritas dan minoritas yang berdasarkan jumlah anggota di dalam kelompok pribumi ataupun non pribumi (Mendatu, 2010). Isu mengenai etnik pribumi dan non pribumi merupakan hasil diskriminatif penjajahan lalu yang tidak pudar sampai sekarang (Pelly, 2003). Istilah pribumi didefinisikan sebagai penduduk asli Indonesia yang berasal dari suku-suku asli (mayoritas) di Indonesia. Sedangkan penduduk Indonesia keturunan Tionghoa, India, ekspatriat asing (umumnya kulit putih) maupun campuran dikelompokkan sebagai non pribumi, meski telah beberapa generasi dilahirkan di Indonesia. (Mendatu, 2010). Dalam dunia pendidikan sendiri, pada zaman pemerintah kolonial Belanda pernah memisahkan pendidikan sesuai dengan pengelompokan masyarakat Hindia Belanda, yaitu sekolah-sekolah untuk orang: (1) Eropa/kulit putih (European), (2) orang Timur asing termasuk Tionghoa, Arab, dan India (Vreemde Oostelingen), dan (3) orang-orang Bumiputra (Inheemshen) (Pelly, 2003). Pembagian masyarakat inilah yang mewariskan jurang pemisah antara pribumi dan non pribumi dalam masyarakat Indonesia pada era pasca kolonial. Pada akhirnya muncul kebijakan asimilasi yang merupakan cara agar kelompok minoritas dapat melebur ke dalam kelompok mayoritas (Mendatu, 2010). Peleburan tersebut tidak hanya dalam konteks sosial, namun di dalam dunia pendidikan. 2

Sebagai bentuk kebijakan asimilasi, pada tahun 1967 pemerintah mendirikan Sekolah Nasional Proyek Khusus (SNPK) sebagai sekolah pembauran (berdasarkan Intruksi Presiden Kabinet No. 37/U/In/G/1967). Sekolah dilihat sebagai wadah pembauran (melting pot) antara kelompok pribumi dengan kelompok non pribumi, agar generasi muda non pribumi dapat meleburkan diri dan budayanya ke dalam budaya nasional melalui wadah pendidikan. Di Sumatera Utara berdiri 32 buah sekolah SNPK untuk tingkat SD, SMP, dan SMA dengan mewajibkan komposisi siswa-siswa 50% non pribumi dan 50% siswa pribumi (Pelly, 2003). Santrock (2008) menyatakan bahwa pemisahan pendidikan masih menjadi suatu fakta dalam dunia pendidikan, sehingga pengalaman sekolah siswa dari kelompok etnis yang berbeda juga berbeda satu sama lainnya. Pengalaman historis, ekonomi, dan sosial telah melahirkan prasangka dan perbedaan antarkelompok etnis. Spencer (2000) menyatakan bahwa individu dalam suatu kelompok etnis akan menyesuaikan diri dengan nilai, sikap, dan tekanan dari etnis tersebut sehingga membuat perbedaan perilaku dengan kelompok etnis lainnya. Perbedaan antarkelompok etnis melahirkan perbedaan antara etnis minoritas dan mayoritas. Suatu kelompok dikatakan sebagai minoritas apabila jumlah anggota kelompok tersebut secara signifikan jauh lebih kecil daripada kelompok lain di dalam komunitas (Mendatu, 2010). Sedangkan kelompok mayoritas atau kelompok dominan dalam suatu komunitas merupakan kelompok yang memiliki kontrol (Liliweri, 2005). Menurut Hogg (2003) mengenai status mayoritas dan 3

status minoritas tergantung pada kriteria jumlah (besar versus kecil) seperti persentase individu yang menduduki pada suatu posisi. Konsep pembauran merupakan konsep metafora yang menetapkan bahwa kelompok minoritas (microculture) harus melebur ke dalam kelompok mayoritas, menyingkirkan bahasa ibu mereka dan tradisi budayanya dan menyesuaikan adat istiadat budaya dengan budaya mayoritas (macroculture) (Mitchell & Salsburry 1999). Pembauran dapat dilihat dalam lapisan masyarakat, termasuk dalam lembaga pendidikan dari tingkat dasar sampai tingkat atas sebagai wadah pembauran atau melting pot (Glazer & Moynihan, 1963). Menurut Pelly (2003) melting pot dapat dianggap sebagai wadah asimilasi dengan harapan agar kelompok minoritas dapat meleburkan (dirinya dan budayanya) kepada kelompok yang lebih dominan. Salah satu sekolah pembauran yang berada di Sumatera Utara adalah Yayasan Perguruan Wage Rudolf Supratman Medan yang ikut serta melaksanakan Instruksi Presiden Kabinet No. 37/U/In/G/1967. Sebelumnya sekolah ini khusus untuk siswa-siswa Tionghoa dengan nama Perguruan Tribukit. Setelah mengikuti program pembauran, sekolah ini berubah menjadi Perguruan Wage Rudolf Supratman. Sampai saat ini, siswa-siswi di sekolah ini mayoritas merupakan WNI keturuan asing khususnya Tionghoa. Dibandingkan dengan sekolah-sekolah pembauran lainnya, sekolah WR.Supratman ini membedakan antara siswa pribumi dan non pribumi berdasarkan identitas etnis yang dimiliki siswa dan kemudian membedakan jumlah besaran uang sekolah yang dikenakan kepada masing-masing siswa ini. 4

Berdasarkan informasi dari Kepala Sekolah SMP WR.Supratman 2 Medan, jumlah siswa pribumi di sekolah ini sekitar 30% dari jumlah keseluruhan siswa, sehingga proporsi siswa pribumi dan non pribumi sekitar 30:70. Berdasarkan penelitian Pelly (2003) mengenai murid pri dan non pri di sekolah pembauran di kota Medan, menyatakan bahwa jumlah siswa pribumi dan non pribumi sulit untuk mencapai jumlah setara sesuai dengan program pemerintah. Hal ini dikarenakan terdapat hambatan fisik dan psikologis, seperti keengganan belajar di satu kelas yang sama dengan WNI keturunan Tionghoa, letak sekolah pembauran yang sebagian besar berada di komunitas WNI keturunan Tionghoa, disiplin sekolah yang ketat, dana untuk buku, pakaian, dan uang sekolah yang tinggi (walaupun beberapa sekolah memberikan keringanan kepada mereka, terutama dalam pembayaran uang sekolah). Di sekolah pembauran sendiri, tak lepas dari masalah-masalah akademik yang dapat mempengaruhi proses belajar siswa di sekolah. Berdasarkan hasil wawancara personal dengan guru Bimbingan dan Konseling di sekolah WR.Supratman 2, masalah yang sering dihadapi adalah pelanggaran peraturan seperti membawa dan menggunakan barang elektronik (misal handphone) saat pembelajaran, cabut dari sekolah, dan berpakaian yang tidak dibenarkan oleh sekolah. Masalah lainnya adalah beban dari pelajaran seperti beban pekerjaan rumah yang dirasa terlalu banyak, dan ini merupakan salah satu alasan murid untuk keluar dari sekolah. Berdasarkan paparan guru Bimbingan Konseling angka drop out sekitar 2% ditelusuri alasannya penyebabnya dikarenakan kesulitan mengikuti pelajaran yang ada, merasa beban pendidikan yang terlalu berat, 5

persaingan akademik yang kompetitif dan jumlah pekerjaan rumah (PR) yang terlalu banyak. Selain itu, berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa siswa SMP, menunjukkan bahwa peraturan kedisplinan serta kompetisi yang ketat di sekolah, membuat mereka harus berusaha lebih giat untuk masuk kedalam arus kompetisi ini serta mencapai peringkat yang sesuai dengan harapan diri sendiri dan orang tua. Hal ini terkadang membuat mereka merasa tertekan dengan keadaan yang ada. Selain itu tugas pekerjaan rumah yang dirasakan terlalu banyak serta kesiapan siswa untuk belajar dalam rangka mempersiapkan ujian yang selalu diadakan setiap bulannya dan ujian tiap semesternya. Berdasarkan beberapa data kuesioner yang disebar peneliti, dapat diketahui tentang pernyataan siswa-siswi mengenai persaingan yang ketat, kekhawatiran turunnya peringkat, pekerjaan rumah yang terlalu banyak, adanya tugas liburan, peraturan disiplin yang ketat yang membuat mereka merasa tertekan. Hal di atas menunjukkan bahwa ada hubungannya dengan stres akademik yang dirasakan siswa. Stressor di bidang akademis yang dihadapi oleh siswa tidak menyebabkan kecemasan dan ketegangan dengan sendirinya. Stres dihasilkan dari interaksi antara stressor dan persepsi individu serta reaksi terhadap stressor yang ada (Gadzella & Baloglu, 2001). Stres menjadi topik penting dalam lingkup akademik dimana bidang akademik tidak lepas dari aktivitas-aktivitas yang membuat stres. Menurut Sarafino (2006) stres merupakan keadaan dimana seseorang merasa adanya ketidakcocokan antara tuntutan psikologis dan fisiologis berdasarkan situasi dari sumber biologis, psikologis, ataupun sosial yang ada pada 6

diri individu. Keadaan stres dapat membuat seseorang merasa tertekan karena situasi yang dinilai berbahaya ataupun mengancam (Sarafino, 2006). Hal ini umum terjadi dalam kehidupan akademis seorang siswa (Agola & Ongori, 2009). Stres akademik merupakan stres yang berhubungan dengan aspek pembelajaran, khususnya pengalaman belajar (Nanwani, 2010). Hutabarat (2009) menyatakan bahwa dampak negatif dari terjadinya stres dapat mempengaruhi keefektifan performa individu dalam melakukan sebuah tugas, mengganggu fungsi kognitif, dapat menyebabkan burnout, menyebabkan masalah, gangguan fisik dan psikologis. Selain itu Armacort (dalam Rice, 1993) mengemukakan bahwa stres berhubungan langsung dengan prestasi yang rendah di sekolah karena stres dapat membuat siswa merasa tidak sanggup untuk belajar. Performansi yang buruk diindikasikan sebagai hasil dari kesulitan coping terhadap stres dan sering membuat terjadinya kasus dropping out (Rice, 1993). Stres akademik yang dialami secara terus menerus akan mengakibatkan penurunan daya tahan tubuh sehingga mudah mengalami sakit (Oon, 2007). Siswa yang berada dalam keadaan stres menunjukkan gejala kesulitan emosional, perilaku agresif, pemalu, social-phobia dan kurang tertarik untuk melakukan aktivitas yang menyenangkan (Hussain, Kumar, & Husain, 2008). Menurut Kahn (2006) stress akademik dapat menyebabkan ketakutan untuk pergi ke sekolah, terlambat, atau menolak untuk hadir ke sekolah (absen), terjadinya kasus dimana anak mencari alasan untuk tidak pergi ke sekolah, atau pergi ke sekolah kemudian tanpa sepengetahuan orang tua absen di sekolah dan menghabiskan waktu mereka di luar sekolah. Hasil stres yang paling ekstrim dapat berupa perilaku kekerasan 7

(baik sebagai korban atau pelaku), menghindari interaksi sosial, depersonalisasi, kurangnya motivasi, dan tingginya agresi (Agola & Ongori, 2009). Konsekuensi negatif dari stres pada siswa, dapat menghalangi dirinya sendiri, teman-temannya dan institusi secara keseluruhan (Rice,1993). Dampak buruk dari stres dapat membahayakan kesejahteraan siswa terhadap kesehatan, kepribadian, interaksi sosial, dan pencapaian akademik mereka. Adapun stressor-stressor akademik yang dirasakan siswa adalah tes, kompetisi kelas, tuntutan waktu, orang tua, guru dan lingkungan kelas, sosial, dan kesuksesan masa depan (Rao, 2008). Sumber lainnya adalah ketakutan akan gagal pada suatu pelajaran, motivasi dalam belajar, tekanan waktu, kekhawatiran finansial, fokus pada kemampuan akademik, persaingan teman sebaya, hubungan interpersonal, dan cara pemikirannya sendiri, juga dapat menjadi sumber stres tersendiri (Smith & Renk, 2007). Suldo (2009) memfokuskan terhadap sumber stres akademik lainnya seperti stressor hubungan yang dirasakan oleh siswa seperti lingkungan, latar belakang etnis minoritas, status sosioekonomi, rasis, dan keluarga. Tambahan Papalia, Old, & Feldman (2008) menyatakan bahwa penyebaran stres meningkat sepanjang masa remaja. Oleh karena itu, remaja dalam suatu kelompok etnis minoritas mungkin akan merasa tidak aman, cenderung terlibat dalam perilaku kekerasan dan memiliki resiko yang tinggi gagal di sekolah (Suldo, 2009). Suatu hal yang menarik dimana kaum pribumi berada dalam komunitas Tionghoa, khususnya di lingkungan yang berorientasi akademik. Siswa pribumi menjadi kelompok minoritas dalam suatu komunitas yang mayoritas beretnis 8

Tionghoa. Siswa mayoritas dan minoritas yang berada di sekolah pembauran ini juga tak lepas dari masalah-masalah yang berkaitan dengan akademik. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa siswa pribumi sebagai kelompok siswa minoritas, diketahui adanya keluhan bahwa guru membanding-bandingkan prestasi belajar mereka dengan siswa mayoritas yakni siswa non pribumi, serta kesulitan sebagian besar siswa minoritas untuk bisa menduduki peringkat sepuluh besar di kelas, karena peringkat sepuluh besar di kelas diduduki oleh kelompok siswa mayoritas yakni non pribumi. Dari data kuesioner juga menunjukkan bahwa kelompok minoritas cenderung berteman dengan sesamanya karena terkendala bahasa yang sering digunakan di sekolah. Berbeda dengan siswa pribumi, berdasarkan hasil wawancara dengan siswa non pribumi, diketahui bahwa mayoritas siswa non pribumi memiliki keluhan seperti kesulitan memanajemeni waktu, dimana waktu-waktu mereka dipenuhi dengan les-les privat serta membantu bisnis orang tua, sehingga mereka terpaksa mengerjakan tugas di selasela waktu istirahat sekolah. Perbedaan stres akademik antara kelompok minoritas dan mayoritas ini ditunjukkan melalui penelitian-penelitian terdahulu. Rice (1993) melakukan penelitian pada siswa kulit hitam, hyspanic, dan siswa kulit putih di Southwestern untuk mencari penjelasan mengenai perbedaan ras dan etnis berkaitan dengan stres dalam kehidupan akademik di sekolah yang multietnik dimana kelompok ras ini menjadi minoritas di sekolah tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan stres akibat perbedaan etnis atau ras, perbedaan sumber daya personal, dan respon terhadap stres. Penelitian lain dilakukan oleh Greer (2008) 9

yang melihat perbedaan pengalaman stres antara siswa keturunan Afrika-Amerika di sekolah dengan latar belakang siswa kulit hitam dan yang bersekolah di sekolah yang diisi oleh sebagian besar siswa kulit putih. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa siswa keturunan Afrika-Amerika memiliki tingkat disstres yang tinggi di sekolah yang mayoritas siswanya berkulit putih dibanding di sekolah yang mayoritas siswanya berkulit hitam. Penelitian-penelitian di atas menunjukkan bahwa kondisi minoritas membawa konsekuensi tersendiri yang dapat mempengaruhi stres akademik. Status minoritas sebagai suatu konsep yang menunjukkan perbedaan yang berkaitan dengan ras dan keanggotaan etnis, apalagi stressor status kelompok minoritas meliputi konflik intragroup seperti perasaan tertekan untuk menunjukkan loyalitas pada satu kelompok tertentu dan merasa tekanan yang muncul akibat perbandingan kelompok, khususnya perbandingan hasil belajar (Greer, 2008). Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa siswa pribumi sebagai kelompok minoritas diketahui bahwa mereka merasa terasingkan dalam komunitas sekolah, karena sebagian siswa mayoritas yang beretnis Tionghoa sering menggunakan bahasa daerah mereka (bahasa Hokkien) baik dalam berdiskusi dengan kelompok, maupun berdiskusi dengan guru. Hal ini membuat siswa pribumi sulit menyesuaikan diri dan sulit untuk bergabung dengan mayoritas siswa non pribumi karena sering terkendala dengan bahasa yang digunakan di sekolah. Hal ini semakin memperlebar jurang pemisah antara kelompok pribumi dan non pribumi. Selain itu siswa pribumi sering dilabel dengan julukan anak nakal dan anak-anak yang sulit masuk peringkat tinggi di 10

kelas. Hal ini terjadi karena prestasi siswa pribumi kerap kali tidak sebaik kelompok siswa non pribumi. Menurut penelitian Smedley (1993) pada siswa keturunan Afrika-Amerika, status minoritas merupakan sumber unik pada stres yang dirasakan siswa yang memiliki dampak pada kehidupannya. Rice (1993) menyatakan bahwa siswa minoritas diindikasikan memiliki masalah dalam hal performansi akademik dan jumlah kasus drop out yang cukup tinggi. Dari hasil penelitian Zajacova dkk (2005) mengenai stres akademik pada siswa imigran (minoritas) di New York menunjukkan bahwa mayoritas dari populasi siswa minoritas beresiko mengalami stres tinggi, perasaan stres akan menjadi prediktor penting yang berdampak kepada prestasi akademik mereka. Faktor resiko yang berkaitan terhadap kondisi minoritas adalah pengalaman sehari-hari berupa perilaku diskriminasi dari individu, institusi dan politik, tempat kerja dan tempat tinggal karena suatu ras (Taylor,1994). Berdasarkan latar belakang di atas peneliti merasa perlu untuk meneliti mengenai perbedaan stres akademik antara kelompok siswa minoritas dengan kelompok siswa mayoritas di sekolah pembauran yakni di SMP WR.Supratman 2. Oleh karena itu, peneliti mengajukan penelitian dengan judul Perbedaan Stres Akademik antara Kelompok Siswa Minoritas dengan Mayoritas di SMP WR.Supratman 2 Medan. 11

B. RUMUSAN MASALAH Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada perbedaan stres akademik antara kelompok siswa minoritas dengan mayoritas di SMP WR.Supratman 2 Medan?. C. TUJUAN PENELITIAN Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat perbedaan stres akademik antara kelompok siswa minoritas dengan mayoritas. D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis a. Diharapkan dengan adanya penelitian ini, dapat memberikan sumbangsih dalam pengembangan ilmu Psikologi, khususnya bidang Psikologi Pendidikan mengenai stres akademik kelompok siswa minoritas dan mayoritas. b. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai referensi penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan stres akademik serta kaitannya dengan kelompok siswa dalam konteks minoritas dan mayoritas. 2. Manfaat Praktis a. Bagi sekolah Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran mengenai stres akademik yang dirasakan siswa-siswa SMP WR.Supratman 2 baik pada kelompok siswa minoritas dan mayoritas. 12

b. Bagi siswa Siswa mengetahui stres yang dialami sehingga siswa lebih menyadari kondisi stres akademik yang dialami saat berada di sekolah. E. SISTEMATIKA PENULISAN Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah, sebagai berikut: Bab I Pendahuluan Bab ini terdiri atas latar belakang masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II Landasan Teori Bab ini menguraikan landasan teori mengenai stres akademik dan kelompok siswa. Bab ini juga mengemukakan hipotesa sebagai dugaan sementara terhadap masalah penelitian. Bab III Metode Penelitian Bab ini menguraikan identifikasi, definisi operasional, populasi, sampel, dan metode pengambilan sampel, alat ukur, uji validitas dan reliabilitas alat ukur, prosedur pelaksanaan penelitian, serta metode analisa data. Bab IV Analisa Data dan Pembahasan Bab ini berisikan mengenai gambaran umum subjek penelitian, hasil utama penelitian dan hasil tambahan penelitian. Bab V Kesimpulan dan Saran Bab ini berisikan mengenai hasil penelitian yang telah dilakukan memuat kesimpulan dan saran penelitian. 13