BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyiksaan yang terjadi terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dalam kurun waktu 10 tahun terakhir jumlahnya semakin terus meningkat. Penyiksaan yang kerap terjadi pada buruh migran Indonesia yang berada diluar negeri terlihat jelas telah terjadi pelanggaran-pelanggaran HAM yang mereka hadapi namun ironisnya seakanakan kurang mendapat perhatian dari Pemerintah Indonesia. Salah satu contoh kasus yang sangat menyita perhatian masyarakat yang terjadi pada bulan Mei 2004, dimana sejumlah foto wanita muda asal Indonesia yang sekujur tubuhnya penuh luka bakar dan memar, Nirmala Bonet 1, terpampang jelas di berbagai media cetak dan ditayangkan di berbagai televisi Nirmala Bonet telah dipukuli secara brutal dan mengalami pelecehan oleh majikannya. Kasus Nirmala Bonet telah menarik perhatian dan kemarahan tidak saja oleh masyarakat Indonesia bahkan masyarakat Internasional. Reaksi cepat pemerintah Indonesia maupun pemerintah Malaysia terlihat dengan jelas dalam menngusut langsung kejadian yang menarik perhatian luas tersebut. Banyak pembantu rumah tangga asal Indonesia menghadapi resiko eksploitasi dan pelecehan di setiap tahapan perekrutan, hingga tahap kembali dari luar negeri, seperti eksploitasi dan manipulasi pada tahap perekrutan, pelatihan, pengurusan paspor, dan visa, transit, penempatan pada majikan di tanah air dan oleh agen setempat di luar negeri, hingga pemulangan kembali ke tanah air. Tak kalah serunya setelah di tanah airpun tidak kurang menyedihkan seperti pemerasan ketika sampai di pelabuhan laut atau bandara udara dalam negeri, seperti pemaksaan 1 Seterusnya disebut dengan pekerja rumah tangga
penukaran uang dengan nilai tukar yang sangat rendah nilai tukarnya, pemaksaan menggunakan angkutan tertentu dan sebagainya. Seperti yang diamanatkan UU bahwa negara bertanggung jawab menyediakan lapangan pekerjaan bagi warga negaranya, namun pada kenyataannya negara lain yang memberikan pekerjaan itupun tidak disyukuri oleh pemerintah karena tidak melindungi kepentingan buruh migran, walaupun mereka telah berjasa menyumbangkan devisa bagi negara. Ketika penyiksaan terjadi oleh majikan seperti yang dialami Bonet, dan para perempuan dan tenaga kerja wanita (TKW) lainnya hanya memiliki sedikit peluang untuk mendapatkan perlindungan negara baik pada negara Indonesia maupun negara asing tempat mereka bekerja misalnya mendapatkan perlindungan hukum, memperoleh kompensasi ganti rugi karena gajinya tidak dibayar atau kompensasi cacat karena penyiksaan majikan, bahkan perusahaan asuransi yang preminya mereka bayarpun tidak bertanggung jawab pada kliennya, karena tidak adanya perlindungan negara. Pengalaman-pengalaman pahit mereka tersembunyi dari pengamatan umum. Agen-agen pengerah tenaga kerja keluar negeri atau Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) yang mengontrol sebagian besar proses keberangkatan TKW tanpa adanya pengawasan pemerintah. Yang dikeluhkan oleh PJTKI adalah pemerasanpemerasan oleh aparat pemerintah dan polisi. Di Indonesia, para calon pekerja migran direkrut oleh agen resmi maupun tidak resmi yang sering kali memeras uang, memalsukan dokumen perjanjian, dan menyelewangkan rencana pekerjaan bagi para perempuan dan para gadis. Baik di pusat-pusat pelatihan di Indonesia maupun di tempat-tempat kerja mereka di Malaysia, para tenaga kerja wanita kerap menderita akibat larangan-larangan keras atas kebebasan bergerak mereka, pelecehan secara fisik maupun psikologis termasuk pelecehan seksual, dan larangan untuk melakukan peribadatan agama mereka. Para
TKW buruh migran asal Indonesia yang berada di Malaysia kerap menghadapi pelecehan yang sangat beragam atas hak-hak pekerja di tempat kerja, termasuk jam kerja yang sangat panjang tanpa adanya uang lembur, tidak adanya hari libur, da pembayaran upah yang tidak seutuhnya dan tidak rutin. Dalam beberapa kasus, ditipu mengenai kondisi dan jenis pekerjaan, dikurung di tempat kerja, dan tidak menerima gaji sama sekali, para perempuan tersebut terjebak dalam situasi perdagangan tenaga kerja dan kerja paksa. Indonesia dan Malaysia telah gagal melindungi pekerja migran asal Indonesia dan telah mengabaikan hak-hak asasi manusia. Tidak ada standar perlindungan keselamatan yang dijamin bagi tenaga kerja. Indonesia tidak mempunyai sistem yang memadai untuk memonitor agen-agen penerima atau pusat-pusat pelatihan tenaga kerja, kecuali penerbitan berbagai peraturan yang ujung-ujungnya akan dibebankan kepada mereka oleh PJTKI yang merekrut mereka. Agen resmi yang diinvestigasi mengindikasikan 5 bulan gaji dipotong selama 24 bulan kontrak kerja di Malaysia. Undang-undang ketenagakerjaan Malaysia tidak memberikan pertimbangan yang sama bagi para pekerja rumah tangga dari Indonesia, dengan tidak adanya aturan cuti atas jam kerja mereka, pembayaran uang lembur, dan ganti rugi atas kecelakaan di tempat kerja. Pemerintah Malaysia juga menunda keputusan bersama (resolusi) atas sebagian besar kasus penyiksaan dan pelecehan di tempat kerja. Demikian pula terhadap para agen penyalur tenaga kerja baik yang berada di Indonesia dan Malaysia, motivasinya hanya mencari keuntungan semata. Mereka juga bagian dari kemelut TKW di Malaysia. Pada bulan Mei 2004, kedua Negara telah mengumumkan bahwa mereka akan merundingkan sebuah Dokumen Perjanjian (MoU) baru mengenai para pekerja rumah tangga asal Indonesia di Malaysia, namun perjanjian bilateral itu hanya merupakan
bagian kecil dari reformasi yang memasang harus dilakukan oleh kedua pemerintahan untuk memberikan perlindungan yang memadai bagi pekerja rumah tangga mingran. Mereka jugga harus mengkaji ulang undang-undang keimigrasian dan ketenagakerjaan dalam negeri, menyediakan sumber daya untuk layanan pendukung, menciptakan mekanisme kebijakan dan pemantauan untuk mengatur tindakantindakan yang dialkuakn agen-agen tenaga kerja dan para majikan, serta melatih petugas pemerintah dan lembaga-lembaga bantuan hukum untuk menjalankan perlindungan tersebut. Diperkirakan ada 250,000 pekerja rumah tangga di Malaysia, dan 240,000 diantaranya berasal dari Indonesia, karena ciri-ciri pekerjaan di keluarga-keluarga bersifat pribadi dan tertutup, kurangnya perlindungan hukum, terbatasnya jumlah layanan dan organisasi pendukung, dan pengawasan yang dikerahkan atas gerakan para pekerja rumah tangga di Malaysia, hanya sebagian kecil dari para pekerja rumah tangga yang mengalami pelecehan dapat mengadukan masalahnya atau mencari bantuan. Hampir 18,000 pekerja rumah tangga meloloskan atau melarikan diri dari para majikan Malaysia yang kejam pada tahun 2003, dimana para pejabat kedua pemerintahan itu bersama-sama dengan LSM-LSM turun tangan mengatasi sebagian besar praktek-praktek pelecehan kerja tersebut. Para TKW di Malaysia berhadapan dengan agen-agen tenaga kerja yang tidak bermoral, proses-proses kontrak kerja yang diskriminatif, pengasramaan yang berbulan-bulan lamanya di pusat-pusat pelatihan yang sangat padat. Dalam rangka membayar biaya perekrutan dan pemrosesan, masing-masing pekerja mengambil pinjaman dalam jumlah yang besar yang pembayarannya dikenai bunga yang sangat tinggi atau pemotongan gaji empat bulan hingga lima bulan pertama mereka dipakai sebagai pembayarannya. Para penyaring tenaga kerja sering kali tidak mampu
memberikan informasi yang lengkap mengenai tugas-tugas yang harus dikerjakan, kondisi pekerjaan, atau tempat para wanita dapat memperoleh bantuan. Para wanita tersebut yang berharap hanya akan menghabiskan waktu sebulan untuk memperoleh fasilitas pelatihan sebelum berangkat kerap terjebak dalam pusat-pusat pelatihan yang dijaga ketat selama tiga hingga enam bulan tanpa mendapat penghasilan. Kadangkala beberapa TKI adalah gadis dibawah usia delapan belas tahun yang usianya diubah seakan berusia diatas 21 tahun dalam dokumen perjanjian kontrak tenaga kerja mereka. Para pekerja rumah tangga asal Indonesia yang dipekerjakan di Malaysia, ratarata bekerja 16 jam hingga 18 jam per hari, tujuh hari per minggu, tanpa libur. Sebagian besar mereka hampir tidak punya waktu untuk beristirahat dalam seharinya. Mereka yang bertugas mengawasi anak-anak, di samping tugas membersihkan mereka, dilaporkan harus siap bertugas sepanjang waktu. Seorang pekerja rumah tangga asal Indonesia pada umumnya menerima 350-400 ringgit (U.S.$92-105) per bulan, bila dibandingkan dengan TKW dari Filipina hanya setengah dari pada gaji asal TKW asal Indonesia. Jika sebagian besar pekerjaan yang diberikan tersebut memerlukan lebih dari lima belas jam per hari, setiap hari dalam sebulan, jumlah tersebut kurang dari satu ringgit (U.S.$0,25) per jam. Para majikan sering memberi para pekerja rumah tangga mereka gaji sekaligus hanya untuk memenuhi standar kontrak dua tahun, yang pada waktu itu, banyak majikan yang tidak bisa membayar gaji penuh atau sama sekali tidak memberi gaji. Para pekerja rumah tangga asal Indonesia menghadapi sejumlah bantuan hukum dan praktis yang menghalangi kemampuan mereka untuk segera meninggalkan situasi pelecehan atau untuk mencari ganti rugi. Para majikan dan para agen tenaga kerja pada umumnya menahan pasport para tenaga kerja. Kebijakan-kebijakan
keimigrasian Malaysia mengaitkan visa kerja para pekerja rumah tangga dengan majikan mereka, yang sesungguhnya kerap menjebak mereka dalam keadaaan yang ekploitatif, karena pelarian berarti mereka kehilangan status hukum keimigrasian mereka. Polisi dan pejabat-pejabat keimigrasian dengan ceoat menahan dan mendeportasikan para tenaga kerja yang tertangkap tanpa memiliki izin yang sah, dan tanpa mengidentifikasikan kasus-kasus pelecehan atau eksploitasi. Lebih lanjut, para majikan menurut sebagian besar para pekerja rumah tangga yang berhasil diwawancarai untuk laporan ini, melarang mereka meninggalkan rumah, menggunakan telepon, atau menulis surat. Isolasi ini bermaksud bahwa mereka tidak banyak mempunyai akses untuk memperoleh informasi, layanan pendukung atau individu-individu yang dapat membantu mereka. Para pekerja yang menghentikan kontrak dua tahun mereka lebih awal harus membayar sendiri ongkos perjalanan pulang mereka ke Indonesia, yang ditambah dengan tindakan pemotongan gaji oleh majikan, membuat banyak pekerja rumah tangga tersebut tidak mempunyai cukup dana untuk pulang. Mereka harus memperoleh kontrak mereka dalam keadaan yang buruk atau bekerja tanpa izin untuk membayar ongkos pulang. Malaysia dan Indonesia gagal menegakkan kewajiban-kewajiban hak asasi manusia internasional mereka menurut berbagai perjanjian, meliputi: Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) 2 dan Konvensi Hak-Hak Anak (CRC) 3. Baik Indonesia dan Malaysia telah meratifikasi konvensi ILO mengenai tenaga kerja (Konvensi 29), perlindungan terhadap upah (Konvensi 95), dan kondisi terburuk tenaga kerja anak-anak (Konvensi 182). Mereka juga harus meratifikasi dan melaksanakan perjanjian internasional yang penting 2 CEDAW : Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women 3 CRC : Convention on the Right of the Child
termasuk konvensi. Internasional hak-hak sipil dan politik (ICCPR) 4, Konvensi Internasional Perlindungan Hak-Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota-Anggota Keluargannya (Konvensi Pekerja Migran), dan Protokol 5 untuk Mencegah, Menindas, Menghukum Pelaku Perdagangan Tenaga Kerja, khususnya perempuan dan anakanak, serta tambahan Konvensi PBB terhadap Kejahatan Transnational yang Terorganisir (Protokol Perdagangan). B. Perumusan Masalah Adapun yang jadi permasalahan dalam skripsi ini antara lain: 1. Kendala apa yang dihadapi dalam mengatasi perlindungan terhadap Pekerja migran di Malaysia dan apa yang dihadapi oleh Indonesia dalam mengatasi kendala tersebut? 2. Dalam Undang-Undang No.39/2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri dan Pasal-Pasal apa sajakah yang mengatur tentang perlindungan terhadap buruh migran? 3. Apakah pandangan International Labour Organisation terhadap buruh migran? 4 ICCPR : International Convenant on Civil and Political Rights 5 Protokol : Rangkuman sebuah dokumen
C. Tujuan Penulisan Selain untuk menambah wawasan berfikir penulis dan pihak lain yang tertarik dengan Perlindungan Hak Asasi Manusia Terhadap Tenaga Kerja Indonesia di Malaysia Ditinjau dari Konvensi ILO Tentang Buruh Migran, adapun tujuan lain dari penulisan skripsi ini: 1. Untuk mengetahui sejauh mana perlindungan hukum apa yang diberikan terhadap Buruh Migran di Malaysia 2. Untuk mengetahui isi undang-undang HAM yang mengatur tentang perlindungan hukum terhadap Buruh Migran 3. Untuk mengetahui bagaimana pandangan International Labour Organisation (ILO) terhadap Buruh Migran. D. Keaslian Penulisan Penulis dalam karya ilmiah ini menulis tentang Perlindungan HAM Terhadap Tenaga Kerja Indonesia Di Malaysia Ditinjau Dari Konvensi ILO Tentang Buruh Migran adalah tulisan penulis sendiri, dan apabila ada karya ilmiah lain yang serupa mungkin hanya judulnya saja, karena penulis menuangkan tulisan ini adalah berdasarkan hasil survey penulis sendiri yang diambil dari buku-buku, media cetak maupun media elektronik. E. Tinjauan Kepustakaan Dilihat dari judul Perlindungan Hak Asasi Manusia Terhadap Tenaga Kerja Indonesia di Malaysia Ditinjau dari Konvensi ILO Tentang Buruh Migran masingmasing memiliki pengertian sebagai berikut:
Perlindungan, berasal dari kata lindung suatu perbuatan yang menjaga atau perbuatan yang mencegah (hal dsb), melindungi ; mis. memberi perlindungan kepada orang-orang yang lemah. 6 Hak, Benar : sungguh ada ; kekuatan yang besar untuk menuntut sesuatu ; kekuasaan untuk melakukan sesuatu ; wewenang ; milik kepunyaan. 7 Asasi, Yang menjadi asas pokok, hak-hak asasi manusia, hak-hak yang mendasar. 8 Manusia, Mahkluk yang berakal budi sebagai jawan binatang ; insanulkamil : manusia sempurna. 9 Tenaga, (kekuatan badan; daya, sesuatu yang menyebabkan bergerak : kegiatan bekerja, berusaha dsb : tenaga kerja : orang yang bekerja atau yang mengerjakan sesuatu seperti pekerja, pegawai dsb. 10 Kerja, Perbuatan melakukan sesuatu pekerjaan : sesuatu yang dilakukan untuk mencari nafkah. 11 Indonesia, disebut sebagai Negara Republik Indonesia. Di, kata depan yang menyatakan tempat tempat : keberadaan : keterangan yang menjelaskan tentang suatu tempat dsb. 12 Malaysia, disebut sebagai Negara Malaysia. Ditinjau, berasal dari kata tinjau memiliki arti melihat ke dalam di sesuatu tempat. 13 Dari, artinya perbandingan atau menyatakan asal. 14 6 W.J.S Poerwardarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN Balai Pustaka, hal 600 7 Ibid, Hal 118. 8 Ibid, Hal 18. 9 Ibid, Hal 242. 10 Muhammad Ali, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Moderen, Pustaka Amani Jakarta, Hal 525. 11 Ibid, Hal 181. 12 Ibid, Hal 87 13 Ibid, Hal 423.
Kovensi, disebut sebagai peraturan yang diratifikasi ataupun yang disesuaikan. 15 ILO, merupakan singkatan dari International Labour Organisation ; yang berarti Organisasi Perburuhan Internasional. Tentang, sesuatu yang berhubungan : segala hal-hal yang berkaitan atau berhubungan dengan sesuatu. 16 Buruh, disebut sebagai pekerja 17 Migran, disebut sebagai migrasi atau perpindahan 18 F. Metode Penulisan Dalam rangka penulisan untuk mengumpulkan data-data dan bahan-bahan untuk penyusunan skripsi ini menggunakan Library Research (Metode Kepustakaan). Dalam hal ini, bahan-bahan dan data-data tersebut diperoleh dari berbagai Text Book (Buku Teks), dokumen resensi, bulletin, jurnal serta artikelartikel dari berbagai maxs media (Cetak maupun Elektronik) yang semuanya itu dimaksudkan untuk memperoleh data yang sifatnya teoritis yang digunakan sebagai pedoman dalam penelitian dan menganalisa permasalahan yang dihadapi. G. Sistematika Penulisan Sebagai gambaran untuk memudahkan materi skripsi ini, maka penulis membagi skripsi ini dalam 5 bab dan dilengkapi sub-sub bab, yaitu: Bab I Pendahuluan. 14 Ibid, Hal 82. 15 Ibid, Hal 193. 16 Ibid, Hal 560. 17 Ibid, Hal 58 18 Ibid, Hal 216.
Bab ini terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penulisan, dan sistematika penulisa. Bab II Tinjauan Umum Hak Asasi Manusia. Bab ini berisi tentang pengertian Hak Asasi Manusia, sejarah perkembangan Hak Asasi Manusia, sekilas wajah hak asasi manusia dan hak asasi manusia menurut UUD 1945. Bab III Pelanggaran HAM terhadap buruh migran di Malaysia. Bab ini membahas tentang kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi terhadap buruh migran Indonesia yang bekerja di Malaysia dan bagaimana peran pemerintah Indonesia dalam menanggulanginya. Serta upaya-upaya yang dilakukan Indonesia dan Malaysia pada saat penyelesaian masalah pelanggaran-pelanggaran HAM terhadap TKI yang sedang bekerja di Malaysia. Bab IV Perlindungan HAM Terhadap Tenaga Kerja Indonesia Di Malaysia Ditinjau Dari Konvensi ILO Tentang Buruh Migran A. Perlindungan TKI dalam hubungan Kerja Sama Bilateral Indonesia- Malaysia dalam bidang Ketenagakerjaan Bab ini berisikan tentang Perlindungan Hukum terhadap TKI dalam hubungan Bilateral Indonesia Malaysia. Membahas tentang perjanjian antara kedua negara dalam menanggulangi atau mencegah terjadinya pelanggaran HAM yang terjadi pada TKI. B. Perlindungan HAM Buruh Migran menurut UU No.39/2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri
Bab ini membahas tentang hak untuk bekerja di luar negeri; hak memperoleh pelayanan dan perlakuan yang sama dalam penempatan di luar negeri; hak mendapatkan upah yang layak; hak memperoleh jaminan perlindungan hukum dari tindakan merendahkan martabat dan kondisi yang memungkinkan terjadinya pelanggaran HAM dan juga membahas tentang perlindungan hukum apa yang didapatkan buruh migran Indonesia. C. Perspektif TKI menurut International Labour Organisation (ILO). Bab ini membahas tentang bagaimana pandangan ILO terhadap pekerja atau buruh migran dan bab ini juga membahas tentang buruh migran dan kebijakan moratorium sebagai tindakan penangguhan pengiriman pekerja migran, tidak berarti menghalangi hak bermigrasi warga negaranya. Akan tetapi dijadikan sebagai kebijakan yang diambil dalam situasi konkret mengingat meningkatnya kekerasan yang dialami oleh pekerja migran. Bab V Penutup Bab ini berisikan tentang kesimpulan dan saran dimana kesimpulan dan saran ini dibuat berdasarkan apa yang telah dibahas dan dianalisa pada bab-bab sebelumnya.