HUBUNGAN PERSEPSI APOTEKER TERHADAP PELAKSANAAN KONSELING KEPADA PASIEN DENGAN EVALUASI PELAKSANAAN KONSELING DI APOTEK-APOTEK KABUPATEN MAGETAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Pada Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek (SPKA), pelayanan

PELAKSANAAN KONSELING OLEH APOTEKER DI APOTEK KECAMATAN TEMANGGUNG

BAB 1 PENDAHULUAN. Pharmaceutical care atau asuhan kefarmasian merupakan bentuk optimalisasi peran yang

BAB I PENDAHULUAN. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan

OPINI APOTEKER DAN PASIEN TERHADAP PERAN APOTEKER DALAM PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KOTA MERAUKE DEASY ABRAHAM THOE, 2013

EVALUASI STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK WILAYAH KOTA SALATIGA TAHUN 2011 SESUAI PERUNDANGAN YANG BERLAKU NASKAH PUBLIKASI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ke pasien yang mengacu kepada Pharmaceutical Care. Kegiatan pelayanan

TINGKAT KEPUASAN PASIEN TERHADAP PELAYANAN OBAT DI APOTEK WILAYAH KECAMATAN MERTOYUDAN KABUPATEN MAGELANG

Sri Hariati Dongge,S.Farm,Apt,MPH Dinas Kesehatan Kab. Konawe Sulawesi Tenggara

Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Medan. Fakultas Farmasi Universitas Tjut Nyak Dhien, Medan

Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Medan. Fakultas Farmasi Universitas Tjut Nyak Dhien, Medan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Medula Vol. 2 No. 1 Oktober 2014 ISSN

EVALUASI PELAYANAN APOTEK BERDASARKAN INDIKATOR PELAYANAN PRIMA DI KOTA MAGELANG PERIODE 2016

PEMETAAN PERAN APOTEKER DALAM PELAYANAN KEFARMASIAN TERKAIT FREKUENSI KEHADIRAN APOTEKER DI APOTEK DI SURABAYA TIMUR. Rendy Ricky Kwando, 2014

PERANAN APOTEKER DALAM PEMBERIAN INFORMASI OBAT DI INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH HAJI ANDI SULTHAN DAENG RADJA KABUPATEN BULUKUMBA

HUBUNGAN TINGKAT KEPUASAN KONSUMEN DENGAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN APOTEK DI KABUPATEN REMBANG KOTA REMBANG NASKAH PUBLIKASI

Evaluasi Mutu Pelayanan Di Apotek Komunitas Kota Kendari Berdasarkan Standar Pelayanan Kefarmasian

EVALUASI IMPLEMENTASI KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 35/MENKES/SK/2014 TENTANG PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KABUPATEN SLEMAN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALISIS KEPUASAN PASIEN TERHADAP STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI PUSKESMAS SEMPAJA SAMARINDA

INTISARI TINGKAT KEPUASAN PASIEN TERHADAP PELAYANAN KEFARMASIAN DI PUSKESMAS GADANG HANYAR BANJARMASIN

HUBUNGAN PEMBERIAN INFORMASI OBAT DENGAN KEPATUHAN MINUM OBAT ANTIBIOTIK PADA PASIEN RAWAT JALAN DI PUSKESMAS REMAJA SAMARINDA

INTISARI. Madaniah 1 ;Aditya Maulana PP 2 ; Maria Ulfah 3

Farmaka Volume 15 Nomor 3 96

PERSEPSI KONSUMEN TERHADAP PERAN APOTEKER DALAM PELAYANAN INFORMASI OBAT TANPA RESEP DI APOTEK WILAYAH KECAMATAN MAGELANG TENGAH KOTAMADYA MAGELANG

ANALISIS TINGKAT KEPUASAN PASIEN TERHADAP PELAYANAN KAMAR OBAT PUSKESMAS KABUPATEN JEPARA TAHUN 2017

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

HUBUNGAN KUALITAS PELAYANAN INFORMASI OBAT TERHADAP KEPUASAN KONSUMEN DI PERUSDA ANEKA USAHA UNIT APOTEK SIDOWAYAH FARMA KLATEN

DAFTAR PUSTAKA. Badan POM RI, 2014, Laporan Kinerja Badan Pengawas Obat dan Makanan Tahun 2014 : Report to the Nation, Badan POM RI, Jakarta.

PERAN APOTEKER DALAM PELAYANAN SWAMEDIKASI. Dra. Liza Pristianty,MSi,MM,Apt Fakultas Farmasi Universitas Airlangga PC IAI Surabaya

PENGARUH KONSELING OBAT DALAM HOME CARE TERHADAP KEPATUHAN PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN KOMPLIKASI HIPERTENSI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Pembangunan kesehatan diarahkan

HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN DENGAN KEPATUHAN MINUM OBAT PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 PADA DOKTER KELUARGA

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING

ARHAYANI PERENCANAAN DAN PENYIAPAN PELAYANAN KONSELING OBAT SERTA PENGKAJIAN RESEP BAGI PENDERITA RAWAT JALAN DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG

PENGARUH PELATIHAN TERHADAP PELAYANAN OBAT DENGAN RESEP OLEH APOTEKER DI APOTEK WILAYAH KOTA DENPASAR

INTISARI PROFIL PENERAPAN PELAYANAN FARMASI KLINIK DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DI PULAU BANGKA. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

PROGRAM SARJANA FARMASI FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016

BAB I PENDAHULUAN. sarana pelayanan kefarmasian oleh apoteker (Menkes, RI., 2014). tenaga teknis kefarmasian (Presiden, RI., 2009).

PROFIL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN KEPUASAN KONSUMEN APOTEK DI KECAMATAN ADIWERNA KOTA TEGAL. Bertawati

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PELAYANAN INFORMASI OBAT TERHADAP KEPATUHAN MINUM OBAT PASIEN GERIATRI DI INSTALASI RAWAT INAP RSUP PROF. DR. R.D. KANDOU MANADO

TINGKAT PEMENUHAN STANDAR PRAKTIK BEBERAPA APOTEK DI KOTA MEDAN

Lampiran 1. Daftar Tilik Mutu Pelayanan Kefarmasian DAFTAR TILIK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Kata Kunci: Kualitas, Pelayanan Obat, Assurance

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SWAMEDIKASI PADA PENGUNJUNG APOTEK DI APOTEK MARGI SEHAT TULUNG KECAMATAN TULUNG KABUPATEN KLATEN

HUBUNGAN PELAYANAN POSYANDU X DENGAN TINGKAT KEPUASAN LANSIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kesehatan masyarakat. Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung

MOTIVASI DAN KEPATUHAN KUNJUNGAN ANTENATAL CARE (ANC) PADA IBU HAMIL TRIMESTER III

PENERAPAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KOTA MAGELANG

Hubungan antara Mutu Pelayanan Kefarmasian dengan Kepuasan Pasien Rawat Jalan di Puskesmas Teling Atas Kota Manado

UNIVERSITAS AIRLANGGA DIREKTORAT PENDIDIKAN Tim Pengembangan Jurnal Universitas Airlangga Kampus C Mulyorejo Surabaya

TINGKAT KEPUASAN PASIEN TERHADAP PELAYANAN KEFARMASIAN PADA PROGRAM RUJUK BALIK JAMINAN KESEHATAN NASIONAL DI APOTEK-APOTEK PROGRAM

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KEPUASAN PASIEN DIABETES MELITUS RUJUK BALIK PESERTA BPJS KESEHATAN TERHADAP PELAYANAN KEFARMASIAN DI KLINIK DAN APOTEK KOTA YOGYAKARTA

PEMETAAN PERAN APOTEKER DALAM PELAYANAN KEFARMASIAN TERKAIT FREKUENSI KEHADIRAN APOTEKER DI APOTEK DI SURABAYA BARAT. Erik Darmasaputra, 2014

Gambaran Pelayanan Kefarmasian di Apotek Wilayah Kota Banjarbaru Berdasarkan Standar Pelayanan Kefarmasian

MANFAAT KONSULTASI TERHADAP PEMAHAMAN PASIEN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN ATAS PADA ANTIBIOTIK YANG DIRESEPKAN DI APOTEK PANDUGO SURABAYA

PHARMACY, Vol.07 No. 02 Agustus 2010 ISSN

PERSEPSI APOTEKER PENANGGUNGJAWAB APOTEK DI KOTA MEDAN TERHADAP PENERAPANPERATURAN PEMERINTAH RI NO. 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAANKEFARMASIAN

ABSTRAK. Hairun Nisa 1 ;Erna Prihandiwati,S.F.,Apt 2 ;Riza Alfian,M.Sc.,Apt 3

TINGKAT KEPUASAN PASIEN TERHADAP PELAYANAN APOTEK DI KOTA JAMBI ABSTRAK

PERSEPSI KONSUMEN APOTEK TERHADAP PELAYANAN APOTEK DI TIGA KOTA DI INDONESIA

SURAT PERNYATAAN PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN PENELITIAN PERSEPSI APOTEKER TERHADAP KONSELING PASIEN DAN PELAKSANAANNYA DI APOTEK KABUPATEN SUKOHARJO

INTISARI STUDI DESKRIPTIF PEMBERIAN INFORMASI OBAT ANTIBIOTIK KEPADA PASIEN DI PUSKESMAS SUNGAI MESA BANJARMASIN

ABSTRAK TATALAKSANA FARMASI DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN CIANJUR

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

GAMBARAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK PERAWAT DAN TINGKAT KEPUASAN PASIEN DIRUANG RAWAT INAP RSUD SULTANSYARIF MOHAMAD ALKADRIE KOTA PONTIANAK

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang semula hanya berfokus kepada pengelolaan obat (drug oriented)

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

ABSTRAK KUALITAS PELAYANAN RESEP DI APOTEK RUMAH SAKIT UMUM DAERAH HADJI BOEDJASIN PELAIHARI

Patria Asda, A., Perbedaan Persepsi Pasien...

BAB I PENDAHULUAN. suksesnya sistem kesehatan adalah pelaksanaan pelayanan kefarmasian (Hermawati, kepada pasien yang membutuhkan (Menkes RI, 2014).

PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN APOTEK DI WILAYAH KOTA BANJARMASIN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

HUBUNGAN KUALITAS PELAYANAN DENGAN MINAT PEMANFAATAN KEMBALI PELAYANAN KESEHATAN DI PUSKESMAS JONGAYA KOTA MAKASSAR

HUBUNGAN PEMBERIAN INFORMASI OBAT DENGAN KEPATUHAN MINUM OBAT ANTIBIOTIK PADA PASIEN RAWAT JALAN DI PUSKESMAS REMAJA SAMARINDA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

DANIEL ADIARTHA

satu sarana kesehatan yang memiliki peran penting di masyarakat adalah apotek. Menurut Peraturan Pemerintah No. 35 tahun 2014, tenaga kesehatan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

EVALUASI PELAYANAN KEFARMASIAN DALAM PENDISTRIBUSIAN SEDIAAN FARMASI DI INSTALASI FARMASI RSUP PROF. Dr. R. D. KANDOU MANADO

MAKALAH FARMASI SOSIAL

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU APOTEKER DALAM PEKERJAAN KEFARMASIAN DI RUMAH SAKIT DI WILAYAH KARESIDENAN BANYUMAS

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN LAMA WAKTU TANGGAP PERAWAT PADA PENANGANAN ASMA DI INSTALASI GAWAT DARURAT RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL

Kata Kunci : Persepsi Pasien, Mutu Jasa Pelayanan.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Tingkat Pengetahuan Masyarakat Di Desa Talungen Kabupaten Bone Tentang Swamedikasi

1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN

Transkripsi:

HUBUNGAN PERSEPSI APOTEKER TERHADAP PELAKSANAAN KONSELING KEPADA PASIEN DENGAN EVALUASI PELAKSANAAN KONSELING DI APOTEK-APOTEK KABUPATEN MAGETAN NASKAH PUBLIKASI Oleh: RAKIH YUSMA RANGGA K 100 090 048 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SURAKARTA 2014

HUBUNGAN PERSEPSI APOTEKER TERHADAP PELAKSANAAN KONSELING KEPADA PASIEN DAN EVALUASI PELAKSANAAN KONSELING DI APOTEK-APOTEK KABUPATEN MAGETAN RELATION TO THE IMPLEMENTATION OF THE PERCEPTIONS PHARMACISTS COUNSELING TO PATIENTS WITH THE EVALUATION OF THE IMPLEMENTATION OF COUNSELING IN PHARMACY DRUGSTORE MAGETAN DISTRICT Rakih Yusma Rangga, Anita Sukmawati dan Tri Yulianti Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta ABSTRAK Pelaksanaan atau pemberian konseling kepada pasien adalah salah satu kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian kepada pasien. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis hubungan persepsi apoteker terhadap pelaksanaan konseling dengan evaluasi pelaksanaan konseling di apotek-apotek Kabupaten Magetan. Jenis penelitian ini adalah penelitian non eksperimental. Dalam penelitian ini, data diambil dengan menggunakan cara penyebaran kuesioner kepada apoteker yang bersedia. Jumlah sampel 38 responden. Persepsi apoteker terhadap pelaksanaan konseling akan diukur dengan skala likert dan evaluasi pelaksanaan konseling diukur dengan skoring penilaian berdasarkan standar pelayanan kefarmasian. Data diolah dengan analisis chi-square (χ 2 ). Hasil penelitian didapatkan bahwa 87,3% responden berpersepsi sangat mendukung terhadap pelaksanaan konseling kepada pasien. Hasil evaluasi menunjukkan dari 38 apoteker ada 65,78% menilai bahwa evaluasi pelaksanaan konseling keaktifan tergolong baik. Terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi apoteker terhadap pelaksanaan konseling kepada pasien dengan evaluasi pelaksanaan konseling di Apotek-apotek Kabupaten Magetan dengan (p < 0,05) dengan nilai nilai pearsin chi-square sebesar 22,27%. Kata Kunci : persepsi apoteker, konseling pasien, evaluasi pelaksanaan konseling, apoteker. ABSTRACT Implementation or counseling to patients is one of the activities aimed at improving the quality of pharmacy services. The purpose of this study to analyze the relationship between perceptions of pharmacist counseling on the implementation of the evaluation of the implementation of counseling in pharmacies Magetan. This research is nonexperimental research. In this study, the data retrieved using the method of distribution of questionnaires to pharmacist who are willing. Number of samples is 38 respondents. Perception pharmacist for counseling implementation will be measured with a Likert Scale and evaluate the implementation of counseling was measured with a standard scoring assessment based pharmaceutical services. Data processed by chi-square analysis (X 2 ). The results showed that 87.3% of respondents strongly support the implementation perception counseling to patients. Evaluation results show of 38 pharmacist are 65.78% considered that the evaluation of the implementation of the activity counseling quite good. There is a significant relationsghip between the perception of the implementation of the 1

pharmacist counseling to patients with evaluation of the implementation of counseling in pharmacys Magetan with (p<0.05) with the value of the chi-square value pearsin 22.27%.. Keywords: perception of the pharmacist, patient counseling, evaluation of the implementation of counseling, the pharmacist. PENDAHULUAN Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah mengalami perubahan orientasinya dari obat ke pasien yang mengacu kepada Pharmaceutical Care. Kegiatan pelayanan kefarmasian yang awalnya hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi menjadi pelayanan yang komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dari pasien (DEPKES RI, 2004). Pelayanan kefarmasian adalah salah satu tanggung jawab dari apoteker untuk memaksimalkan terapi dengan cara mencegah dan memecahkan masalah terkait obat (Drug Related Problem) (DEPKES RI, 2006). Menurut PP 51 Tahun 2009, pelayanan kefarmasian dari pengelolaan obat sebagai komoditi kepada pelayanan yang komprehensif (pharmaceutical care) dalam pengertian tidak saja sebagai pengelola obat namun dalam pengertian yang lebih luas mencakup pelaksanaan pemberian informasi untuk mendukung penggunaan obat yang benar dan rasional, monitoring penggunaan obat untuk mengetahui tujuan akhir serta kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) (Depkes RI, 2009). Salah satu interaksi antara apoteker dengan pasien adalah melalui konseling obat. Konseling obat sebagai salah satu cara atau metode pengetahuan pengobatan secara tatap muka atau wawancara merupakan usaha untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman pasien dalam penggunaan obat (Depkes RI, 2006. Menurut KEPMENKES RI Nomor 1027/MENKES/ SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, konseling adalah suatu proses komunikasi dua arah yang sistematik antara apoteker dan pasien untuk mengidentifikasi dan memecahkan masalah yang berkaitan dengan obat dan pengobatan (Depkes RI, 2004). Melalui konseling, apoteker dapat mengetahui kebutuhan pasien saat ini dan yang akan datang. Apoteker dapat memberikan informasi kepada pasien apa yang perlu diketahui oleh pasien, keterampilan apa yang harus dikembangkan dalam diri pasien, dan masalah yang perlu diatasi. Selain itu, apoteker diharapkan bisa menentukan perilaku dan sikap pasien yang perlu diperbaiki (Rantucci, 2009). 2

Berdasarkan data penelitian yang dilakukan oleh Arhayani (2007) di Instalasi farmasi Rumah Sakit Immanuel Bandung, kebutuhan penderita terhadap konseling obat diperoleh angka 96,93%, 49,88% pasien menginginkan konseling yang dilakukan apoteker berdurasi 5-10 menit, dan 58,54% penderita mengusulkan efek samping dijadikan sebagai materi pada konseling. Purwanti dkk (2004) menjelaskan bahwa pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek pada tahun 2003 di Jakarta 98,5% (n=67) apotek tidak memenuhi standar pelayanan KIE. Penelitian yang dilakukan terhadap komunitas apoteker di Nepal menunjukkan 56,67% (n=34) percaya bahwa konseling sangat diperlukan karena tugas sebagai apoteker dan 48,33% (n=29) menyatakan bahwa konseling dapat meningkatkan kepatuhan pasien terhadap pengobatan (Poudel dkk., 2009). Penelitian di Memphis, Tenesse Amerika Serikat, menemukan tingkat kepatuhan 84,7% pada pasien yang menerima banyak informasi tentang antibiotik dibandingkan pasien yang lebih sedikit mendapat informasi hanya menunjukkan tingkat kepatuhan 63% (Kessler, 1992). Sensus penduduk Kabupaten Magetan menunjukkan bahwa, jumlah penduduk di Kabupaten Magetan mencapai 699,073.00 jiwa dan menempati luas wilayah sekitar 688,85 km 2. Jumlah apotek di Kabupaten Magetan mencapai 53 apotek yang tersebar di 18 kecamatan di Kabupaten Magetan. Dengan rata-rata, setiap kecamatan di Kabupaten Magetan terdapat 2-3 apotek. Berdasarkan data yang diperoleh, maka dapat diasumsikan bahwa, satu apoteker di Kabupaten Magetan melayani 13,190 orang (Dinas Kependudukan Kab. Magetan, 2012). Sehingga waktu yang dibutuhkan untuk melakukan konseling pasien menjadi berkurang. Dengan semakin bertambahnya penduduk di Kabupaten Magetan, dan semakin bertambahnya jumlah apotek di Kabupaten Magetan, maka harus diimbangi dengan pelayanan kepada pasien yang baik pula, dengan melakukan konseling. Sehingga tujuan pengobatan pasien dapat tercapai. Tolak ukur yang mendasari diangkatnya permasalahan yang berkaitan tentang persepsi apoteker terhadap pelaksanaan konseling kepada pasien yaitu mungkin apoteker beranggapan konseling pasien tidak perlu dikarenakan pasien sudah paham penggunaan obat, kemudian belum terlaksananya konseling yang baik di apotek-apotek di Kabupaten Magetan oleh apoteker. Meskipun apoteker sudah pasti mendukung konseling dan mengetahui peran yang seharusnya dilakukan apoteker terhadap pelayanan pasien, akan tetapi peneliti ingin mengetahui persepsi apoteker terhadap pelaksanaan konseling di Kabupaten Magetan dan mengetahui disetiap apotek di Kabupaten Magetan sudah melaksanakan konseling kepada pasien atau belum. Selain itu, evaluasi terhadap persepsi apoteker dapat digunakan untuk melakukan intervensi terhadap komunitas apoteker dalam 3

menerapkan standar pelayanan kefarmasian yang lebih baik terutama dibidang konseling pasien di Kabupaten Magetan. METODE PENELITIAN Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini adalah penelitian non eksperimental dengan rancangan cross sectional yaitu mengukur atau mengumpulkan data tentang persepsi apoteker terhadap pelaksanaan konseling kepada pasien dan evaluasi pelaksanaan konseling di apotek-apotek kabupaten Magetan dalam waktu bersamaan. Dalam penelitian ini, data diambil dengan menggunakan cara pembagian atau penyebaran kuesioner. Pengisian kuesioner ini dilakukan oleh Apoteker Pengelola Apotek di Kabupaten Magetan. Data yang sudah diperoleh kemudian dianalisis dan selanjutnya ditentukan jumlah serta presentasenya. Definisi Operasional Berikut ini adalah batasan operasional yang dilakukan, bahwa yang dimaksud dengan : 1. Hubungan merupakan kesinambungan interaksi antara variabel persepsi apoteker terhadap pelaksanaan konseling kepada pasien dengan evaluasi pelaksanaan konseling di apotek-apotek untuk lebih memudahkan proses pengidentifikasi variabel tersebut. 2. Konseling pasien adalah suatu proses tatap muka atau wawancara yang dilakukan oleh apoteker yang bekerja di apotek di Kabupaten Magetan dengan pasien yang berkaitan tentang pengobatan pasien agar terapi pasien bisa berjalan dengan lancar dan baik. 3. Persepsi Apoteker adalah tindakan menyusun, mengenali, dan menafsirkan informasi sensoris yang dilakukan apoteker yang bekerja di apotek-apotek di Kabupaten Magetan guna memberikan gambaran dan pemahaman terhadap pelaksanaan konseling kepada pasien. 4. Evaluasi pelaksanaan konseling merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh apoteker terhadap kinerja pelaksanaan konseling kepada pasien yang dilakukan oleh apoteker yang bekerja di apotek-apotek di Kabupaten Magetan. 5. Kinerja pelaksanaan konseling merupakan proses/kegiatan konseling yang sudah dilakukan oleh apoteker yang bekerja di apotek-apotek di Kabupaten Magetan yang meliputi penyampaian informasi kepada pasien secara lengkap yaitu: cara pakai, efek samping obat, indikasi, kontraindikasi, dosis, interaksi obat, mekanisme aksi, penggunaan ibu hamil dan menyusui. Kemudian tersedianya ruang khusus konseling. Waktu dilaksanakan konseling. Kriteria pasien yang diberikan konseling. 4

Alat dan Bahan Penelitian 1. Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar kuesioner. Dalam kuesioner ini terdapat 4 bagian. Bagian pertama mengenai data apotek. Bagian kedua berisi data pribadi apoteker yang bekerja di apotek tersebut. Bagian ketiga mengenai persepsi apoteker terhadap pelaksanaan konseling pasien di apotek. Bagian keempat mengenai evaluasi pelaksanaan konseling terhadap pasien. 2. Bahan Bahan penelitian yang digunakan adalah Apoteker Pengelola Apotek (APA) di Kabupaten Magetan. Populasi dan Sampel 1. Populasi Dalam penelitian ini populasi yang dipakai adalah Apoteker Pengelola Apotek di Kabupaten Magetan yang bersedia menjadi responden untuk mengisi kuesioner, yaitu sebanyak 38 apoteker. 2. Sampel Dalam penelitian ini sampel yang akan dipakai adalah Apoteker Pengelola Apotek (APA) di Kabupaten Magetan yang bersedia mengisi kuesioner. Teknik Sampling Teknik sampling yang digunakan untuk penelitian ini adalah teknik accidental sampling. Accidental sampling merupakan teknik pengambilan sampel yang diperolehnya tidak direncanakan terlebih dahulu, melainkan secara langsung bertemu dan bersedia untuk dijadikan subjek penelitian yaitu apoteker pengelola apotek di Kabupaten Magetan. Teknik Pengambilan Data Teknik pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Membagikan kuesioner tentang persepsi apoteker terhadap pelaksanaan konseling kepada pasien dan evaluasi pelaksanaan konseling kepada Apoteker Pengelola Apotek untuk selanjutnya diisi. 2. Kuesioner yang sudah diisi oleh Apoteker Pengelola Apotek selanjutnya akan dilakukan analisis data untuk diketahui hasilnya. Tempat Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di apotek-apotek di Kabupaten Magetan. 5

Jalannya Penelitian 1. Perijinan a. Perijinan diajukan kepada Badan Kesatuan Bangsa, Politik, dan Perlindungan Masyarakat Kabupaten Magetan. b. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Magetan. c. Ketua Ikatan Apoteker Indonesia Kabupaten Magetan. 2. Pengambilan Data Pengambilan data dilakukan di apotek-apotek Kabupaten Magetan, dengan cara membagikan atau menyebarkan kuesioner kepada apoteker yang bekerja di apotek di Kabupaten Magetan dan selanjutnya diisi, kemudian dilakukan analisis data. 3. Analisis Data Dalam penelitian ini, data diperoleh dengan cara menyebarkan atau membagikan kuesioner terlebih dahulu. Kuesioner adalah teknik mengumpulkan data dengan memberikan sejumlah pernyataan atau pertanyaan yang tertulis kepada responden untuk dijawabnya (Sugiyono, 2007). Lembar kuesioner disebarkan atau dibagikan kepada responden, setelah diisi oleh responden, kuisioner tersebut dianalisis datanya untuk memperoleh hasil dan presentasenya. Lembar kuesioner terdiri dari 4 bagian, yaitu bagian pertama mengenai data apotek, bagian kedua mengenai data pribadi apoteker, bagian ketiga mengenai persepsi apoteker terhadap pelaksanaan konseling pasien, dan bagian keempat mengenai evaluasi pelaksanaan konseling terhadap pasien yang sudah dilakukan. Dari kriteria masing-masing kinerja apoteker dalam melaksanakan konseling tersebut, kemudian diambil skor keseluruhan untuk mendapat skor evaluasi kinerja. Kategori penilaian evaluasi kinerja berdasarkan kuesioner bagian IV sebagai berikut: a. Sangat baik : 80 b. Baik : 65-80 c. Cukup : 50-64 d. Kurang baik : < 50 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden Responden dalam penelitian ini adalah Apoteker pengelola apotek di Kabupaten Magetan yang bersedia mengisi kuesioner yaitu berjumlah 38 apoteker. Karakteristik profil apoteker dapat dibagi menjadi beberapa karakteristik yaitu usia, jenis kelamin, lama 6

pengalaman kerja, frekuensi datang ke apotek, lamanya apoteker berada di apotek, status pekerjain lain selain menjadi apoteker dan pernyataan pribadi dari apoteker mengenai pelaksanaan konseling. Tabel 1. Gambaran Demografi Profil Apoteker Pengelola Apotek di Kabupaten Magetan Data demografi Jumlah responden Presentase (%) Jenis kelamin 1. Laki-laki 2. Perempuan Usia 1. 20-25 tahun 2. 26-35 tahun 3. 36-40 tahun 4. >40 tahun Lama pengalaman kerja 1. <1 tahun 2. 1-5 tahun 3. 5-10 tahun 4. >10 tahun Frekuensi datang ke apotek 1. sebulan sekali 2. sebulan 2kali 3. seminggu 1-3kali 4. seminggu3-5kali 5. setiap hari Lamanya apoteker berada di apotek 1. <1 jam 2. 1-3jam 3. 4-6jam 4. >6jam Pekerjaan lain selain menjadi apoteker 1. Ya a. PNS b. Wiraswasta c. Guru SMF 2. Tidak Konseling itu penting? 1. Ya 2. Tidak Sudah melaksanakan konseling? 1. Ya 2. Tidak 4 34 2 26 4 6 4 13 13 8 0 1 10 12 15 0 8 18 12 12 8 1 3 26 37 1 10,52% 89,48% 5,26 68,42 10,53 15,79 10,53 34,21 34,21 21,05 0 2,63 26,31 31,58 39,47 0 21,05 47,39 31,58 31,58 68,42 97,37 2,63 34 89,47 4 10,53 Jumlah 38 100,0 Pada tabel 1 di atas menunjukkan bahwa dari 38 responden yang bersedia mengisi kuesioner, sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan yaitu sejumlah 34 responden, sedangkan laki-laki berjumlah 4 responden, dengan rata-rata usianya yaitu sebesar 68,42% berusia 26-35 tahun. Sebanyak 23 responden perempuan berusia 26-35 tahun dan 3 laki-laki berusia 26-35 tahun. Hal ini menurut BPS (2006) bahwa dengan semakin kondusif dorongan keterlibatan wanita dalam sektor publik dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan dan sebagian besar adalah wanita yaitu sebanyak 78,5%. 7

Sebagian besar Apoteker Pengelola Apotek di Kabupaten Magetan sudah mempunyai pengalaman kerja antara 1-5 tahun dan 6-10 tahun yaitu masing-masing sebesar 34,21%. Sebanyak 15 responden (39,47%) setiap hari datang ke apotek. Sebanyak 12 (31,58%) responden menyatakan seminggu 3-5 kali untuk datang ke apotek. Apoteker yang menjadi responden pada penelitian ini sebagian besar tidak memiliki pekerjaan lain selain menjadi apoteker yaitu sebanyak 26 responden (68,42%). Hanya 12 responden yang memiliki pekerjaan lain, yaitu diantaranya bekerja sebagai PNS sebanyak 8 responden, bekerja sebagai wiraswasta 1 responden, dan sebagai staf guru di SMF sebanyak 3 responden. Maka dari itu, dengan sedikitnya Apoteker Pengelola Apotek yang tidak memiliki pekerjaan lain selain apoteker, sebagian besar Apoteker Pengelola Apotek di Kabupaten Magetan bisa berada di apotek setiap hari dengan frekuensi berada di apotek selama lebih dari 4 jam. Sebanyak 97,37% responden menyatakan konseling itu penting dan sebesar 89,47% menyatakan sudah melaksanakan konseling pasien. Hal ini menunjukkan bahwa Apoteker Pengelola Apotek di Kabupaten Magetan menyatakan konseling kepada pasien di apotek itu perlu dilakukan. Persepsi Apoteker terhadap Pelaksanaan Konseling Pasien di Apotek-Apotek di Kabupaten Magetan Pada penelitian ini diketahui data keseluruhan bahwa 87,37% menyatakan sikap sangat mendukung terhadap pelaksanaan konseling pasien di apotek. Sebesar 10,32% menyatakan sikap mendukung, dan sebesar 2,31% menyatakan sikap cukup mendukung. Hal ini dapat disajikan dalam tabel 2. Tabel 2. Persepsi Apoteker terhadap Pelaksanaan Konseling kepada Pasien di Apotekapotek Kabupaten Magetan Persepsi terhadap Pelaksanaan Konseling N % Mendukung 4 10,5 Cukung mendukung 1 2,6 Sangat mendukung 33 86,9 38 100,0 Dalam persepsi terdapat komponen kognitif yang berhubungan dengan bagaimana orang mempersepsi terhadap obyek dan komponen konatif yaitu besar kecilnya kecenderungan bertindak atau berperilaku seseorang terhadap obyek (Walgito, 1993). Apoteker memiliki pandangan bahwa konseling memiliki kepentingan atau manfaat yang didapat apoteker, persepsi dipengaruhi oleh faktor kepentingan individu tersebut terhadap obyek yang dipersepsikan (Hamka, 2002). Apoteker harus memiliki kemampuan khusus dalam melaksanakan konseling pasien. Persepsi dipengaruhi dari faktor individu 8

yang mempersepsikan, antara lain faktor kemampuan atau bakat yang dimiliki oleh individu (Sarwono, 1995). Jika apoteker kurang/tidak memiliki kemampuan dalam melaksanakan konseling, maka akan mempengaruhi cara pandang atau persepsi apoteker terhadap konseling. Evaluasi Pelaksanaan Konseling Pasien Pada penelitian ini evaluasi pelaksanaan konseling diperoleh dari data-data yang terdapat pada lampiran 3, sehingga diperoleh hasil-hasil penelitian yang disajikan dalam tabel 3. sebagai berikut: Tabel 3. Data Ketersediaan Ruang Khusus Konseling Pasien di Apotek-Apotek di Kabupaten Magetan Ketersediaan Ruang Khusus Konseling Pasien N % Belum menyediakan 7 18,4 Menyediakan 30 81,6 38 100,0 Berdasarkan tabel 3. diketahui bahwa sejumlah 30 (81,6%) apotek di Kabupaten Magetan belum menyediakan ruang khusus konseling, sedangkan yang belum menyediakan ruang khusus konseling sebanyak 7 (18,4%) apotek saja. Tidak tersedianya tempat khusus atau ruang khusus untuk melakukan konseling merupakan sebuah kendala besar dan salah satu faktor kenapa pelaksanaan konseling belum berjalan sangat baik. Dalam hal konseling diperlukan ruang khusus, karena dapat meningkatkan penerimaan pasien terhadap informasi konseling yang diberikan, sehingga pasien kemungkinan bisa patuh terhadap regimen obat, dan memberikan kepuasan pada pelayanan ini (Surya, 2003). Tabel 4. Data Waktu Khusus untuk Melaksanakan Konseling Pasien di Apotek-Apotek di Kabupaten Magetan Waktu Khusus untuk Melaksanakan Konseling Pasien N % Bila diminta 9 24 Waktu tertentu 9 24 Setiap saat 20 52 38 100,0 Berdasarkan tabel 4. diketahui sebanyak 52% atau sebanyak 20 responden memberikan waktu setiap saat untuk melakukan konseling. Sebesar 24% atau sebanyak 9 responden sudah menyediakan waktu tertentu untuk melakukan konseling, dan sebesar 24% atau sebanyak 9 responden melakukan konseling apabila diminta. Dengan adanya waktu yang terjadwal untuk melakukan konseling akan mempengaruhi tingkat terapi pengobatan pasien untuk lebih baik (Surya, 2003). 9

Tabel 5. Data Kriteria Pasien yang Diberikan Konseling di Apotek-Apotek Kabupaten Magetan Kriteria Pasien yang Diberikan Konseling N % Bila diminta 10 26 Dengan penyakit tertentu 12 32 Semua pasien 16 42 38 100,0 Berdasarkan tabel 5. diketahui bahwa sebesar 42% atau sebanyak 16 responden sudah melakukan konseling kepada semua pasien, sebesar 32% atau sebanyak 12 responden diberikan kepada pasien dengan penyakit tertentu. Menurut Monita (2009), konseling dapat dilakukan kepada semua pasien, tetapi karena keterbatasan waktu pelaksanaan konseling dilakukan pada pasien dengan keadaan khusus sebagai berikut, pasien dengan penyakit kronik seperti : diabetes, TB, dan asma. Pasien dengan sejarah ketidakpatuhan dalam pengobatan, pasien yang menerima obat dengan indeks terapi sempit yang memerlukan pemantauan, pasien dengan multirejimen obat, pasien lansia, pasien pediatrik melalui orang tua atau pengasuhnya, pasien yang mengalami masalah berkaitan dengan obat atau Drug Related Problems (DRP). Tabel 6. Data Informasi yang disampaikan apoteker kepada pasien di apotek-apotek di Kabupaten Magetan Informasi yang disampaikan kepada pasien tentang pengobatan Jumlah Persen Cara pakai obat 38 100,0% Dosis obat Indikasi obat Efek samping obat Penggunaan pada ibu hamil dan menyusui Kontraindikasi obat 36 31 27 22 14 94,74% 81,58% 71,05% 57,80% 36,84% Interaksi obat 7 18,42% Mekanisme aksi obat 4 10,53% Berdasarkan penelitian, responden yang melaksanakan konseling kepada pasien hanya memberikan informasi tentang penggunaan obat, cara pakai obat dan dosis pemakaian. Seluruh responden atau sebesar 100% responden sudah memberikan informasi mengenai cara pakai obat. Sebesar 94,74% menyampaikan dosis pemakaian, sebesar 18,42% menyampaikan interaksi obat, sebesar 10,53% responden menyampaikan mekanisme aksi, sebesar 71,05% responden sudah menyampaikan efek samping obat yang terjadi, sebesar 81,58% responden menyampaikan indikasi obat, sebesar 36,84% responden menyampaikan informasi terkait kontraindikasi obat, dan sebesar 57,80% responden menyampaikan penggunaan pada ibu hamil dan menyusui. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa belum sepenuhnya atau seluruhnya informasi disampaikan. Hal ini dikarenakan belum adanya jadwal atau ruang 10

khusus di apotek untuk melakukan konseling pasien. Meskipun menurut hasil penelitian diketahui waktu pemberian konseling tercatat sebesar 52% responden memberikan konseling setiap saat. Sebagian besar responden hanya menyampaikan sebagian informasi yang harus disampaikan. Selain itu juga belum adanya niat atau minat dari pasien itu sendiri untuk melakukan konseling. Berdasarkan data yang diperoleh di atas, evaluasi pelaksanaan konseling di Kabupaten Magetan didapatkan hasil seperti tampak pada tabel 7. Tabel 7. Data Evaluasi Pelaksanaan Konseling Kepada Pasien di Apotek-Apotek di Kabupaten Magetan Evaluasi Pelaksanaan Konseling N Persen (%) Cukup 13 34,21 Baik 25 65,78 Jumlah 38 100,0 Berdasarkan tabel 7. diketahui bahwa sebanyak 34,21% menyatakan cukup dan 65,78% menyatakan baik. Berdasarkan data tersebut, untuk penilaian evaluasi pelaksanaan konseling terhadap pasien di apotek-apotek di Kabupaten Magetan mayoritas tergolong baik (65,78%). Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas responden dalam evaluasi pelaksanaan konseling kepada pasien di apotek-apotek Kabupaten Magetan tergolong baik. Menurut Rantucci (2009), syarat agar pelaksanaan konseling bisa berjalan dengan baik adalah tersedianya ruangan khusus untuk melakukan konseling, efektivitas pemberian konseling, informasi yang disampaikan kepada pasien harus lengkap dan jelas, yaitu cara pakai obat, efek samping obat, indikasi, kontraindikasi, dosis, interaksi obat, mekanisme aksi, penggunaan ibu hamil dan menyusui. Untuk mengatasi kendala-kendala yang terjadi diperlukan suatu perubahan dari apoteker itu sendiri, perubahan masing-masing apoteker sangat diperlukan agar apoteker dapat melaksanakan layanan konseling kepada pasien dengan baik. Pada dasarnya, penelitian ini ada kelemahan dan kelebihannya. Kelemahan penelitian ini adalah tidak adanya peran serta pasien atau tanggapan pasien mengenai pentingnya konseling pasien. Sehingga belum diketahui bagaimana tanggapan masyarakat mengenai pentingnya dilaksanakan konseling pasien di apotek. Sedangkan untuk kelebihan penelitian ini adalah sebagai tolok ukur atau bahan evaluasi tenaga kefarmasian khususnya apoteker, untuk semakin bisa memberikan pelayanan kefarmasian kepada masyarakat dengan baik. 11

Analisis hubungan Persepsi Apoteker terhadap Pelaksanaan Konseling kepada Pasien dengan Evaluasi Pelaksanaan Konseling di Apotek-apotek Kabupaten Magetan Berdasarkan hasil analisis data maka dapat diketahui hubungan antara persepsi apoteker terhadap pelaksanaan konseling kepada pasien dengan evaluasi pelaksanaan konseling di Apotek-apotek Kabupaten Magetan seperti tampak pada tabel 8. Tabel 8. Crostab hubungan antara persepsi apoteker terhadap pelaksanaan konseling kepada pasien dengan evaluasi pelaksanaan konseling di Apotek-apotek Kabupaten Magetan Persepsi Evaluasi Cukup Baik Total p-value Keputusan χ 2 Mendukung 8 16 24 (%) 21,05 42,10 63,15 Sgt Mendukung 5 9 14 0,001 Hubungan 22,271 (%) 13,15 23.68 36.84 Signifikan Total 13 25 38 34,21 65,78 100,00 Berdasarkan tabel 8, persepsi apoteker terhadap pelaksanaan konseling kepada pasien mendukung dengan evaluasi pelaksanaan konseling keaktifan tergolong cukup sebanyak 8 orang (21,05%) dan baik sebanyak 16 orang (63,15%), sedangkan persepsi apoteker terhadap pelaksanaan konseling kepada pasien sangat mendukung dengan evaluasi pelaksanaan konseling keaktifan tergolong cukup sebanyak 5 orang (13,5%) dan evaluasi baik sebanyak 9 orang (23,68%). Hal ini berarti mayoritas responden mempunyai persepsi yang mendukung dengan evaluasi baik yaitu sebanyak 16 orang (63,15%). Hasil uji statistik dengan menggunakan analisis uji Chi-square (χ 2 ) yang mempunyai nilai 22,271 dengan nilai probabilitas (ρ) = 0,001, sehingga Ho ditolak, artinya bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi apoteker terhadap pelaksanaan konseling kepada pasien dengan evaluasi pelaksanaan konseling di Apotek-apotek Kabupaten Magetan, semakin mendukung persepsi apoteker terhadap pelaskanaan konseling kepada pasien maka semakin baik evaluasi pelaksanaan konseling. Adapun kontribusi persepsi apoteker terhadap pelaksanaan konseling kepada pasien dengan evaluasi pelaksanaan konseling di Apotek-apotek Kabupaten Magetan sebesar 22,27%. Artinya bahwa persepsi apoteker terhadap pelaksanaan konseling kepada pasien hanya memberikan dampak terhadap evaluasi pelaksanaan konseling di Apotekapotek Kabupaten Magetan sebesar 22,27% sehingga masih ada 77,73% dipengaruhi oleh faktor yang tidak diteliti dalam penelitian ini. 12

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan penelitian dan hasil analisis data, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Berdasarkan penelitian dan perhitungan pada bagian persepsi apoteker terhadap pelaksanaan konseling kepada pasien diperoleh hasil sebanyak 63,15% apoteker yang bekerja di apotek Kabupaten Magetan menyatakan sikap mendukung. 2. Berdasarkan penelitian dan perhitungan secara keseluruhan pada bagian evaluasi diperoleh hasil baik yaitu sebanyak 65,78%. 3. Terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi apoteker terhadap pelaksanaan konseling kepada pasien dengan evaluasi pelaksanaan konseling. Kontribusi persepsi apoteker terhadap pelaksanaan konseling kepada pasien dengan evaluasi pelaksanaan konseling di Apotek-apotek Kabupaten Magetan sebesar 22,27%. Artinya bahwa persepsi apoteker terhadap pelaksanaan konseling kepada pasien hanya memberikan dampak terhadap evaluasi pelaksanaan konseling di Apotek-apotek Kabupaten Magetan sebesar 22,27% sehingga masih ada 77,73% dipengaruhi oleh faktor yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Saran 1. Perlunya peningkatan pelayanan kefarmasian dibidang konseling pasien, dengan menyediakan waktu untuk konseling, menyediakan ruang khusus untuk konseling dan menambah pengetahuan dan kemampuan tentang konseling dari literatur atau pelatihan untuk apoteker. 2. Perlu diadakan dan dilakukan sosialisasi kepada apoteker dan pasien terkait pentingnya pelaksanaan konseling kepada pasien. 3. Apoteker wajib memberikan informasi yang jelas dan lengkap kepada pasien. 4. Perlu dilakukan penelitian tentang persepsi pasien atau konsumen apotek terhadap pentingnya konseling pasien di apotek. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada Ibu Anita Sukmawati, Ph.D., Apt dan Ibu Tri Yulianti, M.Si selaku pembimbing skripsi. 13

DAFTAR ACUAN Aryahani, 2007, Perencanaan Dan Penyiapan Pelayanan Konseling Obat Serta Pengkajian Resep Bagi Penderita Rawat Jalan di Rumah Sakit Immanuel Bandung, (online), (http ://www.itbcentrallibrary.ac.id diakses 6 Februari 2013). Depkes RI, 2004, Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1027 /MENKES/SK/2004, Tentang Standar Pelayanan Farmasi Rumah Sakit, Departemen Kesehatan RI: Jakarta. Depkes RI, 2006, Pedoman Konseling Pelayanan Kefarmasian di Sarana Kesehatan, Departemen Kesehatan RI: Jakarta Depkes RI, 2009, Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian, Departemen Kesehatan RI: Jakarta. Hamka, M., 2002, Hubungan Antara Persepsi Terhadap Pengawasan Kerja Dengan Motivasi Berprestasi, Skripsi, Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta. Kab. Magetan, 2012, Profil Daerah Kabupaten/Kota Di Jawa Timur Tahun 2007 2012, Kabupten Magetan. Kessler, D., 1992, A Challenge for American Pharmacist, Am Pharm, 32, 1, 33-36. Monita, 2009, Evaluasi Implementasi Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek di Kota Padang, Tesis, Program Pasca Sarjana Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta. Poudel, A., Khanal, S., Alam, K. dan Palaian, S., 2009, Perception Of Nepalese Community Pharmacists Towards Patient Counseling And Continuing Pharmacy education Program: A Multicentric Study, Journal of Clinical and Diasnostic Research, 3, 1408-1413. Purwanti, A., Harianto dan Supardi, S., 2004, Gambaran Pelaksanaan Standar Pelayanan Farmasi di Apotek DKI Jakarta Tahun 2003, Majalah Ilmu Kefarmasian, 2, 1, 102-115. Rantucci, M. J., 2009, Komunikasi Apoteker-Pasien: Panduan Konseling Pasien, diterjemahkan oleh Sani, A. N., Edisi kedua, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Sarwono, S. R., 1995, Psikologi Lingkungan, P.T. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta Sugiyono, 2006, Metode Penelitian Bisnis, Alfabeta: Bandung. Surya, M., 2003, Psikologi Konseling, Penerbit Bani Quraisy: Bandung. Walgito, B., 1993, Pengantar Psikologi Umum, Andi Offset, Yogyakarta. 14