BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan penjelasan mengenai pengertian, gagasan, tujuan, proses pembentukan, dan analisis frekuensi nadanya, maka dapat disimpulkan bahwa larasan dan embat gamelan adalah elemen estetik musikal yang digagas dengan menggunakan konsep rasa yang rumit dan halus seperti sifat seninya. Adapun penjelasan selengkapnya adalah sebagai berikut. Pertama, pengertian larasan adalah tinggi-rendahnya keseluruhan frekuensi nada yang ditentukan pada suatu ricikan, sepangkon atau seperangkat gamelan Jawa, sedangkan embat adalah pergeseran frekuensi nada yang terjadi pada suatu nada dengan nada gembyangnya, baik yang berada di atas atau di bawahnya. Tujuan utama adanya larasan dan embat adalah untuk menentukan laras dalam pengertian yang luas dan memberi karakter atau rasa musikal tertentu. Sebagian dari masyarakat karawitan ada yang menyebut karakter larasan atau embat gamelan dengan menggunakan istilah lain, misalnya: jiwa, rasa, ruh atau watak. Tujuan lainnya adalah untuk mendukung proses pembentukan rasa gendhing, membangun suasana lingkungan, dan mendapatakn kepuasan batin dengan menghayati rasanya.
489 Kedua, upaya untuk mengetahui masing-masing jenis rasa larasan dan embat dapat dilakukan dengan cara memahami terlebih dahulu tentang gagasan dan tujuan pembuatannya, memenuhi syarat yang berkaitan dengan kompetensi terkait (mempunyai kepekaan pendengaran, mampu mengenal nada dengan baik), mempunyai wawasan yang cukup mengenai karawitan (baik mengenai pengetahuan atau praktik karawitan), dan mampu menginterpretasi rasa keduanya berdasarkan ciri-ciri yang dibentuk melalui pengolahan nada, sifat rasanya, dan permasalahan pada aspek teknis. Ketiga, terbentuknya larasan dan embat khas pada gamelan Keraton Yogyakarta tidak dapat dilepaskan dari penguasanya. Sri Sultan Hamengku Buwono I secara kreatif menggagas elemen estetik musikal larasan dan embat untuk membentuk karakter dan identitas Keraton Yogyakarta. Rasa larasan dan embatnya menggunakan pijakan karakter pribadinya yang gagah, maskulin, heroik, dan patriotik. Tujuannya untuk membangun karakter atau kepribadian rakyat, pemerintahan, dan negaranya. Sri Sultan Hamengku Buwono I mengolah nadanya untuk menghasilkan efek bunyi unik yang disebut umyung (ramai atau riuh). Rasanya yang khas menjadi identitas unik dan dikenal masyarakat hingga saat ini.
490 Keempat, analisis frekuensi nada, perbandingan data dengan hasil pengukuran tim peneliti dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, dan pemeriksaan ulang dengan menanyakan kepada para ahli karawitan menunjukkan, bahwa hingga saat ini rasa larasan dan embat gamelan Keraton Yogyakarta masih terjaga dengan baik. Keraton masih menjaga rasa larasan dan embatnya seperti gagasan semula dan tidak atau belum pernah mempunyai pemikiran untuk melakukan perubahan pada rasa yang baru. Berdasarkan hasil analisis frekuensi nada, maka rasa larasan dan embat gamelan Keraton Yogyakarta termasuk dalam kategori gamelan berlarasan cendhèk (rendah) dan mempunyai kesan rasa yang abot (berat). Rasa embatnya termasuk dalam kategori jembar atau disebut dengan istilah mulur, megar, dan madhahi. Menurut sifatnya termasuk embat yang gagah, sedangkan menurut bentuknya secara mayoritas termasuk dalam kategori legok atau semakin melebar pada kedua sisinya. Menurut faktor kesulitan yang sering ditemukan pada praktik karawitan termasuk embat yang angèl. Saran Peneliti banyak mendapatkan pengalaman yang berbeda selama proses penelitian di Keraton Yogyakarta. Oleh sebab itu, agar mengerti dan memahami segala sesuatu yang berkaitan
491 dengan penelitian Keraton Yogyakarta, maka perlu diberikan saran sebagai berikut. Pertama, harus dipahami terlebih dahulu mengenai pengertian larasan dan embat gamelan, agar dapat diketahui maknanya satu persatu. Mengingat, bahwa kedua kata tersebut sering dipergunakan dalam percakapan sehari-hari. Pembicaraan di dalam lingkup karawitan pun sering mempergunakannya untuk mengungkapkan maksud yang berbeda. Kedua, permasalahan mengenai rasa larasan dan embat tidak hanya membutuhkan ketajaman pendengaran saja, tetapi juga memerlukan kemampuan untuk menganalisis rasa musikal keduanya. Mengingat, bahwa larasan dan embat digagas dengan menggunakan pijakan interpretasi musikal yang tidak bisa dengan mudah dimengerti. Oleh sebab itu, sangat perlu untuk dipelajari dan dimengerti rasa musikal nada dan maknanya. Ketiga, pengetahuan mengenai latar sejarah pembuatannya juga harus dimengerti dengan baik, agar dapat dipahami ragam larasan dan embat pada masing-masing gamelan yang telah diciptakan. Termasuk latar sejarah pembuatan gamelan Keraton Yogyakarta yang ditujukan untuk keperluan sangat khusus, yaitu pembentukan karakter manusia dan lingkungan (termasuk pemerintahan) serta identitas negara (pemerintahan kerajaan).
492 Keempat, pengukuran frekuensi nada gamelan Keraton Yogyakarta perlu dilakukan secara berkala. Tujuannya adalah untuk mengetahui bila terjadi perubahan, baik yang disebabkan oleh pertambahan usia gamelannya atau karena proses penyeteman. Melalui cara tersebut diharapkan dapat dipertahankan keaslian larasan dan embatnya. Kelima, proses penelitian dengan metode perekaman atau pengambilan data dalam bentuk lainnya (misalnya pengukuran frekuensi nada secara langsung) harus mengetahui beberapa hal. Pertama, Keraton Yogyakarta adalah salah satu objek wisata utama di Yogyakarta, sehingga pada saat tertentu selalu dipenuhi oleh wisatawan. Kedua, keraton sangat menjaga lingkungan dengan menjaga kondisi flora dan faunanya, sehingga masih banyak pepohonan besar yang menjadi habitat berbagai jenis burung. Setiap harinya banyak sekali burung yang berkicau, sehingga dimungkinkan menjadi salah satu kendala. Ketiga, tata bangunan kraton diperhitungkan dengan baik dan banyaknya ruang terbuka sangat mudah mengakibatkan pergerakan udara secara bebas, sehingga dimungkinkan mengganggu peralatan rekam atau pengukur besaran frekuensi nadanya. Semoga saran tersebut dapat bermanfaat bagi para peneliti di masa mendatang.