BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI. bahwa ragam bahasa itu memiliki ciri tertentu, baik bentuk linguistik maupun

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II KERANGKA TEORI. ini, yang berkaitan dengan: (1) pengertian pragmatik; (2) tindak tutur; (3) klasifikasi

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA. beberapa konsep dasar yang dijadikan sebagai acuan yaitu:

BAB I PENDAHULUAN. interaksi antarpesona dan memelihara hubungan sosial. Tujuan percakapan bukan

BAB 2 TINDAK TUTUR DAN SLOGAN IKLAN. Pandangan Austin (Cummings, 2007:8) tentang bahasa telah menimbulkan

KESANTUNAN BERTUTUR DI KALANGAN AWAK KENDARAAN BERMOTOR DI KOTA BOYOLALI: TINJAUAN PRAGMATIK

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bahasa sangat berperan penting dalam kehidupan manusia. Bahasa berfungsi

BAB 1 PENDAHULUAN. kehidupan manusia, karena melalui bahasa manusia dapat saling berhubungan

BAB I PENDAHULUAN. Levinson (1987: 60) disebut dengan FTA (Face Threatening Act). Menurut Yule

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. (Alwi, dkk. 203:588). Sesuai dengan topik dalam tulisan ini digunakan beberapa

Realisasi Tuturan dalam Wacana Pembuka Proses Belajar- Mengajar di Kalangan Guru Bahasa Indonesia yang Berlatar Belakang Budaya Jawa

BAB I PENDAHULUAN. yaitu bahasa tulis dan bahasa lisan. Bahasa lisan dan bahasa tulis salah satu

REALISASI TINDAK TUTUR DIREKTIF MEMINTA DALAM INTERAKSI ANAK GURU DI TK PERTIWI 4 SIDOHARJO NASKAH PUBLIKASI

BAB I PENDAHULUAN. untuk hidup bersama. Untuk menjalani kehidupan sehari-hari antara orang yang

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep yang digunakan dalam penelitian ini ada empat, yaitu tuturan,

BAB I PENDAHULUAN. situasi tutur. Hal ini sejalan dengan pendapat Yule (2006: 82) yang. menyatakan bahwa tindak tutur adalah tindakan-tindakan yang

BAB I PENDAHULUAN. Cara pengungkapan maksud dan tujuan berbeda-beda dalam peristiwa

BAB 1 PENDAHULUAN. Bahasa adalah sistem lambang bunyi bersifat arbitrer yang dipergunakan

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Tindak tutur adalah bagian dari pragmatik yang digagasi oleh Austin

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dalam kehidupannya memerlukan komunikasi untuk dapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari dibedakan menjadi dua sarana,

BAB I PENDAHULUAN. untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri. Bahasa

TINDAK TUTUR EKSPRESIF PADA INTERAKSI PEMBELAJARAN GURU DAN SISWA KELAS 1 SD TAHUN AJARAN 2011/2012

BAB I PENDAHULUAN. langsung antar penutur dan mitratutur. Penutur dan mitra tutur berintraksi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. disampaikan dapat diterima dan dilaksanakan oleh lawan bicaranya. Begitu juga

BAB I PENDAHULUAN. untuk menyampaikan ide, gagasan, atau pendapat. Alat komunikasi itu disebut

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Frinawaty Lestarina Barus, 2014 Realisasi kesantunan berbahasa politisi dalam indonesia lawyers club

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI. dalam penelitian ini. Hasil penelitian yang memiliki kaitan dengan penelitian ini,

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia kita selalu menggunakan bahasa untuk berkomunikasi

PELANGGARAN PRINSIP KERJA SAMA DALAM PROSES PERKULIAHAN DI POLITEKNIK INDONUSA SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. pertimbangan akal budi, tidak berdasarkan insting. dan sopan-santun non verbal. Sopan-santun verbal adalah sopan santun

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep adalah pemikiran rancangan suatu karya dasar yang ada diluar bahasa

BAB I PENDAHULUAN. digunakan untuk berkomunikasi secara tidak langsung. Penggunaan bahasa

BAB I PENDAHULUAN. (6) definisi operasional. Masing-masing dipaparkan sebagai berikut.

BAB I PENDAHULUAN. lain, alat yang digunakan berkomunikasi tersebut adalah bahasa. Chaer

BAB 1 PENDAHULUAN. Bahasa adalah alat komunikasi untuk menyampaikan gagasan, konsep, dan

BAB I PENDAHULUAN. bersosialisasi mereka membentuk sebuah komunikasi yang bertujuan untuk

BAB I PENDAHULUAN. komunikasi, sebab bahasa adalah alat komunikasi yang sangat penting,

BAB I PENDAHULUAN. kebencian. Benci (a) ialah sangat tidak suka dan kebencian (n) ialah sifat-sifat benci

TINDAK TUTUR ILOKUSI DIREKTIF PADA TUTURAN KHOTBAH SALAT JUMAT DI LINGKUNGAN MASJID KOTA SUKOHARJO

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Komunikasi berfungsi sebagai hubungan antara seseorang dengan orang lain untuk mengetahui hal yang terjadi.

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN A. Simpulan Berdasarkan analisis dan pembahasan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan hasil penelitian sebagai

BAB I PENDAHULUAN. secara eksternal, yakni bagaimana satuan kebahasaan digunakan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Wacana merupakan komunikasi pikiran dengan kata-kata, ekspresi dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. Prinsip kerja..., Ratih Suryani, FIB UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. berupasistemlambangbunyiujaranyang kompleks dan aktif. Kompleks,

TUTURAN IKLAN KECANTIKAN PADA MAJALAH KARTINI DALAM KAJIAN PRAGMATIK

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Istilah dan teori tentang tindak tutur mula-mula diperkenalkan oleh J. L.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada dasarnya manusia tidak dapat hidup sendiri di dunia ini, manusia

BAB I PENDAHULUAN. Film adalah media komunikasi yang bersifat audio visual untuk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat adalah penerima informasi atau berita dari segala informasi

BAB I PENDAHULUAN. mengekspresikan tulisanya baik lisan maupun tulisan dengan memanfaatkan

BAB I PENDAHULUAN. dengan orang lain. Mereka saling berinteraksi dengan orang di sekitarnya maupun

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Tindak tutur dapat dikatakan sebagai suatu tuturan saat seseorang

PRAGMATIK. Penjelasan. Sistem Bahasa. Dunia bunyi. Dunia makna. Untuk mengkaji pragmatik... Contoh-contoh sapaan tersebut...

TINDAK TUTUR DIREKTIF PADA IKLAN SEPEDA MOTOR DI BOYOLALI. Naskah Publikasi. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1

BAB II KAJIAN TEORI. Fraser dalam Irawan (2010:7) mendefinisikan kesopanan adalah property

BAB I PENDAHULUAN. identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, mulai dari sarana untuk menyampaikan informasi, memberi perintah, meminta

BAB I PENDAHULUAN. pokok di dalam pragmatik. Tindak tutur merupakan dasar bagi analisis topik-topik

BAB I PENDAHULUAN. ucap yang bersifat arbiter dan konvensional, yang dipakai sebagai alat komunikasi

TINDAK TUTUR DALAM DIALOG DRAMA KISAH CINTA 40 MENIT KARYA DIDI ARSANDI

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. sikap terhadap apa yang dituturkannya. kegiatan di dalam masyarakat. Bahasa tidak hanya dipandang sebagai gejala

RAGAM BAHASA PEDAGANG KAKI LIMA DI TERMINAL PURABAYA SURABAYA: KAJIAN SOSIOLINGUISTIK. Ratna Dewi Kartikasari Universitas Muhammadiyah Jakarta

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Peristiwa tutur merupakan gejala sosial, sedangkan tindak tutur

I. PENDAHULUAN. universal. Anderson dalam Tarigan (1972:35) juga mengemukakan bahwa salah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Persoalan tindak tutur (speech act) dalam wacana pertuturan telah banyak

KESANTUNAN BERBAHASA POLITISI DALAM ACARA TALK SHOW

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Setiap manusia berkomunikasi menggunakan bahasa. Bahasa yang digunakan

I. PENDAHULUAN. lain, sehingga orang lain mengetahui informasi untuk memenuhi kebutuhan

TINDAK TUTUR DIREKTIF GURU TAMAN KANAK-KANAK DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR TK AISYIYAH 29 PADANG

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pragmatik pertama kali diperkenalkan oleh seorang filsuf yang bernama

IMPLIKATUR PERCAKAPAN DAN DAYA PRAGMATIK PADA IKLAN PRODUK KOSMETIK DI TELEVISI SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. gejala sosial, yang dinyatakan dalam istilah atau kata (Malo, 1985:46). Untuk

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Komunikasi dapat dilakukan oleh manusia melalui bahasa. Chaer (2010:14)

BAB I PENDAHULUAN. karena bahasa merupakan sistem suara, kata-kata serta pola yang digunakan oleh

BAB I PENDAHULUAN. selalu terlibat dalam komunikasi bahasa, baik dia bertindak sebagai. sebuah tuturan dengan maksud yang berbeda-beda pula.

BAB I PENDAHULUAN. makhluk hidup, terutama bagi kehidupan manusia. Setiap manusia akan

TINJAUAN PRAGMATIK TINDAK TUTUR ILOKUSI PADA WACANA OPERA VAN JAVA DI TRANS 7

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun yang ada di luar

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan kunci utama dalam berkomunikasi. Tanpa bahasa

BAB I PENDAHULUAN. bahasa disebut sebagai alat komunikasi terpenting manusia. yang harus ada dalam proses komunikasi, yaitu: (1) pihak yang

BAB I PENDAHULUAN. pendapat dari seorang penutur kepada mitra tutur. mengemukakan pendapat, yang perlu diperhatikan bukan hanya kebahasaan

II. LANDASAN TEORI. Linguistik sebagai ilmu kajian bahasa memiliki berbagai cabang. Cabang-cabang

ANALISIS KESANTUNAN BERBAHASA DI LINGKUNGAN TERMINAL SEKITAR WILAYAH BOJONEGORO DENGAN PRINSIP KESANTUNAN LEECH

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN. Tesis ini membahas tentang pelanggaran maksim-maksim prinsip

TINDAK TUTUR DAN KESANTUNAN BERBAHASA DI KANTIN INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA KEDIRI

I. PENDAHULUAN. satu potensi mereka yang berkembang ialah kemampuan berbahasanya. Anak dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. masyarakat sehari-hari. Masyarakat menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi

BAB I PENDAHULUAN. manusia satu dengan lainnya. Manusia pasti menggunakan bahasa untuk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Adi Dwi Prasetio, 2015

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dilakukan secara lisan maupun tertulis. Melalui bahasa, manusia berinteraksi

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka Laila dan Sabardila (2000: 145-153) meneliti tentang Ragam Bahasa Transportasi Antarkota di Wilayah Surakarta. Penelitian ini menyimpulkan bahwa ragam bahasa itu memiliki ciri tertentu, baik bentuk linguistik maupun makna sosialnya. Ciri yang dimaksud adalah (1) secara linguistik, ungkapanungkapan para awak kendaraan itu merupakan kata, frase, klausa atau kalimat, dan wacana, (2) kekhasan makna sosial terletak pada pengaruh adanya suasana hati penuturnya terhadap mitra tutur maupun pihak ketiga, tempat yang berbeda, topik pembicaraan, dan maksud atau tujuan penuturnya. Penelitian yang dilakukan oleh Yuliastanto (2007) berjudul Analisis Percakapan pada Penggunaan Bahasa Pedagang Keturunan Cina di Toko- Toko Sekitar Pasar Kadipolo Surakarta. Hasil analisisnya menyimpulkan bahwa analisis percakapan pada penggunaan bahasa pedagang keturunan Cina di toko-toko sekitar pasar Kadipolo mengemukakan situasi tutur yang digunakan pedagang keturunan Cina dengan pembelinya ada kesamaan untuk analisis. Persamaan tersebut antara lain sebagai berikut: a) lingkungan peristiwa tempat peristiwa tutur terjadi berada di toko yang lokasinya dekat pasar dan dalam Pasar Kadipolo Surakarta, b) dialek-dialek sosial berupa pola-pola dialek sosial yang digunakan sehubungan dengan kedudukan masing-masing penutur, yaitu penjual dan pembeli, c) penerapan praktis dari 9

10 penelitian sosiolinguistik merupakan topik yang membicarakan kegunaan penelitian, yaitu untuk mengetahui unsur-unsur pragmatik yang dapat menjembatani pemahaman percakapan. Penelitian yang dilakukan oleh Susanti (2007) yang berjudul "Analisis Tindak Tutur Direktif pada Wacana Khotbah Jumat di Desa Suruh Kidul Kabupaten Klaten". Hasil penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tindak tutur direktif berupa: (1) tutur perintah, (2) tuturan anjuran, (3) tuturan larangan, (4) tuturan nasihat, (5) tuturan mengajak. Hasil penelitian yang terkait dengan strategi bertutur berupa: (1) strategi langsung, (2) strategi tak langsung. Adapun berdasarkan teknik bertutur berupa; (1) teknik literal, dan (2) teknik nonliteral. Penelitian Tafthozani (2007) berjudul Tinjauan Pragmatik Tindak Tutur Perintah Bahasa Jawa pada Masyarakat Desa Trosobo, Sambi Boyolali Jawa Tengah. Hasil analisis menyimpulkan bahwa (1) pemakaian bahasa oleh masyarakat Desa Trosobo, Sambi, Boyolali Jawa Tengah dalam berkomunikasi antar anggota masyarakat banyak menggunakan bahasa Jawa, (2) penelitian ini menghasilkan delapan bentuk tindak tutur perintah, (3) makna tindak tutur perintah dalam tindak tutur penelitian ini adalah: (a) tuturan perintah langsung, tuturan perintah literal, dan tuturan 9 perintah langsung literal, (b) tuturan perintah tidak Langsung, (c) tuturan perintah tidak literal, (d) tuturan tidak langsung literal, (e) tuturan perintah langsung tidak literal, (f) tuturan tidak langsung tidak literal.

11 B. Landasan Teori 1. Sosiopragmatik Tindak tutur imperatif pada penelitian ini adalah merupakan jenis penelitian sosiopragmatik, karena yang diteliti adalah penggunaan bahasa di dalam sebuah masyarakat budaya di dalam situasi tertentu. Sosiopragmatik digunakan untuk meneliti tentang ungkapan yang digunakan serta untuk meneliti struktur bahasa secara eksternal, yaitu faktor sosial budaya sebagai penentu ungkapan memohon tersebut dituturkan. Pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yakni bagaimana satuan bahasa itu digunakan di dalam komunikasi (Ruhendi, 2001: 2). Pendapat lainnya menyatakan bahwa pragmatik adalah ilmu yang mengkaji makna tuturan, sedangkan semantik adalah ilmu yang mengkaji makna kalimat; pragmatik mengkaji makna dalam hubungannya dengan situasi ujar (Leech, 2001 : 21). Levinson dalam Tarigan (2001: 33) menyatakan pragmatik adalah telaah mengenai relasi antara bahasa dan konteks yang merupakan dasar bagi suatu catatan/laporan pemahaman bahasa, dengan kata lain: telaah mengenai kemampuan bahasa menghubungkan serta menyerasikan kalimat-kalimat dan konteks-konteks secara tepat. Menurut Purwo (2000: 2), pragmatik merupakan salah satu bidang kajian linguistik. Jadi dapat dikatakan bahwa pragmatik merupakan cabang dari linguistik yang mengkaji makna tuturan dengan cara menghubungkan

12 faktor lingual yaitu bahasa sebagai lambang atau tanda dengan faktor nonlingual seperti konteks, pengetahuan, komunikasi, serta situasi pemakaian bahasa dalam rangka pragmatik lebih mengacu pada maksud dan tujuan penutur terhadap tuturannya. Leech (1993:1) mengembangkan pragmatik dengan pengertian yang luas. Leech menggunakan pengertian pragmatik secara umum sebagai sebuah studi mengenai makna dalam linguistik. Beberapa bidang yang termasuk pragmatik umum adalah pragmalinguistik dan sosiopragmatik. Pragmalinguistik merupakan studi mengenai makna bahasa yang berhubungan dengan grammar atau linguistik itu sendiri, sedangkan sosiopragmatik merupakan studi yang mempelajari makna yang berhubungan dengan sosiologi. Lebih lanjut Leech (1993:1) menyatakan bahwa seseorang tidak dapat memahami sifat bahasa kecuali dia memahami pragmatik. Bagaimana bahasa digunakan dalam komunikasi. Pragmatik telah menjadi cabang linguistik yang penting. Definisi pragmatik yang berlaku sekarang mempunyai sifat yang lebih kompleks. Pragmatik merupakan studi yang memfokuskan pada makna yang berhubungan dengan konteks. Lebih lanjut, Levinson menyatakan bahwa pragmatik dapat didefinisikan sebagai sebuah studi mengenai bagaimana tuturan mempunyai makna dalam situasinya. Hal ini dapat memberi pengertian bahwa pragmatik merupakan sebuah studi untuk memahami makna tuturan dengan cara melihat pada situasinya dan kapan tuturan tersebut berlangsung.

13 Berlandaskan beberapa pendapat diatas maka dapat ditegaskan bahawa pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yaitu berkaitan dengan bagaimana satuan bahasa itu digunakakn dalam komunikasi. Pragmatik pada dasarnya menyelidiki bagaimana makna dibalik tuturan yang terkait pada konteks yang melingkupinya diluar bahasa, sehingga dasar dari pemahaman terhadap pragmatik adalah hubungan antara bahasa dengan konteks. Sosiopragmatik merupakan telaah mengenai kondisi-kondisi atau kondisi-kondisi lokal yang lebih khusus ini jelas terlihat bahwa prinsip kerjasama dan prinsip kesopanan berlangsung secara berubah-ubah dalam kebudayaan yang berbeda-beda atau aneka masyarakat bahasa, dalam situasi sosial yang berbeda-beda dan sebagainya. Artinya dengan perkataan lain, sosiopragmatik merupakan tapal batas sosiologis pragmatik. Jadi, jelas disini betapa erat hubungan antara sosiopragmatik dengan sosiologi (Tarigan, 2001:26). Menurut Trosborg dalam Susanti (2007:8) bahwa sosiopragmatik mengacu pada analisis pola interaksi di dalam situasi sosial tertentu dan atau sistem sosial tertentu. Kajian sosiopragmatik menurut Leech (2001: 12-13), bersifat setempat dan khusus. Prinsip ini bertepatan dengan kajian untuk makalah ini yang fokus kajian adalah terhadap pelajar lelaki dan perempuan di sebuah universiti tempatan. Dalam sosiopragmatik, prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan bertindak secara berlainan di dalam budaya, bahasa, kelas sosial dan situasi sosial yang berlainan.

14 Pragmatik dan sosiolinguistik adalah dua cabang ilmu bahasa yang muncul akibat adanya ketidakpuasan terhadap penanganan bahasa yang terlalu bersifat formal yang dilakukan oleh kaum strukturalis. Dalam hubungan ini pragmatik dan sosiolinguistik masing-masing memiliki titik sorot yang berbeda di dalam melihat kelemahan pandangan kaum strukturalis. (Wijana, 2004: 6). Adanya kenyataan bahwa wujud bahasa yang digunakan berbedabeda berdasarkan faktor-faktor sosial yang tersangkut di dalam situasi pertuturan, seperti jenis kelamin, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi penutur dan petutur dan sebagainya menunjukkan alasan-alasan atau keberatan-keberatan yang dikemukakan oleh kaum strukturalis untuk menolak keberadaan variasi bahasa tidak dapat diterima. Secara singkat konsep masyarakat homogen kaum strukturalis jelas-jelas bertentangan dengan prinsip yang dikemukakan oleh Wijana (2000, 187-191), terutama dua prinsip yang mengatakan bahwa: a. Prinsip Pergeseran Makna (The Principle Of Style Shifting) Tidak ada penutur bahasa yang memiliki satu gaya, karena setiap penutur menggunakan berbagai bahasa, dan menguasai pemakaiannya. Tidak ada seorang penutur pun menggunakan bahasa persis dalam situasi yang berbeda-beda. b. Prinsip Perhatian (The Principle Of Attention) Laras bahasa yang digunakan oleh penutur berbeda-beda bergantung pada jumlah atau banyaknya perhatian yang diberikan kepada tuturan

15 yang diucapkan. Semakin sadar seseorang penutur terhadap apa yang diucapkan semakin formal pula tuturannya. (Wijana, 2004: 6-8). Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa sosiopragmatik adalah perantara antara sosiologi dan pragmatik dan ia merupakan kajian terperinci yang mempunyai sifat budaya lokal. 2. Ragam Bahasa Ragam bahasa adalah keseluruhan pola-pola ujaran manusia yang cukup dan serba sama untuk analisis dengan teknik-teknik pemerian sinkronik yang ada dan memiliki perbendaharaan unsur-unsur yang cukup besar dan penyatuan penyatuannya atau proses-proses dengan cakupan semantik yang cukup luas untuk berfungsi dalam segala konteks komunikasi yang normal (Alwasilah, 2003: 55). Chaer dan Agustina (2004: 81) mendefinisikan variasi bahasa dalam dua pandangan. Pertama, variasi atau ragam bahasa dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa itu dan keragaman fungsi bahasa itu. Variasi atau ragam bahasa terjadi sebagai akibat dari adanya keragaman sosial dan keragaman fungsi bahasa. Kedua, variasi atau ragam bahasa itu sudah ada untuk memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang beraneka ragam. Variasi atau ragam bahasa itu dapat diklasifikasi berdasarkan adanya keragaman sosial dan fungsi kegiatan di dalam masyarakat sosial.

16 Chaer dan Agustina (2005:81), membedakan variasi bahasa berdasarkan kriteria (a) latar belakang geografi dan sosial penutur, (b) medium yang digunakan dan (c) pokok pembicaraan. Kemudian, Preston dan Shuy dalam Chaer dan Agustina (2005:81) membagi variasi bahasa, khususnya untuk bahasa Inggris Amerika berdasarkan (a) penutur, (b) interaksi, (c) kode dan (d) realisasi. Sedangkan Mc David dalam Chaer dan Agustina (2005:81-82), membagi variasi bahasa ini berdasarkan (a) dimensi regional, (b) dimensi sosial, dan (c) dimensi temporal. Chaer dan Agustina (2005:82-95), membedakan variasi bahasa berdasarkan segi penutur dan segi penggunaannya. Berdasarkan penuturnya dibagi menjadi (1) idiolek yaitu variasi bahasa yang bersifat perseorangan, (2) dialek yaitu variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, yang berada pada satu tempat wilayah atau area tertentu, (3) kronolek atau dialek temporal yaitu variasi bahasa yang digunakan oleh kelompok sosial pada masa tertentu, dan (4) sosiolek atau dialek sosial, yaitu variasi bahasa yang berkenaan dengan status, golongan dan kelas sosial para penuturnya. Variasi berdasarkan penggunaannya berdasarkan gaya, tingkat keformalan dan saran penggunaan. Ada beberapa variasi bahasa yang disebutkan oleh Soeparno, (2003:71) antara lain (1) variasi kronologis yang disebabkan oleh faktor keurutan waktu atau masa, wujud nyata pemakaian bahasa dinamakan kronolek, (2) variasi geografis yang disebabkan oleh perbedaan geografis atau faktor regional, wujud nyata pemakaian bahasa dinamakan dialek (3)

17 variasi sosial yang disebabkan oleh perbedaan sosiologis, wujud nyata pemakaian bahasa dinamakan sosiolek, (4) variasi fungsional yang disebabkan oleh perbedaan fungsi pemakaian bahasa, wujud pemakaian bahasanya dinamakan fungsiolek, (5) variasi gaya/style yang disebabkan oleh perbedaan gaya, yaitu cara berbahasa seseorang dalam perpormansinya secara terencana maupun tidak, baik lisan atau tulis, (6) variasi kultural yang disebabkan oleh perbedaan budaya masyarakat pemakainya, (7) variasi individual yang disebabkan karena perbedaan perorangan, wujud pemakaian bahasanya dinamakan idiolek. Maryono (dalam Purnanto 2002:18), membagi wujud variasi bahasa berupa idiolek, dialek, tingkat tutur (speech levels), ragam bahasa dan register. Penjelasan kelima variasi bahasa itu dapat dijelaskan seperti berikut ini. 1) Idiolek merupakan variasi bahasa yang sifatnya individual, maksudnya sifat khas tuturan seseorang berbeda dengan tuturan orang lain. 2) Dialek merupakan variasi bahaa yang disebabkan oleh perbedaan asal penutur dan perbedaan kelas sosial penutur. Oleh karena itu, muncul konsep dialek geografis dan dialek sosial (sosiolek) 3) Tingkat tutur (speech levels) merupakan variasi bahasa yang disebabkan oleh adanya perbedaan anggapan penutur tentang relasinya (hubungannya) dengan mitra tuturnya. 4) Variasi bahasa yang disebabkan oleh adanya perbedaan dari sudut penutur, tempat, pokok tuturan dan situasi. Dalam kaitan dengan itu

18 akhirnya dikenal adanya ragam bahasa resmi (formal) dan ragam bahasa tidak resmi (santai, akrab). 5) Register merupakan variasi bahasa yang disebabkan oleh adanya sifatsifat khas keperluan pemakainya, misalnya bahasa tulis terdapat bahasa iklan, bahasa tajuk, bahasa artikel, dan sebagainya; dalam bahasa lisan terdapat bahasa lawak, bahasa politik, bahasa doa, bahasa pialang dan sebagainya. Menurut Mansoer (2001:52), variasi bahasa dapat dilihat dari (1) segi tempat, yaitu tempat yang dapat mengakibatkan variasi bahasa, bahasa daerah, kolokial, vernakuler (2) segi waktu, yaitu variasi bahasa yang dilihat secara diakronik (dialek yang berlaku pada kurun waktu tertentu), (3) segi pemakai, yaitu glosolalia, idiolek, kelamin, monolingual, rol, status sosial, umur, (4) segi pemakaian, dapat terbagi atas diglosia, kreol, lisan, nonstandar, pijin, register, repertories, repotation, standar, tulis, bahasa tutur sapa, kan dan jargon, (5) segi situasi, yaitu bahasa dalam situasi resmi dan bahasa tidak dalam situasi resmi, (6) segi status, yaitu bahasa ibu, bahasa daerah, bahasa franca, bahasa nasional, bahasa negara, bahasa pengantar, bahasa persatuan, bahasa resmi. 3. Tindak Tutur Tindak tutur perlu didefinisikan karena penelitian ini bermaksud mendeskripsikan penyimpangan prinsip kesopanan dalam peristiwa tindak

19 tutur antara sopir, kondektur, kernet, dan pedagang asongan di terminal Gemolong. Umumnya, orang menyampaikan informasi dalam bentuk pikiran, gagasan, niat, perasaan dan emosi secara langsung. Dari proses komunikasi tersebut terjadi apa peristiwa tutur. Peristiwa tutur dapat dikatakan sebagai proses terjadinya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, di tempat, waktu dan situasi tertentu. Dengan demikian, interaksi yang terjadi antara sopir dan kernet atau pedagang asongan pada waktu tertentu dengan menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi juga merupakan peristiwa tutur. Seorang filsuf Austin (1911-1960) dalam bukunya yang berjudul How to Do Things with Words (1962) mencetuskan teori tindak tutur (speech act theory). Menurutnya, saat bertutur, orang tidak hanya bertutur namun juga melakukan suatu tindakan. Misalnya, pada tuturan I bet you ten pence she will come tomorrow, penutur tidak hanya bertutur, namun juga melakukan tindakan, yakni bertaruh. Tuturan seperti itu disebut tuturan performatif. Tuturan performatif adalah lawan dari tuturan konstatif, yakni tuturan yang dapat dinyatakan benar atau takbenar. Menurut Austin, ada tiga jenis tindakan yang dapat dilakukan melalui tuturan, yaitu (1) tindak lokusi (locutionary act), yakni tuturan yang menyatakan sesuatu; (2) tindak ilokusi (illocutionary act), yakni tuturan yang menyatakan sekaligus melakukan suatu tindakan; dan (3) tindak perlokusi (perlocutionary act), adalah tuturan yang mempunyai daya pengaruh terhadap petutur untuk melakukan sesuatu.

20 Tindak tutur adalah kalimat atau bagian kalimat dilisankan (Kridalaksana, 1993: 222). Tindak tutur dapat dianggap sebagai sesuatu yang sebenarnya dilakukan ketika berbicara. Sementara itu, George Yule (1996: 47) menyatakan bahwa untuk mengekspresikan diri, seseorang tidak hanya menghasilkan ucapan yang berisi struktur bahasa dan katakata, tetapi juga dituntut melaksanakan dengan ucapannya, tindakan yang dilakukan dengan ucapan itu disebut tindak tutur Ada lima jenis tindak tutur seperti yang diungkapkan oleh Yuniarti (2010: 16) antara lain: a. representatif (asertif), yaitu tindak tutur yang mengikat penuturnya kebenaran atas apa yang dikatakan (misal:menyatakan, melaporkan, mengabarkan, menunjukan, menyebutkan). b. direktif, tindak ujaran yang dilakukan penuturnya dengan maksud agar mitra tutur melakukan apa yang ada dalam ujaran tersebut (misalnya:menyuruh, memohon, meminta, menuntut, memohon). c. ekspresif, tindak ujaran yang dilakukan dengan maksud ujarannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan pada ujaran tersebut (misalnya: memuji, mengkritik, berterima kasih). d. komisif, tindak ujaran yang mengikat penutur untuk melakukan seperyi apa yang diujarkan (misalnya bersumpah, mengancam, berjanji). e. deklarasi, tindak ujaran yang dilakukan penutur dengan maksud untuk menciptakan hal yang baru (misalnya memutuskan, melarang, membatalkan).

21 Tindak tutur merupakan entitas yang bersifat sentral dalam pragmatik. Suatu tindak tutur tidaklah semata-mata merupakan representasi langsung elemen makna unsurunsurnya (Sperber & Wilson 1989). Derajat kelangsungan tindak tutur itu diukur berdasarkan jarak tempuh dan kejelasan pragmatisnya (Gunarwan, 1994:50). Lebih lanjut, Rustono mengatakan bahwa jarak tempuh tidak tutur merupakan rentang sebuah tuturan dari titik ilokusi (di benak penutur) ke titik tujuan ilokusi (di benak mitratutur). Jika garis yang menghubungkan kedua titik itu tidak lurus, melengkung bahkan melengkung sekali yang menyebabkan jarak tempuhnya sangat panjang,tuturan itu merupakan tindak tutur taklangsung (1999:44-45) Semakin transparan suatu maksud, semakin langsunglah tuturan itu. Penggunaan tuturan secara konvensional menandai kelangsungan suatu tindak tutur. Kesesuaian antara modus tuturan dan fungsinya secara konvensional inilah yang merupakan tindak tutur langsung. Dengan demikian, tindak tutur taklangsung ditandai dengan tidak adanya kesesuaian antara modus tuturan dan fungsinya secara konvensional. Yuniarti (2010: 17) menyebutkan tindak tutur dapat berbentuk langsung maupun tidak langsung dan literal maupun tidak literal. Tindak tutur direktif (TTD) adalah salah satu jenis tindak tutur menurut kriteria Searle. Fungsinya adalah mempengaruhi petutur atau mitra tutur agar melakukan tindakan seperti yang diungkapkan oleh si penutur. Fungsi umum atau makrofungsi direktif mencakup: menyuruh, memerintah,

22 memohon, mengimbau, menyarankan dan tindakan-tindakan lain yang diungkapkan oleh kalimat bermodus imperatif menurut aliran formalisme. Lebih lanjut Searle dalam Yuniarti (2010: 22) mengungkapkan bahwa direktif itu dapat langsung (yaitu dengan menggunakan kalimat bermodus imperatif) dan dapat pula tidak langsung (yaitu dengan menggunakan kalimat bermodus bukan imperatif). Tindak tutur langsung dapat dilihat dari wujud sintaktiknya. Sebagai contoh kalimat: (1) Bumi ini bulat; kalimat ini merupakan kalimat berita yang berfungsi untuk menginformasikan sesuatu. (2) Jam berapa ini?; kalimat ini merupakan kalimat tanya yang berfungsi untuk menanyakan sesuatu. Dengan kata lain tindak tutur langsung adalah tuturan yang sesuai dengan modus kalimatnya. 4. Kesantunan Berbahasa Kesantunan berbahasa berkaitan dengan aturan-aturan tentang halhal yang bersifat sosial, estetis, dan moral di dalam bertindak tutur (Grice 1991:308). Alasan dicetuskannya konsep kesantunan adalah bahwa di dalam tuturan penutur tidak cukup hanya dengan mematuhi prinsip kerja sama. Kesantunan diperlukan untuk melengkapi prinsip kerja sama dan mengatasi kesulitan yang timbul akibat penerapan prinsip kerja sama. Menurut Gunarwan (1992:19) sebuah tindak tutur dapat mengancam muka

23 mitratuturnya. Untuk mengurangi kerasnya ancaman terhadap muka itulah, di dalam berkomunikasi penutur tidak selalu mematuhi prinsip kerja sama Grice dan justru penutur menggunakan prinsip kesantunan. Lebih lanjut, Gunarwan (1995:6) menambahkan bahwa pelanggaran prinsip kerja sama adalah bukti bahwa di dalam berkomunikasi kebutuhan penutur tidaklah untuk menyampaikan informasi saja, tetapi lebih dari itu. Di samping untuk menyampaikan amanat, kebutuhan penutur adalah menjaga dan memelihara hubungan sosial penutur-pendengar. Menurut Brown dan Levinson, teori kesantunan berbahasa berkisar pada nosi muka (face) yang dibagi menjadi muka negatif dan muka positif. Muka negatif adalah keinginan individu agar setiap keinginannya tidak dihalangi oleh pihak lain. Sedang muka positif adalah keinginan setiap penutur agar dia dapat diterima atau disenangi oleh pihak lain (dalam Yule, 2006). Dikatakan oleh Brown dan Levinson bahwa konsep tentang muka ini bersifat universal dan secara alamiah terdapat berbagai tuturan yang cenderung merupakan tindakan yang tidak menyenangkan (Face Threatening Act). Menurut Goffman (1967: 5), yang dikutip oleh Jaszczolt (2002: 318), "face merupakan gambaran citra diri dalam atribut sosial yang telah disepakati". Dengan kata lain, face dapat diartikan kehormatan, harga diri (self-esteem), dan citra diri di depan umum (public self-image). Menurut Brown dan Levinson dalam Nadar (2006) sebuah tindak ujaran atau tindak tutur dapat merupakan ancaman terhadap muka yang

24 disebut sebagai facethreatening act (FTA). Karena ada dua sisi muka yang terancam yaitu muka negatif dan muka positif, kesantunanpun dibagi dua yaitu kesantunan negatif (untuk menjaga muka negatif) dan kesantunan positif (untuk menjaga muka positif). Fungsi utama komunikasi adalah untuk menyampaikan pesan dari penutur kepada mitratuturnya. Namun demikian, dalam berkomunikasi ada hal lain yang harus diperhatikan. Hal itu berkenaan dengan menjaga muka para peserta komunikasi. Muka atau face adalah image yang ingin dijaga baik oleh penutur maupun mitratuturnya. Dengan kata lain, selain untuk menyampaikan pesan, komunikasi juga berfungsi untuk menjaga hubungan sosial dan estetis para partisipannya. Muka atau face ini dibagi menjadi dua jenis yaitu muka positif dan muka negatif. Muka positif adalah muka yang mengacu kepada citra diri orang yang berkeinginan agar apa yang dilakukannya, apa yang dimilikinya, atau apa-apa yang merupakan nilai yang diyakininya diakui orang sebagai suatu hal yang baik dan menyenangkan. Sementara itu, muka negatif adalah muka yang mengacu kepada citra diri orang yang berkeinginan agar ia dihargai dengan jalan penutur membiarkannya bebas melakukan tindakannya atau membiarkannya bebas dari keharusan mengerjakan sesuatu (Rustono, 1999:68-69). Brown dan Levinson dalam Nadar (2006) merangkum beberapa tindakan yang melanggar muka negatif meliputi:

25 a. Ungkapan mengenai perintah dan permintaan, saran, nasihat, peringatan, ancaman, tantangan. b. Ungkapan mengenai tawaran atau janji. c. Ungkapan mengenai pujian, ungkapan perasaan negatif yang kuat seperti kebencian, kemarahan. Tindakan yang mengancam muka positif lawan meliputi: 1) Ungkapan mengenai ketidaksetujuan, kritik, tindakan merendahkan atau yang mempermalukan, keluhan, kemarahan, dakwaan, penghinaan. 2) Ungkapan mengenai pertentangan, ketidaksetujuan atau tantangan. 3) Ungkapan emosi yang tidak terkontrol yang membuat lawan tutur menjadi takut atau dipermalukan. 4) Ungkapan yang tidak sopan, menyebutkan hal-hal yang tidak sesuai dengan situasi, yaitu penutur tidak menghargai nilai-nilai lawan tutur. 5) Ungkapan kabar buruk mengenai lawan tutur, menyombongkan berita baik, tidak menyenangkan lawan tutur dan tidak mebgindahkan perasaan lawan tutur. 6) Ungkapan mengenai hal-hal yang membahayakan, memecah belah pendapat, menciptakan atmosfir yang memiliki potensi untuk mengancam muka lawan tutur. 7) Ungkapan yang tidak kooperatif antara penutur terhadap lawan tutur, menyela pembicaraan lawan tutur, tidak menunjukan kepedulian pada lawan tutur.

26 8) Ungkapan yang menunjukan sebutan atau sesuatu pada lawan tutur pada perjumpaan pertama. Dalam situasi ini mungkin penutur membuat identifikasi yang keliru pada lawan tutur sehingga dapat mempermalukan lawan tutur baik sengaja atau tidak. Dari sudut pandang teori tindak tutur, penolakan dapat diklasifikasikan sebagai kelompok direktif yang mengancam muka negatif lawan tutur dan dapat juga dimasukan dalam kelompok ekspresif yang mengancam wajah positif lawan tutur. Oleh karena itu Brown dan Levinson (Nadar, 2006) memberikan beberapa strategi yang digunakan untuk meminimalkan ancaman terhadap muka negatif maupun muka positif agar ujaran terdengar santun. Strategi untuk meminimalkan ancaman terhadap muka positif oleh Brown dan Levinson dalam Yuniarti (2010: 19) antara lain: a. Memberikan perhatian khusus pada lawan tutur; Wah, rambut baru ya?bagus sekali. Eh, boleh pinjam printer tidak? b. Melebihkan rasa ketertarikan, persetujuan, simpati pada lawan tutur; Rumah anda benar-benar bersih sekali. c. Meningkatkan rasa tertarik pada lawan tutur untuk terlibat dalam pembicaraan; Anda tahu maksud saya kan? d. Menggunakan penanda yang menunjukan kesamaan jati diri atau kelompok; Kamu mau membantuku kan, Sobat? e. Mencari persetujuan lawan; Benar tidak, ide itu luar biasa. f. Menghindari pertentangan dengan lawan tutur; Ya, idemu cukup bagus. g. Membuat lelucon; Wah, kuenya pahit kalau cuma sedikit. h. Memberikan dan meminta alasan; Bagaimana kalau kita ke pantai saja, lebih santai. i. Menawarkan suatu tindakan timbal balik; Saya akan meminjami kamu buku, kalau kamu juga mau meinjami aku majalahmu. j. Memberikan simpati pada lawan tutur; Kalau ada yang dapat aku bantu?

27 Muka negatif adalah muka yang mengacu kepada citra diri orang yang berkeinginan agar ia dihargai dengan jalan penutur membiarkannya bebas melakukan tindakannya atau membiarkannya bebas dari keharusan mengerjakan sesuatu. Beberapa strategi untuk meminimalkan ancaman terhadap muka negatif antara lain (Yuniarti, 2010: 21): a. Pakailah ujaran tak langsung; Dapatkah engkau menolongku? b. Pakailah pagar (hedge); Aku agak ragu, tapi bisakah kau menolongku? c. Tunjukan pesimisme; Aku sebenarnya mau minta tolong sama kamu, tapi aku takut merepotkanmu. d. Minimalkan paksaan; Bolehkah aku merepotkanmu sebentar? e. Berikan penghormatan; Aku ingin minta tolong sama kamu, karena aku tahu kamu satu-satunya orang yang bisa saya mintai tolong dalam hal ini. f. Mintalah maaf; Sebelumnya aku minta maaf, tapi bisakah kamu menolongku? g. Pakailah bentuk impersonal (yaitu dengan tidak menyebutkan penutur dan pendengar); Aku rasa setiap orang mengalami masa-masa sulit. h. Ujarkan tindak tutur itu sebagai ketentuan yang bersifat umum; Keadaan ekonomi sekarang ini sungguh sulit. 5. Penyimpangan Prinsip Kesantunan Sesuai dengan paham bahwa penggunaan bahasa untuk komunikasi merupakan sebuah fakta sosial, pada perspektif pragmatik penggunaan bahasa tersebut dipandang sebagai tindakan, lazim dikenal dengan tindak tutur (Searle, 1969 dalam Yuniarti, 2010: 17). Namun adakalanya tindak tutur itu tidak jelas konteks situasinya, sehingga interpretasi maknanya pun bisa beragam. Tindak tutur ekspresif Aduh misalnya, dapat diujarkan dengan intonasi berbeda dalam konteks situasi yang berbeda dan memiliki makna berbeda pula, seperti kejengkelan, kesakitan, dan kekaguman.

28 Gunarwan (1994:52) menyebutkan bahwa dalam setiap ujaran manusia terdapat makna tambahan. Makna tambahan ini akan tertangkap oleh pendengar sebagai mitratutur. Makna tambahan ini tidak muncul sebagai akibat adanya aturan semantis ataupun sintaksis, tetapi lebih merupakan penerapan kaidah dan prinsip kerja sama. Prinsip ini oleh Grice (1975) dinamakan prinsip kerja sama atau cooperative principle. Prinsip kerja sama dari Grice ini adalah: Make your conversational contribution such as required, at the stage at which it occurs, by the accepted purpose or direction of the talk exchange in which you are engaged (Buatlah kontribusi percakapan anda sesuai dengan apa yang dibutuhkan pada saat berbicara dengan mengikuti tujuan percakapan yang anda ikuti). Selanjutnya prinsip kerja sama ini dijabarkan kedalam empat bidal, istilah yang digunakan Gunarwan (1996:1) untuk maksim. Bidalbidal tersebut adalah bidal kuantitas, bidal kualitas, bidal relevansi, dan bidal cara. Menurut Yuniarti (2010: 17), komunikasi dapat berlangsung dengan baik oleh adanya prinsip kerjasama yang perlu dipatuhi oleh penutur dan petutur. Prinsip kerjasama terkait dengan beberapa bidal (maxims) yang dibedakan ke dalam: a. Bidal kuantitas (informasinya tidak lebih dan tidak kurang). Bidal kuantitas adalah bidal pertama dari prinsip kerja sama. Bidal ini berisi anjuran bahwa kontribusi yang diberikan penutur tidaklah berlebihan

29 b. Bidal kualitas (informasinya benar dan penutur memiliki bukti kebenarannya). Bidal kedua dari prinsip kerja sama adalah bidal kualitas. Bidal ini berisi nasihat agar penutur memberikan kontribusi percakapan yang memiliki nilai kebenaran dan jangan katakan sesuatu yang tidak mereka yakini kebenarannya. Konsekuensi dari pernyataan ini adalah semua kontribusi percakapan yang tidak memiliki nilai kebenaran dianggap melanggar prinsip kerja sama bidal kualitas. c. Bidal relevansi (informasinya relevan dengan topik). Bidal relevansi merupakan bidal ketiga dari prinsip kerja sama. Bidal ini berisi anjuran bagi penutur untuk memberikan kontribusi yang relevan dalam suatu tidak komunikasi. Dalam suatu percakapan, tuturan atau ujaran yang tidak relevan dikatakan sebagai ujaran yang melanggar bidal relevansi. d. Bidal cara (informasinya disampaikan secara jelas, tidak samar-samar). Bidal ini berisi anjuran agar penutur memberikan kontribusi dengan jelas, yaitu kontribusi yang menghindari ketidakjelasan dan ketaksaan. Selain itu, kontribusi penutur juga harus singkat, tertib dan teratur. Berikut tuturan yang melanggar bidal cara. Bidal kuantitas terpenuhi karena informasinya lengkap. Bidal kualitas terpenuhi karena informasinya jelas dan tidak menimbulkan kesenjangan komunikasi. Bidal relevansi terpenuhi karena topiknya relevan dengan tujuan komunikasi, yakni untuk memesan kamar. Bidal cara juga terpenuhi karena masing-masing menggunakan sapaan yang berterima. Orang akan langsung memahami konteks situasi terkait.

30 Artinya kelancaran komunikasi dalam kegiatan berbahasa tidak hanya ditentukan oleh unsur-unsur kebahasaan secara struktural. Akan tetapi, harus diperhatikan pula prinsip-prinsip penggunaan bahasa oleh penutur dan mitra tuturnya. Dengan memperhatikan prinsip-prinsip kerjasama dan kesopanan dalam penggunaan bahasa, maka maksud atau pesan yang ingin disampaikan mudah diterima oleh mitra tutur. Meskipun demikian, seorang penutur tidak selamanya mematuhi prinsip-prinsip penggunaan bahasa tersebut (Rustono, 2009:68-69).. Adakalanya justru seorang penutur melakukan penyimpanganpenyimpangan terhadap prinsip-prinsip penggunaan bahasa. Penyimpangan ini menunjukkan adanya maksud-maksud tertentu yang ingin dicapai oleh penutur. Maksud-maksud tertentu yang muncul dalam suatu tindak percakapan inilah yang dinamakan implikatur percakapan (Rustono, 2009:66).