BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut data BPS Kabupaten Buleleng, (2014), Kabupaten Buleleng

dokumen-dokumen yang mirip
TINJAUAN PUSTAKA Anatomi dan Fisiologi Ambing

BAB I PENDAHULUAN. Banyuwangi secara astronomis terletak di antara

TINJAUAN PUSTAKA. A. Sapi perah (Peranakan Friesian Holstein)

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Hayati et al., 2010). Tanaman ini dapat tumbuh hingga mencapai tinggi 5-10

PEMBAHASAN Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tercemar kapan dan dimana saja sepanjang penanganannya tidak memperhatikan

PENDAHULUAN. Latar Belakang. kelenjar susu mamalia. Susu memiliki banyak fungsi dan manfaat.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. laktasi atau mendekati kering kandang (Ramelan, 2001). Produksi susu sapi perah

PENDAHULUAN. Latar Belakang. peningkatan jumlah penduduk Indonesia. Produksi susu segar dalam negeri hanya mampu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan dikonsumsi oleh seluruh lapisan masyarakat. Salah satu hewan penghasil susu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Friesian Holstein (FH) impor dan turunannya. Karakteristik sapi FH yaitu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HASIL. Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol

BAB I PENDAHULUAN. Data-data cemaran mikrobia pada produk susu mentah sudah ada dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi Linn.) Daun Belimbing Wuluh mengandung flavonoid, saponin dan tanin yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan dan telah menjadi ternak yang terregistrasi

BAB I PENDAHULUAN. Kambing peranakan etawa (PE) merupakan salah satu ternak di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu sumber protein yang baik dikonsumsi oleh

BAB I PENDAHULUAN. Ambing merupakan alat penghasil susu pada sapi yang dilengkapi suatu

BAB I PENDAHULUAN. Escherichia coli yang merupakan salah satu bakteri patogen. Strain E. coli yang

TINJAUAN PUSTAKA Sifat Umum Susu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. nutfah (Batubara dkk., 2014). Sebagian dari peternak menjadikan kambing

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Peranakan Ettawa (PE) merupakan hasil perkawinan antara kambing

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. baik sekali untuk diminum. Hasil olahan susu bisa juga berbentuk mentega, keju,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. merupakan kambing tipe dwiguna yaitu sebagai penghasil daging dan susu (tipe

TINJAUAN PUSTAKA Kambing Kambing Perah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. betina dengan kambing Etawah jantan. Berdasarkan tipe kambing PE digolongkan

EFEKTIVITAS EKSTRAK DAUN SIRIH (Piper betle Linn) TERHADAP MASTITIS SUBKLINIS

BAB I PENDAHULUAN. Salmonella sp merupakan salah satu bakteri patogen yang dapat menimbulkan

Kualitas Susu Kambing Peranakan Etawah Post-Thawing Ditinjau dari Waktu Reduktase dan Angka Katalase

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Ettawa (asal india) dengan Kambing Kacang yang telah terjadi beberapa

METODE PENELITIAN. Metode Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang dengan kambing Ettawa. Kambing Jawarandu merupakan hasil

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Sapi bali merupakan salah satu bangsa sapi asli Indonesia dan keturunan asli

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Ternak perah adalah ternak yang dapat memproduksi susu lebih dari yang

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sapi potong merupakan salah satu komoditas ternak yang potensial dan

MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH DI INDONESIA : PENDEKATANNYA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing merupakan salah satu jenis ternak ruminansia kecil yang telah

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian Jumlah Bakteri Staphyloccus aureus dan Skor California Mastitis

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Persebaran Kambing Peranakan Ettawah (PE) galur lainnya dan merupakan sumber daya genetik lokal Jawa Tengah yang perlu

HASIL DAN PEMBAHASAN. bagian selatan atau pesisir selatan Kabupaten Garut. Kecamatan Pameungpeuk,

TINJAUAN PUSTAKA Klasifkasi Kambing

BAB I PENDAHULUAN. daging bagi masyarakat (BSN, 2008). Daging sapi sebagai protein hewani adalah

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH)

BAB I PENDAHULUAN. komoditas ternak yang memiliki potensi cukup besar sebagai penghasil daging

Alat Pemerahan Peralatan dalam pemerahan maupun alat penampungan susu harus terbuat dari bahan yang anti karat, tahan lama, dan mudah dibersihkan. Bah

BAB I PENDAHULUAN. Susu merupakan minuman sumber protein yang diperoleh dari hasil

Tujuan Penelitian. Manfaat Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Letak geografis Kecamatan Kuta Selatan berada di ketinggian sekitar 0-28 meter di

BAB I PENDAHULUAN. Bakteri Escherichia coli merupakan bakteri yang umum menghuni usus

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Kacang merupakan kambing asli Indonesia dengan populasi yang

BAB I PENDAHULUAN. Statistik peternakan pada tahun 2013, menunjukkan bahwa populasi

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. tahun seiring meningkatnya pendapatan dan kesadaran masyarakat akan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boerawa merupakan kambing hasil persilangan antara kambing Boer

BAB I PENDAHULUAN. Ternak babi merupakan salah satu jenis ternak yang memiliki banyak

I. PENDAHULUAN. juga mengandung beberapa jenis vitamin dan mineral. Soeparno (2009)

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Berasal dari Belanda dan mulai dikembangkan sejak tahun 1625 (Makin, 2011). Sapi FH memiliki karakteristik sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN. dari protein, karbohidrat, lemak, dan mineral sehingga merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. mamalia seperti sapi, kambing, unta, maupun hewan menyusui lainnya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Yani dan Purwanto (2006) dan Atabany et al. (2008), sapi Fries Holland

BAB I PENDAHULUAN. Prevalensi cedera luka bakar di Indonesia sebesar 2,2% dimana prevalensi

KIAT-KIAT MEMILIH DAGING SEHAT Oleh : Bidang Keswan-Kesmavet, Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat (disadur dari berbagai macam sumber)

I. PENDAHULUAN. Lampung merupakan daerah yang berpotensi dalam pengembangan usaha

Lampiran 1 Kuisioner Peternak Pemasok Susu Segar

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing merupakan mamalia yang termasuk dalam ordo artiodactyla, sub ordo

I. PENDAHULUAN. mengandung sejumlah mikroba yang bermanfaat, serta memiliki rasa dan bau

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 07/Permentan/OT.140/1/2008 TANGGAL : 30 Januari 2008

Kontaminasi Pada Pangan

II. TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi

BAB I PENDAHULUAN. dan mineral yang tinggi dan sangat penting bagi manusia, baik dalam bentuk segar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peternakan adalah ternak kambing. Kambing merupakan ternak serba guna yang

BAB 1 PENDAHULUAN. keberadaannya sejak abad 19 (Lawson, 1989). Flora konjungtiva merupakan

BAB I PENDAHULUAN. kecil. Pengelolaan sapi perah rakyat pada kenyataannya masih bersifat tradisional.

HUBUNGAN ANTARA DIAMETER LUBANG PUTING TERHADAP TINGKAT KEJADIAN MASTITIS

Berikut tips mengenali dan memilih pangan yang berasal dari hewan yang memenuhi kriteria Aman, Sehat, Utuh dan Halal (ASUH).

BAB I PENDAHULUAN. 2012). Sapi berasal dari famili Bovida, seperti halnya bison, banteng, kerbau

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 359/Kpts/PK.040/6/2015 TENTANG PENETAPAN RUMPUN KAMBING SABURAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

TINJAUAN PUSTAKA Anatomi Ambing dan Mekanisme Pertahanannya Mastitis Subklinis

BAB I PENDAHULUAN. Menyusui atau dalam bahasa asing disebut breasting adalah pemberian air

SUSU. b. Sifat Fisik Susu Sifat fisik susu meliputi warna, bau, rasa, berat jenis, titik didih, titik beku, dan kekentalannya.

I. PENDAHULUAN. dialami oleh siapa saja dan dapat terjadi dimana saja baik dirumah, tempat

TERNAK KAMBING 1. PENDAHULUAN 2. BIBIT

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Ternak perah merupakan ternak yang mempunyai fungsi sebagai penghasil

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Indonesia serta negara-negara Asia lainnya berasal dari tumbuh-tumbuhan

TINJAUAN PUSTAKA. Lemak (%)

PENDAHULUAN. salah satunya pemenuhan gizi yang berasal dari protein hewani. Terlepas dari

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang yang memiliki sumber daya alam

HASIL DAN PEMBAHASAN

HEMATOLOGI KLINIK ANJING PENDERITA DIROFILARIASIS. Menurut Atkins (2005), anjing penderita penyakit cacing jantung

KESEHATAN IKAN. Achmad Noerkhaerin P. Jurusan Perikanan-Untirta

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Geografis Kecamatan Busungbiu Menurut data BPS Kabupaten Buleleng, (2014), Kabupaten Buleleng memiliki letak geografis antara 114-115 Bujur Timur dan 8 03-9 23 Lintang Selatan. Luas wilayah Kabupaten Buleleng adalah 1.365,88 km 2 atau sekitar 24,25 persen dari total luas daratan di Provinsi Bali. Temperatur udara berkisar pada 28,6 o C dengan curah hujan rata-rata 1.983,0 mm/tahun. Terdapat 9 kecamatan dengan total 143 desa di Kabupaten Buleleng. Kecamatan Busungbiu merupakan salah satu kecamatan dari Kabupaten Buleleng. Kecamatan Busungbiu terletak di sebelah barat daya dari kota singaraja yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Tabanan dan Kabupaten Jembrana. Wilayah Kecamatan Busungbiu merupakan daerah berbukit dengan luas wilayah mencapai 196,62 km 2 atau kurang lebih 14,40% dari luas wilayah Kabupaten Buleleng (BPS Kabupaten Buleleng, 2014). Menurut data BPS Kabupaten Buleleng, (2014), Sektor pertanian dan perkebunan menjadi tumpuan utama bagi mata pencarian masyarakat di Kecamatan Busungbiu. Usaha perkebunan kopi dan usaha peternakan kambing merupakan 2 komoditi andalan yang saling berkaitan satu sama lain. Usaha peternakan kambing ditunjang oleh limbah perkebunan kopi sebagai bahan pakan tambahan, sedangkan pemupukan kebun kopi dapat dilakukan dengan pupuk hasil limbah kotoran peternakan kambing. 5

6 Usaha peternakan kambing di Kecamatan Busungbiu masih dilakukan dengan cara semi intensif, namun ada beberapa tempat usaha peternakan yang sudah melakukan usaha peternakan kambing secara intensif, salah satu nya adalah pada kelompok ternak kambing yang berbasis Simantri. Terdapat 6 kelompok ternak kambing simantri yang tersebar pada beberapa desa di Kecamatan Busungbiu, diantaranya adalah Desa Bengkel, Desa Bogancina, Desa Puncaksari, Desa Sepang, Desa Tinggarsari, dan Desa Umejero. 2.2 Kambing Peranakan Etawah (PE) Kambing peranakan etawah atau lebih sering disebut kambing PE merupakan kambing hasil persilangan antara kambing kacang asal Indonesia dengan kambing etawah yang berasal dari India. Selain mudah dipelihara, kambing PE memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap berbagai tipe iklim dan lingkungan, sehingga penyebarannya sangat mudah sampai ke seluruh pelosok nusantara (Sutama, 2011). Kambing PE memiliki karakteristik sangat mirip dengan dengan kambing etawah. Beberapa karakteristik penting dari kambing PE yaitu: bentuk muka cembung, telinga relatif panjang (18-30 cm) dan terkulai. Jantan dan betina bertanduk pendek. Warna bulu bervariasi dari krem sampai hitam, bulu panjang pada paha belakang, leher dan pundak lebih tebal dan lebih panjang daripada bagian lainnya, tinggi badan mencapai 70-100 cm, dengan berat badan dewasa mencapai 40-80 kg untuk jantan dan 30-50 kg untuk betina (Sutama, 2011).

7 Kambing PE merupakan tipe kambing dwiguna yaitu sebagai penghasil daging dan penghasil susu. Sebagai kambing Perah, kemampuan produksi susu kambing PE relatif tinggi. Menurut Sujono dan Yani (2013), produksi susu kambing PE dapat mencapai 1-1,5 liter/ hari dengan pemeliharaan tradisional dan 1,5-2 liter/hari dengan pemeliharaan secara intensif, sedangkan menurut Sodiq dan Sumaryadi (2002), kambing PE mampu memproduksi hingga 0,45-2,2 liter/ekor/hari dengan panjang laktasi 92-261 hari. Produksi susu tergantung masa laktasi, suhu lingkungan, pakan, jumlah anak, dan tata laksana pemeliharaan. Komposisi susu kambing tidaklah sama pada setiap individu kambing. Susu kambing yang sehat berwarna putih bersih, kekuning - kuningan dan tidak tembus cahaya. Susu Kambing diduga memiliki antiseptik alami yaitu mengandung fluorine 10 100 kali lebih besar dari susu sapi yang dapat membantu menekan pertumbuhan bakteri dalam tubuh, sedangkan untuk bau dan rasa susu kambing murni sangat spesifik yaitu sedikit berbau amis dengan rasa yang sedikit manis, berlemak dan sangat enak (Sujono dan Yani, 2013). Masalah utama bagi produsen susu kambing adalah kesulitan dalam mengikuti standar kebersihan. Selain itu, masyarakat Indonesia mempercayai bahwa mengkonsumsi susu kambing dalam bentuk mentah dapat bermanfaat dalam peningkatan kesehatan konsumen, padahal susu kambing sangat rentan terkontaminasi oleh mikroba patogen, salah satu nya mikroba patogen penyebab mastitis subklinis (Taufik, et al., 2008).

8 2.3 Mastitis subklinis Mastitis berasal dari bahasa Yunani, yaitu berasal dari kata mastos dan itis. Mastos artinya kelenjar ambing dan itis artinya menandakan adanya peradangan atau perdarahan. Mastitis terjadi akibat dari reaksi dari kelenjar mamae (susu) terhadap suatu infeksi bakteri patogen di dalam jaringan interna ambing, sehingga akan menimbulkan tanda-tanda radang pada ambing. Berdasarkan gejala klinis, mastitis dikelompokkan menjadi dua yaitu mastitis klinis dan subklinis. Menurut Marogna, et al., 2012), mastitis klinis merupakan mastitis yang secara kasat mata kelihatan tanda klinisnya. Tanda klinis mastitis klinis berupa gejala peradangan pada ambing (merah, bengkak, panas, rasa sakit, fungsiolesa) dan perubahan pada susu yang dihasilkan (berbau, berlendir, menggumpal), sedangkan mastitis subklinis merupakan mastitis yang tidak menunjukkan gejala klinis yang jelas, namun bila diteliti lebih mendalam akan terlihat peningkatan jumlah sel somatik dalam susu yang dihasilkan. Mastitis klinis merupakan perkembangan dari mastitis subklinis yang tidak tertangani. Penelitian yang dilakukan Begonnier, et al. (2003), menyatakan bahwa mastitis klinis lebih sulit diobati dan 18% kasus mastitis klinis berujung kematian. Berdasarkan kejadiannya, mastitis klinis dibagi menjadi empat yaitu : a. Mastitis subakut merupakan mastitis yang tidak ditemukan reaksi dari hewan penderita, hanya akan ditemukan perubahan pada susu dan adanya peradangan ringan pada kelenjar susu. b. Mastitis akut, pada bentuk ini akan telihat secara nyata gejala radang ( merah, bengkak, panas, rasa sakit, fungsiolesa) pada ambing.

9 c. Mastitis hiperakut merupakan mastitis yang terjadi secara mendadak yang disertai dengan reaksi sistemik dari dalam tubuh dan berlangsung cepat. d. Mastitis kronis merupakan peradangan pada ambing yang sudah sangat parah dan berlangsung dalam waktu yang sangat lama. Mastitis subklinis merupakan momok yang menakutkan bagi usaha peternakan kambing perah karena dapat menyebabkan kerugian ekonomi dengan gejala klinis yang tidak terlihat. Menurut Leitner, et al. (2008), mastitis subklinis dapat mengakibatkan penurunan produksi susu, peningkatan biaya pengobatan, meningkatnya jumlah hewan yang harus dikeluarkan, dan susu ditolak pasaran karena peningkatan sel jumlah sel somatik di dalam susu. Menurut Albenzio dan Santilo (2011), pembuatan keju menggunakan susu yang memiliki jumlah sel somatik (JSS) tinggi, akan membuat keju menjadi lebih cepat asam dan kualitas keju menjadi jelek. Penelitian tentang mastitis subklinis di anggap penting, mengingat kerugian yang ditimbulkan dengan gejala klinis yang tak terlihat. 2.4 Faktor Penyebab Mastitis subklinis Mastitis dipengaruhi oleh interaksi 3 faktor yaitu ternak itu sendiri, mikroorganisme penyebab mastitis dan faktor lingkungan. Menurut Najeeb, et al. (2013), sebagian besar kasus mastitis disebabkan oleh infeksi bakteri. Namun, mikroba patogen lain juga dapat menyebabkan mastitis pada ternak kambing seperti berbagai jenis jamur, ragi dan virus. Islam, et al. (2011), menyatakan bahwa mikroba patogen tersebut berasal dari kulit di sekitar ambing,peralatan kandang, tangan pemerah dan lingkungan sekitar kandang.

10 Bakteri penyebab mastitis umumnya merupakan bakteri gram positif seperti Staphylococcus sp. dan Streptococcus sp. Penelitian yang dilakukan oleh Purnomo, et al. (2006), menunjukkan bahwa 12 isolat Staphylococcus Aureus berhasil diisolasi dari 56 sampel susu kambing PE asal Yogyakarta. Perbedaan patogen penyebab mastitis disebabkan oleh perbedaan dalam sistem manajemen pemeliharaan dan metode pemerahan. Contreras, et al., (2007), menyatakan bahwa perbaikan dalam sanitasi pemerahan dapat menekan kejadian mastitis klinis sekitar 1% dan mastitis subklinis 5-10%. Selain faktor agen penyebab mastitis, mastitis subklinis juga dipengaruhi oleh faktor ternak itu sendiri seperti umur ternak, bentuk ambing, produksi susu, frekuensi melahirkan, dan litter size (jumlah anak) dan faktor lingkungan seperti manajemen pemerahan dan kebersihan kandang. Menurut Moroni, et al. (2005), tingginya jumlah kasus mastitis subklinis pada ternak kambing sering dikaitkan dengan faktor resiko seperti ternak yang sudah tua, produksi susu yang sangat tinggi, telah melahirkan lebih dari tiga kali, pada masa akhir laktasi, dan litter size. Faktor lingkungan banyak mempengaruhi terjadinya mastitis subklinis, karena mikroba sebagian besar mikroba patogen penyebab mastitis subklinis berasal dari lingkungan sekitar kandang. Lingkungan kandang yang kotor dapat menjadi faktor penyebab tingginya kejadian mastitis subklinis. lingkungan kandang yang kotor akan membuat mikroba patogen penyebab mastitis subklinis akan berkembang pesat. Penelitian yang dilakukan oleh Sutarti, et al. (2003), menunjukkan bahwa lingkungan kandang yang kotor memiliki kekuatan 1,68 kali lebih besar terkena mastitis, bila dibandingkan kandang yang bersih.

11 2.5 Epidemologi Mastitis Subklinis Mastitis subklinis merupakan kejadian yang paling tinggi dari semua kasus mastitis. Kejadian mastitis pada ternak kambing perah di Indonesia sangat sering terjadi namun data epidemiologi belum banyak dilaporkan. Hal ini berbeda dengan beberapa negara yang menggunakan susu kambing sebagai bahan dasar pembuatan keju. Penelitian yang dilakukan oleh Mbilu (2007), menunjukkan bahwa kejadian mastitis subklinis mencapai 76,7% pada kambing di Tanzania. Penelitian lain yang dilakukan oleh Islam, et al. (2011), menunjukkan bahwa kejadian mastitis subklinis mencapai 44,59% pada ternak kambing di Bangladesh. Data mastitis subklinis pada ternak kambing di Indonesia memang jarang yang dilaporkan, namun beberapa penelitian telah dilakukan. Penelitian yang dilakukan oleh Aritonang (2003), yang menunjukkan kejadian mastitis subklinis pada kambing perah di PT. Taurus Dairy Farm Sukabumi, Jawa Barat adalah sebesar 46,2 %. Penelitian lain yang dilakukan Suwito dan Nugroho (2014), menunjukkan bahwa kejadian mastitis subklinis berdasarkan hasil uji CMT pada kambing PE di Kabupaten Sleman, Yogyakarta adalah sebesar 12%. 2.6 Patogenesis Menurut subronto (2003), proses terjadinya radang pada ambing dibagi dalam beberapa fase, yaitu sebagai berikut :

12 a) Fase Invasi; fase invasi terjadi karena adanya kontak antara organ ambing dengan mikroorganisme. Pada fase ini mikroorganisme di sekitar lubang puting masuk kedalam jaringan interna ambing. Proses invasi ini dipermudah oleh lingkungan kandang yang kotor, ternak jarang dimandikan, luka pada puting dan stress yang menyebabkan penurunan daya tahan tubuh. b) Fase Infeksi; fase mikroorganisme masuk ke dalam kelenjar ambing. Besarnya mikroorganisme yang masuk tergantung tingginya produksi susu, dimana semakin tinggi produksi susu maka semakin lama pula waktu yang digunakan oleh otot sphincter pada puting untuk menutup secara sempurna, maka kemungkinan puting terinfeksi akan semakin besar. Hal ini di karenakan otot sphincter berfungsi dalam menahan infeksi kuman. c) Fase Infiltrasi; pada fase ini mikroorganisme mengiritasi sampai ke dalam kelenjar, tubuh akan bereaksi dengan memobilisasi leukosit (sel darah putih). Karena adanya mikroorganisme di dalam kelenjar ambing, maka akan terjadi perubahan pada komposisi susu dan susu akan menjadi rusak. 2.7 Metode Deteksi Mastitis Subklinis Salah satu tindakan penanganan mastitis adalah tindakan deteksi dini terhadap mastitis pada tingkat subklinis, karena mastitis subklinis lebih mudah diobati dan waktu penyembuhan juga lebih cepat. Mastitis subklinis tidak menunjukkan gejala peradangan pada setiap kasusnya, sehingga mastitis subklinis hanya dapat dideteksi melalui pemeriksaan mikrobiologi dan penghitungan sel somatik didalam susu (Sudarwanto, 1998).

13 Metode deteksi mastitis pada sapi perah sudah banyak dan sudah baku dipakai sebagai metode deteksi mastitis subklinis, sedangkan pada ternak lain masih sangat jarang dilakukan. Sudarwanto dan Sudarnika (2008), menyatakan bahwa peningkatan jumlah sel somatik di dalam susu dapat menjadi parameter penting dalam mendeteksi mastitis subklinis dan merupakan indikator terbaik dalam menentukan peradangan di dalam jaringan interna ambing. Sel somatik dalam susu merupakan kumpulan sel yang terdiri atas kelompok leukosit (sel limfosit, neutrofil, makrofag, eosinofil, basofil) dan reruntuhan sel epitel jaringan ambing. Sel somatik didalam susu merupakan bentuk respon imun tubuh ternak terhadap infeksi didalam jaringan interna ambing. infeksi didalam jaringan ambing dapat disebabkan oleh manifestasi mikroba patogen penyebab mastitis (Robertson and Muller, 2005). Jumlah sel somatik dalam susu dapat dihitung secara langsung dan tidak langsung. Menurut Suwito dan Indarjulianto, (2013), jumlah sel somatik di dalam susu dapat dihitung secara langsung dengan metode Breed, menggunakan alat Fosomatik atau Coulter Counter. Metode langsung biasa digunakan untuk melakukan studi eksperimen dan observasi, sedangkan metode tidak langsung biasa digunakan untuk survei dan program pengendalian mastitis. Metode tersebut dianggap mempunyai kelebihan antara lain: mudah digunakan, cepat, dan cukup akurat. Beberapa contoh metode tidak langsung yang sering digunakan di lapangan, seperti California Mastitis Test (CMT), Whiteside Test (WST), Aulendorfer Mastitis Probe (AMP) dan Test IPB-1 (Sudarwanto, 1998).

14 California Mastitis Test atau lebih dikenal dengan CMT merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk mendeteksi mastitis subklinis. Menurut Adriani (2010), CMT dilakukan dengan cara penambahan reagen CMT ke dalam susu. Prinsip dari kerja CMT yaitu susu yang ditambah reagen CMT akan berkorelasi dengan sel somatik dalam bentuk gumpalan (koagulan) dan tingkat gumpalan ini dipakai sebagai hasil skor CMT. Semakin tinggi hasil skor CMT, maka semakin tinggi peningkatan jumlah sel somatik di dalam susu. 2.8 Pencegahan dan Pengendalian Mastitis Subklinis Pencegahan dan pengendalian mastitis dapat dilakukan dengan memperbaiki manajemen pemeliharaan, deteksi dini terhadap mastitis, memperbaiki manajemen pemerahan dan sanitasi kandang. Pencegahan juga dapat dilakukan dengan melakukan teat dipping (pencelupan puting) sebelum atau sesudah pemerahan dengan menggunakan antiseptik. Hal ini bertujuan untuk mencegah masuknya bakteri ke dalam jaringan interna ambing ambing melalui puting. Penelitian yang dilakukan oleh Contreras, et al. (2007), menunjukkan bahwa jenis antiseptik larutan iodium dan klorin dapat dipakai untuk teat dipping. Pada dasarnya mastitis subklinis akan sembuh tanpa penanganan, namun dengan adanya infeksi sekunder pada ambing akan mengakibatkan peradangan semakin parah dan akan mengarah pada mastitis klinis. Pemberian antibiotika dapat mencegah perkembangan infeksi sekunder tersebut. Penelitian yang dilakukan Purnomo, et al. (2006), menunjukkan bahwa antibiotika golongan Oksitetrasiklin, Tetrasiklin, Gentamisin, Ampisilin dan Eritromisin dapat digunakan dalam pengendalian mastitis pada kambing PE.

15 2.9 Kerangka Konsep Salah satu daerah yang banyak mengembangkan usaha peternakan kambing di Provinsi Bali adalah di Kecamatan Busungbiu, Kabupaten Buleleng. Menurut data BPS Kabupaten Buleleng (2014), populasi kambing di Kecamatan Busungbiu merupakan yang terbesar di Kabupaten Buleleng. Usaha peternakan kambing yang bertujuan untuk menghasilkan susu memang masih relatif baru di Provinsi Bali, namun pemerintah Provinsi Bali melalui program Simantri terus mendorong peternak melakukan usaha peternakan kambing sebagai penghasil susu kambing. Salah satu penyakit yang masih menjadi masalah utama bagi usaha peternakan kambing perah saat ini adalah penyakit radang ambing atau lebih dikenal dengan mastitis. Berdasarkan gejala klinis, mastitis dikelompokkan menjadi dua yaitu mastitis klinis dan subklinis. Mastitis subklinis merupakan mastitis yang tidak menunjukkan gejala klinis, namun sangat merugikan. Menurut Leitner, et al. (2008), mastitis subklinis dapat menyebabkan kerugian seperti penurunan produksi dan mutu susu, peningkatan biaya pengobatan dan perawatan, pengafkiran ternak lebih awal dan susu ditolak pasaran. Mastitis subklinis pada ternak kambing sangat sering terjadi, namun data epidemiologi di Indonesia masih sedikit yang dilaporkan. Penelitian yang dilakukan Aritonang (2003), menunjukkan bahwa tingkat kejadian mastitis subklinis mencapai 46,2% pada kambing perah di PT. Taurus Dairy Farm Sukabumi, Jawa Barat. Penelitian lain yang dilakukan Suwito dan Nugroho (2014), menunjukkan bahwa tingkat kejadian mastitis subklinis berdasarkan hasil uji CMT mencapai 12% pada kambing PE di Kabupaten Sleman, Yogyakarta.

16 Mastitis subklinis merupakan kejadian yang paling tinggi dari semua kasus mastitis. Kejadian mastitis pada ternak kambing perah di Indonesia sangat sering terjadi namun data epidemiologi belum banyak dilaporkan. Penelitian yang dilakukan oleh Aritonang (2003), yang menunjukkan kejadian mastitis subklinis pada kambing perah di PT. Taurus Dairy Farm Sukabumi, Jawa Barat adalah sebesar 46,2 %. Penelitian lain yang dilakukan Suwito dan Nugroho (2014), menunjukkan bahwa kejadian mastitis subklinis berdasarkan hasil uji CMT pada kambing PE di Kabupaten Sleman, Yogyakarta adalah sebesar 12%. Mastitis subklinis dipengaruhi oleh interaksi 3 faktor penyebab yaitu ternak itu sendiri (host), mikroorganisme (agen) dan lingkungan. Najeeb, et al. (2013), menyatakan bahwa sebagian besar kasus mastitis pada ternak kambing disebabkan oleh manifestasi berbagai mikroba patogen di dalam jaringan interna ambing. mikroba tersebut dapat berupa bakteri, berbagai jenis jamur, ragi dan virus. Mikroba patogen tersebut berasal dari kulit sekitar ambing, tangan pemerah, peralatan kandang yang digunakan, dan lingkungan kandang. Selain faktor agen penyebab mastitis, mastitis subklinis juga dipengaruhi oleh faktor ternak itu sendiri seperti umur ternak, bentuk ambing, produksi susu, frekuensi melahirkan, dan litter size (jumlah anak) dan faktor lingkungan seperti manajemen pemerahan dan kebersihan kandang. Menurut Moroni, et al. (2005), tingginya jumlah kasus mastitis subklinis pada ternak kambing sering dikaitkan dengan faktor resiko seperti ternak yang sudah tua, kebersihan kandang, produksi susu yang sangat tinggi, telah melahirkan lebih dari tiga kali, pada masa akhir laktasi, dan litter size.

17 Faktor lingkungan sangat penting, mengingat mikroba patogen penyebab mastitis subklinis sebagian besar berasal dari lingkungan kandang. Namun lingkungan kandang yang kotor dapat menjadi faktor penyebab tingginya kejadian mastitis subklinis. lingkungan kandang yang kotor akan membuat mikroba patogen penyebab mastitis subklinis akan berkembang pesat. Penelitian yang dilakukan oleh Sutarti, et al. (2003), menunjukkan bahwa lingkungan kandang yang kotor memiliki kekuatan 1,68 kali lebih besar terkena mastitis, bila dibandingkan kandang yang bersih. Salah satu tindakan pencegahan mastitis adalah dengan melakukan deteksi sedini mungkin terhadap mastitis subklinis. Metode deteksi mastitis subklinis pada sapi perah sudah banyak dan sudah sering dilakukan, sedangkan pada ternak lain sangat jarang dilakukan. Menurut Sudarwanto dan Sudarnika (2008), peningkatan jumlah sel somatik di dalam susu dapat dijadikan parameter dalam mendeteksi mastitis subklinis. California Mastitis Test atau CMT merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk deteksi mastitis subklinis dengan cara menampilkan sel somatik di dalam susu dalam bentuk koagulan (pengentalan). Berdasarkan kerangka konsep di atas maka penelitian proporsi kejadian mastitis subklinis pada kambing peranakan etawah di Kecamatan Busungbiu, Kabupaten Buleleng dilakukan, mengingat usaha peternakan kambing peranakan etawah untuk tujuan pemerahan susu masih relatif baru di Provinsi Bali, dengan harapan dapat dipertimbangkan tindakan pencegahan terhadap mastitis subklinis.