BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I PENDAHULUAN. terjangkau oleh daya beli masyarakat (Pasal 3, Undang-undang No. 14 Tahun 1992

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pertambahan penduduk daerah perkotaan di negara-negara berkembang,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota sebagai perwujudan aktivitas manusia senantiasa mengalami perkembangan dari waktu ke waktu.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB V KESIMPULAN, SARAN, DAN IMPLIKASI PENELITIAN Karakteristik Zona

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis faktor..., Agus Imam Rifusua, FE UI, 2010.

I. PENDAHULUAN. Pada dasarnya, pembangunan jalan diharapkan mampu untuk memenuhi

selatan Ringroad dan sebagian Sleman yang berada di sebelah utara Ringroad. Meskipun demikian, kondisi wilayah perkotaan yang berada di dalam jalan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB. 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULAN 1.1 Tinjauan Umum 1.2 Latar Belakang

Sejalan dengan berkembangnya suatu kota atau wilayah dan meningkatnya kebutuhan manusia, infrastruktur jalan sangat diperlukan untuk menunjang proses

BAB 1 PENDAHULUAN. kian meningkat dalam aktivitas sehari-harinya. Pertumbuhan sektor politik,

Aditya Putrantono Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas tentang pendahuluan yang merupakan bagian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. satu tempat ke tempat lain untuk berbagai aktivitasnya, dan semua manusia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sektor transportasi merupakan salah satu mata rantai jaringan distribusi

PELUANG INVESTASI PEMBANGUNAN LRT DAN BRT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Transportasi terdiri dari dua aspek, yaitu (1) prasarana atau infrastruktur seperti jalan raya, jalan rel, bandar udara dan pelabuhan laut; serta (2)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN I - 1 BAB I PENDAHULUAN TINJAUAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tabel 1. 1 Perkembangan Jumlah Kendaraan Bermotor

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sumber daya lahan yang terdapat pada suatu wilayah, pada dasarnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. Konsep transportasi didasarkan pada adanya perjalanan ( trip) antara asal ( origin) dan tujuan

BAB I PENDAHULUAN. sekaligus ibukota dari Provinsi Jawa Barat yang mempunyai aktifitas Kota

BAB II TEORI DASAR. Beberapa definisi tentang tutupan lahan antara lain:

BAB I PENDAHULUAN. Depok, Tangerang dan Bekasi (Bodetabek) yang semakin berkembang.

BAB II TINJUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. oleh Negara Negara yang telah maju maupun oleh Negara yang sedang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Permasalahan di sektor transportasi merupakan permasalahan yang banyak terjadi

I. PENDAHULUAN. Administrasi (2010), Jakarta mempunyai luas 7.659,02 km 2. penduduk sebesar jiwa. Jakarta juga mempunyai kepadatan penduduk

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Peranan tersebut menjadikan angkutan umum perkotaan sebagai aspek

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam wilayah suatu negara akan ada kota yang sangat besar, ada kota

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Pandangan Responden Terhadap Proyek Monorel (MRT) di Jakarta Riset dilakukan pada: November 2013 Berdasarkan panelis dari Nusaresearch

BAB I PENDAHULUAN. lemahnya perencanaan dan kontrol membuat permasalahan transportasi menjadi

BAB I PENDAHULUAN. kompleks dibanding daerah sekitarnya (Bintarto, 1977). perekonomian, atau sebagai pusat pemerintahan (Darmendra, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

3.1. METODOLOGI PENDEKATAN MASALAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan dan pertumbuhan kota akan mendorong kebutuhan akan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Kepariwisataan merupakan salah satu dari sekian banyak gejala atau

BAB I PENDAHULUAN. kondisi penggunaan lahan dinamis, sehingga perlu terus dipantau. dilestarikan agar tidak terjadi kerusakan dan salah pemanfaatan.

BAB I PENDAHULUAN - 1 -

PEMANFAATAN CITRA QUICKBIRD DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ZONASI KERENTANAN KEBAKARAN PERMUKIMAN KASUS DI KOTA BANDUNG BAGIAN BARAT

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 LATAR BELAKANG dan PERUMUSAN PERMASALAHAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Jumlah penduduk di Indonesia terus mengalami peningkatan setiap

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB III LANDASAN TEORI

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak terkecuali pada daerah-daerah di Indonesia. Peningkatan urbanisasi ini akan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Atika Permatasari, 2013

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Transportasi dan mobilitas penduduk menjadi dua hal yang tidak dapat

PEMETAAN TINGKAT KEPADATAN VOLUME KENDARAAN PADA RUAS JALAN JETIS KARAH DENGAN METODE LINEAR TUGAS AKHIR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, umumnya seragam, yaitu kota-kota mengalami tahap pertumbuhan

BAB V PEMBAHASAN. Kota Surakarta

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Angkutan umum sebagai salah satu moda transportasi untuk melakukan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I TINJAUAN PUSTAKA BAB I PENDAHULUAN

Ketika MRT Urai Kemacetan Jakarta

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

BAB 3 GAMBARAN UMUM KAWASAN JALAN CIHAMPELAS

Sumber: Automology.com. Ir. BAMBANG PRIHARTONO,MSCE JAKARTA, 10 JANUARI 2018

Analisis Kebutuhan Parkir dan Kajian Dampak Lalu Lintas Gedung Pusat Perbelanjaan Ramayana Makassar

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Analisis Parkir Kendaraan Mobil Di Ruas Jalan Walikota Mustajab Surabaya

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Transportasi merupakan salah satu kajian ilmu geografi, yang berkaitan dengan interaksi antarwilayah. Transportasi digunakan sebagai sarana untuk menggerakan manusia atau barang dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Dalam masyarakat perkotaan, transportasi sebagai sarana menggerakan orang dari lokasi tempat tinggal menuju lokasi tempat aktivitas bekerja. Kajian transportasi dalam ilmu geografi menjadi semakin penting seiring dengan pertumbuhan penduduk dalam suatu wilayah. Menurut Usher (2000) bahwa kebutuhan transportasi akan terus meningkat, seiring dengan kebutuhan penduduk yang multitujuan dalam satu kegiatan perjalanan. Rodrigue et al. (2009) menambahkan bahwa tujuan keberadaan transportasi untuk memindahkan atau memenuhi permintaan mobilitas manusia, barang, maupun informasi dari tempat asal ke tempat tujuannya. Transportasi ini menghubungkan aktivitas ekonomi (perdagangan) maupun aktivitas sosial (pendidikan, kesehatan, rekreasi) antar wilayah. Saat ini kota-kota di dunia mengalami perkembangan penduduk yang sangat pesat. Pada tahun 2025, diperkirakan lebih dari 50% penduduk dunia tinggal di daerah perkotaan. Hal ini akan menyebabkan permasalahan dalam bidang transportasi sehingga kota tidak nyaman untuk ditempati (Kaltheier, 2002). Begitu pula di Indonesia, jumlah penduduk yang memadati daerah perkotaan di Indonesia terus mengalami peningkatan. Pada tahun 1971 persentase penduduk yang tinggal di perkotaan hanya 17,3% dari total penduduk Indonesia. Pada tahun 1980 meningkat menjadi hampir 22,3%, pada tahun 1995 meningkat lagi menjadi 30,9%, dan pada tahun 2000 meningkat menjadi 42,4%. Kemudian pada tahun 2003 meningkat menjadi sekitar 55,3% dan diperkirakan naik lagi menjadi 68,6% pada tahun 2020. Peningkatan penduduk perkotaan terutama karena pengaruh mobilitas penduduk dari desa ke kota (Tukiran dan Ediastuti, 2004). 1

Tingginya angka mobilitas penduduk dari desa ke kota karena daerah perkotaan masih dianggap memiliki daya tarik, seperti memiliki kesempatan lapangan kerja yang luas di berbagai sektor, dapat meningkatkan pendapatan yang lebih tinggi, memberikan kemudahan dalam memperoleh fasilitas umum (kesehatan, pendidikan, hiburan), memberikan kemudahan dalam melakukan pergerakan (aksesibilitas), memberikan peluang yang lebih besar dalam pengembangan karir, dan memberikan kemudahan dalam mengembangkan kegiatan usaha baru (Colby dalam Yunus, 2001; Adisasmita, 2006). Menurut Parikesit (2007) mobilitas penduduk dari desa ke kota menyebabkan transportasi perkotaan mengalami masalah yang serius. Cepatnya pertumbuhan penduduk perkotaan dan mobilitas penduduk tinggi yang tidak diimbangi dengan pelayanan angkutan umum yang memadai menyebabkan masyarakat memilih sepeda motor untuk melakukan mobilitas sehari-hari. Angkutan umum mengalami tekanan yang sangat berat akibat pertumbuhan motor yang tinggi. Sulaeman (2010) menambahkan bahwa motorisasi dan urbanisasi menjadi trend di metropolitan di negara-negara berkembang. Selain itu, sikap masyarakat di negara berkembang adalah menggunakan kepemilikan mobil sebagai syarat untuk pengakuan (prestise). Hal ini telah mendorong semua orang untuk memiliki mobil pribadi dan tidak bepergian dengan menggunakan angkutan umum. Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan semakin kompleksnya kegiatan penduduk di perkotaan maka kebutuhan sarana transportasi semakin meningkat. Hal ini dapat ditunjukkan dari semakin banyaknya kendaraan yang beroperasi di jalan, baik kendaraan pribadi maupun umum. Sesuai dengan pendapat Parikesit (2011) yang mengatakan bahwa pertumbuhan penduduk, peningkatan penghasilan telah menimbulkan tuntutan akan kualitas angkutan yang lebih tinggi. Bandung merupakan salah satu kota besar di Indonesia yang memiliki kepadatan penduduk sangat tinggi, berdasarkan data sensus penduduk tahun 2012 penduduk Kota Bandung yaitu sekitar 14.678 jiwa/km 2 (Badan Pusat Statistik Kota Bandung, 2013). Dalam beberapa tahun terakhir Kota Bandung 2

menunjukkan penambahan jumlah penduduk yang besar, padahal luas administratif wilayahnya relatif tetap. Tabel 1.1 Perkembangan Jumlah Penduduk Kota Bandung No Tahun Jumlah Penduduk (Jiwa) Luas Wilayah (Km 2 ) Kepadatan Penduduk (Jiwa/Km 2 ) 1 2001 2.137.852 167,29 12.779 2 2002 2.142.194 167,29 12.805 3 2003 2.228.268 167,29 13.320 4 2004 2.232.624 167,29 13.346 5 2005 2.270.970 167,29 13.505 6 2006 2.296.848 167,29 13.729 7 2007 2.329.928 167,29 13.927 8 2008 2.374.198 167,29 14.192 9 2009 2.390.050 167,29 14.286 10 2010 2.393.633 167,29 14.308 11 2011 2.412.148 167,29 14.418 12 2012 2.455.517 167,29 14.678 Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Bandung, 2013. Berdasarkan tabel 1.1 tersebut dapat diketahui bahwa setiap tahun jumlah penduduk di Kota Bandung bertambah sekitar 28.879 jiwa atau 1,18 % dari jumlah penduduk tahun 2012, sehingga dapat diperkirakan jumlah penduduk Kota Bandung tahun 2013, yaitu 2.484.396 jiwa. Gambar 1.1 : Perkembangan Jumlah Penduduk di Kota Bandung Saat ini panjang jaringan jalan di Kota Bandung yaitu 1.268,92 km (Dinas Bina Marga Kota Bandung, 2010) harus menampung jumlah kendaraan di Kota Bandung sekitar 1.202.228 unit kendaraan (Samsat Provinsi Jawa Barat, 2010). Tabel 1.2 menunjukkan data mengenai perkembangan panjang jalan dan perkembangan jumlah kendaraan di Kota Bandung. 3

Tabel 1.2 Perkembangan Panjang Jalan dan Jumlah Kendaraan di Kota Bandung No Tahun Panjang Jumlah Kendaraan Jalan (Km) (Unit) 1 2000 1.140,00 355.508 2 2001 1.140,00 394.994 3 2002 1.172,61 446.409 4 2003 1.172,61 506.667 5 2004 1.172,61 589.201 6 2005 1.172,61 693.187 7 2006 1.268,92 786.557 8 2007 1.268,92 878.120 9 2008 1.268,92 982.989 10 2009 1.268,92 1.078.493 11 2010 1.268,92 1.202.228 Sumber: BPS Kota Bandung, 2010, Dinas Bina Marga Kota Bandung, 2010, dan Samsat Provinsi Jawa Barat, 2010. Jika dibuatkan grafik perbandingan perkembangan panjang jalan dan jumlah kendaraan yang ada di Kota Bandung dapat dilihat pada gambar 1.2 berikut. Gambar 1.2 : Perkembangan Panjang Jalan dan Jumlah Kendaraan di Kota Bandung (Sumber: BPS Kota Bandung, 2010, Dinas Bina Marga Kota Bandung, 2010, dan Samsat Provinsi Jawa Barat, 2010). Berdasarkan jenisnya, seperti kota-kota lain di Indonesia dan negara berkembang, proporsi kendaraan yang ada di Kota Bandung didominasi oleh sepeda motor, dengan pertumbuhan rata-rata 84.980 unit per tahun. Kemudian mini bus dengan pertumbuhan rata-rata 16.504 per tahun. Jika dilihat persentase jumlah kendaraan bermotor yang ada di Kota Bandung tahun 2010 dapat diketahui 4

bahwa sepeda motor merupakan kendaraan yang paling banyak di Kota Bandung, yaitu sekitar 71%. Sepeda Motor 71% Sedan 6% Jeep 3% Mini Bus 15% Micro Bus, Bus Truck 0% 5% Alat Berat 0% Persentase Jumlah Kendaraan di Kota Bandung Tahun 2010 Gambar 1.3 : Persentase Jumlah Kendaraan di Kota Bandung Tahun 2010 Sumber : Samsat Provinsi Jawa Barat, 2010 Jika dibandingkan antara jumlah penduduk yang bertambah sekitar 30.000 orang per tahun dan kendaraan yang bertambah sekitar 85.000 unit per tahun, berarti pertambahan kendaraan mengalami peningkatan sekitar 3 kali lipat dari pertambahan penduduk, padahal di sisi lain luas wilayah dan jaringan jalan relatif tetap. Hal ini tentunya akan menimbulkan masalah transportasi di Kota Bandung, yaitu kemacetan lalu lintas. Seperti yang diungkapkan Susantono (2009) yang mengatakan bahwa kemacetan terjadi akibat pertambahan kendaraan yang terus menerus dengan kondisi penambahan jaringan jalan relatif tetap. Saat ini kemacetan merupakan masalah serius di Kota Bandung. Menurut data dari Dinas Perhubungan Kota Bandung (2010) terdapat 40 lokasi titik kemacetan pada ruas-ruas jalan di Kota Bandung. Kemacetan terjadi antara lain di sepanjang Jalan Dr. Setiabudi, Jl. Sukajadi, Jl. Prof. Surya Sumantri, Jl. Djunjunan, Jl. Pasirkaliki, Jl. Jend. Sudirman, Jl. Astanaanyar, Jl. Kebonjati, Jl. Soekarno Hatta, Jl. Ir. H. Djuanda, Jl. R.E. Martadinata, Jl. Merdeka, Jl. Wastukencana, Jl. Tamansari, Jl. Buah Batu, Jl. Moch. Toha, Jl. Lingkar Selatan, Jl. Otto Iskandar Dinata, Jl. Jend. Ahmad Yani, Jl. Jend. Gatot Subroto, Jl. Kiara Condong, dan Jl. A.H. Nasution. Kemacetan di Kota Bandung juga terjadi pada akhir pekan dan hari libur akibat banyaknya kendaraan dari luar Kota bandung. Adapun faktor penyebab kemacetan di Kota Bandung, berasal dari 30 sumber, antara lain disebabkan oleh kondisi jalan (panjang, lebar, kualitas), 5

jumlah kendaraan pribadi yang terus bertambah, jarak persimpangan yang terlalu dekat, adanya pasar tumpah, tidak adanya ruang parkir, banyaknya angkot (angkutan kota), pengemudi yang kurang disiplin, dan akibat adanya pusat perbelanjaan atau mall (Dinas Perhubungan Kota Bandung, 2010). Kemacetan lalu lintas selalu menimbulkan dampak negatif, baik terhadap pengemudinya sendiri maupun terhadap kondisi ekonomi dan lingkungan. Bagi pengemudi kendaraan, kemacetan akan menimbulkan ketegangan (stress), dari kondisi ekonomi berupa kehilangan waktu karena lamanya perjalanan serta bertambahnya biaya operasi kendaraan seperti bensin dan perawatan mesin. Dampak negatif pada lingkungan berupa peningkatan polusi udara karena gas racun karbon monoksida serta peningkatan gangguan (kebisingan) akibat suara kendaraan (Munawar, 2007). Melihat peningkatan jumlah penduduk, peningkatan jumlah kendaraan pribadi, kondisi penambahan jaringan jalan relatif tetap, peningkatan kemacetan lalu lintas dan dampak yang disebabkan kemacetan lalu lintas maka perlu diupayakan solusi untuk mengatasinya. Salah satu solusinya yaitu dengan meningkatkan mobilitas perkotaan. Menurut Midgley (2011) mobilitas perkotaan artinya memusatkan perhatian pada lalu lintas manusia dan barang bukan pada kendaraan. Tujuannya menciptakan sistem mobilitas yang sangat efisien, fleksibel, memperhatikan kepentingan pengguna jalan, aman dan terjangkau. Hal ini berarti bahwa memprioritaskan angkutan umum, pejalan kaki, kendaraan tidak bermotor dan angkutan barang. Menurut Parikesit (2007) untuk mengatasi masalah transportasi perkotaan, diperlukan pengembangan sistem transportasi angkutan umum yang konsisten dan berdasarkan rencana yang peka terhadap karakteristik lokal. Singapura merupakan contoh negara-kota yang berhasil menyediakan angkutan umum Mass Rapid Transit (MRT). Secara konsisten Singapura melakukan reformasi besar-besaran pada sistem angkutan umum, mengeluarkan kebijakan pembatasan kendaraan pribadi, dan pelarangan parkir di badan jalan. Kemudian negara berkembang yang berhasil mengembangkan angkutan umum massal yaitu Kolombia. Walikota Bogota-Kolombia mengembangkan Bus Rapid Transit (BRT) yaitu TransMilenio 6

yang mengangkut lebih dari 1 Juta penumpang per tahun. Keberhasilan walikota Bogota mengatasi masalah transportasi kota, menjadi rujukan bagi kota-kota di negara berkembang lainnya, seperti seperti Kunming, Seoul, Taipei, Quito, Curitiba, Jakarta, Dar-es-Salaam, dan Nairobi. Sarana transportasi angkutan umum yang sudah dikembangkan di Indonesia yaitu Transjakarta atau biasa disebut Busway. Busway merupakan sistem transit bus kecepatan (bus rapid transit, BRT) bertujuan untuk memecahkan masalah kemacetan di Jakarta, mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, mobil dan sepeda motor, untuk mengurangi polusi yang dihasilkan oleh kendaraan pribadi. Saat ini, busway merupakan sarana transportasi yang banyak diminati oleh warga Jakarta dengan alasan dapat mengurangi waktu pergi bekerja, dapat mengurangi polusi, dan lebih nyaman dibandingkan bus lainnya (Sulaeman, 2010). Kota Bandung sebenarnya sudah merencanakan pembangunan angkutan umum massal. Rencana tersebut tertuang dalam Peraturan Daerah Kota Bandung No.03 Tahun 2006 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandung yang menyebutkan bahwa pengembangan sistem transportasi di Kota Bandung harus sudah mengakomodir pengembangan angkutan umum massal. Pengembangan sistem angkutan umum massal yang direncanakan di Kota Bandung, yaitu moda angkutan yang dapat mengangkut penumpang dalam jumlah besar, yang beroperasi secara cepat, nyaman, aman, terjadwal dan berfrekuensi tinggi pada koridor-koridor utama (jalur primer) berbasis rel atau jalan raya (Bappeda Kota Bandung, 2011). Perencanaan transportasi angkutan umum massal sangat membutuhkan ketersediaan data yang akurat, dapat dipercaya, dan mudah diperoleh. Beberapa data yang diperlukan dalam perencanaan transportasi, yaitu 1) karakteristik personal, meliputi jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, mata pencaharian (pekerjaan), dan pendapatan, 2) karakteristik rumah tangga, meliputi jumlah anggota keluarga, pendapatan keluarga, kepemilikan kendaraan, 3) karakteristik zona meliputi penggunaan lahan, kepadatan permukiman, aksesibilitas, lokasi 7

zona, dan karakteristik jaringan jalan, meliputi tingkat pelayanan jalan (Waters, 1999; Tamin, 2000; Usher, 2000). Dalam kaitannya dengan kebutuhan data untuk perencanaan transportasi, penginderaan jauh merupakan salah satu teknologi yang dapat menyediakan sebagian data yang diperlukan. Parikesit (2007) mengatakan bahwa pemodelan transportasi perkotaan di negara berkembang perlu memanfaatkan perkembangan terbaru dalam bidang penginderaan jauh (remote sensing) untuk mengakomodasi perubahan cepat penggunaan lahan. Dalam 5 10 tahun ke depan, kita akan menyaksikan perubahan besar dalam pemodelan transportasi perkotaan dengan pemanfaatan Sistem Informasi Geografis. Selanjutnya Usher (2000) mengatakan bahwa citra penginderaan jauh dapat menyediakan sumber informasi yang lebih banyak untuk kajian transportasi, jika dibandingkan dengan metode pengumpulan data secara manual. Citra satelit penginderaan jauh yang cocok digunakan untuk studi transportasi perkotaan adalah citra satelit resolusi spasial tinggi. Kelebihan citra satelit resolusi spasial tinggi yaitu dapat mengidentifikasi dengan mudah objekobjek perkotaan seperti jaringan jalan, gedung-gedung, permukiman, dan jalur hijau. Citra satelit resolusi tinggi yang saat ini banyak digunakan untuk kajian perkotaan yaitu Ikonos dan Quickbird. Perbedaan keduanya terletak pada resolusi spasial yang dimilikinya, yaitu Quickbird memiliki resolusi spasial yang lebih tinggi dibandingkan Ikonos. Keunggulan citra Quickbird memiliki resolusi spasial yang sangat tinggi, yaitu 0,61 meter untuk pankromatik, dan 2,4 meter untuk multispektral sehingga dapat menyajikan data yang rinci. Dengan resolusi setinggi ini, informasi daerah perkotaan dapat diperoleh dengan akurat dan detail sehingga dapat digunakan untuk mengidentifikasi objek perkotaan dengan baik, seperti penggunaan lahan, jaringan jalan, pola dan kepadatan bangunan rumah mukim, dan pusat-pusat kegiatan penduduk (Volve, 2004; Somantri, 2008). Oleh karena memiliki data perkotaan yang sangat rinci, maka citra resolusi tinggi (Quickbird) sangat penting dalam menyusun pemodelan transportasi sebagai salah satu sumber data yang akurat dan lebih cepat. 8

Untuk memperoleh informasi yang detail dari citra Quickbird, biasanya digunakan interpretasi visual secara on screen karena objek dapat diidentifikasi dengan mudah, tetapi teknik interpretasi visual memerlukan waktu yang lama untuk wilayah yang luas dan bersifat sangat subjektif (Wirawan dan Maulida, 2008). Oleh karena itu, perlu diupayakan teknik ekstraksi otomatis dari citra Quickbird sehingga hasilnya cepat dan memiliki keakuratan yang tinggi. Seperti yang diungkapkan Danoedoro (2012) bahwa kehadiran citra resolusi spasial tinggi ini perlu dicermati dalam hal pengembangan teknik dan metode analisis citranya secara digital. Hal ini penting karena sampai saat ini wacana mengenai metode-metode ekstraksi informasi otomatis dari citra resolusi tinggi belum begitu berkembang, sedangkan promosi keunggulan citra satelit tersebut lebih ditekankan pada kemampuannya dalam membantu interpretasi visual atau sebagai pengganti foto udara. Kux dan Ajauro (2013) mengatakan bahwa kawasan perkotaan terutama wilayah metropolitan merupakan wilayah yang sangat kompleks dan sulit diidentifikasi, dengan klasifikasi berbasis objek citra resolusi tinggi seperti Quickbird, maka pemetaan penggunaan lahan kota menjadi lebih efisien. Wirawan dan Maulida (2008) mengatakan bahwa pada citra resolusi spasial tinggi memiliki ukuran piksel yang rata-rata lebih kecil dari ukuran objek perkotaan sehingga proses ekstraksi informasi akan menemui kesulitan karena ekstraksi pada satuan piksel tidak akan menggambarkan objek perkotaan. Pada kondisi tersebut, metode klasifikasi berbasis objek (object based image analysis, OBIA) dapat menjadi pilihan untuk melakukan ekstraksi otomatis secara digital pada citra resolusi tinggi. Benz, et.al., (2004) mengatakan bahwa metode klasifikasi berbasis objek cocok digunakan untuk citra resolusi tinggi seperti Quickbird karena analisisnya dilakukan pada kelompok piksel (object based) yang hasilnya dapat dengan mudah digabungkan dengan data SIG yang berbasis vektor. Metode klasifikasi berbasis objek pada citra resolusi tinggi dapat menghasilkan format data yang bisa digabung dengan data lainnya melalui sistem informasi geografis, sehingga pemodelannya dapat berjalan dengan lancar. Hal ini, menarik untuk dikaji 9

mengenai metode klasifikasi berbasis objek yang datanya dapat digunakan untuk pemodelan transportasi melalui sistem informasi geografis (SIG). 1.2 Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian Permasalahan utama sistem transportasi di Kota Bandung adalah banyaknya sarana transportasi berupa sepeda motor (71%) yang menyebabkan kemacetan sehingga diperlukan angkutan umum massal yang dapat mengangkut penumpang dalam jumlah banyak. Untuk itu diperlukan proses pengambilan keputusan yang rasional, cepat, dan akurat berbasis data yang objektif. Pengambilan keputusan bidang transportasi sangat berkaitan dengan data spasial yang dapat diperoleh dari hasil teknologi penginderaan jauh. Adapun data tersebut antara lain data pemanfaatan lahan, jaringan jalan, dan lokasi suatu tempat. Saat ini belum banyak dikaji faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pemilihan angkutan umum massal di Kota Bandung dengan menggunakan data yang bersumber dari citra penginderaan jauh dan pemodelan spasial dengan sistem informasi geografis. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka masalah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut. 1. Klasifikasi berbasis objek (OBIA) dapat digunakan untuk mengekstrak data pemanfaatan lahan dari citra Quickbird secara otomatis. Namun demikian belum diketahui pemanfaatan data hasil OBIA dalam pemodelan spasial penentuan kebutuhan angkutan umum massal. 2. Angkutan umum massal merupakan upaya untuk mengurangi masalah kemacetan lalu lintas. Namun demikian, harus diketahui bagaimana penentuan zonasi kebutuhan angkutan umum massal dengan mempertimbangkan parameter seperti bangkitan pergerakan, tarikan pergerakan, kondisi sosial ekonomi dan mobilitas penduduk, dan tingkat pelayanan jalan. 10

Berdasarkan uraian permasalahan penelitian tersebut, pertanyaan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut berikut. 1. Apakah data pemanfaatan lahan hasil ekstraksi otomatis klasifikasi berbasis objek pada citra Quickbird dapat digunakan untuk pemodelan spasial zonasi kebutuhan angkutan umum massal di Kota Bandung? 2. Bagaimana pemodelan spasial zonasi kebutuhan angkutan umum massal dan penentuan rute angkutan umum massal di Kota Bandung? 1.3 Keaslian Penelitian Integrasi klasifikasi berbasis objek citra resolusi tinggi dan sistem informasi geografis dalam penelitian tentang studi zonasi kebutuhan angkutan umum massal masih jarang dilakukan. Seperti penelitian yang dilakukan Alterkawi (2001) yang hanya menggunakan SIG untuk pemodelan kebutuhan rute perjalanan. El-Shair (2003) menggunakan SIG dan penginderaan jauh untuk penentuan rute bus, tempat pemberhentian bus, merekomendasikan rute dan tempat pemberhetian berdasarkan ketersediaan fasilitas, tetapi menggunakan citra SPOT dan Foto Udara sebagai sumber data dengan teknik interpretasi visual secara digitasi onscreen. Huang (2003) hanya mengkaji cara mengintegrasikan data untuk transportasi kota dengan menggunakan sistem informasi geografis, tidak menggunakan data yang bersumber dari citra penginderaan jauh. El-Gafy (2005) sudah berusaha mengintegrasikan teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis untuk kajian transportasi tetapi tujuannya untuk evaluasi dampak transportasi terhadap lingkungan. Luna, M.I.R (2006) mengevaluasi pendekatan berbasis objek dan piksel untuk klasifikasi penggunaan lahan dan penutup lahan dan mengidentifikasi pendekatan yang memberikan hasil lebih baik pada citra resolusi tinggi, tetapi hasilnya tidak diaplikasikan untuk tujuan pengambilan keputusan tertentu. Ngereja (2009) perencanaan transportasi umum hanya menggunakan sistem informasi geografis. Dg.Bau (2013) hanya mengkaji tentang penentuan zona untuk bangkitan dan tarikan pergerakan, hasilnya tidak diaplikasikan untuk pengambilan keputusan dalam bidang transportasi. 11

Adapun penelitian yang dilakukan oleh peneliti berbeda dengan penelitianpenelitian sebelumnya, dapat ditunjukkan pada tabel 1.3 berikut. Tabel 1.3 Rencana Penelitian No Komponen Penelitian Rencana Penelitian 1 Tujuan akhir penelitian Membuat skenario zonasi kebutuhan dan rute angkutan umum massal di Kota Bandung 2 Sumber data Citra Quickbird Pan-Sharpened, Citra Quickbird Multispektral, data sekunder (dari dinas perhubungan, badan pusat statistik, dinas bina marga), dan data lapangan (bangkitan pergerakan, tarikan pergerakan, sosial ekonomi penduduk, dan volume lalu lintas) 3 Cara ekstraksi data citra Menggunakan metode klasifikasi berbasis objek, dimana citra dikelaskan berdasarkan segmen atau objek citra, interpretasi visual 4 Variabel penelitian Bangkitan pergerakan, tarikan pergerakan, kondisi sosial ekonomi dan mobilitas penduduk, dan tingkat pelayanan jalan 5 Unit analisis Wilayah administatif kelurahan dan jaringan jalan 6 Analisis data Menggunakan pemodelan spasial sistem informasi geografis (SIG). 7 Keterbaruan penelitian Penerapan metode klasifikasi berbasis objek untuk kajian transportasi, pemodelan transportasi empat tahap dimodifikasi secara spasial sehingga dapat dianalisis melalui pemodelan spasial. Adapun penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh orang lain dan rencana penelitian akan dilakukan oleh peneliti dengan menggunakan data penginderaan jauh dan SIG lebih jelasnya dapat ditunjukkan pada Tabel 1.4 berikut. 12

NO NAMA TAHUN JUDUL PENELITIAN 1 Alterkawi, M. 2001 Application of GIS in Transportation Planning: The Case of Riyadh, the Kingdom of Saudi Arabia 2 El-Shair, I. M. 2003 GIS and Remote Sensing in urban transportation planning: A case study of Birkenhead, Auckland 3 Huang, Z 2003 Data Integration for Urban Transport Planning Tabel 1.4 Penelitian Terdahulu TUJUAN METODE HASIL PENELITIAN KELEBIHAN KELEMAHAN Mengidentifikasi fasilitas transportasi yang kurang baik pada kawasan penting di Kota Riyadh 1) Memetakan rute bus dan tempat pemberhentian bus. 2) Mengevaluasi rute bus dan tempat pemberhentian bus untuk wilayah permukiman. 3) Merekomendasikan perubahan rute dan tempat pemberhentian berdasarkan tingkat ketersediaan fasilitas. 1) Menguji dan mengevaluasi teknik integrasi tipe data titik (point) yang penting untuk mengumpulkan dan menggambarkan data transportasi 2) Memperbaiki metodologi integrasi data garis (linear) dengan mengkaji model data yang cocok untuk memudahkan integrasi data transportasi umum 3) Memperbaiki metodologi data transisi sistem zona spasial agar memiliki data yang sama yang dapat diintegrasikan ke dalam zona yang diperlukan oleh Menggunakan sistem informasi geografis Menggunakan citra SPOT 1994 dan foto udara 1999. Menggunakan GIS dengan software ArcInfo dan Arcview dengan tools buffering, dan querying. Sistem informasi geografis Teknologi SIG dapat digunakan untuk perencanaan transportasi terutama pemodelan kebutuhan rute perjalanan. Rute bus dan tempat pemberhentian bus dapat dicapai jika 80% atau lebih kawasan permukiman atau kawasan perdagangan berlokasi tidak lebih dari 300 meter dari seluruh rute atau tempat pemberhentian bus. 1) Untuk memperlakukan tipe data titik, lokasinya didasarkan atas kecocokan alamat. 2) Integrasi dua data garis (linier) seperti rute bus dan jaringan jalan memerlukan segmentasi dinamis (dinamic segmentation), seperti geometrik jalan. 3) Di kawasan perkotaan, pemindahan data dari sistem zona ke yang lainnya dapat dilakukan dengan proses penggabungan atau pemisahan (disaggregationaggregation) Menggunakan analisis SIG seperti buffer dan network analyst Mengintegrasika n analisis SIG (buffer) dan penginderaan jauh untuk penentuan rute dan pemberhentian bus Menyusun model data dalam SIG untuk perencanaan transportasi Hanya menggunakan sistem informasi geografis untuk perencanaan transportasi Cakupan wilayahnya sangat luas yang menghubungkan antarkota sehingga menggunakan data citra SPOT dan foto udara Hanya mengkaji cara mengintegrasika n data untuk transportasi kota dengan menggunakan sistem informasi geografis, tidak menggunakan data yang bersumber dari citra penginderaan jauh 13

4 El-Gafy, M.A 2005 Environment Impact Assessment of Transportation Project: An Analysis Using Integrated GIS, Remote Sensing, and Spatial Modeling Approach 5 Luna, M.I.R 2006 High Resolution 6 Stow, D. Lopez, A. Lippit, C. Hinton,S. Weeks,J. Satellite Data For Mapping Landuse/Landcover in Rural-Urban Fringe of the Greater Toronto Area 2007 Object Based Classification of Residential land Use Within Accra, Ghana Based on Quickbird Satellite Data 7 Ngereja, Z.R 2009 Towards A GIS-T Database Design and Implementation for Public Transit Planning (The Case Study of Dar-es-Salaam Metropolitan City, Tanzania) model transportasi yang berbeda Menganalisis dampak lingkungan akibat transportasi dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh, sistem informasi geografis dan pemodelan spasial Mengevaluasi pendekatan berbasis objek dan piksel untuk klasifikasi penggunaan lahan dan penutup lahan dan mengidentifikasi pendekatan yang memberikan hasil lebih baik pada citra resolusi tinggi Pemetaan penggunaan lahan permukiman dan mengidentifikasi status sosial ekonomi Tujuan utamanya adalah mendesain dan membuat prototype basisdata Sistem Informasi Geografis untuk Transportasi (GIS-T) untuk perencanaan rute dan operasional di Kota Dar_es- Salaam. Mendesain basisdata GIS-T untuk perencanaan rute dan operasionalnya di Kota Dar-es-Salaam. 14 Metode overlay peta dan metode matrik Klasifikasi berbasis piksel, klasifikasi berbasis objek menggunakan software ecognition Segmentasi dan klasifikasi berdasarkan hirarki (3 level) citra quickbird multispektral menggunakan software Ecognition Menggunakan Sistem Informasi Geografis untuk Kajian Transportasi (GIS-T) Basis data dalam SIG sangat berguna pada kajian transportasi karena memiliki format yang baik, akurat, dan informasi cepat yang diperoleh dari penginderaan jauh menggunakan pemrosesan citra dan penggabungan data Hasil akurasi berbasis piksel yaitu 83.71% sedangkan hasil akurasi berbasis objek dengan menggunakan segmentasi 4 level untuk mengidentifikasi penutup lahan menghasilkan akurasi 86.70% Pemetaan penggunaan lahan permukiman menghasilkan akurasi 75% dari interpretasi visual citra quickbird pankromatik Hasil network analyst untuk menentukan tempat pemberhentian bus terdekat ke rumah sakit, rute terpendek dari lokasi kecelakaan, serta wilayah pelayanan di sekitar fasilitas rumahsakit di Kota Dar-es-Salaam Sudah diaplikasikan untuk kajian tertentu yaitu dampak transportasi terhadap lingkungan Menghasilkan akurasi yang cukup tinggi dengan menggunakan klasifikasi berbasis objek Proses klasifikasi menggunakan hirarki dari level 1, 2 dan 3. Mempertimbang kan faktor skala, bentuk, dan compactness dan smoothness Menggunakan basisdata SIG (sistem rute) untuk manajemen dan perencanaan transportasi angkutan umum Pemodelan spasialnya belum jelas Tidak diaplikasikan untuk tujuan pengambilan tertentu. Tidak diaplikasikan untuk tujuan tertentu. Hanya menggunakan sistem informasi geografis

8 Dg.Bau, Q 2013 Kajian Penetapan Zona Berdasarkan Citra Quickbird untuk Model Bangkitan dan Tarikan Perjalanan di Daerah Perkotaan (Studi Empiris di Kota Makassar) 9 Somantri, L 2014 Integrasi Klasifikasi Berbasis Objek Citra Quickbird dan Sistem Informasi Geografis untuk Pemodelan Spasial Zonasi Kebutuhan Angkutan Umum Massal di Kota Bandung Provinsi Jawa Barat 1. Mengidentifikasi dan menganalisis karakteristik zona berdasarkan citra quickbird 2. Mengembangkan klasifikasi pemanfaatan lahan dalam penyusunan model bangkitan dan tarikan perjalanan berdasarkan citra quickbird. 3. Menguji model bangkitan dan tarikan perjalanan berdasarkan luas bangunan dan tinggi bangunan yang diperoleh dari citra quickbird. 1. Mengembangkan data pemanfaatan lahan hasil ekstraksi klasifikasi berbasis objek pada citra Quickbird dalam pemodelan spasial zonasi kebutuhan angkutan umum massal di Kota Bandung. 2. Mengembangkan pemodelan spasial dengan Sistem Informasi Geografis untuk zonasi kebutuhan angkutan umum massal dan penentuan rute angkutan umum massal di Kota Bandung. 15 Menggunakan data citra quickbird multispektral dengan interpretasi visual. Menggunakan citra Quickbird dengan rencana metode klasifikasi berbasis objek, interpretasi visual, dan pemodelan spasial sistem informasi geografis Zona bangkitan terdiri dari pemanfaatan lahan permukiman yang digabung dengan kepadatan bangunan yang dibagi menjadi lima kelas, yaitu sangat padat, padat, sedang, jarang, dan sangat jarang. Zona tarikan terdiri dari 11 kategori selain permukiman, yaitu sekolah, perguruan tinggi, perkantoran, pertokoan, hotel, mall, masjid, rumah sakit, tempat rekreasi, industri/pabrik, dan pasar. Hasil yang diharapkan yaitu: 1. Peta pemanfaatan lahan dan peta jaringan jalan Kota Bandung hasil ekstraksi metode klasifikasi berbasis objek citra Quickbird yang bisa digunakan untuk pemodelan spasial zonasi kebutuhan angkutan umum massal di Kota Bandung. 2. Informasi zonasi spasial kebutuhan angkutan umum massal dan rute angkutan umum massal di Kota Bandung melalui pemodelan spasial Sistem Informasi Geografis. 3. Pengembangan metode klasifikasi berbasis objek citra Quickbird untuk diaplikasikan dalam kajian transportasi. Penentuan zona bangkitan dan tarikan sudah detail berdasarkan klasifikasi pemanfaatan lahan yang diperoleh dari citra Quickbird Penentuan zona belum mempertimbang kan fungsi jalan sebagai akses bangkitan atau tarikan pergerakan penduduk.

1.4 Tujuan Penelitian Berdasarkan pertanyaaan penelitian maka penelitian ini memiliki tujuan yaitu sebagai berikut. 1. Mengembangkan data pemanfaatan lahan hasil ekstraksi klasifikasi berbasis objek pada citra Quickbird dalam pemodelan spasial zonasi kebutuhan angkutan umum massal di Kota Bandung. 2. Mengembangkan pemodelan spasial dengan Sistem Informasi Geografis untuk zonasi kebutuhan angkutan umum massal dan penentuan rute angkutan umum massal di Kota Bandung. 1.5 Manfaat Penelitian Manfaat dalam penelitian ini dibedakan atas manfaat teoritis dan manfaat praktis. 1. Manfaat Teoretis Manfaat teoretis dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut. a. Secara teoritis bermanfaat untuk pengembangan metode ekstraksi otomatis data citra penginderaan jauh Quickbird yaitu diaplikasikan untuk kajian transportasi, dalam hal ini pemodelan spasial zonasi kebutuhan angkutan umum massal di Kota Bandung. b. Secara teoritis integrasi data penginderaan jauh dan sistem informasi geografis untuk pemecahan masalah transportasi perkotaan, yaitu pemodelan spasial untuk zonasi kebutuhan angkutan umum massal di Kota Bandung. 3. Manfaat Praktis Manfaat praktis penelitian ini adalah sebagai berikut. a. Diperolehnya informasi mengenai zonasi kebutuhan dan rute angkutan umum massal dan rute di Kota Bandung. Informasi ini sebagai bahan masukan bagi pemerintah Kota Bandung dalam perencanaan penerapan kebijakan penggunaan transportasi angkutan umum massal untuk mengatasi masalah kemacetan lalu lintas di Kota Bandung. b. Informasi zonasi kebutuhan dan rute angkutan umum massal dapat menjadi salah satu pertimbangan Pemerintah Kota Bandung dalam 16

penataan wilayah Kota Bandung agar menjadi kota yang nyaman dan tertib. c. Dalam teknologi spasial, penelitian ini memperkaya aplikasi penginderaan jauh melalui analisis klasifikasi berbasis objek dan pemodelan spasial sistem informasi geografis untuk kajian perkotaan, khususnya kajian transportasi. 1.6 Hasil yang Diharapkan Adapun hasil yang diharapkan dari penelitian ini yaitu sebagai berikut. 1. Peta pemanfaatan lahan dan peta jaringan jalan Kota Bandung hasil ekstraksi metode klasifikasi berbasis objek citra Quickbird yang bisa digunakan untuk pemodelan spasial zonasi kebutuhan angkutan umum massal di Kota Bandung. 2. Informasi zonasi spasial kebutuhan angkutan umum massal dan rute angkutan umum massal di Kota Bandung melalui pemodelan spasial Sistem Informasi Geografis. 3. Pengembangan metode klasifikasi berbasis objek citra Quickbird untuk diaplikasikan dalam kajian transportasi. 1.7 Definisi Operasional Agar tidak menimbulkan kesalahanpemahaman tentang konsep yang digunakan dalam penelitian, berikut dijelaskan makna operasionalisasinya. 1. Zona merupakan satuan pergerakan terkecil sehingga seluruh sifat/karakteristik pergerakannya merupakan rata-rata atau yang dianggap mewakili dari seluruh bagian zona. Pembagian zona didasarkan atas sistem penggunaan lahan yang memiliki keseragaman penggunaan lahan atau berada pada wilayah administrasi pemerintahan tertentu, seperti kelurahan atau kecamatan (Tamin, 2000). 2. Klasifikasi berbasis piksel merupakan pengelompokan objek atau fenomena pada citra digital berdasarkan nilai spektral setiap piksel dengan menggunakan algoritma tertentu (Danoedoro, 2012). 17

3. Klasifikasi berbasis objek adalah teknik ekstraksi data atau informasi dari citra penginderaan jauh yang unit analisisnya tidak didasarkan pada piksel tunggal, tetapi didasarkan pada kelompok piksel (segmen) atau objek citra (Benz et. al, 2004). 4. Sistem informasi geografis adalah sebuah sistem untuk pengelolaan, penyimpanan, pemrosesan atau manipulasi, analisis, dan penayangan data spasial (keruangan) yang terkait dengan muka bumi (Suharyadi dan Danoedoro, 2004). 5. Pemodelan spasial terdiri atas sekumpulan proses yang dilakukan pada data spasial untuk menghasilkan suatu informasi baru umumnya dalam bentuk peta. Informasi tersebut dapat digunakan untuk pembuatan keputusan, kajian ilmiah, atau sebagai informasi umum (ESRI, 2008). Pemodelan spasial yang dimaksud adalah pemodelan data penentuan kebutuhan angkutan umum massal dan penentuan rute angkutan umum massal di Kota Bandung, yaitu bangkitan pergerakan, tarikan pergerakan, sosial ekonomi penduduk, dan tingkat pelayanan jalan. 6. Angkutan umum massal adalah jenis angkutan yang memiliki kemampuan angkut yang besar, kecepatan yang tinggi, keamanan dan kenyamanan perjalanan yang memadai, yang digunakan secara massal dan biayanya terjangkau (Tamin, 2000). Angkutan umum massal yang dimaksud dalam penelitian ini, yaitu bus yang memiliki kecepatan yang tinggi dan keamanan, kenyamanan yang memadai. 7. Integrasi metode klasifikasi berbasis objek dan pemodelan spasial maksudnya menggunakan metode ekstraksi otomatis dari teknologi citra penginderaan jauh melalui klasifikasi berbasis objek untuk memperoleh data atau informasi yang dapat digunakan dalam sistem informasi geografis baik berupa pemodelan spasial maupun tujuan pengambilan keputusan (Merchant dan Narumalani, 2009). Pengambilan keputusan dalam hal ini penentuan zonasi kebutuhan angkutan umum massal dan penentuan rute angkutan umum massal. 18