Pengaruh Penambahan Nitrogen dan Sulfur pada Ensilase Jerami Jagung Terhadap Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik pada Sapi Potong (In Vitro) The Influence of Nitrogen and Sulfur Addition on Corn Straw Ensilage to Digestibility of Dry Matter and Organic Matter of Beef Cattle (in vitro) Erni Mayasari *, Budi Ayuningsih**, Rahmat Hidayat** * Alumni Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Tahun 2015 ** Laboratorium Nutrisi Ternak Ruminansia dan Kimia Makanan Ternak Fakultas Peternanakan Universitas Padjajaran email: emayasari93@gmail.com ABSTRAK Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi Ternak Ruminansia dan Kimia Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran tanggal 1 April 2015 31 Mei 2015. Tujuan penelitian mengetahui pengaruh penambahan nitrogen dan sulfur pada ensilase jerami jagung dan persentase penambahan nitrogen dan sulfur paling tinggi terhadap kecernaan bahan kering dan bahan organik (in vitro). Penelitian ini penelitian eksperimental yang menggunakan RAL (Rancangan Acak Lengkap) dengan empat perlakuan yaitu P0 : ensilase jerami jagung tanpa penambahan N dan S; P1: ensilase jerami jagung dengan penambahan 2 % N dan 0,150 % S; P2: ensilase jerami jagung dengan penambahan 2,5 % N dan 0,186 % S; P3: ensilase jerami jagung dengan penambahan 3 % N dan 0,225 % S. Setiap perlakuan diulang lima kali. Peubah yang diukur adalah kecernaan bahan kering dan bahan organik pada sapi potong (in vitro). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan nitrogen dan sulfur berpengaruh nyata (P<0,05) kecernaan bahan kering dan bahan organik. Penambahan 2,5% N dan 0,186% S pada ensilase jerami jagung menghasilkan kecernaan bahan kering (69,00%) dan kecernaan bahan organik (56,24%) (in vitro) paling tinggi. Kata kunci : jerami jagung, nitrogen, sulfur, silase, kecernaan dan in vitro. ABSTRACT The research was conducted on April 1 th 2014 - Mei 31 th 2015 at Ruminant Nutrition and Feed Chemistry, Faculty of Animal Husbandry, Universitas Padjadjaran. The aim of this research was to determine the influence of nitrogen and sulfur addition on corn straw ensilage to digestibility of dry matter and organic matter of cattle rumen liquor (in vitro). The reaserch used experimental method with Completely Randomized Design (CRD), the treatments were arranged as follow P0 : corn straw ensilage without N and S addition; P1 corn straw ensilage with 2 % N and 0,150 S addition; P1 corn straw ensilage with 2,5 % N and 0,186 S addition; P1 corn straw ensilage with 3 % N and 0,225 S addition. Each treatments were replicated five times. The measured variables were digestibility of dry matter and organic matter in the rumen (in vitro). The result of research showed that addition of nitrogen and sulfur have significant effect (P<0,05) on digestibillity of dry matter and organic matter of beef cattle rumen liquor. The addition of 2.5% nitrogen and 0.186% sulfur in corn straw ensilage had the highest dry matter (69.00%) and organic matter digestibility (56.24%) (in vitro). Key Word : corn straw, nitrogen, sulfur, silage, digestibility and in vitro 1
PENDAHULUAN Tanaman jagung merupakan tanaman yang mudah ditemui dan berkembang sangat baik di daerah tropis. Indonesia merupakan daerah tropis yang cocok untuk mengembangkan tanaman jagung, sehingga produksi tanaman jagung melimpah. Jerami jagung terdiri atas tangkai (batang) dan daun. Persentase masing-masing limbah antara lain 50% tangkai, 20% daun, 20% tongkol jagung dan 10% klobot jagung (Samples dan McCutcheon, 2000). Jumlah limbah jerami jagung di Indonesia, tersedia sebanyak 7.015.950 ton bahan kering, 25.056.965,21 ton bahan segar (Yuniarsih dan Nappu, 2013). Melimpahnya produksi jerami jagung di musim hujan memerlukan pengawetan, agar jerami jagung tersebut dapat dimanfaatkan secara maksimal di musim kemarau. Jerami jagung memiliki kandungan protein kasar 6,37%, serat kasar 27,61%, lemak kasar 0,47%, BETN 59,97%, abu 6,58%, air 49,16%, TDN 65,82% dan lignin 13,01% (Laboratorium Nutrisi Ternak Ruminansia dan Kimia Makanan Ternak, 2014). Jerami jagung sebagai hijauan pakan tergolong hijauan berkualitas rendah dengan daya cerna rendah karena kandungan proteinnya 6,37% dan serat kasarnya 27,61%. Pengolahan jerami jagung dibuat silase dapat memberikan beberapa keuntungan antara lain perbaikan mutu pakan. Proses pembuatan silase membutuhkan suplemen berupa bahan yang mengandung karbohidrat mudah larut, seperti molasses. Karbohidrat mudah larut sangat diperlukan oleh mikroba pada fase awal fermentasi. Suplemen lain yang digunakan adalah bahan yang merupakan sumber nitrogen dan sulfur. Nitrogen dan sulfur sangat diperlukan mikroba untuk proses pertumbuhannya, sehingga dapat memaksimalkan kerja mikroba tersebut selama proses fermentasi. Nitrogen merupakan bagian dari protein, asam nukleat dan koenzim yang mempunyai fungsi fisiologis bagi mikroba. Sumber nitrogen yang biasa digunakan adalah nitrogen anorganik yaitu berupa urea. Urea merupakan senyawa Non Protein Nitrogen (NPN) yang biasa digunakan sebagai sumber nitrogen karena mengandung unsur nitrogen yang cukup tinggi sekitar 46% sehingga dapat menyokong perkembangbiakan bakteri (Sapienza dan Bolsen, 1993; NRC, 1976). 2
Mineral sulfur merupakan mineral esensial bagi mikroba pencerna serat. Sulfur dibutuhkan untuk sintesis mikroba yang berperan dalam penyediaan asam amino esensil, terutama asam amino yang mengandung gugus sulfur, seperti sistin dan methionine, disamping itu juga penting untuk sintesa beberapa vitamin (thiamin dan biotin) serta coenzym. Kebutuhan mineral sulfur yaitu berkisar antara 0,14-0,26 % (rata-rata 0,2%) dari bahan kering (NRC, 1976). Penambahan nitrogen dan sulfur pada silase jerami jagung diharapkan dapat meningkatkan kualitas silase jerami jagung. Nilai kecernaan bahan organik sejalan dengan nilai kecernaan bahan kering, hal ini disebabkan karena bahan organik merupakan bagian dari bahan kering. Kandungan protein yang tinggi pada bahan pakan akan dimanfaatkan oleh bakteri rumen untuk berkembang biak, sehingga meningkatnya populasi bakteri akan meningkatkan kecernaan pakan diantaranya kecernaan bahan kering dan bahan organik. BAHAN DAN METODE Bahan penelitian yang digunakan adalah jerami jagung lokal hibrida pioneer 12 (Zea mays) yaitu bagian batang dengan daunnya yang dipanen umur 76 hari. Bahan lainnya adalah cairan rumen sapi potong, saliva buatan, gas karbondioksida (CO2), HgCl2 dan Pepsin HCl, molases, sumber nitrogen yaitu urea (CO(NH2)2 dan sumber sulfur yaitu natrium sulfat (Na2SO4). Alat yang digunakan adalah seperangkat alatpenelitian untuk silase, seperangkat alat uji in vitro, pengukur Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimental yang menggunakan RAL (Rancangan Acak Lengkap) dengan empat perlakuan yaitu P0 : ensilase jerami jagung tanpa penambahan nitrogen dan sulfur; P1: ensilase jerami jagung dengan penambahan 2 % N dan 0,150 % S; P2: ensilase jerami jagung dengan penambahan 2,5 % N dan 0,186 % S; P3: ensilase jerami jagung dengan penambahan 3 % N dan 0,225 % S. Setiap perlakuan diulang sebanyak lima kali. Peubah yang diukur adalah kecernaan bahan kering dan bahan organik pada sapi potong (In Vitro). 3
HASIL DAN PEMBAHASAN 1 Kering Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Kecernaan bahan kering suatu bahan pakan adalah kecernaan bahan organik dan anorganik bahan pakan tersebut. Kecernaan bahan kering yang tinggi menunjukkan tingginya nutrien yang dicerna. Semakin tinggi nilai kecernaan suatu bahan pakan, berarti semakin baik kualitas bahan pakan tersebut. Hasil penelitian pengaruh penambahan nitrogen dan sulfur pada ensilase jerami jagung terhadap kecernaan bahan kering disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Rataan Nilai Kecernaan Bahan Kering pada Berbagai Perlakuan Ulangan Perlakuan P0 P1 P2 P3...%... 1 63,13 65,30 68,91 62,97 2 62,58 66,64 69,42 62,60 3 62,84 65,60 68,47 63,48 4 63,15 65,78 69,82 61,12 5 62,29 65,87 68,36 61,98 Total 313,99 329,19 344,98 312,15 Rataan 62,80 65,84 69,00 62,43 Keterangan : P0 : silase jerami jagung + 0% Nitrogen dan 0% Sulfur; P1 : silase jerami jagung + 2% Nitrogen dan 0,150% Sulfur; P2 : silase jerami jagung + 2,5% Nitrogen dan 0,186% Sulfur; P3 : silase jerami jagung + 3% Nitrogen dan 0,225% Sulfur. Berdasarkan Tabel 1. dapat dilihat bahwa nilai kecernaan bahan kering hasil penelitian berkisar antara 62,43% sampai 69,00%. Menurut Schneider dan Flatt (1975) kisaran normal kecernaan bahan kering suatu bahan pakan adalah 50,7-59,7%. Sejalan pula dengan penelitian Abdurachman dkk., (2005) kecernaan bahan kering rumput gajah yang difermentasi menggunakan rumen sapi berkisar antara 54,33-64,20%. Selanjutnya untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap kecernaan bahan kering dilakukan analisis sidik ragam. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan nyata (P<0,05) mempengaruhi kecernaan bahan kering silase jerami jagung. Uji lanjut dengan menggunakan Uji Jarak Berganda Duncan dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh perbedaan antar perlakuan terhadap rata-rata kecernaan bahan organik. Berikut adalah Tabel hasil Uji Jarak Berganda Duncan. 4
Tabel 2. Signifikansi Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Kering dengan Uji Jarak Berganda Duncan Perlakuan Rataan (%) Signifikasi P3 62,43 a P0 62,80 a P1 65,84 b P2 69,00 c Keterangan : Huruf yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P < 0,05). Berdasarkan Tabel 2 di atas dapat diketahui bahwa penambahan nitrogen dan sulfur pada ensilase jerami jagung memberikan pengaruh nyata (P<0,05) terhadap kecernaan bahan kering. Dilihat dari hasil uji Duncan ini terjadi peningkatan kecernaan bahan kering pada penambahan nitrogen 2% dengan imbangan sulfur 0,150% (P1) dan penambahan nitrogen 2,5% dengan imbangan sulfur 0,186% (P2), tetapi apabila ditambahkan lebih banyak lagi dosis nitrogen dan sulfur yaitu seperti pada P3 nitrogen 3% dengan imbangan sulfur 0,225% terjadi penurunan kembali kecernaan bahan kering. Penurunan kecernaan bahan kering ini terjadi akibat berlebihnya penambahan nitrogen pada ensilase jerami jagung sehingga peran sulfur pun tidak dapat termanfaatkan. Penambahan nitrogen yang berlebih dapat menimbulkan dampak negatif yaitu terbentuknya amoniak (NH3) yang terlalu tinggi di dalam rumen yang dapat menyebabkan toksik atau keracunan dan penggunaannya tidak efisien. Suasana basa dalam rumen dapat mengakibatkan kematian bakteri rumen karena bakteri tidak dapat melakukan fermentasi pada ph yang terlalu tinggi serta pertumbuhan bakteri pembusuk meningkat sehingga menurunkan kecernaan pakan. P2 (2,5% nitrogen + 0,186%) memiliki kecernaan bahan kering paling tinggi sebesar 69,00%. Hal ini karena imbangan N dan S tersebut sesuai dengan imbangan yang dibutuhkan oleh bakteri pada saat ensilase dan mikroba rumen. Hal ini sejalan dengan pendapat Bird (1973) bahwa imbangan N : S (15 : 1) sesuai untuk sintesis protein mikrobial dalam rumen serta pendapat Walker dan Nader (1968) rasio N : S dalam protein mikroba berkisar antara 11 : 1 hingga 22 : 1, dengan perbandingan rata-rata 13,4 : 1. ). Terpenuhinya kebutuhan nitrogen dan sulfur yang berfungsi dalam pembentukan sel dan metabolit bakteri ensilase menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan bakteri menjadi optimal, akibatnya populasi bakteri dalam 5
proses ensilase menjadi seimbang, bakteri saat proses ensilase akan menghasilkan asam laktat. Bakteri asam laktat akan memfermentasi gula menjadi asam laktat disertai produksi asam asetat, etanol, karbondioksida, dan lain-lain. Fermentasi gula yang cepat oleh bakteri penghasil asam laktat disebabkan oleh rendahnya derajat keasaman dan akan menghentikan pertumbuhan mikroorganisme yang tidak diinginkan. Hal-hal tersebut membuat kualitas silase menjadi meningkat. Lebih lanjut Komar (1984) menyatakan bahwa sumber nitrogen yang berasal dari urea dapat langsung digunakan oleh mikroba rumen untuk pertumbuhannya karena mampu menyediakan nitrogen (N), sehingga degradasi bahan kering menjadi optimal. Menurut Kardaya dkk. (2009) dan Nurhaita dkk. (2008) penambahan sumber nitrogen dan sulfur dalam proses ensilase dapat meningkatkan kecernaan bahan kering sampai 64,48%. Peningkatan kecernaan bahan kering ini diduga karena penambahan urea yang mampu menyelaraskan sebagai sumber NPN dan sumber energi bagi mikroba rumen serta penambahan sulfur yang berfungsi dalam pertumbuhan dan perkembangan mikroba rumen dapat memperbaiki aktivitas fermentatif mikroba rumen dalam merombak bahan kering suatu pakan. Hasil kecernaan bahan kering penelitian menunjukkan sedikit di atas kisaran normal. Hal ini sesuai pendapat Schneider dan Flatt (1975) bahwa kisaran normal kecernaan bahan kering suatu bahan pakan adalah 50,7-59,7%. Sejalan pula dengan penelitian Nurhaita dkk., (2010) kecernaan bahan kering daun sawit terfermentasi yang disuplementasi nitrogen, sulfur, fosfor dan daun ubi kayu berkisar 51,51-61,59%. 2 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Organik Kecernaan bahan organik terdiri atas kecernaan karbohidrat, protein, lemak dan vitamin serta erat kaitannya dengan kandungan bahan anorganik (abu). Kecernaan bahan organik dapat dipengaruhi oleh kandungan abu. Jika kandungan abu tinggi akan mengakibatkan kandungan bahan organik menjadi lebih rendah. Hasil penelitian mengenai pengaruh penambahan sumber nitrogen dan sulfur pada ensilase jerami jagung terhadap kecernaan bahan organik disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Rataan Nilai Kecernaan Bahan Organik pada Berbagai Perlakuan 6
Ulang an Perlakuan 0 1 2 3...%... 1 47,77 52,62 57,44 47,49 2 46,48 53,32 56,95 47,82 3 46,22 51,87 55,38 47,61 4 47,91 52,74 55,61 45,80 5 50,36 55,83 47,02 Jumlah 236,77 260,91 281,21 235,74 Rataan 47,35 52,18 56,24 47,15 Keterangan : P0 : silase jerami jagung + 0% Nitrogen dan 0% Sulfur; P1 : silase jerami jagung + 2% Nitrogen dan 0,150% Sulfur; P2 : silase jerami jagung + 2,5% Nitrogen dan 0,186% Sulfur; P3 : silase jerami jagung + 3% Nitrogen dan 0,225% Sulfur. Berdasarkan Tabel 3. dapat dilihat bahwa nilai kecernaan bahan organik berkisar antara 47,15% - 56,24%. Nilai tersebut masih dalam kisaran normal. Menurut Firsoni dkk. (2008) proporsional kisaran normal kandungan bahan organik yaitu antara 48,26-53,75%. Guna mengetahui pengaruh perlakuan penambahan nitrogen dan sulfur pada ensilase jerami jagung dilakukan analisis sidik ragam. Hasilnya menunjukkan bahwa perlakuan nyata (P<0,05) mempengaruhi kecernaan bahan organik dengan penambahan nitrogen dan sulfur pada ensilase jerami jagung. Guna mengetahui perbedaan antar perlakuan maka dilakukan uji Duncan yang hasilnya tertera pada Tabel 4. Tabel 4. Signifikansi Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Organik dengan Uji Jarak Berganda Duncan Perlakuan Rataan (%) Signifikasi P3 47,15 a P0 47,35 a P1 52,18 b P2 56,24 c Keterangan : Huruf yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05). Berdasarkan Tabel 4 di atas dapat diketahui bahwa penambahan nitrogen dan sulfur pada ensilase jerami jagung memberikan pengaruh nyata (P<0,05) terhadap kecernaan bahan organik. Perlakuan P3 dan P0 berbeda nyata lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan P1 7
dan P2, Perlakuan P3 tidak berbeda nyata dibandingkan dengan P0 (perlakuan kontrol). Perlakuan P1 berbeda nyata lebih rendah dengan perlakuan P2. Hasil uji Jarak Berganda Duncan pada Tabel 4. menunjukkan bahwa kecernaan bahan organik pada P0 dan P3 berbeda nyata lebih rendah dibandingkan dengan P1 dan P2. Pada P3 tidak berbeda nyata dibandingkan P0 sebagai perlakuan kontrol, sedangkan pada P1 berbeda nyata lebih rendah bila dibandingkan P2. Terjadi peningkatan kecernaan bahan organik pada penambahan nitrogen 2% dengan imbangan sulfur 0,150% dan penambahan nitrogen 2,5% dengan imbangan sulfur 0,186%, tetapi apabila ditambahkan lebih banyak lagi dosis nitrogen dan sulfur yaitu seperti pada P3 nitrogen 3% dengan imbangan sulfur 0,225% terjadi penurunan kembali kecernaan bahan organik. Penambahan nitrogen berlebih akan menimbulkan terbentuknya amoniak (NH3) yang terlalu tinggi di dalam rumen yang dapat menyebabkan toksik atau keracunan dan penggunaannya tidak efisien. Penurunan kecernaan bahan organik ini terjadi akibat berlebihnya penambahan nitrogen pada ensilase jerami jagung sehingga peran sulfur pun tidak dapat termanfaatkan. Penambahan sulfur berguna untuk mensintesa mikroba yang berperan dalam penyedia asam amino esensial, terutama asam amino yang mengandung gugus sulfur seperti sistin dan methionin. Terbentuknya amoniak (NH3) dalam rumen menyebabkan pertumbuhan mikroba rumen dan aktivasi enzim mikroba rumen tidak dapat bekerja secara optimum, sehingga selulosa dan hemiselulosa tidak dapat dicerna oleh bakteri selulolitik. Bahkan dengan suasana rumen yang basa dapat menyebabkan kematian pada ternak. P2 (2,5% nitrogen + 0,186%) memiliki kecernaan bahan organik paling tinggi sebesar 56,24%. Hal ini terjadi karena kebutuhan nitrogen dan sulfur telah tercukupi untuk pertumbuhan dan perkembangan bakteri pada saat proses ensilase dan untuk mikroba rumen. Hal ini sesuai dengan pendapat Bird, 1974 bahwa penambahan sulfur perlu dilakukan apabila unsur nitrogen mudah terdegradasi seperti urea ditambahkan dalam ensilase, dengan perbandingan S : N untuk protein mikrobial sebesar 0,067 atau perbandingan N : S sebesar 15 : 1. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Anggorodi, 1994 penambahan sulfur sangat diperlukan untuk menyokong pembentukan asam amino yang mengandung gugus sulfur yaitu metionin dan sistin. Asam amino yang mengandung gugus sulfur tersebut akan dijadikan prekursor untuk 8
pembentukan protein mikroba. Jumlah sulfur yang dibutuhkan oleh mikrobial dalam rumen untuk sintesis protein mikroba berkisar dari 0,11 % hingga 0,20 %. Tingginya kecernaan bahan organik pada produk ensilase jerami jagung yang ditambahkan sumber nitrogen dan sulfur, diduga pada saat ensilase terjadi perubahan komposisi dan struktur dinding sel. Hal ini mampu melonggarkan ikatan jaringan antara lignin dengan selulosa dan hemiselulosa pada substrat jerami jagung, sehingga substrat tersebut lebih mudah dicerna oleh mikroba rumen yang juga mendapat kebutuhan N dan S untuk pertumbuhannya (Mardiati dkk., 2005). Selain itu terjadi pemuaian jaringan dinding sel substrat jerami jagung sehingga meningkatkan fleksibilitas dinding sel, dan pada akhirnya akan memudahkan penetrasi enzim selulase yang dihasilkan mikroba rumen. Semakin banyak penetrasi enzim maka semakin baik degradasi bahan organik dan akan meningkatkan kecernaan. Hal ini sesuai dengan pendapat Fathul dan Wajizah (2010) bahwa banyaknya bahan organik yang didegradasi akan meningkatkan kecernaan bahan tersebut. Penambahan nitrogen dan sulfur dalam proses ensilase dapat meningkatkan kecernaan bahan organik sampai 56,24%. Peningkatan kecernaan bahan organik ini diduga karena terdegradasinya dinding sel pada saat proses ensilase berlangsung sehingga komponen dinding sel lebih mudah dicerna oleh mikroba rumen. Hal ini sesuai dengan pendapat Bal dan Ozturk (2006) bahwa penambahan sulfur pada bahan pakan serat bermutu rendah dapat meningkatkan degradasi serat dalam rumen yang dicerminkan oleh peningkatan kecernaan bahan organik. Peningkatan kecernaan tersebut sangat mungkin disebabkan oleh perbaikan pertumbuhan mikroba rumen yang diikuti oleh peningkatan aktivitas enzim mikroba rumen. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Komisarczuk dkk., (1987) serta Komisarczuk dan Durand (1991) bahwa penambahan sulfur dibutuhkan untuk menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan bakteri selulolitik serta aktivitas mikroba rumen untuk mengoptimalkan kecernaan selulosa dan hemiselulosa Perlakuan produk ensilase jerami jagung yang memberikan nilai kecernaan bahan organik yang paling tinggi diperoleh pada P2 dengan penambahan 2,5% nitrogen dan 0,186% sulfur pada ensilase jerami jagung yang menghasilkan kecernaan bahan organik (In Vitro) sampai 56,24%. Tingginya kecernaan bahan organik ini dikarenakan adanya aktivitas mikroba 9
dalam rumen karena tersedianya nutrien untuk pertumbuhan dan perkembangan mikroba secara cukup dan seimbang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai kecernaan bahan organik rata-rata sedikit di atas kisaran normal. Firsoni dkk. (2008) melaporkan bahwa nilai kecernaan bahan organik berkisar antara 47,15-56,24%. Demikian pula dengan penelitian Abdurachman dkk., (2005) kecernaan bahan organik rumput gajah yang difermentasi menggunakan rumen sapi berkisar antara 45,33% - 55,60% KESIMPULAN Pembahasan penambahan nitrogen dan sulfur pada ensilase jerami jagung memberikan pengaruh terhadap kecernaan bahan kering dan bahan organik. Penambahan 2,5% nitrogen dan 0,186% sulfur pada ensilase jerami jagung menghasilkan kecernaan bahan kering (69,00%) dan kecernaan bahan organik (56,24%) (in vitro) paling tinggi. SARAN Penambahan imbuhan nitrogen dan sulfur dalam pembuatan silase jerami jagung sebaiknya dengan dosis 2,5% nitrogen dan 0,186% sulfur. Perlu dilakukan penelitian lanjutan pemberian pakan dengan penambahan sumber nitrogen dan sulfur pada ensilase jerami jagung terhadap kecernaan bahan kering dan bahan organik melalui uji biologis secara langsung pada ternak (in vivo). DAFTAR PUSTAKA Abdurachman, S. Askar dan I. Heliati. 2005. Penetapan Kecernaan Bahan Kering Rumput Gajah Secara In Vitro Sebagai Sampel Kontrol. Prosiding Temu Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian. Balai Penelitian Ternak Ciawi. Anggorodi, R. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Hal. 33. Bal, M.A. and D. Ozturk. 2006. Effect of sulfur containing supplements on ruminal fermentation and microbial protein synthesis. Research Journal of Animal and Veterinary Sciences 1(1):33-36.2006. Bird, P.R. 1973. Sulphur metabolism and excretion studies in ruminant. XII. Nitrogen and Sulphur composition of ruminal bacteria. Aust. J. Biol. Sci. 26: 1429-34 10
Fathul, F dan S. Wajizah, 2010. Penambahan Mikromineral Mn dan Cu dalam Ransum terhadap Aktivitas Biofermentasi Rumen Domba secara In Vitro. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner, 15 (1):9-15. Firsoni, J. Sulistyo, A.S. Tjakradijaja dan Suharyono. 2008. Uji Fermentasi In Vitro Terhadap Pengaruh Suplemen Pakan dalam Pakan Komplit. Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi BATAN, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. hal : 233240. Kardaya D., et al. 2009. Karakteristik urea lepas-lamban pada berbagai kadar molasess dalam ransum berbasis jerami padi secara in vitro. JITV, Vol. 1 (3): 177-191. Komar, A. 1984. Teknologi Pengolahan Jerami Sebagai Makanan Ternak. Yayasan Dian Grahita Indonesia, Bandung. Komizarczuk, S., Durand M. 1991. Effect of Mineral on Microbial Metabolism In Rumen Microbial Metabolism and Ruminant Digestion. J. P. Jouany (Ed) INRA publ, Versailes. France. Komizarczuk, S., Durand M., Dumay, C., and Morel M. T.. 1987. Effect of Phoshphorus on Rumen Microvial Fermentation and Synthesis Determined Using Continuous Culture Technique. Br. J. Nutr. 57 : 279-290. Laboratorium Nutrisi Ternak Ruminansia dan Kimia Makanan Ternak. 2014. Hasil Analisis Jerami Jagung. Fakultas Peternakan. Universitas Padjadjaran. Jatinangor. Mardiati Zain. 2008. Subtitusi rumput lapangan dengan kulit buah coklat amoniasi dalam ransum domba lokal. Universitas Andalas Mccutcheon, J. dan D. Samples. 2002. Grazing Corn Residues. Extension Fact Sheet Ohio State University Extension. Us. Anr 10-20. Nappu B, T. Yuniarsih. 2013. Pamanfaatan Limbah Jagung Sebagai Pakan Ternak di Sulawesi Selatan. Jurnal Serealia. 329-330. National Research Council (NRC). 1996. Nutrient Requirements of Beef Cattle (7th edn.). National Academy Press, Washington, D.C.Orskov, E.R., 1992. Protein nutrition of ruminants (2nd edn.). Academic Press, London, pp. 175 Nurhaita, N. Jamarun, R. Saladin, L Warly, & Mardiati Z. 2008. Efek suplementasi mineral Sulfur dan Phospor pada daun sawit amoniasi terhadap kecernaan zat makanan secara in-vitro dan karakteristik cairan rumen. J. Pengembangan Peternakan Tropis 33: 51-58 Sapienza, D.A., and K. Bolsen, 1993. Teknologi Silase. Diterjemahkan oleh Rini Budiastiti. Pioneer Hi Bred International Inc. Schneider, B. H and W. P. Flatt. 1975. Evaluation of Feed Trough Digestibility. The University of Georgia, Athens, G. A. Walker, D.J. and Nader, C.J. 1968. Method for Measuring Microbial Growth in Rumen Content. Appl. Microbiol. 16:1124-31 11