BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian Agregat Dalam Kontruksi Perkerasan Jalan

Bab IV Hasil dan Pembahasan

kimia MINYAK BUMI Tujuan Pembelajaran

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Aspal merupakan bahan perkerasan untuk jalan raya. Tentu "penghuni" jurusan Teknik Sipil mengenalnya. Mari kita bahas bersama mengenai aspal.

BAB VI AGREGAT. Yang dimaksud agregat dalam hal ini adalah berupa batu pecah, krikil, pasir ataupun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Lapisan Antara (Asphalt Concrete-Binder Course) Salah satu produk campuran aspal yang kini banyak digunakan oleh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Analisis Sifat Kimia dan Fisika dari Maleat Anhidrida Tergrafting pada Polipropilena Terdegradasi

4 Hasil dan Pembahasan

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

A. Pembentukan dan Komposisi Minyak Bumi

KIMIA. Sesi. Polimer A. PENGELOMPOKAN POLIMER. a. Berdasarkan Asalnya

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melebihi daya dukung tanah yang diijinkan (Sukirman, 1992).

4 Hasil dan pembahasan

BAB III LANDASAN TEORI

Pengolahan Minyak Bumi

BAB II STUDI PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada pembuatan dispersi padat dengan berbagai perbandingan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 2.1 Lapis Perkerasan Jalan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Prasarana jalan berkaitan erat dengan pertumbuhan pembangunan di berbagai

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

I. PENDAHULUAN. dan kebutuhan bahan baku juga semakin memadai. Kemajuan tersebut memberikan

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERSETUJUAN HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ABSTRAK ABSTRACT KATA PENGANTAR DAFTAR TABEL

MATERI DAN PERUBAHANNYA. Kimia Kesehatan Kelas X semester 1

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

4 Hasil dan Pembahasan

3 Metodologi penelitian

BAB 3 METODE PENELITIAN. 3.1 Alat Alat Adapun alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah: Alat-alat Gelas.

4. Hasil dan Pembahasan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. proporsi tertentu yang dicampur merata dan dilapis dengan hotmix aspal yang telah

3.1 Lataston atau Hot Rolled Sheet

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

TKS 4406 Material Technology I

berlemak, larut dalam CCU serta tidak larut dalam air. Jika dipanaskan sampai suatu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III LANDASAN TEORI

BABII TINJAUAN PUSTAKA

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

Spesifikasi lapis tipis aspal pasir (Latasir)

4. Hasil dan Pembahasan

Dasar Ilmu Tanah semester ganjil 2011/2012 (EHN & SIN) Materi 03: Batuan & Tanah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Minyak bumi merupakan senyawa kimia yang sangat kompleks, sebagai

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil preparasi bahan baku larutan MgO, larutan NH 4 H 2 PO 4, dan larutan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada penelitian ini telah dihasilkan homopolimer emulsi polistirena

Gambar 7. Jenis-jenis serat alam.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. dalam penunjang aktivitas di segala bidang. Berbagai aktivitas seperti

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. akibat dari pembebanan pada perkerasan ketanah dasar (subgrade) tidak melampaui

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dikenal dengan istilah lateks. Di dalam lateks terkandung 25-40% bahan karet

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III LANDASAN TEORI. bergradasi baik yang dicampur dengan penetration grade aspal. Kekuatan yang

4 Hasil dan Pembahasan

BAB 1 PENDAHULUAN. kebutuhan sarana transportasi, salah satunya adalah jalan. Jalan merupakan

Pengaruh Temperatur Terhadap Penetrasi Aspal Pertamina Dan Aspal Shell

III.METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan terhitung pada bulan Februari Mei

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB VIII SENYAWA ORGANIK

Pengantar Edisi Kedua

Prarancangan Pabrik Hidrorengkah Aspal Buton dengan Katalisator Ni/Mo dengan Kapasitas 90,000 Ton/Tahun BAB I PENGANTAR

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

ANALISA KARAKTERISTIK CAMPURAN ASPAL EMULSI DINGIN DAN PERBANDINGAN STABILITAS ASPAL EMULSI DINGIN DENGAN LASTON

PEMBUATAN KOMPOSIT DARI SERAT SABUT KELAPA DAN POLIPROPILENA. Adriana *) ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1 Hasil Pemeriksaan Bahan Baku Ibuprofen

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Karakterisasi Bahan Baku Karet Crepe

Bab IV Hasil dan Pembahasan

BAB III LANDASAN TEORI

II. TINJAUAN PUSTAKA. membantu aktivitas pertumbuhan mikroba dan aktivitas reaksi-reaksi kimiawi

BAB 1 PENDAHULUAN. Universita Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sama yaitu isolator. Struktur amorf pada gelas juga disebut dengan istilah keteraturan

APAKAH LUMPUR DI SIDOARJO MENGANDUNG SENYAWA HIDROKARBON?

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

/BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh faktor air semen dan suhu selama perawatan.

BAB 7 KERAMIK Part 2

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

Hasil dan Pembahasan

MATERIAL PLASTIK DAN PROSESNYA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. M yang berupa cairan berwarna hijau jernih (Gambar 4.1.(a)) ke permukaan Al 2 O 3

Jurnal Teknik Sipil No. 1 Vol. 1, Agustus 2014

4. Hasil dan Pembahasan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. metode freeze drying kemudian dilakukan variasi waktu perendaman SBF yaitu 0

LAPORAN PRAKTIKUM KONSTRUKSI JALAN UJI PEMANASAN BAHAN BITUMEN

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

METODE PENGUJIAN TENTANG ANALISIS SARINGAN AGREGAT HALUS DAN KASAR SNI

4 Hasil dan Pembahasan

Transkripsi:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Aspal Aspal dalam bahasa yang umum dikenal juga dengan "tar". Untuk kata "tar" atau "aspal" sering digunakan secara bergantian, mereka memiliki arti yang berbeda. Salah satu alasan untuk kebingungan ini disebabkan oleh fakta bahwa, di antara negaranegara lain, ada perbedaan substansial dalam arti dihubungkan dengan periode yang sama. Sebagai contoh, aspal minyak di Amerika Serikat disebut dengan aspal, sedangkan di Eropa "aspal" adalah campuran agregat batu dan aspal yang digunakan untuk pembangunan jalan. Di Eropa, istilah aspal menunjukkan residu dari penyulingan minyak bumi. Bitumen adalah campuran hidrokarbon yang tinggi berat molekul. rasio persentase antara komponen bervariasi, sehubungan dengan asal-usul minyak mentah dan metode distilasi. Bahkan, aspal sudah dikenal sebelum awal eksploitasi ladang minyak sebagai produk asal alam, yang disebut dalam hal ini adalah aspal asli. Bitunie adalah produk alami tidak lagi digunakan dalam industri. Bitumen diperoleh sebagai produk sampingan dari penyulingan minyak bumi dapat digunakan sebagai atau mengalami proses fisik dan kimia yang mengubah komposisi dalam rangka untuk memberikan sifat tertentu. Operasi yang paling umum adalah proses oksidasi dan pencampuran dengan polimer yang berbeda. Aspal adalah campuran aspal dan bahan batu (kerikil, pasir, debu). Tar, yang sesuai dengan tar kata Inggris, adalah bahan yang terlihat mirip dengan aspal, tapi benar-benar berbeda dalam asal dan komposisi, dan, pada kenyataannya, yang diperoleh dari penyulingan litantrace (batubara). Materi ini, dibandingkan dengan aspal, menunjukkan kandungan lebih tinggi dari hidrokarbon aromatik polisiklik dan senyawa lain yang banyak mengandung oksigen, nitrogen dan belerang. Di banyak

negara, di masa lalu, tar batubara sering diganti atau dicampur dengan aspal dalam industri. Penggunaan tersebut, sekarang seluruhnya berhenti, telah menyebar kebiasaan baik menggunakan dua istilah dalam tar umum digunakan dan aspal (Anonim, 2010b). Gambar berikut merupakan struktur kimia dari aspal Gambar 2.1 Struktur Aspal 2.1.1. Sumber Aspal Sumber aspal dari kilang minyak (refinery bitumen). Aspal yang dihasilkan dari industri kilang minyak mentah (crude oil) dikenal sebagai residual bitumen, straight bitumen atau steam refined bitumen. Istilah refinery bitumen merupakan nama yang tepat dan umum digunakan. Aspal yang dihasilkan dari minyak mentah yang diperoleh melalui proses destilasi minyak bumi. Proses penyulingan ini dilakukan dengan pemanasan hingga suhu 350 o C di bawah tekanan atmosfir untuk memisahkan fraksi-fraksi minyak seperti gasoline (bensin), kerosene (minyak tanah) dan gas oil. (Wignall, 2003). Berikut diagram alir bermacam jenis aspal dan proses sebelumnya dari minyak bumi.

Minyak Mentah (Crude Petroleum) Bensin/Gasoline Minyak Tanah Minyak diesel Minyak Pelumas Aspal bercampur Minyak Creosole Batubara-Tar Fluks (rektifikasi udara) Aspal Cut Back Minyak penetrasi Aspal Emulsifier dalam air Emulsi Aspal Cut back Emulsi aspal penetrasi Gambar 2.2 Bermacam Jenis Aspal dan Proses Sebelumnya dari Minyak Bumi 2.1.2. Jenis Jenis Aspal Secara umum, jenis aspal dapat diklasifikasikan berdasarkan asal dan proses pembentukannya adalah sebagai berikut : Aspal Alamiah. Aspal alamiah ini berasal dari berbagai sumber, seperti pulau Trinidad dan Bermuda. Aspal dari Trinidad mengandung kira-kira 40% organik dan zat-zat anorganik yang tidak dapat larut, sedangkan yang berasal dari Bermuda mengandung kira-kira 6% zat-zat yang tidak dapat larut. Dengan pengembangan aspal minyak bumi, aspal alamiah relatif menjadi tidak penting. Aspal batuan adalah endapan alamiah batu kapur atau batu pasir yang diperpadat dengan bahan-bahan berbitumen. Aspal ini terjadi di berbagai bagian di Amerika Serikat. Aspal ini umumnya membuat permukaan jalan yang sangat tahan

lama dan stabil, tetapi kebutuhan transportasi yang tinggi membuat aspal terbatas pada daerah-daerah tertentu saja. Aspal minyak bumi perrtama kali digunakan di Amerika Serikat untuk perlakuan jalan pada tahun 1894. Bahan-bahan pengeras jalan aspal sekarang berasal dari minyak mentah domestik bermula dari ladang-ladang di Kentucky, Ohio, Michigan, Illinois, Mid-Continent, Gulf-Coastal, Rocky Mountain, California, dan Alaska. Sumber-sumber asing termasuk Meksiko, Venezuela, Colombia, dan Timur Tengah. Sebesar 32 juta ton telah digunakan pada tahun 1980 (Oglesby, C.H., 1996). Aspal Beton atau Asphalt Concrete (AC) merupakan jenis aspal yang paling umum digunakan dalam proyek-proyek konstruksi seperti permukaan jalan, bandara, dan tempat parkir. Aspal ini terbagi atas beberapa jenis yaitu : 1. Aspal Beton Campuran Panas atau Hot Mix Asphalt Concrete (HMAC), diproduksi dengan memanaskan aspal untuk mengurangi viskositas, dan pengeringan agregat untuk menghilangkan uap air sebelum pencampuran. Pencampuran dilakukan umumnya pada temperatur sekitar 300 F (150 o C), untuk aspal polimer modifikasi, dan aspal semen sekitar pada temperatur 200 F (95 o C). Untuk pemadatan dilakukan sementara aspal cukup panas. HMAC merupakan jenis aspal yang paling umum dipakai pada jalan raya. 2. Aspal Beton Campuran Hangat (WMAC), diproduksi dengan penambahan zeolit, lilin atau asapal emulsi untuk campuran. Penggunaan zat aditif dalam campuran tersebut untuk lebih mudah melakukan pemadatan pada cuaca yang dingin. 3. Aspal Beton Campuran Dingin (CMAC), dipoduksi oleh emulsifier aspal dalam air dengan sabun sebelum pencampuran dengan agregat. Aspal ini umumnya digunakan sebagai bahan penambal pada jalan-jalan yang lebih kecil. 4. Aspal Beton Cut Back, diproduksi dengan melarutkan bahan pengikat dalam minyak tanah atau fraksi yang lebih ringan dari minyak bumi sebelum pencampuran dengan agregat. 5. Aspal Beton Mastis, diproduksi dengan memanaskan aspal keras dalam hot mixer sampai menjadi cairan yang lebih kental yang kemudian campuran agregat ditambahkan.

2.1.3 Kandungan Aspal Dari sudut pandang kualitatif, aspal terdiri dari dua kelas utama senyawa: yang asphaltenes dan Malteni. Asphaltenes, dalam 5 sampai 25% berat adalah campuran kompleks dari hidrokarbon, terdiri dari cincin aromatik kental dan senyawa heteroaromatic mengandung belerang. Ada juga amina dan amida, senyawa oksigen (keton, fenol atau asam karboksilat), nikel dan vanadium (Anonim, 2010b). Gambar berikut struktur kimia dari asphaltene. Gambar 2.3 Struktur Asphaltene Di dalam maltene terdapat tiga komponen penyusun yaitu saturates, aromatis, dan resin. Dimana masing-masing komponen memiliki struktur dan komposisi kimia yang berbeda, dan sangat menentukan dalam sifat rheologi bitumen. Aspal merupakan senyawa yang kompleks, bahan utamanya disusun oleh hidrokarbon dan atom-atom N, S, dan O dalam jumlah yang kecil, juga beberapa logam seperti Vanadium, Ni, fe, Ca dalam bentuk garam organik dan oksidanya. Dimana unsur-unsur yang terkandung dalam bitumen adalah Karbon (82-88%), Hidrogen (8-11%), Sulfur (0-6%), Oksigen (0-1,5%), dan Nitrogen (0-1%). Dengan demikian maka aspal atau bitumen adalah suatu campuran cairan kental senyawa organik, berwarna hitam, lengket, larut dalam karbon disulfida, dan struktur utamanya oleh polisiklik aromatis hidrokarbon yang sangat kompak. (Nuryanto, A. 2008).

2.2 Polipropilena Polipropilena merupakan polimer hidrokarbon yang termasuk ke dalam polimer termoplastik yang dapat diolah pada suhu tinggi. Polipropilena berasal dari monomer propilena yang diperoleh dari pemurnian minyak bumi. Struktur molekul propilena dapat dilihat pada gambar berikut : Gambar 2.4 Struktur Molekul Propilena Secara industri, polimerisasi polipropilena dilakukan dengan menggunakan katalis koordinasi. Proses polimerisasi ini akan dapat menghasilkan suatu rantai linear yang berbentuk -A-A-A-A-A-, dengan A merupakan propilena. Reaksi polimerisasi dari propilena secara umum dapat dilihat pada gambar berikut : Gambar 2.5 Reaksi Polimerisasi Dari Propilena Menjadi Polipropilena 2.2.1 Karakterisasi Polipropilena Nama kimianya yaitu Poli (1-metiletilena), sama artinya dengan Polipropilena; Polipropena; Polipropene 25 [USAN]; Polimer Propena; Polimer Propilena; Homopolimer 1-Propena. Formula kimia (C3H6)x, dengan monomer Propilena (Propena). Untuk Nomor CAS 9003-07-0 (ataktik), 25085-53-4 (isotaktik), dan 26063-22-9 (sindiotaktik). Sedangkan kristalinitas yaitu berbentuk amorf ukuran 0.85

g/cm 3 dan berbentuk kristalin ukuran 0.95 g/cm 3. Untuk titik lebur ~ 165 C, dengan suhu transisi kaca -10 C, dan titik degradasi 286 C (559 K). 2.2.2 Struktur Kristalinitas Polipropilena Kristalinitas merupakan sifat penting yang terdapat pada polimer. Kristalinitas merupakan ikatan antara rantai molekul sehingga menghasilkan susunan molekul yang lebih teratur. Pada polimer polipropilena, rantai polimer yang terbentuk dapat tersusun membentuk daerah kristalin (molekul tersususn teratur) dan bagian lain membentuk daerah amorf (molekul tersususn secara tidak teratur). (Cowd, 1991). Dalam struktur polimer atom-atom karbon terikat secara tetrahedral dengan sudut antara ikatan C-C 109,5 o dan membentuk rantai zigzag planar sebagai berikut : Gambar 2.6 Atom karbon terikat secara tetrahedral dengan sudut 109,5 o Untuk polipropilena struktur zigzag planar dapat terjadi dalam tiga cara yang berbeda-beda tergantung pada posisi relative gugus metal satu sama lain di dalam rantai polimernya. Ini menghasilkan struktur isotaktik, ataktik dan sindiotaktik.

Gambar 2.7 Struktur tiga dimensi dari polipropilena, (a)isotaktik, (b) ataktik, dan (c) sindiotaktik Ketiga struktur polipropilena tersebut pada dasarnya secara kimia berbeda satu sama lain. Polipropilena ataktik tidak dapat berubah menjadi polipropilena sindiotaktik atau menjadi struktur lainnya tanpa memutuskan dan menyususn kembali beberapa ikatan kimia. Struktur yang lebih teratur memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk berkristalisasi dari pada struktur yang tidak teratur. Jadi, struktur isotaktik dan sindiotaktik lebih cenderung membentuk daerah kristalin dari pada ataktik. Polipropilena berstruktur stereogular seperti isotaktik dan sindiotaktik adalah sangat kristalin, bersifat keras dan kuat. Dalam struktur polipropilena ataktik gugus metal bertindak seperti cabang-cabang rantai pendek yang muncul pada sisi rantai secara acak. Ini mengakibatkan sulitnya untuk mendapatkan daerah-daerah rantai yang sama (tersusun) sehingga mempunyai sifat kristalin rendah menyebabkan tingginya kadar oksigen pada bahan tersebut sehingga bahan polimer ini mudah terdegradasi oleh pengaruh lingkungan seperti kelembaban cuaca, radiasi sinar matahari dan lain sebagainya (Schwarts, 1991). 2.2.3 Sifat Sifat Polipropilena Polipropilena merupakan jenis bahan baku plastik yang ringan, densitas 0,90 0,92, memiliki kekerasan dan kerapuhan yang paling tinggi dan bersifat kurang stabil terhadap panas dikarenakan adanya hidrogen tersier. Penggunaan bahan pengisi dan penguat memungkinkan polipropilena memiliki mutu kimia yang baik sebagai bahan polimer dan tahan terhadap pemecahan karena tekanan (stress-cracking) walaupun pada temperatur tinggi. Kerapuhan polipropilena dibawah 0 o C dapat dihilangkan

dengan penggunaan bahan pengisi. Dengan bantuan pengisi dan penguat, akan terdapat adhesi yang baik.(gachter, 1990). Polimer yang memiliki konduktivitas panas rendah seperti polipropilena (konduktivitas = 0,12 W/m) kristalinitasnya sangat rentan terhadap laju pendinginan. Misalnya dalam suatu proses pencetakan termoplastik membentuk barang jadi yang tebal dan luas, bagian tengah akan menjadi dingin lebih lambat dari pada bagian luar, yang bersentuhan langsung dengan cetakan. Akibatnya, akan terjadi perbedaan derajat kristalinitas pada permukaan dengan bagian tengahnya. Polipropilena mempunyai tegangan (tensile) yang rendah, kekuatan benturan (impact strength) yang tinggi dan ketahan yang tinggi terhadap pelarut organik. Polipropilena juga mempunyai sifat isolator yang baik mudah diproses dan sangat tahan terhadap air karena sedikit sekali menyerap air, dan sifat kekakuan yang tinggi. Seperti polyolefin lain, polipropilena juga mempunyai ketahan yang sangat baik terhadap bahan kimia anorganik non pengoksidasi, deterjen, alcohol dan sebagainya. Tetapi polipropilena dapat terdegradasi oleh zat pengoksidasi seperti asam nitrat dan hidrogen peroksida. Sifat kristalinitasnya yang tinggi menyebabkan daya regangannya tinggi, kaku dan keras. (Almaika, 1983) 2.2.4 Degradasi Polipropilena Tsucia dan Summil telah meneliti hasil dari dekomposisi termal polipropilena isotaktik pada suhu 360 C, 380 C dan 400 o C dalam ruang hampa. Kiran dan Gillham juga telah mempelajari degradasi termal polipropilena isotaktik. Hasil yang diperoleh oleh Kiran clan Gillhan ternyata sama seperti yang diperoleh Tsucia clan Summi. Kiran dan Gillham menyarankan mekanisme degradasi termal Polipropilena sebagai berikut : Radikal primer dan sekunder selanjutnya akan terpolimerisasi sehingga akan menjadi monomer-monomer. Reaksi perpindahan radikal intra molekular akan menghasilkan radikal tersier.(bark 1982).

2.3 Maleat Anhidrida Maleat anhidrida masih digunakan dalam penelitian polimer. Maleat anhidrida dapat dibuat dari asam maleat, seperti reaksi dibawah ini : Gambar 2.8 Pembentukan Maleat Anhidrida Maleat anhidrida dengan berat molekul 98,06,- larut dalam air, meleleh pada temperatur 57-60 o C, mendidih pada 202 o C dan spesifik grafiti 1,5.g/cm3. Maleat anhidrida adalah senyawa vinil tidak jenuh merupakan bahan mentah dalam sintesa resin poliester, pelapisan permukaan karet, deterjen, bahan aditif dan minyak pelumas, plastisizer dan kopolimer. Maleat anhidrida mempunyai sifat kimia khas yaitu adanya ikatan etilenik dengan gugus karbonil didalamnya, ikatan ini berperan dalam reaksi adisi (Arifin, 1996). 2.4 Dikumil Peroksida Beberapa jenis monomer, khususnya stirena dan metal metakrilat dan beberapa sikloalkana cincin teregang, mengalami polimerisasi oleh pemanasan tanpa hadirnya suatu inisiator radikal bebas tambahan. Akan tetapi sebagian monomer memerlukan beberapa jenis inisiator. Inisiator radikal bebas dikelompokkan menjadi empat tipe utama, yaitu : peroksida dan hidroperoksida, senyawa azo, inisiator redoks dan beberapa senyawa membentuk radikal bebas dibawah pengaruh cahaya (fotoinisiator). Radiasi berenergi

tinggi bisa juga menimbulkan polimerisasi radikal bebas, meskipun radiasi seperti ini jarang digunakan.(stevens, 2001). Diantara berbagai tipe inisiator, peroksida (ROOR) dan hidroperoksida (ROOH) merupakan jenis yang paling banyak digunakan. Mereka tidak stabil dengan panas dan terurai menjadi radikal-radikal pada suatu suhu dan laju yang tergantung pada strukturnya. Yang ideal, suatu inisiator peroksida mestilah relatif stabil pada suhu pemrosesan polimer untuk menjamin laju reaksi yang layak (Stevens, 2001). Teknik crosslinking (ikat silang) karet dengan peroksida telah dikenal sejak lama. Keuntungan umum menggunakan peroksida sebagai zat ikat silang adalah ketahanannya baik pada suhu tinggi dalam waktu yang lama, keelastisannya yang baik, dan tidak ada penghilangan warna pada produk akhir. Gambar 2.9 Struktur Dikumil Peroksida 2.5 Agregat Menurut Silvia Sukirman, (2003), agregat merupakan butir-butir batu pecah, kerikil, pasir atau mineral lain, baik yang berasal dari alam maupun buatan yang berbentuk mineral padat berupa ukuran besar maupun kecil atau fragmen-fragmen. Agregat merupakan komponen utama dari struktur perkerasan jalan, yaitu yaitu 90 95% agregat berdasarkan persentase berat, atau 75 85% agregat berdasarkan persentase volume. Dengan demikian kualitas perkerasan jalan ditentukan juga dari sifat agregat dan hasil campuran agregat dengan material lain.

Sifat agregat merupakan salah satu faktor penentu kemampuan perkerasan jalan memikul beban lalu lintas dan daya tahan terhadap cuaca. Sifat agregat yang menentukan kualitasnya sebagai material perkerasan jalan adalah: gradasi, kebersihan, kekerasan ketahanan agregat, bentuk butir, tekstur permukaan, porositas, kemampuan untuk menyerap air, berat jenis, dan daya kelekatan terhadap aspal. Sifat agregat tersebut sangat dipengaruhi oleh jenis batuannya. 2.5.1 Jenis Agregat Agregat menurut asal kejadiannya dapat dibagi menjadi 3 jenis : 1. Batuan Beku (igneous rock). Batuan yang berasal dari magma yang mendingin dan membeku. Dibedakan atas batuan beku luar (extrusive igneous rock) dan batuan beku dalam (intrusive igneous rock). 2. Batuan Sedimen. Berasal dari campuran partikel mineral, sisa hewan dan tanaman. Pada umumnya merupakan lapisan-lapisan pada kulit bumi, hasil endapan di danau, laut dan sebagainya. 3. Batuan Metamorfik. Berasal dari batuan sedimen ataupun batuan beku yang mengalami proses perubahan bentuk akibat adanya perubahan tekanan dan temperatur dari kulit bumi. Agregat menurut proses pengolahannya dapat dibagi atas 3 jenis : 1. Agregat Alam. Agregat yang dapat dipergunakan sebagaimana bentuknya di alam atau dengan sedikit proses pengolahan. Agregat ini terbentuk melalui proses erosi dan degradasi. Bentuk partikel dari agregat alam ditentukan proses pembentukannya. 2. Agregat melalui proses pengolahan. Digunung-gunung atau dibukit-bukit, dan sungai-sungai sering ditemui agregat yang masih berbentuk batu gunung, dan ukuran yang besar-besar sehingga diperlukan proses pengolahan terlebih dahulu sebelum dapat digunakan sebagai agregat konstruksi jalan. 3. Agregat Buatan. Agregat yang merupakan mineral filler/pengisi (partikel dengan ukuran < 0,075 mm), diperoleh dari hasil sampingan pabrik-pabrik semen atau mesin pemecah batu.

Agregat, berdasarkan ukuran butirannya dapat dibagi atas 3 bagian menurut The Asphalt Institut, (1993), dalam Manual Series No. 2 (MS-2) : 1. Agregat Kasar, adalah agregat dengan ukuran butiran lebih besar dari saringan No. 8 (2,36 mm) 2. Agregat Halus, adalah agregat dengan ukuran butiran lebih halus dari saringan No.8 (2,36 mm). 3. Bahan Pengisi (filler), adalah bagian dari agregat halus yang minimum 75% lolos saringan no. 30 (0,06 mm). 2.5.2 Agregat Halus Pasir Pasir adalah bahan batuan halus yang terdiri dari butiran sebesar 0,14-5 mm didapat dari hasil disintegrasi batu alam (natural sand) atau dapat juga pemecahanya (artifical sand), dari kondisi pembentukan tempat terjadinya pasir alam dapat dibedakan atas : pasir galian, pasir sungai, pasir laut yaitu bukit-bukit pasir yang dibawa ke pantai (Setyono, 2003). Pasir merupakan agregat halus yang berfungsi sebagai bahan pengisi dalam campuran aspal beton. Agregat ini menempati kurang lebih 70% dari volume aspal, sehingga akan sangat berpengaruh terhadap kekuatannya (Setyawan, 2006). Senyawa kimia silikon dioksida, juga yang dikenal dengan silika (dari bahasa latin silex), adalah oksida dari silikon dengan rumus kimia SiO 2 dan telah dikenal sejak dahulu kekerasannya. Silika ini paling sering ditemukan di alam sebagai pasir atau kuarsa, serta di dinding sel diatom.

2.6 Karakterisasi Polimer Modifikasi Aspal (PMA) 2.6.1 Karakterisasi PMA dengan Uji Kuat Tekan Pemeriksaan uji kuat tekan dilakukan untuk mengetahui secara pasti akan kekuatan tekan yang sebenarnya apakah sesuai dengan yang direncanakan atau tidak. Pada mesin uji kuat tekan benda diletakkan dan diberikan beban sampai benda runtuh, yaitu pada saat beban maksimum bekerja. Pengukuran kuat tekan (compressive strength) aspal polimer dapat dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut : F P = (2.1) A Dengan : P = Nilai kuat tekan, kgf/mm 2 F = gaya maksimum dari mesin tekan, kgf A = Luas penampang yang diberi tekanan, mm 2 2.6.2 Karakterisasi PMA dengan Uji Daya Serap Air Untuk mengetahui besarnya penyerapan air oleh aspal polimer, dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut : ( M j M k ) WA = x100% (2.2) M k Dengan : WA = Daya serap air (%) M k = massa sampel kering (kg) M j = massa jenuh air (kg) (Newdesnetty, 2009).

2.6.3 Karakterisasi PMA dengan DTA Differential Thermal Analysis (DTA) merupakan metode yang paling sering digunakan saat ini untuk penelitian-penelitian kuantitatif terhadap transisi termal dalam polimer. Dalam metode Differential Thermal Analysis (DTA) suatu sampel polimer dan referensi inert dipanaskan, biasanya dalam atmosfer nitrogen, dan kemudian transisi-transisi termal dalam sampel tersebut dideteksi dan diukur. Ukuran sampel bervariasi dari sekitar 0,5 sampai 10 mg. meskipun kedua metode memberikan tipe informasi yang sama, terdapat perbedaan yang signifikan dalam instrumentasinya. (Stevens, 2001). Analisis termal bukan saja mampu untuk memberikan informasi tentang perubahan fisik sampel (misalnya titik leleh dan penguapan), tetapi terjadinya proses kimia yang mencakup polimerisasi, degradasi, dekomposisi, dan sebagainya. Dalam bidang campuran polimer (poliblen) pengamatan suhu transisi kaca (T g ) sangat penting untuk meramalkan interaksi antara rantai dan mekanisme pencampuran beberapa polimer. Campuran polimer yang homogen akan menunjukkan satu puncak T g (eksotermis) yang tajam dan merupakan fungsi komposisi. T g campuran biasanya berada diantara T g dari kedua komponen, karena itu pencampuran homogen digunakan untuk menurunkan T g, seperti halnya plastisasi dengan pemlastis cair. Pencampuran polimer heterogen ditujukan untuk menaikkan ketahanan bentur bahan polimer. Campuran polimer heterogen ini ditandai dengan beberapa puncak T g, karena disamping masing-masing komponen masih merupakan fase terpisah, daerah antarmuka mungkin memberikan T g yang berbeda. Pengamatan termal campuran polimer juga dapat digunakan untuk menentukan parameter interaksi, yang merupakan faktor penurunan suhu leleh kristal (Wirjosentono, 1995). Berikut gambar yang menunjukkan pola kuva umum DTA.

Gambar 2.10 Pola Umum Kurva DTA Sifat termal polimer merupakan salah satu sifat yang paling penting karena menentukan sifat mekanis bahan polimer. Senyawa senyawa polimer menunjukkan suhu transisi gelas pada suhu tertentu. Senyawa polimer amorf seperti polistirena dan bagian amorf dari polimer semi kristalin seperti polietilen memiliki suhu transisi gelas (T g ), namun polimer kristalin murni seperti elastomer tidak memiliki suhu transisi gelas, namun hanya menunjukkan suhu leleh (T m ) (Kristian, 2008). 2.6.4 Karakterisasi PMA dengan FT-IR Intrumen yang digunakan untuk mengukur resapan radiasi infra merah pada berbagai panjang gelombang disebut spektrofometer infra merah (Fessenden F, 1997). Alat spektrofotometer infra merah pada dasarnya terdiri dari komponen-komponen pokok yang sama dengan alat spektrofotometer ultra lembayung dan sinar tampak, yaitu terdiri dari sumber sinar, monokromator berikut alat-alat optik seperti cermin dan lensa, sel tempat cuplikan, detektor amplifier dan alat dengan skala pembacaan atau alat perekam spektra (recorder) akan tetapi disebabkan kebanyakan bahan dalam menstransmisikan radiasi infra merah berlainan dengan sifatnya dalam menstransmisikan radiasi ultra lembayung, sinar tampak, sifat dan kemampuan komponen alat tersebut diatas berbeda untuk kedua jenis alat spektrofotometer itu. Keuntungan pemakaian sistem berkas rangkap pada alat spektrofotometer adalah : 1. Memperkecil pengaruh penyerapan sinar infra merah oleh CO2 dan uap air dari udara.

2. Mengurangi pengaruh hamburan (scattering) sinar infra merah oleh partikel-partikel debu yang ukurannya mendekati nilai rata-rata panjang gelombang infra merah. 3. Kalau blanko yang digunakan adalah pelarut dari cuplikan dengan sistem berkas rangkap itu pita-pita serapan pelarut tidak akan timbul pada spektra yang direkam. 4. Sistem berkas rangkap mengurangi pengaruh ketidak stabilan pancaran sumber sinar dan detektor. 5. Perekaman otomatis dapat dilakukan (scanning) (Noerdin, 1985). Sistem analisis spektroskopi infra merah (IR) telah memberikan keunggulan dalam mengkarakterisasi senyawa organik dan formulasi material polimer. Analisis infra merah (IR) akan menentukan gugus fungsi dari molekul yang memberikan regangan pada daerah serapan infra merah. Tahap awal identifikasi bahan polimer, maka harus diketahui pita serapan yang karakteristik untuk masing-masing polimer dengan membandingkan spektra yang telah dikenal. Pita serapan yang khas ditunjukan oleh monomer penyusun material dan struktur molekulnya. Umumnya pita serapan polimer pada spektra infra merah (IR) adalah adanya ikatan C-H regangan pada daerah 2880 cm-1 yang sampai 2900 cm -1 dan regangan dari gugus fungsi lain yang mendukung suatu analisis material (Hummel, 1985) 2.6.5 Karakterisasi PMA dengan SEM SEM (Scanning Electron Microscopy) merupakan alat yang dapat membentuk bayangan permukaan. Struktur permukaan suatu benda uji dapat dipelajari dengan mikroskop elektron pancaran karena jauh lebih udah mempelajari struktur permukaan itu secara langsung. Pada SEM suatu berkas insiden elektron yang sangat halus discan meyilangi permukaan sampel dalam sinkronisasi dengan berkas tersebut dalam tabung sinar katoda. Elektron-elektron yang akan terhambur digunakan untuk memproduksi sinyal yang memodulasi berkas dalam tabung sinar katoda, yang memproduksi suatu citra dengan kedalaman medan yang besar dan penampakan yang hampir tiga dimensi (Stevens, 2001).