PENDAHULUAN Latar Belakang Bila suatu saat Waduk Jatiluhur mengalami kekeringan dan tidak lagi mampu memberikan pasokan air sebagaimana biasanya, maka dampaknya tidak saja pada wilayah pantai utara (Pantura) Jawa Barat, tetapi juga sampai ke kota Jakarta. Waduk yang berada di daerah Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Provinsi Jawa Barat ini mempunyai peran yang sangat strategis. Waduk yang juga dikenal dengan nama Waduk Ir. H. Juanda ini bersama dengan Waduk Cirata dan Waduk Saguling merupakan tiga waduk kaskade yang berfungsi sebagai reservoir di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum. Ketersediaan air di DAS Citarum sangat ditentukan oleh peranan ketiga waduk ini, terutama Waduk Jatiluhur. Waduk Jatiluhur mengairi areal pertanian kurang lebih seluas 264.000 ha di wilayah Pantura Jawa Barat (meliputi Kabupaten Karawang, Bekasi, Purwakarta, Subang dan Indramayu) yang merupakan daerah sentra produksi padi. Produksi padi dari daerahdaerah ini mempunyai persentase yang cukup tinggi terhadap total produksi padi Provinsi Jawa Barat maupun nasional. Pada kurun waktu tahun 1990 1996, kontribusi dari lahan sawah di Daerah Irigasi (DI) Jatiluhur terhadap total produksi padi Provinsi Jawa Barat berkisar antara 40 45 %, sementara terhadap total produksi padi nasional berkisar antara 7 9,4 % (Pamungkas, 2005). Waduk Jatiluhur yang berdaya tampung normal sekitar 3 milyar m 3 juga berfungsi untuk memberikan pasokan terhadap kebutuhan air baku bagi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) di beberapa kabupaten di Jawa Barat dan DKI Jakarta serta untuk kawasan industri yang berada di wilayah Kota Jakarta dan sekitarnya. Menurut Ali (2005) pelayanan air bersih dengan sistem perpipaan di wilayah DKI Jakarta yang dikelola oleh PDAM DKI Jaya baru mampu melayani sekitar 44% dari total jumlah penduduk Jakarta dan masih mengandalkan pasokan air dari Waduk Jatiluhur melalui Saluran Tarum Barat yang berjarak ± 70 km dari Jakarta. Aliran Sungai Citarum yang merupakan sungai terbesar di Jawa Barat juga dimanfaatkan untuk pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang cukup memberikan kontribusi terhadap pasokan kebutuhan listrik nasional, khususnya bagi jaringan interkoneksi Jawa-Bali. PLTA dari ketiga waduk kaskade Citarum menghasilkan produksi listrik sebesar 5 miliar KWh/tahun atau setara dengan 16 juta ton daya yang dihasilkan bahan bakar minyak tiap tahunnya (Pamungkas, 2005). 1
Mengingat fungsi ketiga Waduk Kaskade Citarum yang berbeda-beda, maka para pengelola masing-masing waduk sepakat membuat Rencana Operasi Waduk setiap tahunnya dengan sistem equal sharing. Sistem equal sharing tersebut sudah diterapkan sejak tahun 1998 hingga sekarang dan dianggap dapat memenuhi kebutuhan masingmasing pengelola waduk. Dalam pelaksanaannya, Rencana Operasi Waduk Kaskade Citarum dibuat dan dikelola oleh Tim Sekretariat Pelaksana Koordinasi Tata Pengaturan Air (SPK TPA) Sungai Citarum, yang kemudian dipakai secara bersama sebagai pedoman dalam mengelola sumberdaya air Sungai Citarum. Dalam prakteknya, Forum SPK TPA Sungai Citarum dikoordinir oleh Perusahan Umum Jasa Tirta II (PJT-II) selaku pengelola Waduk Jatiluhur yang berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 1999 juga ditetapkan sebagai institusi yang bertanggungjawab di dalam pengelolaan sumberdaya air DAS Citarum secara terpadu. Dalam Rencana Operasi Waduk Kaskade Citarum disebutkan bahwa pemanfaatan air dari ketiga waduk kaskade Citarum tersebut diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan air di hilir Waduk Jatiluhur, dengan urutan prioritas sebagai berikut : (1) kebutuhan air minum dan rumah tangga, (2) sanitasi lingkungan, (3) kebutuhan air irigasi, (4) kebutuhan pembangkit tenaga listrik, dan (5) kebutuhan industri. Meskipun secara prioritas pemenuhan kebutuhan air yang dipasok dari Waduk Jatiluhur untuk kebutuhan irigasi berada pada prioritas ketiga, namun dari segi kuantitas jauh lebih besar dibandingkan kebutuhan untuk sektor lainnya. Berdasarkan data dari PJT- II, rerata volume pasokan air yang dialirkan dari Waduk Jatiluhur untuk kebutuhan irigasi di daerah hilir adalah sekitar 5.520 juta m 3 /tahun, sedangkan untuk kebutuhan domestik hanya 531 juta m 3 /tahun dan kebutuhan industri 221 juta m 3 /tahun. Menurut Sosiawan dan Subagyono (2009) secara umum pemanfaatan air tawar di Indonesia didominasi untuk sektor pertanian (76%), sedangkan sisanya untuk domestik (13%) dan industri (11%). Uraian di atas menggambarkan betapa pentingnya kontribusi dan fungsi Waduk Jatiluhur sebagai pengendali aliran air Sungai Citarum. Oleh karenanya ketersediaan air di DAS Citarum perlu dikelola dengan baik. Pengelolaan sumberdaya air bertujuan untuk menjaga ketersediaan sumberdaya air yang cukup sepanjang tahun. Untuk itu perlu diketahui potensi sumberdaya air yang tersedia di suatu wilayah. Potensi sumberdaya air di DAS Citarum dapat diketahui melalui analisis neraca air (water balance), yang merupakan perimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan air di DAS Citarum. Keluaran dari analisis neraca air ini akan memberikan gambaran tentang daya dukung DAS Citarum dari segi potensi/ketersediaan sumberdaya air dan kebutuhannya. 2
Perubahan iklim sebagai dampak pemanasan global menyebabkan terjadinya pola musim yang tidak menentu. Lama periode musim hujan dan musim kemarau tidak lagi seimbang, dan waktunya pun tidak dapat dipastikan secara tepat. Perubahan iklim dan kondisi DAS yang kritis menyebabkan distribusi sumberdaya air yang tersedia tidak lagi merata baik secara spasial maupun temporal. Fenomena banjir pada saat musim hujan tiba dan kekeringan pada saat musim kemarau menjelaskan bahwa ketersediaan sumberdaya air di suatu DAS tidak dapat dijaga keseimbangannya. Situasi ini dialami oleh hampir seluruh DAS di Indonesia yang umumnya sudah mengalami kerusakan, tidak terkecuali DAS Citarum. Menurut Idrus dan Mayasari (2008), DAS Citarum memiliki pola variasi musiman debit sungai yang mengikuti distribusi curah hujannya, ditandai oleh perbedaan nyata antara musim kemarau dan musim hujan. Curah hujan di DAS Citarum bervariasi dari sekitar 4.000 mm/tahun pada daerah tangkapan di hulu (daerah pegunungan) sampai dengan 1.500 mm/tahun untuk daerah hilir (wilayah Pantura). Oleh karena itu apabila saat musim kemarau tiba, sebagian besar lahan di wilayah Pantura Jawa Barat sering mengalami kekeringan. Berdasarkan fakta tersebut, perlu dikaji tingkat kekeringan yang terjadi di wilayah Pantura Jawa Barat, yang merupakan daerah irigasi pertanian di bagian hilir DAS Citarum, dengan melakukan perhitungan indeks kekeringan (aridity index). Lebih lanjut, perlu disusun strategi pengelolaan yang tepat agar curah hujan yang cukup tinggi di daerah hulu mampu untuk menambah pasokan air irigasi bagi daerah pertanian di wilayah Pantura pada bagian hilir yang secara klimatologis memiliki curah hujan yang lebih rendah. Kerangka Pemikiran Sumberdaya air di DAS Citarum yang memiliki peran strategis dalam banyak aspek kehidupan masyarakat luas sangat memerlukan perencanaan yang tepat dalam praktek pengelolaannya, sehingga pemenuhan kebutuhan air dapat dilakukan secara adil, baik menurut skala prioritas, jumlah maupun lokasinya. Pengelolaan sumberdaya air berbasis metode neraca air merupakan sebuah pendekatan yang mendasarkan perencanaan sumberdaya air secara komprehensif dengan mengidentifikasikan secara cermat potensi sumberdaya air yang ada sebagai supply dan memperkirakan kebutuhan masyarakat akan air sebagai demand, sehingga dapat diprediksi kebutuhan masyarakat akan sumberdaya air dan potensi sumberdaya air tetap terjaga dengan baik. 3
Dalam konteks ilmu hidrologi, neraca air merupakan suatu penjelasan tentang hubungan antara aliran masuk (inflow) dan aliran keluar (outflow) di suatu daerah untuk suatu periode tertentu dari proses sirkulasi air. Apabila dapat diketahui besarnya aliran masuk dan keluar maka akan dapat diketahui besarnya simpanan air, yang mencerminkan potensi sumberdaya air yang ada di dalam suatu wilayah. Dalam penelitian ini neraca air diperhitungkan sebagai perbandingan antara dua komponen, yaitu ketersediaan air di hulu DAS Citarum dan kebutuhan air di daerah hilirnya. Perhitungan neraca air dilakukan untuk tiga subyek dan sasaran yang agak berbeda, yaitu neraca air lahan, neraca air Waduk Jatiluhur dan neraca air Sungai Citarum. Neraca air lahan digunakan untuk menggambarkan kondisi potensi sumberdaya air di daerah penelitian secara keseluruhan, sementara neraca air Waduk Jatiluhur dan neraca air Sungai Citarum secara khusus dihitung untuk mengetahui potensi air dari Sungai Citarum yang tersimpan di Waduk Jatiluhur. Neraca air lahan disusun menurut konsep klimatologi dan bermanfaat untuk mengetahui berlangsungnya periode basah (surplus air) dan periode kering (kekurangan air) pada suatu wilayah secara umum. Dalam penelitian ini, neraca air lahan dianalisis untuk memberikan gambaran potensi sumberdaya air secara hidroklimatologis di DAS Citarum bagian hulu dan di daerah hilirnya, yang merupakan daerah irigasi Jatiluhur di daerah Pantura Jawa Barat. Jumlah aliran yang masuk dapat dianalisis dari curah hujan yang diterima dan aliran yang keluar dianalisis dari besarnya evapotranspirasi potensial yang terjadi pada wilayah tersebut. Besarnya jumlah aliran masuk dan aliran keluar dalam konteks neraca air lahan diperhitungkan dengan menggunakan metode Thornthwaite- Mather dengan bantuan program neraca air yang berbasis bahasa program Visual Delphi 5. Secara lebih spesifik, neraca air lahan pada lahan pertanian irigasi Waduk Jatiluhur di daerah Pantura Jawa Barat juga dihitung dengan membandingkan selisih antara jumlah air yang diterima oleh tanaman dan kehilangan air dari tanaman beserta tanah melalui proses evapotranspirasi. Dalam penelitian ini, analisis neraca air lahan pertanian di daerah irigasi Jatiluhur dihitung dengan menggunakan metode Penman Monteith dengan bantuan program CropWat for Windows versi 8.0. Program CropWat for Windows versi 8.0 juga digunakan untuk menghitung total kebutuhan air tanaman dan air irigasi pada lahan pertanian di daerah irigasi Jatiluhur. Hasil perhitungan kebutuhan air tersebut nantinya akan dibandingkan dengan potensi air yang tersimpan di Waduk Jatiluhur dari hasil analisis neraca air waduk. 4
Neraca air Waduk Jatiluhur dihitung dari perbandingan selisih antara debit inflow dan outflow waduk. Debit inflow yang digunakan dalam analisis merupakan total aliran air yang masuk ke dalam Waduk Jatiluhur, yang berasal dari outflow Waduk Cirata yang dialirkan masuk ke inlet Waduk Jatiluhur dan ditambah dengan inflow lokal yang berasal dari curah hujan yang jatuh di Daerah Tangkapan Air (DTA) Waduk Jatiluhur dan baseflow yang masuk menjadi aliran ke dalam Waduk Jatiluhur. Debit outflow Waduk Jatiluhur sendiri merupakan total air yang dikeluarkan dari outlet Waduk Jatiluhur untuk digunakan berbagai kebutuhan air baku dan air irigasi di daerah hilir. Selisih antara debit inflow dan outflow waduk dapat mencerminkan volume potensi simpanan/ketersediaan air dari Sungai Citarum yang tersimpan di Waduk Jatiluhur. Sungai Citarum mengalir dari arah selatan masuk ke Waduk Saguling. Aliran dari Waduk Saguling kembali lagi ke Sungai Citarum dan masuk ke Waduk Cirata, untuk kemudian dialirkan lagi melalui Sungai Citarum ke Waduk Jatiluhur. Dari Waduk Jatiluhur air mengalir lagi ke Sungai Citarum menuju bagian hilir. Aliran ini akan bertambah dengan masuknya anak-anak sungai di sepanjang aliran tersebut hingga sampai ke bagian hilir, dan kemudian didistribusikan ke tiga buah saluran, yaitu Tarum Barat, Tarum Timur dan Tarum Utara. Saluran Tarum Barat memberikan pasokan air ke wilayah DKI Jakarta dan Bekasi untuk kebutuhan air baku PDAM dan kawasan industri serta irigasi pertanian di sekitar daerah tersebut. Saluran Tarum Timur memberikan pasokan air irigasi bagi daerah Subang dan Indramayu, sedangkan saluran Tarum Utara memberikan pasokan air irigasi bagi daerah Subang dan Karawang. Pemecahan air menuju Tarum Barat dan Tarum Timur dilakukan di Bendung Curug, adapun untuk Tarum Utara dilakukan di Bendung Walahar. Bila air di Waduk Jatiluhur melebihi kebutuhan ketiga saluran, maka air akan mengalir ke Bendung Walahar dan akhirnya bermuara di Laut Jawa. Skema aliran air Sungai Citarum mulai dari hulu hingga ke hilir dapat dilihat dalam Peta Lokasi Daerah Penelitian pada Lampiran 1. Dalam analisis supply and demand untuk pasokan air irigasi di daerah hilir, pasokan air diperhitungkan dari aliran Sungai Citarum yang dikeluarkan dari Waduk Jatiluhur yang kemudian dialirkan ke arah saluran Tarum Barat, Timur dan Utara. Aliran pada ketiga saluran ini akan ditambahkan dengan aliran yang masuk dari beberapa anak sungai (sumber lokal) yang ada di sepanjang lintasan saluran Tarum. Total aliran ini akan dibandingkan dengan total kebutuhan air di daerah irigasi Jatiluhur, sehingga dapat diketahui adanya kelebihan ataupun kekurangan air irigasi pada daerah tersebut. 5
Curah hujan bulanan dianalisis untuk mengetahui saat dimana kebutuhan air irigasi di daerah irigasi Jatiluhur tersebut tercukupi dan juga saat terjadinya kekurangan air. Suatu wilayah dapat mengalami surplus air untuk periode tahunan, namun bila dianalisis untuk periode bulanan mungkin pada bulan-bulan tertentu wilayah tersebut mengalami defisit air. Hal ini terjadi karena hujan tidak pernah merata penyebarannya baik dari unsur tempat, jumlah maupun waktu, sehingga tingkat ketersediaan air antara daerah satu dengan lainnya juga akan berfluktuasi. Kekeringan dan kemarau panjang yang terjadi secara ekstrim seperti pada kondisi El-Nino menyebabkan cadangan air semakin berkurang dan sementara itu hujan yang menjadi sumber air utama tidak ada. Jika keadaan ini berlangsung dalam waktu lama akan menyebabkan tanaman pertanian mengalami kekurangan air. Kekeringan merupakan salah satu bencana alam yang dampaknya sangat dirasakan oleh masyarakat terutama petani. Bencana kekeringan selain diakibatkan oleh kurangnya curah hujan juga dapat disebabkan oleh kurangnya daya serap lahan akan air. Menurunnya daya serap lahan dapat disebabkan oleh perubahan tata guna lahan seperti kawasan hutan yang berubah menjadi kawasan industri dan perumahan, sehingga ketersediaan air pada satu kawasan tidak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan kegiatan pertanian dan kebutuhan air bersih sehari-hari. Dalam bidang pertanian, informasi spasial tentang indeks kekeringan sangat diperlukan, terutama untuk menentukan pola tanam atau varietas yang cocok untuk ditanam. Informasi indeks kekeringan dapat dibuat berdasarkan karakteristik iklim seperti pola hujan bulanan, suhu udara, penguapan dan sifat tanah itu sendiri. Informasi lain yang penting adalah informasi ketersediaan air tanah. Dengan informasi ini dapat direncanakan budidaya tanaman dan tataguna lahan, sehingga dapat dihitung kebutuhan air tanaman, luas areal tanaman dan volume air yang dibutuhkan selama periode masa tanam secara keseluruhan. Hasil analisis data curah hujan, perhitungan neraca air lahan dan indeks kekeringan ini nantinya akan digambarkan dalam bentuk peta. Dari hasil analisis spasial ketiga peta tematik tersebut akan dapat ditentukan daerah-daerah yang perlu mendapatkan prioritas pemberian air irigasi. 6
Perumusan Masalah Berdasarkan uraian yang sudah dipaparkan sebelumnya, secara garis besar permasalahan yang akan dianalisis adalah : 1. Dengan pola musim yang tidak menentu sebagai dampak dari pemanasan global yang terjadi saat ini, perlu diidentifikasi secara klimatologis lokasi dan waktu terjadinya kondisi surplus air maupun defisit air di DAS Citarum Hulu yang merupakan Daerah Tangkapan Air (DTA) Waduk Jatiluhur dan daerah irigasinya pada bagian hilir di wilayah Pantura Jawa Barat melalui pendekatan analisis neraca air. Hasil analisis neraca air ini akan mampu memberikan gambaran mengenai potensi sumberdaya air yang ada di Waduk Jatiluhur selaku daerah yang memberikan supply air irigasi, maupun kondisi sumberdaya air di wilayah Pantura Jawa Barat itu sendiri sebagai wilayah yang membutuhkan (demand) air irigasi untuk lahan pertanian di daerah tersebut. 2. Kekeringan yang terjadi pada daerah irigasi Jatiluhur di wilayah Pantura Jawa Barat perlu diidentifikasi melalui analisis indeks kekeringan, untuk mengetahui potensi kekeringan yang mungkin terjadi di wilayah tersebut. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang, kerangka pemikiran dan perumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan penelitian ini adalah untuk : 1. Menganalisis neraca air dan indeks kekeringan di DTA Waduk Jatiluhur dan daerah irigasinya di wilayah Pantura Jawa Barat. 2. Menghitung kebutuhan air tanaman, kebutuhan air irigasi dan efisiensi penyaluran air irigasi pada lahan pertanian di daerah irigasi Jatiluhur untuk periode waktu tertentu. 3. Mengidentifikasi dan memetakan daerah yang perlu mendapat prioritas pasokan air irigasi. 7