Surat Kabar Harian PIKIRAN RAKYAT, terbit di Bandung, Edisi: 30 Desember 1995 PROFIL KEPENDUDUKAN DAN KESEHATAN DI JAWA BARAT Oleh : Ki Supriyoko Salah satu survei kependudukan, KB, dan kesehatan yang paling bergengsi di Indonesia dalam beberapa tahun yang terakhir ini adalah Indonesia Demographic and Health Survey (IDHS) atau yang oleh pakar dan praktisi kependudukan dan kesehatan biasa disebut dengan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI). Di negara kita survei seperti itu sudah dilaksanakan selama tiga kali; masingmasing ialah pada tahun 1987 disebut Survei Prevalensi Kontrasepsi Indonesia (SPI- 1987), tahun 1991 disebut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI-1991), dan terakhir tahun 1994 disebut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI- 1994). Jadi SDKI-1994 adalah survei bergengsi yang paling aktual; survei ini pengambilan datanya sudah dilakukan antara bulan Juli s/d November 1994 akan tetapi analisis dan laporan akhirnya sampai sekarang masih dalam proses penyelesaian. Apabila ditilik dari banyaknya sampel maka SDKI-1994 termasuk survei yang 'besar'; survei ini melibatkan puluhan ribu rumah tangga dan wanita (pernah) kawin yang ada dan berdomisili di seluruh wila-yah Nusantara. Konkritnya, sampel survei ini mencapai 33.738 rumah tangga dan 28.168 wanita Indonesia. Tujuan SDKI-1994 antara lain untuk menganalisis data mengenai kelahiran dan kematian, keluarga berencana (KB) serta kesehatan bayi dan anak dalam upaya pengefektivan program dan kebijakan kependudukan dan kesehatan di Indonesia. Baik secara konsep maupun secara teknis-operasional survei tersebut dilakukan dengan cara "keroyokan" antara Kantor Menteri Negara Kependudukan, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Departemen Kesehatan dan Biro Pusat Statistik (BPS). Di luar empat lembaga tersebut masih terdapat beberapa lembaga internasional yang memberi subsidi dan kerja sama,antara lain United States Agency for International Development (USAID), World Bank, serta MACRO Internasional Inc.. Pada SDKI-1991 yang lalu masih ada lembaga lain yang juga melibatkan diri di dalam aktivitas operasi survei; adapun lembaga yang dimaksud ialah United Nations Fund for Population Activities (UNFPA) serta Institute for Resource Development (IRD).
2 Temuan Fertilitas Salah satu temuan menarik dalam SDKI-1994 adalah menyangkut adanya penurunan angka kelahiran total atau dikenal dengan istilah Total Fertility Rate (TFR). Salah satu ukuran keberhasilan pemba-ngunan kependudukan dan KB adalah pada angka TFR; makin rendah angka TFR artinya tingkat kelahiran dan laju pertumbuhan penduduk makin dapat dikendalikan; sebaliknya makin tinggi angka TFR artinya tingkat kelahiran dan laju pertumbuhan penduduk makin sulit dikendalikan. Oleh karena salah satu program besar kependudukan kita adalah pengendalian laju pertumbuhan penduduk maka penurunan angka TFR menjadi sangat berarti. Untuk angka TFR nasional dalam periode tiga tahun terakhir ini adalah 2,85; ini berarti bahwa wanita kawin (wanita yang sudah berstatus kawin) di negara kita rata-rata hanya melahirkan anak sebanyak 2,85 kali selama menjalani masa suburnya (15 s/d 49 tahun). Sementara itu TFR Jawa Barat sebesar 3,17; ini berarti bahwa wanita kawin di Jawa Barat rata-rata melahirkan anak sebanyak 3,17 kali selama menjalani masa subur atau masa reproduksinya. Kalau kita perhatikan angka-angka tersebut jelaslah bahwa prestasi kependudukan di Jawa Barat masih lebih rendah kalau dibanding dengan prestasi kependudukan nasional. Dalam hal ini bukan berarti bahwa pemerintah dan masyarakat Jawa Barat telah gagal dalam me-laksanakan pembangunan di bidang kependudukan dan KB akan tetapi harus diakui bahwa prestasi yang telah dicapai belum seperti yang di-harapkan. Pemerintah dan masyarakat Jawa Barat masih harus bekerja lebih keras lagi untuk mencapai prestasi yang diinginkan. Sebagai perbandingan dari SDKI-1994 juga diketahui bahwa TFR yang paling rendah dicapai Provinsi D.I. Yogyakarta dengan angka 1,79 dan yang paling tinggi Provinsi Timor Timur dengan angka 4,69; hal itu berarti bahwa wanita di Yogyakarta rata-rata hanya melahirkan sebanyak 1,79 kali selama menjalani masa reproduksinya, sementara itu wanita di Timor Timur rata-rata melahirkan 4,69 kali. Berapakah angka TFR yang ideal? Angka TFR yang ideal adalah 2,0. Dalam kondisi seperti ini akan tercipta situasi Penduduk Tumbuh Seimbang (PTS) atau ada yang menyatakan sebagai Penduduk Tanpa Pertumbuhan (PTP). Dalam kondisi seperti ini maka jumlah penduduk Indonesia cenderung stabil. Kalau TFR di atas 2,0 maka jumlah pen-duduk kita akan senantiasa bertambah banyak; sebaliknya kalau TFR di bawah 2,0 maka jumlah penduduk kita akan senantiasa berkurang. Kalau diikuti secara teliti ternyata penurunan TFR di Jawa Barat memang berjalan seiring dengan penurunan TFR nasional. Marilah kita ikuti perkembangan penurunan TFR di Jawa Barat dari tahun ke tahun atau dari periode ke periode semenjak tahun 1970 dibandingkan dengan kondisi nasional. Pada tahun 1970 angka TFR nasional kita 5,61, tahun 1975 turun menjadi 5,20, tahun 1979 menjadi 4,68, di tahun 1985 menjadi 4,06, di tahun 1987 menjadi 3,39, di tahun 1989 menjadi 3,31, tahun 1991 menjadi 3,02, dan tahun 1994 angkanya
3 turun lagi menjadi 2,85. Itu berarti selama sekitar 24 tahun terjadi penurunan angka TFR sebesar 2,76 atau 49,20 persen. Bagaimana di Jawa Barat? Pada tahun 1970 TFR di Jawa Barat 6,34, tahun 1975 turun menjadi 5,64, tahun 1979 menjadi 5,07, di tahun 1985 menjadi 4,31, tahun 1987 menjadi 3,60, tahun 1989 menjadi 3,47, tahun 1991 menjadi 3,37, dan akhirnya di tahun 1994 turun lagi menjadi 3,17.Hal itu berarti dalam periode yang sama terjadi penurunan angka TFR sebesar 3,17 atau 50,00 persen. Dari angka-angka tersebut jelaslah bahwa meskipun TFR di Jawa Barat sekarang masih tinggi akan tetapi laju penurunannya "setajam" laju penurunan TFR nasional. Bahwa dalam realitasnya TFR di Jawa Barat sekarang ini masih tinggi, keadaan itu disebabkan karena 'start value' di Jawa Barat memang tinggi. Dibanding Jawa dan Bali Di dalam pengembangan program kependudukan maka provinsi-provinsi di kawasan Pulau Jawa dan Bali sering dijadikan semacam standard kemajuan. Bagaimanakah kondisi Jawa Barat bila dibanding dengan kondisi di Jawa dan Bali pada umumnya dan provinsi-provinsi di Jawa dan Bali pada khususnya. Untuk bisa mencermati secara lebih tajam marilah kita perhatikan Tabel 1 berikut ini. Tabel 1: TOTAL FERTILITY RATE (TFR) MASING-MASING WILAYAH KHUSUSNYA KAWASAN PULAU JAWA DAN BALI PERIODE/TAHUN LAJU PENURUNAN WILAYAH 1991 1994 ANGKA PERSEN DKI Jakarta 2,14 1,90 0,24 11,21 Jawa Barat 3,37 3,17 0,20 5,93 Jawa Tengah 2,85 2,77 0,08 2,81 D.I.Yogyakarta 2,04 1,79 0,25 12,25 Jawa Timur 2,13 2,22-0,09-4,22 B a l i 2,22 2,14 0,08 3,60 Jawa dan Bali 2,70 2,60 0,10 3,70 Indonesia 3,13 2,85 0,28 8,95 Sumber: BPS, BKKBN & Depkes, "Indonesia Demographic and Health Survey 1994 (Preliminary Report)"
4 Apabila kita bandingkan dengan keadaan di Jawa dan Bali pada umumnya dan di provinsi-provinsi lain kawasan Jawa dan Bali pada khususnya ternyata prestasi Jawa Barat masih berada di papan bawah; bahkan paling bawah. Pada survei tahun 1991, yang dikenal dengan SDKI-1991, yang lalu TFR di Jawa-Bali sudah ada pada angka 2,70; sedangkan angka untuk Jawa Barat masih bersikutat pada bilangan 3,37. Pada saat yang sama TFR untuk DKI Jakarta, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali masing-masing ialah 2,14, 2,85, 2,04, 2,13 dan 2,22. Dari deretan angka-angka ini nampak bahwa TFR Jawa Barat berada di papan bawah, bahkan yang paling bawah. Bagaimana kondisinya untuk saat ini? Berdasar hasil SDKI-1994 ternyata TFR untuk Jawa Barat menunjukkan angka 3,17 sedangkan TFR kawasan Jawa dan Bali pada umumnya sebesar 2,60. Sementara itu TFR pada provinsi-provinsi kawasan Jawa dan Bali, kecuali Jawa Tengah, bergerak antara 1,79 s/d 2,22. Jadi, jelas bahwa Jawa Barat masih jauh dari yang "terbaik". Akhirnya dari analisis tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa dalam hal upaya pengaturan kelahiran dan pengendalian laju penduduk maka Jawa Barat masih memiliki angka TFR yang tinggi; meskipun apabila dilihat dari laju penurunan TFRnya ternyata berjalan seiring dengan kondisi nasional kita. TFR di Jawa Barat masih tinggi, meski bukan berarti jelek; dan keadaan ini mengisyaratkan pemerintah dan masyarakat Jawa Barat masih harus berjuang keras untuk mencapai prestasi kependudukan yang lebih baik lagi. Disiplin kependudukan, KB, dan kesehatan memang tiga bidang pembangunan nasional yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Keberhasilan Jawa Barat dalam mengendalikan laju per-tumbuhan penduduk meskipun belum sampai tahap yang ideal kiranya tidak terlepas dari suksesnya pembangunan di bidang KB dan bidang kesehatan masyarakat. Setidak-tidaknya ada tiga faktor yang mengendalikan laju pertum-buhan penduduk; masing-masing adalah angka kelahiran (fertility), angka kematian (mortality), dan perpindahan penduduk (migration). Secara demografis Jawa Barat termasuk provinsi ataupun wilayah yang mampu mengontrol perkembangan angka fertilitas, mortalitas dan migrasi secara proporsional, meski bukan berarti sempurna sama sekali. Proporsionalisasi seperti inilah yang membuat Jawa Barat bisa mencapai keberhasilan dalam upaya mengendalikan laju pertumbuhan penduduknya. Adapun implikasi atas proporsionalisasi dalam bidang kesehatan dapat dijelaskan sbb: secara matematis sebenarnya tingkat kematian (mortalitas) bayi dan anak yang setinggi mungkin otomatis dapat menghambat laju pertumbuhan penduduk, meskipun demikian secara demografis dan sosial hal ini tentu tidak dapat dipertanggung-jawabkan. Apalah artinya pertumbuhan penduduk dapat dikendalikan kalau kesehatan masyarakat tidak terkontrol; penduduk banyak yang tidak sehat, bayi dan anak-anak
5 banyak yang sakit-sakitan, bahkan banyak pula yang meninggal dunia. Yang kita inginkan bersama adalah di satu sisi laju pertumbuhan penduduk tetap bisa dikendalikan, sementara itu di sisi lain kesehatan masyarakat terjamin adanya. Dan hal ini ternyata benar-benar bisa direalisasi oleh dan untuk masyarakat Jawa Barat. Kualitas Kesehatan Salah satu indikator kualitas kesehatan masyarakat adalah tingkat kematian bayi dan anak yang dapat dilihat pada tiga kriteria; masing-masing ialah tingkat kematian bayi atau Infant Mortality Rate (IMR), tingkat kematian anak atau Child Mortality Rate (CMR), dan tingkat kematian balita atau Under-five Mortality Rate (UMR). Dalam ilmu kesehatan masyarakat, istilah bayi dibatasi pada anak yang memasuki kehidupan dalam satu tahun pertama sejak kelahirannya; istilah anak dibatasi pada anak yang memasuki kehidupan sesudah satu tahun dan sebelum lima tahun sejak kelahirannya; sedangkan istilah balita atau bayi di bawah usia lima tahun adalah anak yang memasuki kehidupan dalam lima tahun pertama sejak kelahirannya. Dalam SDKI-1994 ditemukan IMR untuk Jawa Barat adalah 78,7 dalam periode lima tahun terakhir, yaitu dari pertengahan tahun 1989 s/d pertengahan tahun 1994; ini berarti bahwa dalam periode tersebut terdapat 78 atau 79 kematian dari setiap 1.000 bayi lahir hidup di Provinsi Jawa Barat. Apabila kita cermati perkembangannya pada periode pertengahan tahun 1979 s/d 1984 tingkat kematian bayi menunjukkan angka 97,0; artinya pada periode tersebut terdapat 97 kematian dari setiap 1.000 bayi lahir hidup. Ternyata angka ini naik menjadi 98,0 untuk periode pertengahan tahun 1984 s/d 1989; yang artinya dalam periode ini ter-jadi 98 kematian dari setiap 1.000 bayi lahir hidup. Tingkat kematian bayi ini pun akhirnya turun menjadi 78,7 pada periode pertengahan tahun 1989 s/d 1994; ini berarti dalam periode ini terjadi 78 atau 79 kematian bayi dari setiap 1.000 bayi lahir hidup. Dalam hal ini terlihat bahwa angkanya naik-turun berfluktuasi. Fluktuasi angka kematian bayi di Jawa Barat tersebut menunjukkan fenomena yang berbeda dengan gejala nasional. Untuk nasional angkanya tidak berfluktuasi akan tetapi senantiasa menurun dari waktu ke waktu; misalkan IMR untuk periode pertengahan tahun 1979 s/d 1984 angkanya 75,3, periode pertengahan tahun 1984 s/d 1989 turun menjadi 74,9, dan akhirnya untuk periode pertengahan tahun 1989 s/d 1994 turun lagi menjadi 57,0. Fluktuasi angka kematian ini untuk Jawa Barat juga berlaku untuk anak dan balita; yang dalam periode yang sama angkanya naik dulu kemudian turun. Di samping IMR, CMR, dan UMR sebenarnya ada dua indikator kesehatan lainnya yang juga sering dipakai untuk mengukur kualitas kesehatan masyarakat; kedua indikator yang dimaksud adalah tingkat kematian neonatum atau Neonatal Mortality Rate (NMR) dan tingkat kematian pasca neonatum atau Postneonatal Mortality Rate (PMR). Adapun istilah neonatum dibatasi pada anak yang memasuki kehidup-an dalam satu bulan pertama sejak kelahirannya; sementara itu pasca neonatum dibatasi pada anak yang memasuki kehidupan sesudah satu bulan dan
6 sebelum satu tahun sejak kelahirannya. Ternyata untuk dua kriteria ini pun angkanya juga berfluktuasi. Fluktuasi kematian bayi dan anak di Jawa Barat juga dapat dilihat pada perbandingan angka-angka kematian dalam kondisi yang berbeda; yaitu pada kondisi dilaksanakannya survei tahun 1987 (SPI-1987), survei tahun 1991 (SDKI-1991) dan survei tahun 1994 (SDKI-1994). Perhatikan Tabel 2 berikut ini! Tabel 2: TINGKAT KEMATIAN BAYI DAN ANAK PADA PROVINSI JAWA BARAT + TINGKAT KEMATIAN KONDISI + + + BAYI ANAK BALITA + + + Survei 1987 94,7 51,3 141,1 Survei 1991 116,9 53,3 164,0 Survei 1994 88,8 33,8 119,6 + + + Sumber : SDKI-1994 Dari tabel tersebut terlihat bahwa tingkat kematian bayi juga ber-fluktuasi dari sebesar 94,7 (survei 1987), naik menjadi 116,9 (survei 1991) dan turun menjadi 88,8 (survei 1994) masing-masing untuk periode tiga tahun terakhir. Angka yang berfluktuasi tersebut ternyata berlaku pula untuk tingkat kematian bayi maupun tingkat kematian balita di Jawa Barat. Masih Tinggi Tingkat kematian bayi dan anak di Jawa Barat adalah masih lebih tinggi apabila dibandingkan dengan tingkat kematian bayi dan anak di wilayah Jawa dan Bali maupun secara nasional. Apabila IMR, CMR, UMR, NMR, dan PMR di Jawa Barat untuk periode sepuluh tahun terakhir angkanya ialah 88,8, 33,8, 119,6, 43,6, dan 45,3 maka untuk wilayah Jawa dan Bali secara berturut-turut angkanya adalah 66,5, 25,3, 90,1, 32,5 dan 33,9; sedangkan untuk tingkat nasional angkanya adalah 66,4, 28,3, 92,8, 32,5 dan 34,0. Dari angka-angka tersebut di atas tergambarkan lebih tingginya tingkat kematian bayi dan anak di Jawa Barat dibanding dengan tingkat kematian bayi dan anak di wilayah Jawa dan Bali maupun di Indonesia pada umumnya; misalnya saja
7 untuk tingkat kematian balita secara nasional angkanya masih 92,8 (selisih 26,4), untuk wilayah Jawa Bali angkanya 90,1 (selisih 29,5), dan untuk Jawa Barat relatif tinggi yaitu 119,6.Hal ini menunjukkan kualitas kesehatan masyarakat Jawa Barat belum lebih baik daripada kualitas kesehatan di wilayah Jawa dan Bali maupun di wilayah Indonesia pada umumnya. Apakah tingkat kematian bayi dan anak di Jawa Barat tersebut di atas paling tinggi di Indonesia? Tidak! Masih ada beberapa provinsi lain yang tingkat kematian bayi dan anaknya "mengungguli" Jawa Barat. Sebagai perbandingan untuk periode yang sama, sepuluh tahun terakhir, tingkat kematian bayi yang paling tinggi ialah Provinsi Nusa Tenggara Barat sebesar 109,8; tingkat kematian anak yang paling tinggi adalah Provinsi Timor Timur sebesar 58,8; sedangkan tingkat kematian balita yang paling juga Provinsi Nusa Tenggara Barat sebesar 159,5. Tingkat kematian bayi dan anak di Jawa Barat memang masih tinggi walaupun bukan yang tertinggi. Masih relatif tingginya tingkat kematian bayi dan anak di Jawa Barat tersebut antara lain disebabkan belum meratanya fasilitas kesehatan dan SDM-nya, terutama di daerah pedesaan. Di Jawa Barat sudah banyak ditemui fasilitas kesehatan seperti rumah sakit pemerintah, rumah sakit swasta, klinik, dokter praktek swasta, bidan praktek swasta, puskesmas, dsb; namun penyebarannya yang belum merata. Sebenarnya di Jawa Barat juga sudah mempunyai SDM kesehatan yang potensial seperti dokter,bidan, bidan di desa (dansa), juru rawat, dsb; akan tetapi SDM kesehatan ini masih terlokalisasi di daerah perkotaan. SDM kesehatan ini di daerah pedesaan memang sudah ada, akan tetapi jumlahnya masih harus ditambah secara proporsional agar dapat memberikan pelayanan kesehatan secara proporsional pula. Semogalah hasil SDKI-1994 tersebut dapat memacu dan memicu para pengambil kebijakan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan-nya kepada masyarakat; meningkatkan pelayanan dari yang sudah baik ke yang lebih baik lagi!!!***** ( habis ) BIODATA SINGKAT; *: DR. Ki Supriyoko, M.Pd *: Direktur Lembaga Studi Pembangunan Indonesia (LSPI); Konsultan BKKBN, serta Ketua Tim Peneliti KUD "KB-Kesehatan" Propinsi DIY kerja sama BKKBN, UNFPA dan LSPI Yogyakarta