38 BAB IV ANALISIS DAN PERANCANGAN 4.1 Analisis Model Bisnis Proses Saat ini Pengumpulan data yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan bagi manajemen dilakukan secara manual dari berbagai pihak baik di pusat maupun di daerah. Karena pelaporan/pengumpulan data dilakukan secara manual, terutama data yang berasal dari daerah sering terjadi keterlambatan pelaporan. Hal ini mengakibatkan proses pengambilan keputusan oleh manajemen menjadi terlambat. Selanjutnya untuk proses analisis data dilakukan berdasarkan data yang dikumpulkan tersebut secara manual dan langsung. Proses analisis tidak dapat ditentukan standar waktu lama pengolahan karena juga berhubungan dengan pelaporan data daerah dan pengumpulan data dari sumber-sumber data di pusat. Bentuk pelaporan kepada pihak manajemen dalam format yang sudah standar. Namun apabila pihak manajemen memerlukan bentuk analisis yang lain maka bagian pengolah data perlu membuat bentuk/sajian baru. Pengumpulan data Analisis Data Pengambilan Keputusan Gambar 4.1 Bisnis Proses Global di BKP 38
39 4.2 Permasalahan Sistem Informasi saat ini Permasalahan yang terjadi dari bisnis proses saat ini adalah keterlambatan waktu pengumpulan data. Selanjutnya proses analisis dilaksanakan secara manual, sehingga tidak ada standar lamanya waktu pengolahan dan analisis data. Hal ini mengakibatkan pihak manajemen sangat tergantung dengan pengolah/penganalisis data. Sedangkan kebutuhan saat ini yang diperlukan oleh Badan Bimas Ketahanan Pangan adalah suatu proses pengambilan keputusan yang cepat dan tepat. Dari segi proses pengumpulan data, permasalahan tersebut dapat dieliminir dengan menggunakan data warehouse melalui database yang ada di Departemen Pertanian. Pengumpulan dan entri data dalam database dapat dilakukan melalui 2 (dua) metode yaitu metode online dan metode manual. Yang dimaksud dengan metode online adalah pengumpulan data secara online dapat ditransfer dari database ke data warehouse. Artinya data yang diperlukan dalam data warehouse tidak perlu lagi dilakukan entri data ke database oleh pemilik data warehouse. Hal ini karena data yang diperlukan dari sumber informasi sudah terkoneksi dengan database yang selanjutnya ditransfer ke data warehouse. Data yang sudah dapat dilakukan pengumpulannya secara online berasal dari sumber-sumber informasi di Departemen Pertanian. Data-data tersebut meliputi datadata yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan, Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian serta Pusat Data dan Informasi Pertanian. Sedangkan yang dimaksud dengan metode pengumpulan data manual adalah pengumpulan data yang dilakukan pemilik database yang melakukan entry data
40 tersebut. Hal ini dikarenakan data dari sumber informasi belum terkoneksi dengan sistem data warehouse yang dimiliki oleh pemilik data warehouse. Data yang masih dikumpulkan secara manual berasal dari pihak-pihak yang datanya belum secara online terkoneksi dengan database Departemen Pertanian. Data tersebut berasal dari instansi di luar Departemen Pertanian seperti Badan Pusat Statistik dan instansi lainnya di daerah. Selanjutnya untuk proses analisis data dibuat secara otomatis dengan menggunakan data warehouse tersebut melalui Sistem Informasi Eksekutif. Sistem informasi eksekutif ini dapat melakukan proses analisis mengenai kondisi ketahanan pangan di suatu wilayah berdasarkan data yang tersedia dalam data warehouse. Dengan adanya sistem ini maka pihak manajemen tidak lagi bergantung pada bagian pengolah/penganalisis data karena dapat secara langsung melihat hasil pengolahan dari sistem informasi eksekutif. Selain itu bagian manajemen dapat melihat kondisi ketahanan pangan di suatu wilayah kapan saja. 4.3. Kebutuhan Informasi Eksekutif Guna mengetahui kebutuhan informasi mengenai CSF dalam analisis ketahanan pangan maka dilakukan wawancara dengan eksekutif dan bagian pengelola data serta bagian analisis data ketahanan pangan yang merupakan staf struktural pada Badan Bimas Ketahanan Pangan. Berdasarkan informasi tersebut diperoleh dimensidimensi dan indikator-indikator dalam analisis ketahanan pangan yang merupakan variabel yang digunakan dalam analisis ketahanan pangan.
41 Solusi untuk mempermudah pembuatan sistem informasi Eksekutif Kerawanan Pangan maka dari setiap informasi kritis CSF ditentukan jumlah dimensi dan jumlah variabel-variabel data yang dibutuhkan. Setelah selesai penentuan dimensi dan masing-masing variabel kemudian dilakukan perancangan EIS. Dimensi-dimensi dan indikator serta komoditas yang tercakup dalam analisis ketahanan pangan disajikan pada tabel berikut : Tabel 4.1 CSF Untuk Setiap Dimensi Ketahanan Pangan No. Dimensi Indikator Keterangan 1. Ketersediaan Pangan - Ketersediaan Pangan - Konsumsi Normatif Pangan Komoditi : 1. Beras 2. Jagung 2. Akses Pangan - Penduduk Miskin - Rumah Tangga Tidak Akses Listrik - Jalan yang Dapat Diakses Roda 4 Wilayah : - Nasional - Kecamatan 3. Penyerapan Pangan - Angka Kematian Bayi - Harapan Hidup Anak Usia 1 Tahun - Anak-anak Kekurangan Gizi - Rumah Tangga Tanpa Akses Air Bersih - Letak Puskesmas - Wanita buta Huruf Periode : - Tahunan
42 4.3.1 Ketersediaan Pangan Ketersediaan pangan merupakan salah satu aspek utama dalam menentukan ketahanan pangan suatu daerah. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketersedian pangan meliputi produksi padi dan jagung (serealia) sebagai makanan pokok sebagian besar masyarakat serta konsumsi normatif rata-rata untuk memenuhi kebutuhan kalori. Untuk itu diperlukan data produksi beras bersih, produksi jagung bersih untuk konsumsi manusia, dan konsumsi normatif masyarakat. 4.3.2 Akses Pangan Akses pangan menunjukkan kemampuan distribusi pangan terhadap suatu daerah. Indikator yang termasuk pada dimensi akses pangan adalah jumlah penduduk miskin, penduduk tidak akses listrik dan jalan yang dapat diakses roda empat. Indikator penduduk miskin menggambarkan ketidakmampuan masyarakat untuk mendapatkan cukup pangan. Fasilitas listrik dapat membuka peluang akses pekerjaan. Akses jalan roda empat akan mampu mendukung kondisi ekonomi masyarakat. 4.3.3 Penyerapan Pangan Penyerapan pangan menggambarkan tingkat konsumsi yang meliputi infrastruktur kesehatan dan akibat yang ditimbulkan dilihat dari aspek nutrisi dan kesehatan. Untuk itu maka diperlukan data tingkat kematian bayi, angka
43 harapan hidup, jumlah anak kekurangan gizi, rumah tangga akses air bersih dan letak Puskesmas serta wanita yang buta huruf. 4.4 Analisis Sistem Informasi Eksekutif Dari analisis kebutuhan informasi yang selanjutnya didapatkan variabel dimensi dan indikator kerawanan pangan diperlukan suatu analisis alur penentuan tingkat kerawanan pangan. Melalui wawancara terhadap pegawai struktural di Badan Bimas Ketahanan Pangan didapatkan alur penghitungan tingkat kerawanan pangan. Kondisi kerawanan pangan di suatu wilayah ditentukan oleh kondisi 3 (tiga) dimensi, yaitu ketersediaan pangan, akses pangan dan penyerapan pangan. Dimensi ketersediaan pangan ditentukan oleh indikator ketersediaan dan konsumsi normal dari padi dan jagung (serelia). Sedangkan untuk dimensi akses pangan ditentukan oleh indikator jumlah penduduk miskin dan indikator infrastruktur (variabel rumah tangga tidak mendapat akses listrik dan persentase jalan yang dapat diakses roda empat). Sedangkan dimensi penyerapan pangan ditentukan oleh nilai indikator Outcome Nutrisi (ditentukan oleh variabel tingkat kematian bayi, harapan hidup usia 1 tahun, dan persentase anak yang kekurangan gizi), indikator infrastruktur kesehatan (variabel jumlah rumah tangga yang mendapatkan akses air bersih dan jumlah penduduk yang jarak ke puskesmas terdekat lebih dari 5 kilometer) serta indikator jumlah wanita yang buta huruf. Alur penghitungan kerawanan pangan tersebut sebagai berikut :
44 TABEL PRODUKSI PADI - Produksi Padi : kg (P) (Rata-rata 3 th terakhir) P Produksi Padi Bersih (Pnet) = P x (1-(s+f+w)) s = 0.0088 f = 0.02 w = 0.054 Pnet Produksi Beras Bersih (Rnet) = Pnet x c c = 0.632 Rnet Diolah Per Propinsi Indeks Ketersediaan Pangan Kab. (IAV) : = (KP kab - KP min) (KP max KP min KONVERSI PADI - Pulau (Jawa/ Luar Jawa) - Bibit (s) - Pakan (f) - Tercecer (w) - Konversi Padi ke Beras (c) S, f, w c Ketersediaan Pangan (Pfood) = Rnet + Mnet TABEL PRODUKSI JAGUNG - Produksi Jagung : kg (M) (Rata-rata 3 th terakhir) M Produksi Jagung Bersih (Mnet) = M x cn cn = 0.60 Mnet Pfood KP KONSUMSI JAGUNG - Pulau (Jawa/ Luar Jawa) - Persen Konsumsi Jagung (cn) cn Ketersediaan Pangan (F) = Pfood / (tpop x 365) F Konsumsi Pangan Normatif (KP) = Cnorm / F Cnorm = 0.3 TABEL POPULASI - Populasi Penduduk (tpop) tpop KONSUMSI NORMATIF - Pulau (Jawa/ Luar Jawa) - Konsumsi Normatif (Cnorm) Cnorm Gambar 4.2 Penghitungan Indeks Ketersediaan Pangan
45 TABEL PENDUDUK MISKIN - Persen Penduduk Miskin (%PM) %PM Indeks Penduduk Miskin (IPBL) : = (%PM kab - %PM min) (%PM max %PM min) IPBL Diolah Per Propinsi Indeks Akses Pangan Kab. (IFLA) : = 1/2 (IPBL + IRI) TABEL TDK AKSES LISTRIK - Persen RT tdk akses (%RTL) %RTL Indeks Tidak Akses Listrik (IEC) : = (%RTL kab - %RTL min) (%RTL max %RTL min) IEC IRI Indeks Infrastruktur (IRI) : = ½ (IEC + IIR4) TABEL JALAN - Persen Jln Akses Roda 4 (%R4) %R4 Invers Akses Roda 4 (IR4) = 1/%R4 IR4 Indeks InversAkses Roda 4 (IW4) = (IR4 kab - IR4 min) (IR4 max IR4 min) IW4 Gambar 4.3 Penghitungan Indeks Akses Terhadap Pangan
46 TABEL KEMATIAN BAYI - Angka Kematian Bayi (MB) MB Indeks Kematian Bayi (IMR) : = (MB kab - MB min) (MB max MB min) IMR TABEL HARAPAN HIDUP 1 TH - Harapan Hidup Usia 1 Th (HH) HH Invers Hrpan Hidup (IHH) = 1/HH IHH Indeks Inv. Harapan Hidup (ILEX) = (IR4 kab - IR4 min) (IR4 max IR4 min) ILEX Indeks Outcome Nutrisi Kesehatan (IHNO) = 1/3 (IMR + ILEX + INUT) IHNO TABEL ANAK KURANG GIZI - Persen Anak Kurang Gizi (%KG) %KG Indeks Anak Kurang Gizi (INUT) = (%KG kab - %KG min) (%KG max %KG min) INUT TABEL PENDUDUK AKSES AIR - Persen P.duduk Akses Air (%AA) %AA Invers Akses Air (IAA) = 1/%AA IAA Indeks Inv. Akses Air (IWAT) : = (%AA kab - %AA min) (%AA max %AA min) IWAT TABEL PUSKESMAS > 5 KM - % Pddk > 5 Km Puskesmas (%Pk) %Pk Indeks Pukesmas (IPUS) : = (%Pk kab - %Pk min) (%Pk max %Pk min) Indeks Infrastruktur Kesehatan (IHI) = 1/3 (IWAT + IPUS) IPUS IHI TABEL WANITA BUTA HURUF - % Wanita Buta Huruf (%WB) %WB Indeks Wanita Buta Huruf (IFI) : = (%WB kab - %WB min) (%WB max %WB min) IFI Diolah Per Propinsi Indeks Penyerapan Pangan Kab. (IFU) : = 1/3 (IHNO + IHI + IFI) Gambar 4.4 Penghitungan Indeks Penyerapan Pangan
47 Indeks Ketersediaan Pangan (IAV) : = (KP kab - KP min) (KP max KP min IAV Indeks Akses Pangan Kab. (IFLA) : = 1/2 (IPBL + IRI) IFLA Indeks Komposit Kerawanan Pangan (ICFI) = 1/3 (IAV + IFLA + IFU) Indeks Penyerapan Pangan Kab. (IFU) : = 1/3 (IHNO + IHI + IFI) IFU Range Indeks : > 0.80 Sangat Rawan Pangan 0.64 - < 0.80 Rawan Pangan 0.48 - < 0.64 Agak rawan Pangan 0.32 - < 0.48 Cukup Tahan Pangan 0.16 - < 0.32 Tahan Pangan < 0.16 Sangat Tahan Pangan Range indeks ini juga berlaku untuk penilaian dimensi dan indikator. Gambar 4.5 Penghitungan Indeks Komposit Ketahanan Pangan
48 Peta Kerawanan Nasional dan Tabel ICFI Kabupaten Pilih Peta Kabupaten Peta Kabupaten dan Tabel Dimensi IAV, IFLA, IFU Kabupaten Tersebut Pilih Dimensi Indeks Indikator dari Dimensi yang dipilih Jika Pilih Nasional MENU UTAMA KERAWANAN PANGAN: - NASIONAL - PER PROPINSI Jika Pilih Per Propinsi Daftar List Nama Propinsi Pilih Nama Propinsi Peta Kerawanan Propinsi dan Tabel ICFI Kabupaten Pilih Peta Kabupaten Peta Kabupaten dan Tabel Dimensi IAV, IFLA, IFU Kabupaten Tersebut Pilih Dimensi Indeks Indikator dari Dimensi yang dipilih Gambar 4.6 Menu Output
49 4.4.1 Rancangan Input Data input sistem informasi Eksekutif Kerawanan Pangan bersumber pada kebutuhan informasi kritis CSF. Informasi tersebut selanjutnya dijabarkan sebagai dasar perancangan input sistem informasi Eksekutif Kerawanan Pangan. Mengingat bahwa sistem ini menggunakan data dari data warehouse maka entry data dilakukan dalam database yang lain. Melalui data warehouse maka data yang tersimpan dalam database dapat langsung diekstrak ke dalam data warehouse. Selanjutnya dari data warehouse tersebut data diolah dalam sistem ketahanan pangan ini. 4.4.2 Rancangan EIS Proses pengolahan data dilakukan guna mendapatkan informasi mengenai kondisi ketahanan pangan di suatu wilayah. Dari beberapa variabel dengan cakupan wilayah yang berbeda-beda dilakukan penilaian untuk indikator-indikator tertentu. Penilaian untuk setiap indikator dapat berupa rasio maupun persentase tergantung dari setiap indikator yang diukur. Untuk setiap indikator-indikator pada dimensi yang sama dilakukan penghitungan skor untuk dimensi tersebut. Total nilai skor untuk setiap dimensi antara 0 sampai dengan 1. Hasil rata-rata dari penghitungan ketiga dimensi menghasilkan kesimpulan mengenai kondisi ketahanan pangan di suatu wilayah.
50 Tingkatan untuk kondisi ketahanan pangan atau prioritas kerawanan pangan di suatu wilayah dapat dilihat dari indeks berikut : Batasan Indeks : Prioritas 1 = > 0.80 Sangat Rawan Pangan Proritas 2 = 0.64 - < 0.80 Rawan Pangan Prioritas 3 = 0.48 - < 0.64 Agak rawan Pangan Prioritas 4 = 0.32 - < 0.48 Cukup Tahan Pangan Prioritas 5 = 0.16 - < 0.32 Tahan Pangan Prioritas 6 = < 0.16 Sangat Tahan Pangan Prioritas menunjukkan tingkat kerawanan pangan yang menjadikan prioritas dalam menuju ketahanan pangan di suatu wilayah. Semakin besar prioritas menunjukkan ketahanan pangan di suatu wilayah semakin tahan pangan atau semakin menurunnya tingkat kerawanan pangan. Variabel : Komoditi, Tingkat Wilayah, Periode, dan Variabel Lainnya Indikator-indikator Ketersediaan Pangan Indikator-indikator Akses Pangan dan Sumber Nafkah Indikator-indikator Pemanfaatan/ Penyerapan Pangan Dimensi Ketersediaan Pangan Dimensi Akses Pangan dan Sumber Nafkah Dimensi Pemanfaatan/ Penyerapan Pangan KETAHANAN PANGAN Gambar 4.7 Proses Analisis Data Ketahanan Pangan
51 Rancangan EIS dalam sistem informasi Eksekutif Kerawanan Pangan ini menggunakan spesifikasi teknis sebagai berikut : a. Engine : - Basisdata Engine : MS SQL Server 2000 Enterprise - Data warehouse Engine : MS SQL 2000 Analitical Server b. Arsitektur Aplikasi : - Web dengan menggunakan ASP, Microsoft IIS, Microsoft OWC - Excel dengan Microsoft Excel XP 4.4.3 Rancangan Output Setiap data yang masuk dalam EIS diubah dalam bentuk laporan dan analisis periodik sesuai dengan kebutuhan eksekutif yang bersangkutan. Laporan yang dihasilkan mudah dibaca dan dipahami oleh eksekutif untuk melakukan pengambilan keputusan/ kebijakan mengenai ketahanan pangan. Bentuk laporan dan analisis dapat berupa gambar, peta, grafik, tabel dan lainnya. Setiap output dibuat file-filenya agar data tersebut dapat disimpan dan digunakan sewaktu-waktu oleh eksekutif. Laporan juga dapat menampilkan penyebab-penyebab dari kondisi ketahanan pangan. Dalam hal ini dapat dilihat skor untuk setiap dimensi dan indikator yang ada. Hal ini diperlukan untuk memberikan informasi yang lebih rinci kepada eksekutif.
52 Analisis Ketahanan Pangan Dimensi 1 - Indikator - Variabel Dimensi 2 - Indikator - Variabel Dimensi 3 - Indikator - Variabel Gambar 4.8 Drill Down Output Kemampuan drill down ini akan sangat membantu dalam mengambil atau memilah data sampai pada data rinci sesuai dengan informasi yang dibutuhkan dari keseluruhan data yang ada dalam sistem informasi eksekutif ini. Hal ini mengingat bahwa EIS harus mampu memberikan kecepatan akses terhadap informasi yang tepat waktu dan pengaksesan data secara langsung untuk menghasilkan laporan bagi pihak manajemen namun mampu memberikan informasi yang jelas. 4.5 Prototype Sistem Informasi Eksekutif Kerawanan Pangan Prototype sistem informasi eksekutif ini sesuai dengan hasil analisis sistem sebelumnya dimana output dibuat drill-down untuk lebih mempermudah mengetahui informasi secara lebih rinci. Untuk lebih jelasnya mengenai tampilan sistem informasi eksekutif dapat dilihat pada gambar berikut ini :
53 Gambar 4.9 Menu Login Gambar 4.10 Menu Cakupan Informasi Menu Login (Gambar 4.9) digunakan sebelum akses ke sistem informasi eksekutif kerawanan pangan. Menu ini bertujuan sebagai pengaman terhadap penggunaan sistem informasi eksekutif ini dari user yang tidak terdaftar sebagai eksekutif pengguna sistem. Menu cakupan digunakan untuk melihat cakupan kondisi kerawanan pangan serta indikator-indikatornya yang terjadi pada suatu cakupan wilayah tertentu. Dalam menu ini ditampilkan pilihan untuk cakupan propinsi dan kabupaten. Selanjutnya ditampilkan Menu Kerawanan Pangan Nasional setelah memilih langkah lanjut dalam sistem ini.
54 Menu Kerawanan Pangan Nasional yang tersaji pada Gambar 4.11 menampilkan kondisi kerawanan pangan. Untuk melihat kondisi kerawanan pangan nasional maka pada pilihan combo box propinsi, pilih semua propinsi. Selanjutnya pilih indeks yang akan dilihat. Indeks terdiri dari 3 indeks penyusun ketahanan pangan serta indeks komposit. Sedangkan untuk mengetahui kondisi ketahanan pangan di sutu propinsi yang terdiri dari beberapa kabupaten, pilih propinsi yang dimaksudkan dari pilihan propinsi pada combo box. Selanjutnya pilihkan indeks yang akan dilihat. Gambar 4.11 Menu Ketahanan Pangan Nasional
55 Setelah dipilih propinsi maka muncul kondisi kerawanan pangan di seluruh kabupaten yang ada dalam propinsi tersebut. Selain itu selanjutnya dapat diketahui kondisi dimensi-dimensi pembentuk indeks kerawanan pangan dengan meng-klik kabupaten yang hendak diketahui kondisi dimensi-dimensi pembentuk kerawanan pangan (Gambar 4.12). Gambar 4.12 Menu Ketahanan Pangan Propinsi Drill-down bertujuan untuk memberikan informasi yang lebih detail serta mudah dipahami oleh eksekutif. Tampilan output yang berupa grafik lebih mempermudah eksekutif dalam mengetahui kondisi kerawanan pangan di suatu wilayah. Menu dill down per indeks penyusun kerawanan pangan dapat dilihat pada Gambar 4.13.
56 Gambar 4.13 Menu Drill Down Per Nilai Indeks Untuk lebih melengkapi data dan informasi bagi eksekutif dalam pengambilan kebijakan, maka drill down tidak berhenti sampai nilai indeks. Bahkan drill down dilakukan sampai pada informasi mengenai data pada level terkecil, yaitu data parameter penyusun suatu indeks.
57 Jumlah Penduduk Produksi Padi Produksi Jagung Gambar 4.14 Menu Drill Down Grafik Per Indikator Gambar 4.15 Menu Drill Down Tabel Per Indikator Rancangan output sistem informasi eksekutif ini dibuat dengan fasilitas drill down dari cakupan data global sampai dengan data rinci. Fasilitas drill down digunakan agar eksekutif mampu mendapatkan informasi secara detail sehingga dapat membantu eksekutif dalam pengambilan kebijakan yang lebih tepat.