BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Eka Yusmaita, 2013

dokumen-dokumen yang mirip
SRIE MULYATI, 2015 KONSTRUKSI ALAT UKUR PENILAIAN LITERASI SAINS SISWA SMA PADA KONTEN SEL VOLTA MENGGUNAKAN KONTEKS BATERAI LI-ION RAMAH LINGKUNGAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Inelda Yulita, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

2015 KONSTRUKSI DESAIN PEMBELAJARAN IKATAN KIMIA MENGGUNAKAN KONTEKS KERAMIK UNTUK MENCAPAI LITERASI SAINS SISWA SMA

BAB I PENDAHULUAN. teknologi (Depdiknas, 2006). Pendidikan IPA memiliki potensi yang besar

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

2015 KONTRUKSI ALAT UKUR LITERASI SAINS SISWA SMP PADA KONTEN SIFAT MATERI MENGGUNAKAN KONTEKS KLASIFIKASI MATERIAL

Kimia merupakan salah satu rumpun sains, dimana ilmu kimia pada. berdasarkan teori (deduktif). Menurut Permendiknas (2006b: 459) ada dua hal

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Siska Sintia Depi, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dini Rusfita Sari, 2014 Universitas Pendidikan Indonesia Repository.upi.edu Perpustakaan.upi.

I. PENDAHULUAN. Kimia adalah ilmu yang mencari jawaban atas pertanyaan apa, mengapa, dan

BAB II. KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Nur Indah Sari, 2014 Konstruksi Buku Ajar Senyawa Organik Smk Program Keahlian Agrobisnis Rumput Laut

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

2014 PENGEMBANGAN BUKU AJAR KIMIA SUB TOPIK PROTEIN MENGGUNAKAN KONTEKS TELUR UNTUK MEMBANGUN LITERASI SAINS SISWA SMA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. menjadi pemicu dalam kemajuan ilmu pendidikan. Mutu pendidikan perlu

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Ismail, 2016

PENGEMBANGAN MODEL REKONSTRUKSI PENDIDIKAN PADA BAHAN AJAR SEL ELEKTROKIMIA BERBASIS GREEN CHEMISTRY

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Hayat dan Yusuf (2010) setiap warga negara perlu literate terhadap

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Skor Maksimal Internasional

BAB I PENDAHULUAN. Penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) saat ini menjadi

BAB I PENDAHULUAN. sering dimunculkan dengan istilah literasi sains (scientific literacy). Literasi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

2015 PENERAPAN LEVELS OF INQUIRY UNTUK MENINGKATKAN LITERASI SAINS PESERTA DIDIK SMP PADA TEMA LIMBAH DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Widya Nurfebriani, 2013

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Ayu Eka Putri, 2014

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan bertujuan untuk mempersiapkan seseorang menjadi manusia

BAB I PENDAHULUAN. Dalam lingkup global, setiap tahun pada bulan April diselenggarakan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia yang melek terhadap sains dan teknologi (UNESCO,

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran sains di Indonesia dewasa ini kurang berhasil meningkatkan

2015 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS PROYEK TERHADAP PENCAPAIAN LITERASI KUANTITATIF SISWA SMA PADA KONSEP MONERA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siti Nurhasanah, 2013

BAB I PENDAHULUAN. manajemen, dan sumber daya manusia (SDM). Untuk memenuhi hal tersebut

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

ANALISIS KEMAMPUAN LITERASI SAINS DAN SIKAP CALON GURU NON IPA TERHADAP LINGKUNGAN PADA KERANGKA SAINS SEBAGAI PENDIDIKAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN. memunculkan kesesuaian antara kompetensi baru dengan kebutuhan. pengetahuan untuk kepentingan proses pembelajaran.

BAB I PENDAHULUAN. kunci penting dalam menghadapi tantangan di masa depan. Menurut Hayat dan

PENERAPAN LEVELS OF INQUIRY UNTUK MENINGKATKAN DOMAIN KOMPETENSI DAN PENGETAHUAN SAINS SISWA SMP PADA TEMA PENCEMARAN LINGKUNGAN

Penerapan asesmen kinerja dalam menilai Literasi kuantitatif siswa pada konsep ekosistem

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Erie Syaadah, 2013

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Julia Artati, 2013

I. PENDAHULUAN. Kemampuan memecahkan masalah merupakan satu aspek yang sangat. penting dalam pembelajaran. Behrman, Kliegman, dan Arvin (2000: 130)

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhannya, maka layanan pendidikan yang tepat bagi anak perlu terus-menerus

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. martabat manusia secara holistik. Hal ini dapat dilihat dari filosofi

BAB I PENDAHULUAN. telah terjadi perubahan-perubahan dalam tatanan lingkungan sehingga tidak sama lagi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) berkualitas dan mempunyai daya saing tinggi sangat diperlukan dalam

PERANCANGAN PEMBELAJARAN LITERASI SAINS BERBASIS INKUIRI PADA KEGIATAN LABORATORIUM

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mendatangkan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sains berasal dari natural science atau science saja yang sering disebut

I. PENDAHULUAN. Pendidikan mempunyai arti penting dalam kehidupan. Melalui pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. dalam pengembangan kurikulum matematika pada dasarnya digunakan. sebagai tolok ukur dalam upaya pengembangan aspek pengetahuan dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

KEGIATAN LABORATORIUM BERBASIS INKUIRI PADA KONTEKS MATERI SEL AKI UNTUK MENINGKATKAN LITERASI SAINS SISWA SMA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan dibutuhkan oleh semua orang. Dengan pendidikan manusia berusaha mengembangkan dirinya sehingga

BAB I PENDAHULUAN. berbagai masalah seperti tidak dapat melanjutkan studi, tidak dapat menyelesaikan

BAB I PENDAHULUAN. kompetensi. Sebagaimana dikemukakan oleh Sukmadinata (2004: 29-30) bahwa

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dasarnya pendidikan sains merupakan salah satu komponen dasar dari sistem

2015 PEMBELAJARAN LEVELS OF INQUIRY (LOI)

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Nur Annisa, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Yunus Abidin, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Azza Nuzullah Putri, 2013

BAB I PENDAHULUAN Bab I tentang Sistem Pendidikan Nasional: pendidikan adalah usaha sadar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pendekatan Pembelajaran Multiple Representations. umum berdasarkan cakupan teoritik tertentu. Pendekatan pembelajaran

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) memberikan. kemampuan yang dapat memecahkan masalah atau isu-isu yang beredar.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Maimunah, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. calon guru kimia ditengarai memiliki keterbatasan kecakapan generik biokimia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keberhasilan dalam pembelajaran dipengaruhi oleh faktor-faktor yang

2015 PENERAPAN MOD EL INKUIRI ABD UKTIF UNTUK MENINGKATKAN PENGUASAAN KONSEP D AN LITERASI SAINS SISWA SMA PAD A MATERI HUKUM NEWTON

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Fatia Indrianti,2014

Sosialisasi Implementasi Gerakan Literasi Sekolah

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2003 Bab I Pasal I Ayat 1 menjelaskan bahwa pendidikan adalah usaha

I. PENDAHULUAN. sains siswa adalah Trends in International Mathematics Science Study

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. menjadi inti dari pengajaran Bahasa Indonesia secara umum.

BAB I PENDAHULUAN. kewibawaan guru di mata peserta didik, pola hidup konsumtif, dan sebagainya

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dinamika perkembangan kehidupan manusia menunjukkan bahwa semakin modern tingkat kehidupan manusia semakin besar kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup yang muncul. Perkembangan kehidupan tersebut juga menyebabkan semakin menipisnya sumberdaya alam yang ada di bumi. Jika kegiatan kelompok masyarakat terdahulu hanya menimbulkan kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup serta penurunan persediaan sumber daya alam, maka kegiatan manusia pada masa sekarang akan menimbulkan akibat yang berlipat ganda yang mungkin tidak akan terpulihkan. Akibat yang berlipat ganda tersebut, salah satunya disebabkan oleh limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Akumulasi dari dampak yang ditimbulkan oleh limbah B3 bersifat jangka panjang, sehingga jika generasi sekarang menyebabkan timbulnya sumber limbah, maka generasi mendatang akan menuai dampak negatifnya. B3 adalah zat, energi, atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, membahayakan lingkungan hidup, kesehatan serta kelangsungan hidup manusia serta mahluk hidup lain (UU No. 32, 2009). B3 dalam ilmu bahan dapat berupa bahan biologis (hidup/mati), zat kimia senyawa logam (anorganik) dan senyawa organik, sehingga B3 dapat diklasifikasikan menjadi B3 biologis, logam, dan organik. Menurut data dari Environmental Protection Agency (EPA) terdapat top-20 B3, yaitu: Arsen, Timbal, Raksa, Vinil Klorida, Benzena, Polychlorinated Biphenyls, Cadmium, Benzo(a)pyrene, Benzo(b)fluoranthene, Polycyclic Aromatic, Hidrokarbon, Kloroform, Aroclor 1254, DDT, Aroclor 1260, Trichloroethylene, Kromium (hexavalent), Dibenz[a,h]anthracene, Dieldrin, Hexachlorobutadiene, Chlordane. Dari 20 B3 tersebut, yang termasuk logam berat adalah Arsen (As), Timbal (Pb), Raksa (Hg), Cadmium (Cd), dan Krom (Cr) (Sudarmaji, et al. 2006: 129-130). 1

2 Unsur logam berat adalah unsur yang mempunyai densitas lebih dari 5 g/cm 3. Salah satu industri yang berpotensi sebagai sumber pencemaran logam berat Pb adalah industri baterai. Suwandi (Sudarmadji, et al. 2006:133) menemukan bahwa pada daerah industri proses daur ulang aki bekas, kadar udara di daerah terpapar Pb pada malam hari besarnya sepuluh kali lipat dibandingkan kadar Pb di daerah tidak terpapar. Semakin tinggi kadar Pb di daerah terpapar akan menyebabkan Hb darah seseorang rendah. Kondisi ini merupakan salah satu contoh yang terjadi di sekitar kita, sehingga diperlukan upaya untuk menekan jumlah pencemaran yang berasal dari logam berat. Sebagai regulator dan penjamin bagi keberlangsungan fungsi lingkungan, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan yang tertuang dalam berbagai peraturan, baik berupa undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan daerah yang digunakan sebagai rambu-rambu pengendalian pencemaran lingkungan. Selain aturan yuridis formal tersebut, harus ada paradigma baru yang dikembangkan, yaitu melalui pendekatan efisiensi. Pada tataran dunia pendidikan, pendekatan efisiensi ini merupakan salah satu solusi yang dilakukan oleh seorang pendidik untuk menjamin masa depan peserta didik agar peduli terhadap masalah lingkungan dan mampu mencari solusi terhadap permasalahan tersebut. Pada bidang pendidikan kimia, pendekatan efisiensi ini disebut dengan green chemistry education. Terkait dengan green chemistry education, Cann (2009) mengemukakan bahwa, untuk mempersiapkan peserta didik menjadi seorang yang produktif, seorang pendidik harus mampu memunculkan isu lingkungan sosial dan memfokuskan secara spesifik tentang green chemistry di kelas. Terkait dengan hal ini, pada tahun 2000 Presiden American Chemical Society (ACS), Daryle Busch, mengemukakan bahwa green chemistry represents the pillar that hold up our sustainable future. It is imperative to teach of green chemistry to tomorrow s chemists (Cann, 2009: 94). Berdasarkan kongres IUPAC (Tundo, 2001: 1) green chemistry pada konteks saintifik adalah penerapan sejumlah kaidah fundamental kimia untuk mengurangi pemakaian atau memproduksi bahan kimia yang berbahaya. Green chemistry bertujuan untuk mencegah atau mengurangi bahaya polusi pada segala

3 lini atau jalur timbulnya polusi tersebut. Pada area pendidikan, green chemistry muncul sebagai solusi untuk mencegah atau mengurangi permasalahan lingkungan (Cann, 2009: 94). Istilah green chemistry berbeda dengan environmental chemistry, akan tetapi kedua istilah ini saling melengkapi satu sama lain. Green chemistry merupakan suatu upaya pencegahan sebelum pencemaran terjadi sedangkan environmental chemistry merupakan suatu upaya menanggulangi pencemaran yang sudah terjadi (Tn, 2010: 1). Masyarakat baru menyadari pentingnya melestarikan lingkungan sekitar, setelah ada dampak/resiko yang muncul akibat pencemaran. Paradigma ini harus segera dirubah. Sebagai generasi penerus bangsa kita harus mampu memberikan solusi yang cerdas sebelum bencana itu datang akibat ketidakpedulian kita terhadap lingkungan. Salah satu caranya adalah melakukan suatu tindakan preventif (pencegahan) dengan meminimalisir resiko yang akan terjadi melalui green chemistry. Pada umumnya, penerapan konsep green chemistry biasanya diterapkan di laboratorium, meskipun demikian pengintegrasiannya tidak harus terfokus pada laboratorium (Klingshirn, 2009: 81). Cann (2009: 100) dalam penelitiannya memberikan rekomendasi kepada para pendidik untuk mengintegrasikan konsep green chemistry ke dalam buku teks. Berdasarkan studi pendahuluan terhadap buku-buku SMA yang beredar di Indonesia, diketahui bahwa isu sosial-sains green chemistry belum terintegrasi dalam buku-buku pelajaran (Johari, et al., 2011; Ari, et al., 2009; Sunarya, et al., 2009; Rahayu, 2009; Retnowati, 2009; Elizabeth, et al., 2009; Partana, et al., 2009; Purba, 2007; Sumarna, et al., 2006; dan Sutresna, 2006). Di beberapa negara maju di dunia, pokok bahasan green chemistry telah diterapkan. Di Amerika Serikat, secara formal green chemistry education telah dimulai sejak tahun 1998 bekerja sama dengan EPA (Environtmental Protection Agency) dan ACS (American Chemical Society). Program ini bernama Green Chemistry Educational Development Project. Sampai saat ini ACS telah menghasilkan beberapa materi ajar, modul pengajaran, artikel, serta jurnal terkait dengan green chemistry (Klingshirn, et al., 2009: 95). Sejak tahun 2002, di Australia terdapat suatu lembaga non provit yang dikenal dengan sebutan TNEP

4 (The Natural Edge Project). TNEP memiliki misi untuk mengkomunikasikan secara cepat dan terdepan tentang penelitian, studi kasus, perangkat, dan strategi pembelajaran dalam merealisasikan pembangunan berkelanjutan. Salah satu produk yang telah dihasilkan oleh lembaga ini adalah penyediaan modul dengan tema green chemistry. Meskipun beberapa materi ajar yang berhubungan dengan green chemistry telah tersedia, namun sebagian besar materi ajar ini belum diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Bahan ajar ini juga mungkin belum sesuai dengan kurikulum yang berlaku di Indonesia dan kurang sesuai dengan kondisi sosial, ekonomi dan psikologi siswa di Indonesia. Oleh sebab itu, perlu pemikiran dan penelitian yang serius dan mendalam tentang hal ini agar bahan ajar yang dihasilkan dapat memenuhi kriteria dapat dijangkau (accessible) oleh siswa. Pada umumnya, bahan ajar yang berkembang di Indonesia cenderung menempatkan konten terlebih dahulu dan diakhiri dengan aplikasi dari konten tersebut. Hal ini tidak sejalan dengan pendapat Holbrook (2005) yang menyatakan bahwa sains harus relevan dengan proses dan produk sehari-hari yang digunakan dalam masyarakat. Pada penyusunan bahan ajar, sintaks pembelajaran juga dapat dijadikan pedoman. Pada penelitian ini urutan bahan ajar disesuaikan dengan tahapan pembelajaran berdasarkan proyek Chemie im Kontext (Nentwig, et al., 2007) dengan menambahkan tahapan pengambilan keputusan yang disarankan pembelajaran Science Technology and Literacy (STL) (Holbrook, 2005). Tujuan pengacuan ini adalah untuk mengembangkan kreatifitas siswa dengan menggunakan pengetahuannya dalam kehidupan sehari-hari, memecahkan masalah, serta membuat keputusan yang dapat meningkatkan mutu kehidupan (Holbrook, 2005). Konsep green chemistry menyediakan peluang untuk mendidik generasi ke depan menuju sustainable society (Klingshirn, et al., 2009: 79). Green chemistry berperan penting dalam pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Brundtland (Holbrook, 2009: 47) mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan sekarang tanpa meragukan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Konsep

5 pembangunan berkelanjutan memberikan himbauan bahwa pembangunan akan memungkinkan generasi sekarang meningkatkan kesejahteraan, tanpa mengurangi hak generasi masa depan untuk meningkatkan kesejahteraannya. ICASE (International Council of Association for Science Education) mengemukakan bahwa literasi sains dan teknologi erat kaitannya dengan isu pembangunan berkelanjutan (Holbrook, 2009: 50). Terkait dengan kemampuan literasi sains peserta didik, studi penilaian yang dilakukan oleh PISA (Programme for International Student Assessment) mengungkapkan bahwa pembelajaran sains di Indonesia kurang berhasil meningkatkan kemampuan literasi sains peserta didik. Pada tahun 2000 Indonesia berada pada peringkat ke-38 dari 41 negara peserta PISA dengan nilai rerata tes 393; pada tahun 2003 Indonesia menempati peringkat ke-38 dari 40 negara peserta dengan nilai rerata tes 395; pada tahun 2006 Indonesia menempati peringkat ke-50 dari 57 negara peserta dengan nilai rerata tes 393 ; pada tahun 2009 Indonesia menempati peringkat ke-60 dari 65 negara peserta dengan skor 383 (OECD, 2009) dan terakhir tahun 2012 Indonesia menempati peringkat ke-64 dari 65 negara. Kekecewaan terhadap hasil monitoring PISA tersebut tidak bisa didiamkan begitu saja, perlu adanya suatu gagasan yang mendasar dan relevan. Rendahnya hasil PISA peserta didik Indonesia dan masalah lingkungan yang sering terjadi, merupakan tantangan masa depan dan menjadi alasan mengapa perlu adanya pembaharuan pada pengembangan kurikulum (Kemendikbud, 2012: 17). Pada penelitian ini, pembaharuan itu dihubungkan dengan perancangan bahan ajar yang sesuai dengan kebutuhan siswa. Pemilihan jenis bahan ajar ditentukan berdasarkan tingkat kesulitan dan kedalaman materi, ciri khas materi pelajaran, kerumitan dalam pemilihan strategi pembelajaran, karakter siswa, kondisi sarana dan prasarana pembelajaran yang tersedia. Dasar pemilihan itu bertujuan agar bahan ajar yang dihasilkan: (1) fleksibel dan handal untuk diterapkan pada satuan pendidikan dengan kondisi, situasi, dan kebutuhan peserta didik yang bervariasi, (2) mudah untuk diadopsi atau diadaptasi oleh satuan pendidikan, (3) memberi inspirasi bagi pendidik untuk mengembangkan bahan ajar yang lebih elaboratif, inovatif, dan efektif untuk

6 diterapkan dalam pembelajaran. Dengan demikian, model bahan ajar perlu disusun sesuai dengan kondisi, kebutuhan, potensi dan karakteristik satuan pendidikan, dan peserta didik yang dapat digunakan sebagai acuan, panduan, pedoman, sumber inspirasi, atau referensi bagi satuan pendidikan dalam mengembangkan kurikulum, silabus, dan bahan ajar untuk diadaptasi atau diadopsi oleh satuan pendidikan sesuai kebutuhannya (Puskurbuk, 2010) Pengembangan model pengajaran, sekuensi mengajar, dan bahan ajar telah terlebih dahulu dikembangkan di Jerman melalui model rekonstruksi pendidikan atau disebut juga dengan Model of Educational Reconstruction (MER). MER diperkenalkan oleh Duit, Gropengieber, dan Kattmann (1995). Model tersebut juga telah digunakan oleh Viiri dan Savinainen (2008) untuk memperbaiki sekuensi pembelajaran. Selain itu, Laherto (2012) menggunakan model MER untuk memperkenalkan teknologi nanosains pada pengajaran informal. Beberapa penelitian yang menjadikan MER sebagai kerangka pijakannya telah menghasilkan pencapaian yang memuaskan terhadap perangkat yang dikembangkan. Salah satu materi kimia yang memiliki potensi untuk dikembangkan dengan model MER melalui bahan ajar berbasis green chemistry education adalah materi sel volta. Pemilihan materi sel volta didasarkan pada pandangan PISA terkait dengan beberapa prinsip pemilihan konten sains PISA, yakni : 1. Konsep yang diujikan harus relevan dengan situasi kehidupan keseharian yang nyata. 2. Konsep itu diperkirakan masih akan relevan sekurang-kurangnya untuk satu dasawarsa ke depan. 3. Konsep itu harus berkaitan dengan kompetensi proses yaitu pengetahuan tidak hanya mengandalkan daya ingat siswa dan berkaitan hanya dengan informasi tertentu. (Hayat dan Yusuf, 2010) Dalam hal ini, konten sel volta sesuai dengan ketiga prinsip pemilihan konten tersebut. Di samping itu, berdasarkan The Natural Edge Project (2011: 9) sel volta termasuk dalam kriteria spesifik pada klasifikasi reaksi kimia. Materi ini disusun dalam bentuk silabus oleh Queensland Studies Authority (QSA) Senior School.

7 Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Konstruksi bahan ajar sel volta berbasis green chemistry education untuk membangun literasi sains siswa. B. Identifikasi dan Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah dijabarkan, maka beberapa masalah dapat diidentifikasi sebagai berikut: 1. Pencemaran yang disebabkan oleh limbah B3, akan menimbulkan dampak yang berlipat ganda di masa depan jika diabaikan begitu saja. 2. Pengetahuan masyarakat tentang bahaya dan cara penanggulangan B3 masih minim. 3. Pencapaian literasi sains siswa di Indonesia masih rendah. 4. Bahan ajar yang berkembang di Indonesia belum relevan dengan proses dan produk sehari-hari. 5. Penerapan konsep green chemistry berpotensi untuk disampaikan kepada siswa baik melalui praktikum di laboratorium maupun melalui bahan ajar, namun konsep ini belum terdapat di beberapa buku kimia yang beredar di Indonesia. Berdasarkan identifikasi masalah tersebut, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah Bagaimanakah model konstruksi bahan ajar sel volta berbasis green chemistry education untuk membangun literasi sains siswa?. Pertanyaan penelitian untuk rumusan masalah tersebut adalah: 1. Bagaimanakah perspektif siswa terhadap isu sosial-sains green chemistry dalam kerangka konstruksi bahan ajar untuk membangun literasi sains siswa? 2. Bagaimanakah karakteristik bahan ajar sel volta dengan model rekonstruksi pendidikan berbasis green chemistry education? 3. Bagaimanakah hasil penilaian ahli terhadap rancangan bahan ajar sel volta berbasis green chemistry education?

8 C. Pembatasan Masalah Untuk memperjelas ruang lingkup permasalahan dalam penelitian ini, maka dibuat batasan masalah pada penelitian ini, yaitu: 1. Konstruksi pengembangan bahan ajar sel volta menggunakan model rekonstruksi pendidikan. Model ini terdiri atas 3 komponen, yaitu: analisis struktur konten (analysis of content structure), studi empiris (empirical investigations), dan konstruksi pengajaran (construction of Instruction (Duit, 2007: 6). Tahapan yang dilakukan pada penelitian ini dibatasi pada analisis struktur konten dan studi empiris mengenai prakonsepsi dan ketertarikan siswa tentang isu sosial-sains green chemistry. 2. Format wawancara diadaptasi dari penelitian yang dilakukan oleh Laherto (2012) untuk menggali prakonsepsi dan ketertarikan siswa siswa terhadap isu sosial-sains green chemistry. 3. Pengukuran penilaian ahli terhadap rancangan ajar dilakukan dengan menggunakan Conten Validity Ratio (CVR) yang dirumuskan oleh Lawshe (1975) dan disempurnakan oleh Wilson (2012). D. Tujuan Penelitian Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan bahan ajar sel volta berbasis green chemistry education yang dapat membangun pencapaian literasi sains siswa. Secara khusus, tujuan penelitian ini adalah diperolehnya informasi terkait: 1. Gambaran perspektif siswa terhadap isu sosial-sains green chemistry dalam kerangka konstruksi bahan ajar untuk membangun literasi sains siswa. 2. Karakteristik model bahan ajar sel volta dengan model rekonstruksi pendidikan berbasis green chemistry education berbasis green chemistry education. 3. Penilaian ahli terhadap bahan ajar yang dikembangkan.

9 E. Manfaat Penelitian Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari bahan ajar sel volta berbasis green chemistry education yang dapat membangun pencapaian literasi sains siswa adalah: 1. Sebagai solusi pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan. 2. Sebagai alat bantu belajar dan latihan bagi peserta didik dalam membangun literasi sains peserta didik. 3. Sebagai bahan rujukan bagi peneliti selanjutnya. F. Penjelasan Istilah Untuk menyamakan persepsi terhadap beberapa pengertian dalam penelitian ini, maka penjelasan istilah diuraikan sebagai berikut: 1. Bahan ajar merupakan seperangkat materi/substansi pelajaran (teaching material) yang disusun secara sistematis, menampilkan sosok utuh dari kompetensi yang akan dikuasai oleh peserta didik dalam kegiatan pembelajaran (Dick & Carey, 1996). 2. Green chemistry adalah penerapan sejumlah kaidah fundamental kimia untuk mengurangi pemakaian atau memproduksi bahan kimia yang berbahaya yang terkonsep dalam merancang, menggunakan, dan memproduksi (Srivastava, 2006). 3. Green chemistry education adalah solusi melalui pendidikan untuk permasalahan lingkungan dengan menarapkan prinsip pembangunan yang berkelanjutan terkait dengan bagaimana menerapkan sejumlah kaidah fundamental kimia untuk mengurangi pemakaian atau memproduksi bahan kimia yang berbahaya yang terkonsep dalam merancang, menggunakan dan memproduksi (Srivastava, 2006., & Anastas, 2009). 4. Literasi sains adalah kemampuan menggunakan pengetahuan sains untuk mengidentifikasi pertanyaan, dan menarik kesimpulan berdasarkan buktibukti, agar dapat memahami dan membantu membuat keputusan tentang dunia alami dan interaksi manusia dengan alam. Literasi sains terdiri atas empat aspek yang berkaitan, yaitu konteks, konten, kompetensi, dan sikap.

10 Konteks dapat mengenalkan situasi kehidupan dengan melibatkan sains dan teknologi. Konten untuk memahami alam melalui pengetahuan sains, termasuk di dalamnya pengetahuan tentang alam dan pengetahuan tentang sains itu sendiri. Kompetensi menunjukkan pencapaian ilmiah berupa kapasitas untuk meningkatkan sumber kognitif dan non-kognitif pada berbagai konteks. Sikap untuk mengindikasikan ketertarikan sains, mendukung penyelidikan ilmiah dan motivasi untuk bertindak penuh tanggung jawab (OECD, 2009). 5. Model rekonstruksi pendidikan adalah suatu kerangka untuk meningkatkan perencanaan pengajaran dan penelitian pendidikan sains. Model ini terdiri dari tiga komponen yang meliputi: analisis struktur konten (analysis of content structure), studi empiris (empirical investigations), dan konstruksi pengajaran (construction of instruction) (Duit, et al., 2012).