BAB 4 HASIL DAN ANALISIS PENELITIAN

dokumen-dokumen yang mirip
BENEFICIAL OWNER DI DALAM TAX TREATY (STUDI KASUS TAX TREATY INDONESIA BELANDA)

PERPAJAKAN INTERNASIONAL KASUS TAX TREATY

Beneficial Owner Certificate of Domicile Limitation on Benefit Article YOHANES DWIKI R. D. FIDIRA MAHARANI YUH MELIALA

ANALISA PENGARUH PENERAPAN TAX TREATY INDONESIA - HONGKONG TERHADAP INVESTASI MODAL DI INDONESIA

Pembagian Hak Pemajakan Atas Suatu Jenis Penghasilan Tulisan Ilmiah Perpajakan Internasional Jurnal Perpajakan KUP

PERPAJAKAN INTERNASIONAL BAB 1 : PENDAHULUAN

BAB 4 PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN

BAB 2 LANDASAN TEORI

PPh Pasal 26. Pengantar

1 ORANG DAN BADAN YANG TERCAKUP DALAM PERSETUJUAN

Transaksi Lintas Batas Negara dan Konsep Dasar Pemajakannya

MAKALAH PAJAK INTERNASIONAL MODEL PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA

BAB IV ANALISIS PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN ATAS KOMPENSASI OPSI SAHAM UNTUK KARYAWAN MENURUT UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN

Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc Isqodrin.wordpress.com

BAB I PENDAHULUAN. investor asing berkenaan dengan permasalahan utama bagi setiap investor untuk

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 10/PJ/2017 TENTANG TATA CARA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 10/PJ/2017 TENTANG TATA CARA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

BAB 1 PENDAHULUAN. Penentuan status..., Benny Mangoting, FH UI, 2010

KELOMPOK 3. Ani Rahmatika Dian Safitri Maria Meliana Yudha Adi Prasetyo TAX TREATY PROVISION

BAB II LANDASAN TEORI / PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Pengertian bank menurut Pasal 1 Undang-undang No.10 Tahun 1998

BAB 4 ANALISIS DAN BAHASAN

Bab 3 PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (P3B)

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Perpajakan internasional

Bab 4 PASAL-PASAL TAX TREATY DAN PENJELASANNYA

Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Ukraina

BAB II LANDASAN TEORI

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERPAJAKAN INTERNASIONAL

Landasan Hukum: Pasal 24 UU PPh, KMK No. 164/ KMK.03/ 2002

BAB III PERLAKUAN PENETAPAN SUATU KEGIATAN SEBAGAI BUT AGEN YANG TIDAK BEBAS BERDASARKAN KETENTUAN DOMESTIK

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

(WITHHOLDING) TAX DAN KREDIT PAJAK (TAX CREDIT)

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERSETUJUAN ANTARA KANTOR DAGANG DAN EKONOMI INDONESIA, TAIPEI DAN KANTOR DAGANG DAN EKONOMI TAIPEI, JAKARTA TENTANG

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

KETENTUAN PENERAPAN P3B DAN PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN P3B PERDIRJEN SEBELUMNYA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK IDONESIA,

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

UN Model, OECD Model & Indonesian Model. Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc Isqodrin.wordpress.com

OLEH: Yulazri M.Ak. CPA

I. UMUM II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 1. Cukup jelas. Pasal 2

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERTEMUAN 7 By Ely Suhayati SE MSi Ak PENGKREDITAN PPH PASAL 24 DAN ANGSURAN PPH PASAL 25

PERPAJAKAN LANJUTAN. by Ely Suhayati SE MSi Ak

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TRANSAKSI LINTAS BATAS NEGARA DAN KONSEP DASAR PEMAJAKANNYA

CONTOH PEMANFAATAN TAX TREATY

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Metode penhindaran pajak berganda berdasarkan Perjanjian internasional dan ketentuan UU PPh. Feber Sormin, SE.,M.Ak.,Ak.,CA

*48128 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES) NOMOR 150 TAHUN 1998 (150/1998)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

MODEL PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA [TAX TREATY]

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PAJAK PENGHASILAN PASAL 23/26

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAHAN AJAR PAJAK INTERNASIONAL

PAJAK PENGHASILAN PASAL 23/26

BAB III PAJAK PENGHASILAN ATAS KOMPENSASI OPSI SAHAM UNTUK KARYAWAN MENURUT UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN

ANALISIS MENGENAI PERBANDINGAN BENEFICIAL OWNER DI DALAM TAX TREATY (STUDI KASUS ANTARA NEGARA INDONESIA BELANDA DAN INDONESIA HONG KONG)

PAJAK INTERNASIONAL. Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc Isqodrin.wordpress.com

BAB II TELAAH PUSTAKA Pengertian Penghasilan menurut Akuntansi dan Pajak. Penghasilan menurut SAK No. 23 meliputi pendapatan (revenue)

Silabus. EKA 5341 Perpajakan Internasional. Program Studi: Strata 1 (S-1) Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Kelompok 3. Karina Elminingtias Ni Putu Ayu A.W M. Syaiful Mizan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1991 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Ketentuan Tentang Sumber Penghasilan (KTSP) / Source rules

Modul Perpajakan PAJAK PENGHASILAN PASAL 23/26 DEFINISI

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UU 10/1994, PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991

TAX JURISDICTION. Original Paper Created by : Eka Daswindar

PESUIIT ANDI. Pajak 8erganda? Pedoman Mudah. dan. Praktis Memahami Tax Treaty. Djoko Muljono

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

Adjusment-Final Tree Up 2006 yang dicatat pada GL 2007 (Rp ,00) Adjusment-Final Tree Up 2007 yang dicatat pada GL 2008 Rp

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

Akuntansi Pajak Atas Liabilitas (Kewajiban)

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERTEMUAN 13: PPh Pasal 25 (Umum /Perhitungan)

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH DARI UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN

BAB IV ANALISIS PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN ATAS EMPLOYEE STOCK OPTION. A. Analisis Saat Pengenaan Pajak yang Tepat atas ESOP

Ruth Rassita Kembaren. Universitas Bina Nusantara Jalan Rawa Belong Raya No.8, Kemanggisan Jakarta Barat

Modul ke: PERPAJAKAN I. PPh PASAL Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Tarmidi, SE., M.Ak., BKP. Program Studi Akuntansi.

DAFTAR PENYUSUTAN DAN AMORTISASI FISKAL TAHUN PAJAK 2 0 NPWP : NAMA WAJIB PAJAK : BULAN / TAHUN PEROLEHAN HARGA PEROLEHAN (US$)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Pertemuan 5 PAJAK PENGHASILAN PASAL 23, 25, & 26

BAB 2 LANDASAN TEORI. Pengertian pajak menurut Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan Nomor 28 Tahun 2007:

Konsep Dasar Perpajakan Internasional (Bag.I)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Struktur modal merupakan perimbangan jumlah utang, saham

MATERI PENYULUHAN PAJAK DI SMKN PENGASIH KULON PROGO

PAJAK PENGHASILAN. Tujuan Instruksional :

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Transkripsi:

BAB 4 HASIL DAN ANALISIS PENELITIAN 4.1. Hubungan Indonesia dan Belanda dalam Tax Treaty Indonesia - Belanda Suatu Tax Treaty dibuat dengan tujuan untuk menghindari pengenaan pajak atas penghasilan yang sama sehingga menimbulkan pemajakan berganda dan merugikan wajib pajak dari salah satu negara. Pemajakan berganda terdiri dari dua jenis yaitu pemajakan berganda secara yuridis dan secara ekonomis. Dalam hal pemajakan berganda secara yuridis, pemajakan dilakukan oleh dua negara yang berbeda dalam suatu periode tertentu atas penghasilan yang sama. Sedangkan pemajakan berganda secara ekonomis diartikan sebagai pemajakan yang dilakukan atas suatu penghasilan yang sama yang diperoleh dua subjek pajak yang berbeda dalam periode yang sama. Hal yang dilakukan untuk menghindari terjadinya pemajakan berganda ini dilakukan baik secara unilateral maupun bilateral. Upaya unilateral yang dilakukan oleh suatu negara adalah dengan cara menerapkan tiga metode penghindaran pajak berganda, yakni metode kredit, metode pembebasan dan metode fiktif. Metode kredit adalah metode penghindaran pajak berganda dengan cara negara domisili memperbolehkan pajak yang dibayar di negara sumber untuk dikreditkan. Metode pembebasan adalah metode penghindaran pajak berganda dengan cara penghasilan yang diperoleh dari negara sumber tidak lagi dikenakan pajak di negara domisili. Metode fiktif adalah insentif pajak yang diperoleh dari luar negeri oleh penduduk dari suatu negara yang dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak atas pajak yang terutang di negara itu. 55

Selain penghindaran pajak secara unilateral, dibutuhkan juga penghindaran secara bilateral karena masing-masing negara memiliki prinsip pemajakan yang berbeda dengan negara lainnya. Oleh karena itu dibuatlah Tax Teraty oleh dua negara yang menjalani transaksi lintas batas negara. Sebelum Tax Treaty sebagai sumber hukum di dua negara yang saling terikat perjanjian, terlebih dahulu harus melalui proses pengesahan atas dasar ketentuan hukum perjanjian internasional yang dianut oleh kedua negara yang melakukan perjanjian. Beberapa negara, salah satunya Belanda, proses pengesahan harus melalui persetujuan dari lembaga perwakilan rakyat atau parlemen. Sedangkan Indonesia, proses pengesahan ini tidak serumit Belanda. Indonesia tidak perlu mendapat persetujuan dari DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), tetapi hanya dengan penerbitan Keputusan Presiden kemudian cukup diberitahukan kepada DPR. Model perjanjian penghindaran pengenaan pajak berganda yang dibuat oleh negara Indonesia dan Kerajaan Belanda atau disebut dengan Tax Treaty Indonesia Belanda dibuat dan ditandatangani pada 29 Januari 2002 dan mulai efektif sejak 01 Januari 2004. Dalam Tax Treaty tersebut terdapat 32 pasal dan dibuat dalam 3 naskah, masing-masing berbahasa Inggris, bahasa Indonesia dan bahasa Belanda. Tax Treaty Indonesia Belanda memiliki ketentuan-ketentuan yang sama dengan Tax Treaty pada umumnya. Ketentuan yang paling utama adalah mengenai ruang lingkup dalam Tax Treaty yang mencakup jenis-jenis pajak yang diatur, subjek pajak yang dapat memanfaatkan Tax Treaty, dan negara yang terlibat dalam perjanjian tersebut. Selain itu terdapat juga ketentuan yang mengatur tentang 56

definisi dari istilah yang ada dalam Tax Treaty, ketentuan mengenai hak pemajakan oleh suatu negara atas suatu penghasilan yang diperoleh dari negaranya, ketentuan mengenai fasilitas keringanan dan pencegahan pengenaan pajak berganda serta yang terakhir adalah ketentuan saat dimulai dan saat berakhirnya Tax Treaty. Penerapan Tax Treaty Indonesia Belanda tidak dilakukan secara langsung melainkan secara bertahap. Ada 5 tahap dalam penerapan Tax Treaty Indonesia Belanda. Gb. 1 Tahapan Penerapan Tax Treaty Indonesia Belanda Source: (2010:39) Konsep dan Aplikasi Perpajakan Internasional 57

Tahap pertama adalah untuk mengetahui subjek pajak dan objek pajak dalam Tax Treaty Indonesia Belanda. Subjek Pajak berdasarkan Pasal 1 Tax Treaty Indonesia Belanda berbunyi Persetujuan ini berlaku terhadap orang dan badan yang menjadi penduduk salah satu atau kedua negara. Yang dimaksud dengan orang adalah orang pribadi, sedangkan badan adalah badan hukum atau suatu entitas yang diperlakukan sebagai badan hukum dalam tujuan perpajakan. Hal lain yang penting yakni penduduk. Konsep penduduk sangat penting dalam Tax Treaty karena berguna untuk menentukan subjek pajak yang berhak atas manfaat yang diberikan Tax Treaty dan untuk menghindari pengenaan pajak berganda yang diakibatkan oleh pengenaan pajak dari negara domisili dan negara sumber. Tahap kedua berkaitan dengan definisi istilah. Istilah-istilah yang ada dalam Tax Treaty Indonesia Belanda terdapat pada pasal 3 (1). Terdapat juga istilah yang tidak dijelaskan dala pasal tersebut tetapi dijelaskan dan diatur dalam pasal-pasal lainnya seperti penduduk salah satu negara yang diatur dala pasal 4(1), bentuk usaha tetap diatur dalam pasal 5(1), harta tidak bergerak) pasal 6(2), istilah dividen, bunga dan royalti yang masing-masing diatur dalam pasal 10(5), pasal 11(6) dan pasal 12(3). Untuk istilah-istilah yang tidak diatur dalam pasal 3(1) maupun dalam pasal-pasal lainnya maka intrepretasinya diatur dalam pasal 3(2) Tax Treaty Indonesia Belanda. Tahap ketiga mengatur tentang pembagian hak pemajakan. Tax Treaty Indonesia Belanda menggolongkan penghasilan berdasarkan jenisnya dan kemudian menentukan hak pemajakannya. Hak pemajakan diberikan secara penuh kepada salah satu negara, Indonesia atau Belanda. Pada umumnya hak pemajakan 58

diberikan kepada negara domisili. Penggolongan penghasilan ini terdiri dari 3 jenis, yaitu active income, passive income dan other income. Yang merupakan bagian dari active income adalah penghasilan yang diperoleh dari usaha dan pekerjaan. Kategori untuk passive income adalah penghasilan dari harta tidak bergerak, penghasilan dari dividen, bunga dan royalti, capital gain dan pensiun. Sedangkan untuk other income adalah jenis penghasilan yang tidak diatur dalam active income dan passive income. Dalam tahap ketiga dibagi antara shall be taxable only dan maybe taxed. Istilah ini digunakan untuk membagi hak pemajakan antara Indonesia dan Belanda dalam Tax Treaty. Istilah shall be taxable only digunakan untuk menyatakan hak pemajakan atas suatu penghasilan diberikan oleh negara domisili. Dan maybe taxed digunakan untuk menyatakan bahwa pemajakan atas suatu penghasilan dibagi kepada Indonesia dan Belanda. Jadi kedua negara berhak atas pemajakan dari suatu penghasilan tersebut. Dan untuk menghindari pengenaan pajak berganda, negara domisili diwajibkan untuk memberikan keringanan yang berupa mekanisme kredit pajak. Tahap keempat dilakukan hanya untuk menghilankan pengenaan pajak berganda dalam istilah maybe taxed dengan menggunakan mekanisme kredit pajak. Tahap kelima digunakan hanya apabila dalam penerapan tahap pertama sampai tahap keempat masih menimbulkan persengketaan. Tahap terakhir ini diatur dalam pasal 27 Tax Treaty Indonesia Belanda mengenai Tata Cara Persetujuan Bersama. 59

Dapat disimpulkan secara keseluruhan bahwa Tax Treaty Indonesia Belanda membahas penerapan tarif active income, passive income dan other income. Tetapi pada penulisan ini, penulis hanya membahas mengenai penerapan tarif atas passive income khususnya dividen, bunga dan royalti yang diterima oleh beneficial owner. Secara umum penjelasan mudah mengenai passive income adalah suatu pendapatan yang diperoleh tanpa terlibat secara langsung dalam usaha untuk mendapatkan penghasilan tersebut. Dividen adalah suatu penghasilan yang timbul karena ekuitas. Dan bunga adalah suatu penghasilan yang timbul karena hutang, sedangkan royalti adalah suatu penghasilan yang timbul dari hak atas penggunaan harta tidak berwujud. 4.2. Dividen, Bunga dan Royalti yang diterima Beneficial Owner dalam Tax Treaty Indonesia - Belanda Passive income berupa dividen menurut perpajakan Indonesia adalah sebesar 10% dan bersifat final untuk wajib pajak orang pribadi. Untuk dividen yang diterima oleh badan akan dikenakan tarif 15% untuk kepemilikan saham kurang dari 25% dan tidak dikenakan pajak untuk kepemilikan saham lebih dari sama dengan 25%. Sedangkan menurut perpajakan Belanda, dividen yang diterima akan dikenakan tarif 15% dan khusus untuk penerima yang bukan penduduk, tarif tersebut bersifat final. 60

Negara Indonesia Belanda OP 10% final Badan < 25% 15% Badan 25% free tax Penduduk 15% Non Penduduk 15% final Gb. 2 ( Source: Undang-Undang PPh dan www.government.nl ) Jenis passive income yang selanjutnya adalah bunga. Dari segi perpajakan Indonesia, pendapatan berupa bunga dikenakan tarif sebesar 15%. Sedangkan dalam perpajakan Belanda, pendapatan bunga ini akan dikenakan tarif yang lebih besar yakni 25%. Untuk jenis passive income yang terakhir yang dibahas dalam penulisam ini adalah royalti. Tarif yang dikenakan untuk royalti dalam perpajakan indonesia adalah 15%. Untuk pendapatan serupa, perpajakan Belanda mengenakan tarif pajak yang lebih rendah, yaitu 5%. Dalam Tax Treaty Indonesia Belanda mengatur tentang perlakuan terhadap passive income yang diterima oleh beneficial owner, yang dalam bahasa Indonesia berarti penerima manfaat dan voordeelgerechtigd eigenaar dalam bahasa Belanda. Pengertian secara umum dari beneficial owner adalah pemilik yang sebenarnya dari penghasilan yang berupa dividen, bunga dan royalti baik perorangan maupun wajib pajak badan, yang berhak sepenuhnya untuk menikmati secra langsung manfaat penghasilan-penghasilan tersebut. Menurut Barry Larking, The term beneficial owner is used in the domestic law of a limited number of countries whose legal systems are based on 61

common law. Yang menjadi beneficial owner bisa berupa orang pribadi atau badan. Dalam hal beneficial owner adalah orang pribadi, yang menjadi negara domisilinya adalah negara tempat orang pribadi tersebut bertempat tinggal sedangkan apabila beneficial owner adalah badan maka negara domisilinya adalah negara tempat pemilik 50% atau lebih pemegang saham berkedudukan. Berikut adalah contoh untuk menentukan beneficial owner : Negara Kepemilikan Saham atas PT. X (Indonesia) Malaysia 20% Singapura 30% Belanda 50% Yang menjadi beneficial owner adalah Belanda. Gb. 3 Negara Kepemilikan Saham atas Dutch Company (Belanda) Malaysia 30% Singapura 10% Indonesia 55% Australia 5% Yang menjadi beneficial owner adalah Indonesia. Gb. 4 Dalam Undang-Undang PPh No. 36 Tahun 2008 memberikan definisi yang berkaitan dengan beneficial owner dalam pasal 26 ayat 1a Negara domisili dari wajib pajak luar negeri selain yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah Negara tempat tinggal atau tempat kedudukan wajib pajak 62

luar negeri yang sebenarnya menerima manfaat dari penghasilan tersebut (beneficial owner). Definisi itu sendiri tidak memberikan keterangan jelas menyangkut istilah beneficial owner. Interpretasi terhadap beneficial owner ini berupa international tax language sehingga tidak merujuk pada Undang-Undang domestik dan ketentuan dalam pasal 26 ayat 1a Undang-Undang PPh tidak dapat dilaksanakan dalam Tax Treaty. Dengan kata lain, kebijakan yang menyangkut beneficial owner dalam Tax Treaty ini harus dengan mengadopsi kebijakan berupa penerapan prinsip limitation of benefits. Secara sudut pandang internasional ada beberapa konsep mengenai beneficial owner. Dalam OECD commentaries, beneficial owner digunakan untuk mencegah terjadinya penghindaran pajak atas penghasilan berupa dividen, bunga dan royalti melalui penyalahgunaan perjanjian penghindaran pajak berganda. Jenis penyalahgunaan perjanian penghindaran pajak berganda ini dapat berupa pendirian suatu perusahaan di negara tertentu untuk mendapat fasilitas penurunan tarif pajak yang diatur dalam Tax Treaty antara negara yang membayarkan penghasilan dengan negara penerima penghasilan atau lebih dikenal dengan istilah Tax Haven Country. Untuk negara-negara Tax Haven ini memberikan penerapan tarif pajak yang rendah atau bahkan tidak mengenakan pajak sama sekali dan hal inilah yang merupakan cikal bakal terjadinya treaty shopping. Segi positifnya adalah beneficial owner dibuat untuk menghindari tax haven. Dan segi negatifnya, beneficial owner dapat dimanfaatkan untuk treaty shopping. Jadi treaty shopping tidak hanya dapat terjadi karena tax haven, akan tetapi juga karena beneficial owner. Menurut Darussalam, treaty shopping adalah 63

suatu skema yang dilakukan untuk mendapatkan fasilitas, misalnya penurunan tarif pemotongan pajak (withholding taxes) yang disediakan oleh suatu perjanjian penghindaran pajak berganda, oleh subjek pajak yang sebenarnya tidak berhak untuk mendapatkan fasilitas tersebut. Jadi dapat disimpulkan bahwa Treaty shopping adalah cara untuk mendapatkan manfaat suatu Tax Treaty oleh pihak yang seharusnya tidak mendapat manfaat. Berdasarkan ketentuan dari Undang-Undang PPh pasal 26 dapat dijelaskan bahwa dividen yang dibayarkan oleh Indonesia kepada wajib pajak luar negeri akan dikenakan tarif sebesar 20%. Tarif ini berlaku umum tanpa memperhatikan berapa besar penyertaan saham oleh penerima dividen di perusahaan Indonesia. Dalam Tax Treaty Indonesia Belanda, pengertian dividen adalah penghasilan dari kepemilikan saham, termasuk saham joissance atau hak joissance, saham pendiri, atau hak-hak atas pembagian laba lainnya, serta penghasilan dari surat-surat tagihan piutang yang berhak atas pembagian laba dan penghasilan dari hak-hak atas perusahaan yang dapat disamakan dengan penghasilan dari saham. Secara jelas bahwa dividen merupakan penghasilan dari kontribusi modal bukan dari kontribusi pinjaman. Hak pemajakan untuk dividen dibagi antara Indonesia dan Belanda. Hal ini berdasarkan pasal 10 (2) Tax Treaty Indonesia Belanda However, such dividends may also be taxed in the Contracting State of which the company paying the dividends is a residents and according to the laws of the State, but if the beneficial owner of the dividends is a resident state of the other Contracting State, tha tax so charge shall no exceed.... 64

Alasan yang melatarbelakangi pemberian hak pemajakan atas penghasilan dividen kepada negara domisili karena modal dari penghasilan dividen tersebut berasal dari negara domisili dan karena negara sumber juga ikut berkontribusi terhadap penghasilan tersebut sehingga negara sumber juga memiliki hak pemajakan atas penghasilan tersebut. Dan tarif yang ditetapkan untuk penghasilan dividen adalah maksimal 10% apabila yang menerima penghasilan tersebut adalah beneficial owner. Sebagai contoh suatu badan yang bukan bentuk usaha tetap dan merupakan wajib pajak luar negeri (Belanda) menerima penghasilan dividen sebesar Rp 100.000.000,- atas penanaman saham sebesar 60% pada suatu badan yang merupakan subjek pajak dalam negeri (Indonesia). Berdasarkan Undang- Undang PPh pasal 26 diketahui bahwa atas dividen tersebut dikenakan tarif sebesar 20%. Maka suatu badan yang subjek pajak badan dalam negeri (Indonesia) wajib memotong pajak penghasilan sebesar 20% dari total bruto dividen yang diperoleh sebesar Rp 100.000.000,- 20% = Rp 20.000.000,-. Indonesia dan Belanda terikat dalam suatu perjanjian bilateral yakni Tax Treaty sehingga perlakuan pemajakan atas dividen tidak seperti perhitungan diatas. Dalam Tax Treaty Indonesia Belanda, hak pemajakan adalah negara domisili dan negara sumber. Pada contoh diatas, diketahui bahwa suatu badan yang berdomisili di Belanda memiliki kepemilikan saham sebesar 60% atas suatu badan yang merupakan subjek pajak Indonesia. Berdasarkan keterangan diatas maka suatu badan yang berdomisili di Belanda tersebut merupakan beneficial owner. Sehingga perhitungan pengenaan pajak atas penghasilan dividen sebesar Rp 100.000.000,- adalah sebagai berikut : 65

Negara domisili (Belanda) Rp 100.000.000,- 0% = Rp 0,- Negara sumber (Indonesia) Rp 100.000.000,- 10% = Rp 10.000.000,- Pajak yang di potong oleh Indonesia sebagai negara sumber atas dividen yang diperoleh oleh suatu badan yang berdomisili di Belanda adalah sebesar Rp 10.000.000,-. Bunga berdasarkan pasal 11(6) Tax Treaty Indonesia Belanda adalah penghasilan dari semua jenis tagihan piutang, baik yang dijamin dengan hipotik maupun tidak, dan baik yang mempunyai hak atas pembagian laba maupun tidak, dan khususnya, penghasilan dari sekuritas yang diterbitkan oleh pemerintah dan penghasilan dan surat-surat obligasi atau surat-surat utang, termasuk premi dan hadiah yang melekat pada sekuritas, boligasi, atau surat utang tersebut. Untuk menghindari konflik yang mungkin akan terjadi antara dividen dan bunga, maka setiap jenis penghasilan hanya dapat masuk kedalam salah satu pasal pembagian hak pemajakan, sehingga penghasilan bunga yang ada pada pasal 11 Tax Treaty Indonesia Belanda tidak termasuk kedalam jenis penghasilan yang ada pada pasl 10 Tax Treaty Indonesia Belanda. Keistimewaan dari pasal 11 mengenai bunga adalah pembahasan mengenai arise in. Dalam pasal 11(8) Tax Treaty Indonesia Belanda membahas tentang hal tersebut. arise in mengatur tentang negara yang menjadi negara sumber dari suatu penghasilan bunga, Interest shall be deemed to arise in one of the two States when the payer is that State itself.... Syarat suatu negara dikatakan sebagai negara sumber penghasilan bunga adalah apabila payer adalah subjek pajak dalam negeri dari negara sumber tersebut. 66

Hak pemajakan atas penghasilan bunga adalah Indonesia dan Belanda. Hal ini tercermin dari kata maybe taxed yang ada pada pasal 11(1) Tax Treaty Indonesia Belanda. Sama seperti dividen, hak pemajakan negara sumber atas penghasilan bunga dibatasi dan tarif yang berlaku adalah maksimal 10% apabila yang menerima penghasilan tersebut adalah beneficial owner. Sebagai contoh orang pribadi yang merupakan beneficial owner dan berdomisili di Belanda menerima penghasilan bunga dari suatu perusahaan yang berkedudukan dan berdomisili di Indonesia atas suatu jenis piutang sebesar Rp 500.000.000,-. Berdasarkan Undang-Undang PPh pasal 26 maka atas penghasilan bunga ini akan dipotong PPh sebesar Rp 500.000.000,- 20% = Rp 100.000.000,-. Akan tetapi karena Indonesia dan Belanda terikat Tax Treaty, pemajakan atas penghasilan bunga tersebut akan tunduk pada Tax Treaty Indonesia Belanda. Dan perhitungan atas penghasilan bunga berdasarkan Tax Treaty Indonesia Belanda adalah sebagai berikut : Negara domisili (Belanda) Rp 500.000.000,- 0% = Rp 0,- Negara sumber (Indonesia) Rp 500.000.000,- 10% = Rp 50.000.000,- Pajak yang dipotong oleh Indonesia atas penghasilan bunga yang diterima oleh orang pribadi yang berdomisili di Belanda adalah sebesar Rp 50.000.000,-. Royalti diperoleh dari penggunaan atas aset tidak berwujud. Pemakai royalti hanya memiliki hak untuk menggunakan hak tersebut tetapi kepemilikan dari harta tersebut tidak beralih kepada penggunanya. Berdasarkan pasal 12(3) Tax Treaty Indonesia Belanda, royalti adalah semua bentuk pembayaran yang diterima sebagai imbalan atas penggunaan, atau hak untuk menggunakan hak cipta kesusasteraan, kesenian, atau karya ilmiah termasuk film sinematografi dan film 67

atau pita untuk siaran radio atau televisi paten, merek dagang, desain atau model, rencana, rumus atau proses yang dirahasiakan, atau untuk penggunaan, atau hak menggunakan, perlengkapan industri, perdagangan, atau ilmu pengetahuan, atau untuk informasi mengenai pengalaman dibidang industri, perdagangan, atau ilmu pengetahuan. Pengertian royalti dikecualikan dari pembayaran untuk jasa teknik karena pihak yang memberikan jasa teknik terlibat langsung dalam pemberian jasa tersebut. Sedangkan dalam penghasilan royalti tidak terlibat langsung dalam aplikasi atas royalti. Oleh sebab itu, jasa teknik dikecualikan dari royalti dan masuk kedalam laba usaha. Model Indonesia juga memberikan definisi untuk royalti dalam cakupan lebih luas yaitu meliputi penggunaan harta tak berwujud dan jasa yang melekat atau yang menjadi pelengkapnya. Dan pengertian royalti berdasarkan Undang- Undang PPh meliputi penggunaan atau hak menggunakan spektrum radio komunikasi dan hal yang berkaitan dengan hak kekayaan intelektual. Pengelompokan royalti menurut Vogel, yaitu: 1. Harta tak berwujud yang memperoleh proteksi, misalnya copyrights, hak paten dan merek dagang, 2. Hak yang sifatnya tidak ekslusif, misalnya desain, model dan rencana, 3. Pengetahuan yang sifatnya masih rahasia, 4. Pengetahuan yang bersifat know-how yang berupa informasi yang tidak memiliki proteksi, dan 5. Harta berwujud seperti peralatan industri, komersial dan ilmiah. 68

Know-how adalah ilmu yang digunakan dalam industri informasi. Dalam Straight-Through Processing: Difficulties in Applying the Royalties Article of the OECD Model (2010), Thelosen memberikan pengertian know-how adalah setiap pembayaran yang diterima sebagai imbalan atas informasi yang berkenaan dengan pengalaman dibidang industri, perdagangan, atau ilmu pengetahuan. Berbeda dengan hak pemajakan yang diterapkan OECD Model untuk penghasilan atas royalti dalam Tax Treaty pada umumnya, dalam Tax Treaty Indonesia Belanda pasal 12(1) terdapat kata maybe taxed, hal ini berarti Indonesia dan Belanda memiliki hak pemajakan atas royalti. Akan tetapi, hak pemajakan lebih diutamakan kepada negara domisili, sedangkan negara sumber diberikan pembatasan dalam hal pemajakan. Tarif yang berlaku adalah maksimal sebesar 10% apabila penerima royalti merupakan beneficial owner. Seperti contoh yang terdapat dalam penjelasan pasal 26 Undang-Undang PPh,..., misalnya suatu badan subjek pajak dalam negeri membayarkan royalti sebesar Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah) kepada Wajib Pajak luar negeri, subjek pajak dalam negeri tersebut berkewajiban untuk memotong Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen) dari Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Berdasarkan contoh diatas, perhitungan pemotongan pajak atas royalti tersebut adalah Rp 100.000.000,- 20% = Rp 20.000.000,-. Untuk kasus seperti diatas, apabila wajib pajak dalam negeri tersebut adalah orang pribadi yang berdomisili di Belanda dan menerima royalti sebesar Rp 100.000.000,- maka perhitungan pemajakan atas penghasilan tersebut tidak seperti contoh diatas melainkan berdasarkan Tax Treaty Indonesia Belanda. Atas hal tersebut, perhitungannya adalah sebagai berikut : 69

Negara domisili (Belanda) Rp 100.000.000,- 0% = Rp 0,- Negara sumber (Indonesia) Rp 100.000.000,- 10% = Rp 10.000.000,- Pajak yang di potong oleh Indonesia sebagai negara sumber atas royalti yang diperoleh oleh orang pribadi yang berdomisili di Belanda adalah sebesar Rp 10.000.000,-. Berdasarkan Undang-Undang PPh pasal 26 yang membahas tentang perlakuan atas penghasilan dividen, bunga dan royalti yang diterima oleh wajib pajak luar negeri. Atas penghasilan tersebut akan dikenakan tarif sebesar 20%. Akan tetapi apabila negara Indonesia terikat perjanjian Tax Treaty dengan negara mitra tempat wajib pajak luar negeri berdomisili maka perlakuan pemajakan atas penghasilan berupa dividen, bunga dan royalti yang diterimanya akan tunduk kepada Tax Treaty. Apabila suatu badan atau orang pribadi yang berdomisili di Belanda menerima penghasilan atas dividen, bunga maupun royalti yang dibayarkan oleh orang pribadi maupun badan yang merupakan subjek pajak dalam negeri, perlakuan tentang pemajakan atas penghasilan tersebut diatur dalam Tax Treaty dan pelaksanaannya juga akan tunduk pada Tax Treaty Indonesia Belanda. Hal sebaliknya juga demikian, untuk penghasilan dividen, bunga dan royalti yang berasal dari Belanda dan diterima oleh subjek pajak Indonesia, hal pemajakan dan pelaksanaan dari pemajakan tersebut akan tunduk pada Tax Treaty Indonesia Belanda. Hak pemajakan atas passive income yang berupa dividen, bunga dan royalti yang diatur dalam Tax Treaty Indonesia Belanda adalah negara sumber dengan penekanan pada kata maybe taxed. Hal ini menjelaskan bahwa negara 70

domisili memiliki hak pemajakan atas penghasilan tersebut dan negara sumber juga memiliki hak pemajakan yang dibatasi maksimal 10% sesuai dengan... tidak akan melebihi 10% yang terdapat dalam Tax Treaty Indonesia Belanda dalam ayat-ayat yang ada pada pasal dividen, bunga dan royalti. Negara domisili merupakan negara tempat suatu badan atau orang pribadi bertempat tinggal atau bertempat kedudukan. Istilah untuk negara domisili adalah resident state. Sedangkan istilah yang digunakan untuk mengungkapkan negara sumber dalam Tax Treaty Indonesia Belanda adalah other state. Negara sumber adalah negara yang merupakan sumber penghasilan. Secara singkat, apabila penghasilan berasal dari Indonesia, maka Indonesia adalah negara sumber dan sebaliknya apabila penghasilan bersumber dari Belanda, maka yang menjadi negara sumber adalah Belanda. Negara Indonesia Belanda Tarif UU Domestik 20% 15% Tarif Tax Treaty 10% Penghasilan Dividen (penyertaan Rp100.000.000 60%) PPh yang dipotong (UU Domestik) Rp20.000.000 Rp15.000.000 PPh yang dipotong (Tax Treaty) Rp10.000.000 Gb. 5 71

Berdasarkan gambar diatas, dapat dijelaskan bahwa apabila Indonesia dan Belanda tidak terikat dalam perjanjian Tax Treaty maka atas penghasilan dividen sebesar Rp 100.000.000,- yang diterima oleh Dutch Company atas penyertaan saham sebanyak 60% pada PT. Indonesia akan dikenakan tarif sebesar 20% dan dipotong PPh sebesar Rp 20.000.000,-. Sedangkan apabila kasusnya adalah PT. Indonesia yang menerima penghasilan dividen tersebut dari Dutch Company dengan penyertaan saham yang sama dan penghasilan yang sama juga, maka atas penghasilan tersebut Belanda akan melakukan pemotongan pajak sebesar Rp 15.000.000,- selain itu PT. Indonesia juga akan mendapatkan pengurangan pajak berdasarkan metode kredit pajak dengan pembatasan. Apabila dicontohkan PT. Indonesia memiliki penyertaan saham sebanyak 60% pada Dutch Company dan menerima dividen sebesar Rp 100.000.000,-. Dalam hal ini PT. Indonesia adalah beneficial owner karena berdomisili dan berkedudukan di Indonesia serta memiliki penyertaan saham lebih dari 50%. Dari penjelasan diatas, PT. Indonesia akan dikenakan pajak sebesar 10% berdasarkan Tax Treaty Indonesia Belanda. Demikian juga apabila Dutch Company yang menerima penghasilan dividen sebesar Rp 100.000.000,- dengan penyertaan 60% pada PT. Indonesia maka pemajakan dilakukan menurut Tax Treaty dan pengenaan pajak atas dividen tersebut adalah 10%. Berdasarkan penjelasan diatas, pasal 10 mengenai dividen yang diatur dalam Tax Treaty Indonesia Belanda membantu dalam penghindaraan pengenaan pajak berganda. Selain itu juga, tarif yang terdapat dalam Tax Treaty 72

Indonesia Belanda untuk dividen lebih rendah dari pada pengenaan tarif yang diberlakukan oleh masing- masing negara dan hal ini menguntungkan penerima dividen karena pajak yang dipotong lebih rendah dibandingkan dengan pemotongan menurut Undang-Undang domestik dan menguntungkan negara sumber karena hal ini memacu para pemegang saham dari negara mitra untuk terus menanamkan modal di negara sumber. Negara Indonesia Tarif UU Domestik 20% Tarif Tax Treaty 10% Penghasilan Bunga Rp3.000.000.000 Belanda 0% PPh yang dipotong (UU Domestik) Rp600.000.000 Rp 0 PPh yang dipotong (Tax Treaty) Rp300.000.000 Gb. 6 Gambar diatas merupakan ilustrasi penghasilan bunga yang terjadi lintas negara. Contoh yang pertama adalah orang pribadi yang berdomisili di Indonesia menerima penghasilan bunga atas suatu jenis piutang dari Dutch Company senilai Rp 3.000.000.000,-. Dalam hal ini yang menjadi negara sumber adalah Belanda dan Indonesia merupakan negara domisili. Apabila Indonesia Belanda tidak 73

terikat dalam Tax Treaty maka atas penghasilan bunga yang diterima oleh orang pribadi (Indonesia) tersebut akan dipotong pajak sebesar Rp 0,- oleh pemerintah Belanda. Sebagai contoh yang kedua adalah orang pribadi yang berdomisili di Belanda dan menerima jumlah penghasilan bunga yang sama dengan contoh pertama dari PT. Indonesia. Untuk contoh kedua ini yang menjadi negara sumber adalah Indonesia dan Belanda yang menjadi negara domisili. Apabila Indonesia dan Belanda tidak terikat dalam Tax Treaty maka berdasarkan Undang-Undang PPh pasal 26, atas penghasilan bunga senilai Rp 3.000.000.000,- yang diterima oleh orang pribadi (Belanda) akan dikenakan tarif sebesar 20% dan dipotong pajak Rp 600.000.000,- oleh Indonesia. Karena Indonesia dan Belanda terikat dalam Tax Treaty Indonesia Belanda, maka atas penerimaan bunga atas suatu jenis piutang sebesar Rp 3.000.000.000,- akan dikenakan pemotongan pajak, yakni Rp 300.000.000,-. Hal ini berlaku sama baik Indonesia sebagai domisili maupun Belanda yang menjadi negara domisili. Apabila orang pribadi yang berdomisili di Indonesia memperoleh Rp 3.000.000.000,- dari penghasilan bunga, maka Belanda akan mengenakan pemotongan pajak sebesar Rp 300.000.000,- atas penghasilan tersebut berdasarkan Tax Treaty Indonesia Belanda. Sebaliknya apabila orang pribadi yang berdomisili di Belanda memperoleh penghasilan bunga sebesar Rp 3.000.000.000,-, atas penghasilan tersebut akan dikenakan pemotongan pajak oleh negara sumber yakni Indonesia sebesar Rp 300.000.000,-. Berdasarkan gambar dan contoh diatas diketahui bahwa tarif yang diterapkan dalam pasal 11 mengenai bunga dalam Tax Treaty Indonesia Belanda 74

lebih tinggi daripada tarif yang diterapkan oleh Undang-Undang domestik Belanda dan lebih rendah daru Undang-Undang domestik Indonesia yakni Undang-Undang PPh pasal 26 untuk jenis penghasilan yang sama. Bebeda dengan penghasilan dividen, dalam penghasilan bunga ini memberi keuntungan kepada negara Indonesia dalam hal wajib pajak Indonesia memperoleh penghasilan bunga. Dalam hal keuntungan bagi negara Indonesia sebagai negara domisili adalah orang pribadi yang berasal dari Indonesia akan dikenakan pemotongan pajak yang lebih rendah untuk penghasilan bunga yang diterimanya dibandingkan dengan apabila wajib pajak Belanda yang memperoleh penghasilan bunga tersebut. Keuntungan bagi negara sumber adalah dengan adanya Tax Treaty Indonesia Belanda, disini yang diposisikan sebagai negara sumber adalah Belanda adalah Tax Treaty mengenakan tarif 10% atas penghasilan bunga tersebut sehingga apabila wajib pajak Indonesia memberikan pinjaman dan memperoleh penghasilan bunga maka atas penghasilan tersebut akan dipotong pajak sebesar Rp 300.000.000,-. 75

Negara Indonesia Belanda Tarif UU Domestik 20% Tarif Tax Treaty 10% 0 % Penghasilan Royalti Rp1.500.000.000 PPh yang dipotong (UU Domestik) Rp300.000.000 Rp 0 PPh yang dipotong (Tax Rp150.000.000 Treaty) Gb. 7 Tarif yang dikenakan untuk penghasilan berupa royalti menurut Undang- Undang PPh adalah sebesar 20% dan sebesar 5% menurut Undang-Undang domestik Belanda. Dicontohkan ada transaksi pemberian informasi know-how antara Indonesia dan Belanda dengan nilai penghasilan royalti sebesar Rp. 1.500.000.000,-. Berdasarkan Tax Treaty atas royalti yang berupa know-how tersebut dikenakan tarif sebesar 10%. Apabila Indonesia yang menjadi negara penerima royalti, maka atas penghasilan tersebut akan dikenakan pajak Rp 150.000.000,- oleh pemerintah Belanda sedangkan jika Belanda yang menjadi negara penerima royalti maka penghasilan tersebut akan dipotong pajak sebesar Rp 150.000.000,- oleh Indonesia. Apabila Indonesia dan Belanda tidak terikat dalam Tax Treaty, penghasilan royalti ini akan dikenakan pemotongan pajak yang tunduk pada 76

Undang-Undang domestik masing-masing negara. Indonesia akan mengenakan pemotongan pajak Rp 300.000.000,- jika royalti tersebut diterima oleh Belanda dan Belanda akan mengenakan Rp 0,- jika royalti tersebut diterima oleh Indonesia. Pada passive income yang berupa dividen, tarif yang ditetapkan oleh Undang-Undang domestik kedua negara lebih tinggi dibandingkan dengan tarif yang diatur dalam Tax Treaty Indonesia Belanda. Tetapi pada passive income yang berupa bunga dan royalti, tarif yang diterapkan oleh pemerintah Belanda lebih rendah daripada yang ditetapkan dalam Tax Treaty. Dengan penerapan tarif Tax Treaty yang lebih tinggi daripada tarif yang diatur dalam Undang-Undang domestik, menyebabkan wajib pajak Indonesia dirugikan karena apabila penghasilan bunga dan royalti yang diterima oleh wajib pajak Indonesia sebesar Rp 1.500.000.000,- akan dikenakan pajak sebesar Rp 150.000.000,- sedangkan jika penerapan pajak menurut Undang-Undang domestik, maka atas penghasilan tersebut dipotong pajak lebih kecil yaitu Rp 0,-. Hal ini tidak bisa dilihat hanya dari satu sisi saja. Wajib pajak Indonesia lebih diuntungkan dengan Undang-Undang domestik, maka wajib pajak Belanda akan merasa dirugikan apabila menggunakan Undang-Undang domestik karena atas royalti sebesar Rp 1.500.000.000,- yang diterima oleh Belanda akan dipotong pajak sebesar Rp 300.000.000,- oleh pemerintah Indonesia. Jika Indonesia lebih menguntungkan tanpa Tax Treaty, sebaliknya Belanda lebih untung jika menggunakan Tax Treaty. 77

Negara Indonesia Belanda Tax Treaty Indonesia - Belanda Dividen 20% 15% Bunga 20% 0 % Maks 10% Royalti 20% 0 % Gb. 8 Gambar diatas merupakan tarif-tarif yang ditetapkan oleh Undang- Undang domestik dan Tax Treaty Indonesia Belanda. Undang-Undang PPh pasal 26 menerapkan tarif yang sama rata yakni 20% untuk setiap penghasilan yang berupa dividen, bunga dan royalti. Demikian juga dengan Tax Treaty Indonesia Belanda menerapkan tarif yang sama besar untuk masing-masing jenis passive income tersebut. Sedangkan Undang-Undang domestik Belanda menerapkan tarif yang variatif, yakni 15% untuk penghasilan dividen, 0 % untuk penghasilan bunga dan 0 % untuk penghasilan royalti. Secara jelas dapat dilihat bahwa penghasilan atas dividen dan bunga yang ditetapkan oleh Tax Treaty Indonesia Belanda lebih rendah dibandingkan dengan tarif yang diatur dalam Undang-Undang domestik. Sedangkan untuk penghasilan bunga dan royalti, tarif Undang- Undang domestik Belanda lebih rendah dibandingan dengan tarif Tax Treaty dan Undang-Undang PPh pasal 26. 78

Penghasilan Jumlah Tarif PPh 26 Indonesia Dividen Bunga Royalti Rp1.000.000.000 20% Rp 200.000.000 Gb. 9 Penghasilan Dividen Bunga Royalti Jumlah Rp1.000.000.000 Gb. 10 Tarif UU Domestik Belanda 15% Rp 150.000.000 0% Rp - 0% Rp - Penghasilan Jumlah Tarif Tax Treaty Tax Treaty Dividen Bunga Royalti Rp1.000.000.000 10% Rp 100.000.000 Gb. 11 Pada gambar diatas memberikan contoh dengan jumlah penghasilan yang sama untuk masing-masing passive income yang berupa dividen, bunga dan royalti yakni Rp 1.000.000.000,- dan besarnya pemotongan pajak yang ditentukan oleh Undang-Undang domestik dan Tax Treaty. Dapat dilihat secara jelas bahwa untuk penghasilan bunga dan royalti, Undang-Undang domestik Belanda menerapkan tarif dan pemotongan pajak yang lebih kecil yaitu sebesar Rp 0,- dibandingkan dengan Undang-Undang PPh 26 yang mengenakan pemotongan Rp 200.000.000,- dan Tax Treaty mengenakan sebesar Rp 100.000.000,-. 79

Untuk passive income yang berupa dividen, pengenaan pajak yang diatur dalam Tax Treaty lebih rendah dibandingkan dengan yang diatur dalam Undang- Undang domestik kedua negara. apabila kedua negara tidak terikat dalam Tax Treaty, maka untuk dividen yang diterima oleh beneficial owner Belanda akan dipotong PPh pasal 26 sebesar Rp 200.000.000,-. Hal ini akan menyebabkan Belanda merasa dirugikan secara tidak langsung karena apabila Indonesia yang menerima dividen tersebut akan dikenakan pemotongan yang lebih rendah, yakni Rp 150.000.000,-. Apabila wajib pajak Indonesia memberi pinjaman dan hak atas penggunaan harta tidak berwujud kepada wajib pajak Belamda dan kemudian menerima penghasilan bunga dan royalti, maka atas penghasilan-penghasilan tersebuty masing-masing akan dipotong Rp 0,- dari pemerintah Belanda. Sedangkan apabila Belanda yang memberi pinjaman dan hak atas penggunaan harta tidak berwujud, atas penghasilan bunga dan royalti yang diterima oleh wajib pajak Belanda akan dipotong pajak Rp 200.000.000,- oleh Indonesia. Dapat dilihat secara jelas bahwa dari ketiga jenis passive income ini, wajib pajak Indonesia diuntungkan apabila tidak ada Tax Treaty dan sebaliknya Belanda merasa diuntungkan dengan adanya Tax Treaty. Dan syarat untuk dapat menikmati fasilitas Tax Treaty tersebut, masing-masing wajib pajak Indonesia dan Belanda harus dapat menunjukan Surat Keterangan Domisili atau Resident Certificate. Sehingga hal ini dapat menimbulkan pengelakan pajak yang dilakukan wajib pajak Indonesia untuk tidak menunjukan Surat Keterangan Domisili kepada pembayar pajak Belanda agar penghasilan bunga atau royalti yang diterimanya dikenakan pajak menurut Undang-Undang domisili Belanda, yakni tidak 80

mengenakan pajak atas kedua penghasilan tersebut, bunga dan royalti. Sedangkan bagi wajib pajak Belanda akan lebih baik untuk menunjukan Resident Certificate agar dapat menikmati fasilitas Tax Treaty yang tarifnya jauh lebih rendah daripada tarif Undang-Undang PPh Pasal 26. Dalam penerapannya, terdapat juga passive income yang berupa dividen, bunga dan royalti yang bukan diterima oleh beneficial owner. Dalam hal demikian maka perlakuan pemajakannya akan diatur seperti pada hukum domestik. Dicontohkan wajib pajak badan Belanda, Dutch Company mendirikan cabang di Indonesia. Kemudian cabang Dutch Company ini memiliki kepemilikan saham pada PT. X sebesar 60%. Berdasarkan contoh ini, Dutch Company bukanlah beneficial owner meskipun memiliki kepemilikan saham diatas 50% atas PT. X. Dutch Company menjadi beneficial owner dan pengaturannya berdasarkan Tax Treaty Indonesia Belanda adalah jika kantor pusat Dutch Company yang berada di Belanda yang memiliki kepemilikan saham pada PT.X sebesar 60%. Dalam kasus atas penyertaan saham sebesar 60% pada PT.X, dicontohkan cabang Dutch Company menerima penghasilan dividen sebesar Rp 100.000.000,- dan atas penghasilan dikenakan tarif pajak sesuai dengan Undang-Undang Penghasilan. Tarif yang dikenakan atas penghasilan dividen ini adalah sebesar 15% berdasarkan Undang-Undang PPh Pasal 23 karena Dutch Company yang merupakan cabang dari Dutch Company yang berkedudukan di Belanda memiliki perusahaan di Indonesia sehingga dimasukan ke dalam BUT berdasarkan tes lokasi dan perpajakannya dipersamakan dengan wajib pajak dalam negeri. Sehingga atas penghasilan dividen yang diterima oleh cabang Dutch Company akan dipotong pajak oleh Indonesia sebesar Rp 15.000.000,-. Sedangkan apabila dividen tersebut 81

diterima oleh orang pribadi maka akan dikenakan tarif pajak sebesar 10% dan bersifat final sehingga dipotong pajak di Indonesia sebesar Rp 10.000.000,-. Contoh kedua adalah apabila PT.X mendirikan cabang di negara Belanda dan memiliki kepemilikan saham atas Dutch Company sebesar 60%. Sama dengan contoh sebelumnya bahwa cabang PT.X diperlakukan sebagai BUT dan perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan penduduk Belanda sehingga atas penghasilan dividen yang diterima oleh cabang PT.X akan dikenakan tarif sebesar 15% dan dipotong pajak sebesar Rp 15.000.000,-. Kredit pajak PPh 24 yang diberikan atas penghasilan dividen yang sudah dipotong diluar negeri adalah sebesar Rp 15.000.000,- dengan perhitungan jumlah penghasilan yang diperoleh di negara sumber dikalikan dengan tarif pajak negara domisili dan itulah yang menjadi batas maksimum pajak yang boleh dikreditkan. Kedua contoh diatas memberikan gambaran atas penghasilan dividen yang diterima oleh BUT. Atas penghasilan dividen Rp 100.000.000,- yang diterima oleh wajib pajak Belanda akan dipotong sebesarrp 15.000.000,- untuk badan dan Rp 10.000.000,- untuk orang pribadi. Sedangkan penghasilan dividen yang diterima oleh wajib pajak Indonesia dipotong sebesar Rp 15.000.000,-. Dari uraian tersebut lebih menguntungkan apabila yang memiliki kepemilikan saham atas Dutch Company sebesar 60% adalah kantor pusat PT. X yang berada di Indonesia sehingga PT. X akan menjadi beneficial owner dan pajak yang dipotong akan lebih sedikit yakni Rp 10.000.000,-. Tidak hanya kepemilikan saham yang dimiliki oleh BUT saja yang pengaturan perpajakannya menurut Tax Treaty akan dikenakan tarif sesuai perpajakan hukum pajak domestik melainkan juga atas kepemilikan saham yang 82

kurang dari 50% juga pengenaan tarif perpajakannya berdasarkan hukum pajak domestik seperti yang diatur pada Tax Treaty. Dicontohkan kantor pusat Dutch Company yang berkedudukan di Belanda memiliki kepemilikan saham atas PT. X sebesar 40%. Dutch Company bukanlah beneficial owner tetapi pada penerapannya tetap akan berdasarkan Tax Treaty Indonesia Belanda karena interaksi ini terjadi antara negara Indonesia dan Belanda. Apabila atas kepemilikan saham tersebut, Dutch Company memiliki penghasilan dividen sebesar Rp 100.000.000,- maka atas penghasilan tersebut akan dikenakan tarif sebesar 20% berdasarkan Undang-Undang PPh 26 yang membahas mengenai wajib pajak luar negeri dan akan dipotong pajak senilai Rp 20.000.000,-. Sebaliknya apabila kantor pusat PT. X yang berkedudukan di Indonesia memiliki kepemilikan saham atas Dutch Company sebesar 40% dan memperoleh penghasilan dividen sebesar Rp 100.000.000,- maka atas penghasilan tersebut akan dipotong pajak oleh Belanda sebesar Rp 15.000.000,-. 83

Penghasilan dividen Rp 100.000.000,- Diterima WP Indonesia dan dipotong oleh Belanda BUT 15% Rp 15.000.000,- Non Beneficial Owner 15% Rp 15.000.000,- Diterima WP Belanda dan dipotong oleh Indonesia BUT OP 10% Rp 10.000.000,- BUT Badan 15% Rp 15.000.000,- Non Beneficial Owner 20% Rp 20.000.000,- Gb. 12 Baik PT. X maupun Dutch Company akan lebih menguntungkan apabila kepemilikan saham diatas 50% atas badan lain dilakukan oleh kantor pusat sehingga perlakuan perpajakan berdasarkan Tax Treaty akan mengacu pada terminologi beneficial owner. Sedangkan untuk kepemilikan saham sebesar 40% oleh Dutch Company akan lebih menguntungkan apabila kepemilikan saham itu dimiliki oleh cabang Dutch Company yang merupakan BUT di Indonesia sehingga tarif yang berlaku akan sama dengan tarif PPh 23. Untuk penghasilan atas bunga dan royalti yang diperoleh oleh non beneficial owner dan BUT tarif pemajakannya diatur dalam Tax Treaty Indonesia Belanda yakni berdasarkan peraturan hukum pajak domestik. Apabila wajib cabang PT. X merupakan pemberi pinjaman hutang tunggal pada Dutch Company dan memperoleh penghasilan bunga atas pinjaman tersebut senilai Rp 100.000.000,- maka atas penghasilan tersebut PT. X akan dipotong pajak sebesar 84

Rp 25.000.000,- sedangkan apabila sebaliknya yang merupakan pemberi pinjaman adalah cabang Dutch Company dan PT. X membayar penghasilan bunga atas pinjaman tersebut makan Dutch Company akan dipotong pajak sebesar Rp 15.000.000,-. Penghasilan Bunga Rp 100.000.000 Diterima oleh BUT (PT. X) dan dipotong oleh Belanda Diterima oleh BUT (Dutch Company) dan dipotong oleh Indonesia 25% Rp 25.000.000,- 15% Rp 15.000.000,- Gb. 13 Dari gambar diatas, akan lebih menguntungkan bagi PT. X dan Dutch Company apabila yang memberikan pinjaman adalah kantor pusatnya masingmasing karena tarif yang berlaku ada berdasarkan Tax Treaty Indonesia Belanda untuk penghasilan bunga yang diterima oleh beneficial owner dan pajak yang dipotong adalah sebesar maksimal 10%. Untuk contoh penghasilan royalti yang diterima oleh BUT Dutch Company untuk know-how yang diberikan kepada PT. X senilai Rp 100.000.000,- akan dipotong pajak sebesar Rp 15.000.000,-. Sedangkan apabila yang menerima penghasilan atas royalti yang berupa know-how adalah BUT PT. X maka atas penghasilan royalti tersebut akan dikenakan pajak sebesar Rp. 5.000.000,-. Dari uraian tersebut, akan lebih menguntungkan apabila yang memberikan know-how adalah kantor pusat Dutch Company yang berkedudukan di Belanda karena atas penghasilan royalti akan dikenakan pajak yang lebih kecil yakni senilai Rp 85

10.000.000,- sedangkan untuk PT. X akan lebih menguntungkan apabila knowhow diberikan oleh BUT PT. X karena tarif yang ditetapkan untuk BUT oleh Belanda lebih rendah 5% dari pada yang ditetapkan untuk beneficial owner pada Tax Treaty Indonesia Belanda. Tetapi kembali lagi pada tujuan semula, suatu Tax Treaty dibuat dengan tujuan untuk menghindari terjadinya pengenaan pajak berganda (double taxation). Tax Treaty seperti penengah yang bersifat netral. Tujuan dari Tax Treaty ini bukan untuk menguntungkan salah satu pihak dan merugikan pihak yang lainnya tetapi kedua negara saling terikat perjanjian bilateral agar tidak terjadi pemajakan berganda atas suatu penghasilan sehingga dapat merugikan tax payer dari salah satu negara. Dapat dikatakan bahwa secara keseluruhan penerapan Tax Treaty Indonesia Belanda tidak menguntungkan maupun merugikan salah satu pihak karena Tax Treaty Indonesia Belanda sudah berlangsung selama 9 tahun sejak 01 Januari 2004 hingga sekarang, sehingga apabila salah satu negara merasa dirugikan dengan adanya Tax Treaty ini maka negara tersebut akan mengakhiri perjanjian ini. 86