BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memanasnya suhu permukaan air laut Pasifik bagian timur. El Nino terjadi pada

KATA PENGANTAR KUPANG, MARET 2016 PH. KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI LASIANA KUPANG CAROLINA D. ROMMER, S.IP NIP

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR

KATA PENGANTAR. Negara, September 2015 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI NEGARA BALI. NUGA PUTRANTIJO, SP, M.Si. NIP

EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA

KATA PENGANTAR. Banjarbaru, Oktober 2012 Kepala Stasiun Klimatologi Banjarbaru. Ir. PURWANTO NIP Buletin Edisi Oktober 2012

Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP

KATA PENGANTAR. merupakan hasil pemutakhiran rata-rata sebelumnya (periode ).

Fase Panas El berlangsung antara bulan dengan periode antara 2-7 tahun yang diselingi fase dingin yang disebut dengan La Nina

EVALUASI MUSIM HUJAN 2007/2008 DAN PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2008 PROVINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP

Propinsi Banten dan DKI Jakarta

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG

PENGANTAR. Bogor, Maret 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR

KATA PENGANTAR. Pontianak, 1 April 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI SIANTAN PONTIANAK. WANDAYANTOLIS, S.Si, M.Si NIP

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KATA PENGANTAR REDAKSI. Pengarah : Wandayantolis, S. SI, M. Si. Penanggung Jawab : Subandriyo, SP. Pemimpin Redaksi : Ismaharto Adi, S.

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG ANALISIS MUSIM KEMARAU 2013 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2013/2014

PRAKIRAAN MUSIM 2017/2018

BAB I PENDAHULUAN. hortikultura,dan 12,77 juta rumah tangga dalam perkebunan. Indonesia

KATA PENGANTAR. Semarang, 22 maret 2018 KEPALA STASIUN. Ir. TUBAN WIYOSO, MSi NIP STASIUN KLIMATOLOGI SEMARANG

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA)

PENGANTAR. Bogor, Maret 2017 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI BOGOR

El-NINO DAN PENGARUHNYA TERHADAP CURAH HUJAN DI MANADO SULAWESI UTARA EL-NINO AND ITS EFFECT ON RAINFALL IN MANADO NORTH SULAWESI

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. PENDAHULUAN. interaksi proses-proses fisik dan kimia yang terjadi di udara (atmosfer) dengan permukaan

USULAN PENELITIAN MANDIRI TAHUN ANGGARAN 2015

ANALISIS MUSIM KEMARAU 2015 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2015/2016

I. INFORMASI METEOROLOGI

PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2017 REDAKSI

Buletin Analisis Hujan Bulan April 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2013 KATA PENGANTAR

KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI

ANALISIS HUJAN BULAN JANUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN MARET, APRIL, DAN MEI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

I. INFORMASI METEOROLOGI

ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

I. INFORMASI METEOROLOGI

ANALISIS HUJAN BULAN OKTOBER 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN DESEMBER 2011, JANUARI DAN FEBRUARI 2012 PROVINSI DKI JAKARTA 1.

Fenomena El Nino dan Perlindungan Terhadap Petani

ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

I. PENDAHULUAN TINJAUAN PUSTAKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tengah dan Timur sepanjang ekuator dan secara kasat mata El Nino tidak. dapat dilihat. Fenomena ini memiliki periode 2-7 tahun.

PENGANTAR. Bogor, September 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR. DEDI SUCAHYONO S, S.Si, M.Si NIP

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan Desember 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan Februari, Maret dan April 2013 KATA PENGANTAR

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KATA PENGANTAR. Prakiraan Musim Kemarau 2016

BAB I PENDAHULUAN. perencanaan dan pengelolaan sumber daya air (Haile et al., 2009).

Buletin Analisis Hujan Bulan Februari 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan April, Mei dan Juni 2013 KATA PENGANTAR

BAB I PENDAHULUAN. Geografi merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala alamiah

Buletin Analisis Hujan Bulan Januari 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan Maret, April dan Mei 2013 KATA PENGANTAR

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

BAB I PENDAHULUAN. memiliki dua musim yaitu musim penghujan dan musim kemarau. paling terasa perubahannya akibat anomali (penyimpangan) adalah curah

PRISMA FISIKA, Vol. I, No. 2 (2013), Hal ISSN :

Oleh Tim Agroklimatologi PPKS

KATA PENGANTAR. Prakiraan Musim Kemarau 2018

BAB I PENDAHULUAN. dan makhluk hidup lainnya, yang berperan penting di berbagai sektor kehidupan.

Bab 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Penelitian Terdahulu

INFORMASI IKLIM UNTUK PERTANIAN. Rommy Andhika Laksono

1. BAB I PENDAHULUAN

KAJIAN TEMPORAL KEKERINGAN MENGGUNAKAN PERHITUNGAN KEETCH BYRAM DRYNESS INDEX (KBDI) DI WILAYAH BANJARBARU, BANJARMASIN DAN KOTABARU PERIODE

persamaan regresi. Adapun rumus yang digunakan untuk menentukan curah hujan kritis adalah sebagai berikut: CH kritis = ( 0.

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan Juli 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan September, Oktober dan November 2012 KATA PENGANTAR

Kajian Elevasi Muka Air Laut di Perairan Indonesia Pada Kondisi El Nino dan La Nina

ADAPTASI DAN MITIGASI FENOMENA EL NIÑO DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

Pasang Surut Surabaya Selama Terjadi El-Nino

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan April 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2012 KATA PENGANTAR

KATA PENGANTAR. Segala kritik dan saran sangat kami harapkan guna peningkatan kualitas publikasi ini. Semoga bermanfaat.

Analisis Hujan Bulan Juni 2012 Iklim Mikro Bulan Juni 2012 Prakiraan Hujan Bulan Agustus, September dan Oktober 2012

TINJAUAN PUSTAKA. Neraca Air

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENGARUH FENOMENA GLOBAL DIPOLE MODE POSITIF DAN EL NINO TERHADAP KEKERINGAN DI PROVINSI BALI

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tinjauan Pustaka. II.1 Variabilitas ARLINDO di Selat Makassar

ANALISIS MUSIM KEMARAU 2011 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PROVINSI DKI JAKARTA

Analisis Karakteristik Intensitas Curah Hujan di Kota Bengkulu

KARAKTER CURAH HUJAN DI INDONESIA. Tukidi Jurusan Geografi FIS UNNES. Abstrak PENDAHULUAN

Benarkah Tahun 2002 akan Terjadi El-Niño dengan Intensitas Lemah?

Analisis Variasi Cuaca di Daerah Jawa Barat dan Banten

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Kontribusi Parameter Iklim Untuk Peringatan Dini Serangan Wereng Batang Coklat (WBC)

I. PENDAHULUAN. Peran sektor pertanian sangat penting terhadap perekonomian di Indonesia

ANALISIS UNSUR CUACA BULAN JANUARI 2018 DI STASIUN METEOROLOGI KLAS I SULTAN AJI MUHAMMAD SULAIMAN SEPINGGAN BALIKPAPAN

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

8. MODEL RAMALAN PRODUKSI PADI

DEPRESI DAN SIKLON PENGARUHI CUACA INDONESIA

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

Analisis Hujan Bulan Mei 2013 Iklim Mikro Bulan Mei 2013 Prakiraan Hujan Bulan Juli, Agustus dan September 2013

BAB I PENDAHULUAN. di negara ini berada hampir di seluruh daerah. Penduduk di Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Stasiun Klimatologi Pondok Betung

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Anomali Curah Hujan 2010 di Benua Maritim Indonesia Berdasarkan Satelit TRMM Terkait ITCZ

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fenomena El Nino merupakan peristiwa peningkatan suhu rata-rata permukaan air laut di Pasifik Ekuator tengah yang di atas normal. Hal ini biasanya diikuti dengan penurunan suhu rata-rata permukaan air laut di perairan Indonesia yang di bawah normal, sehingga menyebabkan menurunnya jumlah curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia. Fenomena El Nino juga dapat dilihat dari peningkatan massa tekanan udara di lautan Hindia antara Darwin dan Tahiti yang disebut dengan Indeks Osilasi Selatan atau Southern Oscillation Index, SOI. Apabila terjadi fenomena El Nino, nilai SOI akan negatif. Hal tersebut dikenal dengan nama ENSO (El Nino/Southern Oscillation) (Ahrens, 2007). Peristiwa ENSO acap kali dibarengi dengan musim kemarau yang berkepanjangan akibat semakin berkurangnya jumlah curah hujan yang turun di wilayah tertentu, termasuk di Pulau Bali. Hal ini tentu saja identik dengan kekeringan dan kondisi lengas tanah yang berkurang drastis atau bahkan tidak dapat mencukupi kebutuhan tanaman, utamanya tanaman pertanian. Kejadian tersebut dapat membawa dampak negatif turunan lainnya sehingga sangat penting dilakukan penelitian terhadap korelasi El Nino dengan kekeringan. Terlebih lagi dengan adanya pengamatan-pengamatan yang terlebih dahulu dilakukan, kejadian El Nino dapat berulang dalam rentang 2 hingga 7 tahun dengan rata-rata kejadian sekali dalam 4 tahun (Sarachik, 2010). Hal ini semakin membuat tingginya tingkat urgensi untuk melakukan penelitian tersebut sehingga dapat memprediksi serta mengantisipasi dampak negatif dari El Nino. Kekeringan sulit didefinisikan karena berbagai macam disiplin ilmu dipengaruhi oleh kekeringan, selain itu beragam distribusinya secara geografis dan temporal membuat sulit untuk menggambarkan dan mengukur kekeringan. Secara umum kekeringan biasanya berasal dari kekurangan curah hujan akibat pola cuaca yang tidak biasa. Sosrodarsono (1977) mengartikan kekeringan sebagai ketersediaan 1

air yang tidak seimbang dengan kebutuhan air, baik untuk kebutuhan hidup, pertanian, kegiatan ekonomi maupun lingkungan. Kekeringan dapat menjadi bencana bagi setiap makhluk hidup, termasuk manusia, apalagi jika kejadian kekeringan ini bertahan hingga jangka waktu yang panjang. Indonesia tiap tahunnya selalu mengalami bencana kekeringan, termasuk di Pulau Bali mulai terasa pada tahun 1995. Berdasarkan peta kejadian bencana kekeringan di Indonesia antara 1979 2009 yang dibuat oleh BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), Bali mengalami 16 kali kejadian kekeringan. Menurut Bank Dunia, harga pangan global naik tajam akibat kekeringan yang terjadi di sebagian dunia. Hingga saat ini, pemerintah belum menyiapkan langkah khusus untuk menanggulangi bencana kekeringan, kecuali dengan rencana penanggulangan sementara seperti menyiapkan stok pangan agar tidak krisis pangan. Hal tersebut tentu saja tidak cukup karena bencana kekeringan akan selalu datang tiap tahun yang berimbas pada petani yang akhirnya sering gagal panen. Para ahli banyak berpendapat bahwa kekeringan biasanya berhubungan dengan gejala pergeseran antara musim hujan dengan musim kemarau di Indonesia. Berdasarkan data historis, kekeringan di Indonesia seringkali berasosiasi dengan fenomena ENSO. Fenomena ENSO disebutkan sebagai salah satu gejala peralihan iklim. Pengaruh El Nino lebih kuat pada musim kemarau yang menyebabkan berkurangnya jumlah curah hujan yang turun dari normalnya serta udara yang lebih kering datang pada saat musim panen bagi petani. Kekeringan dapat mengancam kelangsungan hidup manusia apabila terjadi dalam jangka waktu yang panjang. Kekeringan banyak menimbulkan dampak negatif seperti terganggunya prakiraan akhir musim kemarau dan awal musim hujan yang dapat berdampak langsung pada pertanian sehingga gagal panen. Curah hujan yang menurun drastis dari angka normalnya serta deret hari kering yang bertambah panjang dapat mengurangi cadangan airtanah di suatu daerah. Berdasarkan dampak tersebut, perlu dilakukan penanganan lebih lanjut dalam merespon dampak tersebut sebagai upaya antisipasi atau mitigasi bencana kekeringan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan spasial atau keruangan yang berbasis kuantitatif, dengan mengidentifikasi hubungan antara awal 2

mula musim hujan yang terlambat dan jumlah presipitasi yang berpotensial menyebabkan kekeringan dengan mempertimbangkan tahun-tahun terjadinya El Nino. Data curah hujan yang dianalisis secara kuantitatif menjadi variabel yang penting untuk kemudian diproses dengan menggunakan software SPI (Standardized Precipitation Index), buatan AIT (Asian Institute of Technology) Thailand, yang digunakan untuk mengidentifikasi tingkat kekeringan. Nilai SPI hanya berdasarkan pada rekaman curah hujan pada satu stasiun hujan tertentu, sehingga dapat dilakukan analisis spasial dengan membandingkan nilai SPI stasiun hujan lainnya. SPI berbeda dengan Indeks Palmer, walaupun sama-sama merupakan teknik untuk mengukur kekeringan. SPI hanya mempertimbangkan variabel curah hujan, sementara Indeks Palmer menggunakan data curah hujan, evapotranspirasi, dan runoff. SPI merupakan indeks yang berdasarkan pada probabilitas yang telah terstandarisasi tentang rekaman jumlah curah hujan tertentu. Indeks nol menunjukkan jumlah curah hujan rata-rata. Indeks negatif menunjukkan kekeringan dan positif menunjukkan kondisi basah. SPI dihitung untuk beberapa skala waktu, mulai dari satu bulan hingga 36 bulan, untuk mengetahui berbagai skala waktu kekeringan, baik kekeringan jangka pendek maupun jangka panjang. Berdasarkan uraian di atas, fenomena iklim El Nino dan korelasinya dengan kekeringan meteorologis perlu dikaji secara mendalam khususnya untuk mengetahui pengaruh El Nino terhadap kekeringan yang terjadi di Pulau Bali. Perlu diadakan studi khusus mengenai Analisis Hubungan El Nino dengan Kekeringan Meteorologis Menggunakan SPI (Standardized Precipitation Index) di Pulau Bali. 1.2 Perumusan Masalah Kekeringan dapat terjadi di berbagai wilayah dan disebabkan oleh faktor yang berbeda-beda. Apabila dilihat dari sisi meteorologis, kekeringan dapat berarti tidak signifikannya curah hujan yang turun dalam periode yang cukup lama sehingga menyebabkan kurangnya lengas tanah melalui evapotranspirasi dan penurunan aliran sungai, sehingga mengganggu aktivitas manusia dan biologis (Barry, R.G. dan Chorley, R.J, 2004). 3

Istilah El Nino merujuk pada menghangatnya suhu permukaan air laut di Samudra Pasifik bagian tengah dan barat pada garis ekuator. Sementara pada saat yang bersamaan, suhu permukaan air laut di perairan Indonesia lebih dingin dari normalnya. Apabila suhu tinggi, maka tekanan udara rendah, sebaliknya apabila suhu rendah, maka tekanan udara tinggi. Berdasarkan teori tersebut, tekanan udara di sekitar Samudra Pasifik ekuator rendah, sedangkan tekanan udara di sekitar perairan Indonesia tinggi. Hal ini menyebabkan massa udara bergerak dari tempat bertekanan udara tinggi ke tempat bertekanan udara rendah, dalam hal ini ialah dari perairan Indonesia ke Samudra Pasifik ekuator. Massa udara yang terbawa ke Samudra Pasifik ekuator tersebut membawa uap air dan berpotensi terhadap pembentukan awan hujan. Awan hujan tersebut seharusnya berada di wilayah Indonesia. Hal ini menyebabkan curah hujan di sebagian wilayah Indonesia berkurang dan pola cuaca di sebagian wilayah berubah. El Nino merupakan fenomena iklim yang berskala global yang mempengaruhi sebagian besar wilayah Indonesia dan belahan dunia lainnya. Fenomena El Nino tersebut juga mempunyai pengaruh besar di Indonesia, khususnya di Pulau Bali. Ditambah lagi pada periode tahun-tahun El Nino, bencana kekeringan semakin sering terjadi. Hal ini dapat dijabarkan dalam rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana hubungan antara El Nino dengan kekeringan meteorologis di Pulau Bali? 2. Bagaimana dampak yang ditimbulkan dari fenomena El Nino yang relevan dengan kekeringan? 3. Bagaimana usaha untuk mengurangi dampak turunan, khususnya produksi padi, yang ditimbulkan akibat fenomena El Nino? 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalisis hubungan antara El Nino dengan kekeringan meteorologis di Pulau Bali. 2. Mengidentifikasi dampak yang ditimbulkan dari fenomena El Nino yang relevan dengan kekeringan. 4

3. Merumuskan usaha untuk mengurangi dampak turunan, khususnya produksi padi, yang ditimbulkan akibat fenomena El Nino. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini antara lain untuk: 1. Memecahkan masalah kekeringan dan masalah turunan lainnya yang terjadi pada periode tahun-tahun El Nino di Pulau Bali. 2. Membantu pemerintahan di Pulau Bali dengan memberikan masukan sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan yang tepat untuk menghadapi tahun-tahun El Nino yang identik dengan kekeringan. 1.5 Tinjauan Pustaka 1.5.1 Hujan Hujan adalah salah satu bentuk presipitasi uap air yang berasal dari awan yang berada di atmosfer. Hujan merupakan air yang jatuh ke permukaan bumi sebagai akibat terjadinya kondensasi dari partikel-partikel air di atmosfer. Jumlah curah hujan diukur berdasarkan tinggi dari volume air yang jatuh pada permukaan bidang datar yang biasanya dinyatakan dalam satuan milimeter (Nawawi, 2001). Curah hujan 1 milimeter artinya pada tempat yang datar dengan luas 1 m 2 tertampung air setinggi satu milimeter atau tertampung air sebanyak satu liter. Curah hujan merupakan salah satu unsur iklim, disamping suhu, evapotranspirasi, kelembaban, tekanan udara, dan sebagainya. Hujan ialah faktor pengontrol utama dalam siklus hidrologi di suatu Daerah Aliran Sungai (DAS). Hujan merupakan komponen penting yang menentukan proses yang akan terjadi di DAS dalam satuan sistem hidrologi. Hujan terjadi akibat adanya massa udara yang mendingin, yaitu suhu di bawah titik embunnya, sehingga menyebabkan pembentukan molekul air. Molekul-molekul air akan turun sebagai hujan apabila ukurannya lebih dari 1 mm. 5

Karakteristik hujan tergantung pada kondisi fisiografis suatu tempat, karena proses gerakan udara dapat disebabkan oleh berbagai hal, utamanya relief suatu tempat. Hal ini yang kemudian menjadi asal-usul terjadinya hujan di suatu tempat. Produksi uap air dan awan hujan memiliki pengaruh terhadap curah hujan. Curah hujan dan intensitasnya yang rendah dapat menyebabkan kekeringan. Curah hujan yang turun di bawah normal dalam suatu musim atau dalam jangka waktu yang panjang dapat mengurangi pasokan air permukaan dan airtanah. Kurangnya air permukaan dan airtanah dapat berdampak pada kebutuhan makhluk hidup terhadap air, sehingga mengganggu fungsi hidrologis lingkungan sebagai salah satu penunjang kelangsungan hidup makhluk hidup. 1.5.2 Kekeringan Kekeringan memiliki banyak definisi yang tergantung dari sudut pandang, bidang ilmu, daerah maupun kebutuhannya. Batasan kekeringan di setiap wilayah juga tidak selalu sama. Seperti di Libya, misalnya, curah hujan yang kurang dari 180 mm disebut kekeringan. Lain halnya di Bali, kekeringan didefinisikan sebagai tidak turunnya hujan selama 6 hari berturut-turut (Hayes, 1998). Bunting dan Kassam (1988) mengartikan kekeringan sebagai satu atau beberapa periode pertumbuhan tanaman yang tidak terpenuhi antara air yang keluar dari tanaman dan masukannya dari hujan atau irigasi dengan akibat terjadinya penurunan hasil serta menyebabkan kerugian secara ekonomis. Apabila dilihat dari sudut pandang iklim, beberapa tempat dinyatakan sebagai kering atau basah dibandingkan dengan daerah lain sebab satu periode musim tertentu lebih pendek dibandingkan dengan rata-rata musim yang biasanya terjadi (Kassam et al, 1981). Kekeringan biasanya diawali dengan kekeringan secara meteorologis, dimana suatu daerah terjadi kekurangan air dari jumlah air yang dibutuhkan akibat kurangnya curah hujan yang turun di daerah tersebut. Kekeringan meteorologis ini akan berlanjut ke kekeringan pertanian, kekeringan hidrologis, serta kekeringan sosial ekonomi (Astuti, 2011). Studi kekeringan meteorologis dapat menjadi acuan 6

atau indikasi awal terjadinya kekeringan sehingga dapat menjadi peringatan dini akan dampak turunan yang mungkin terjadi setelahnya. Gambar 1.1 Kekeringan Litologis di Desa Belik G. Slamet (Suyono, 2003) Gambar 1.2 Kekeringan Hidrometeorologis di Kab. Rembang (Suyono, 2003) 7

Gambar 1.1 merupakan contoh dari kekeringan litologis. Kekeringan litologis adalah kekeringan yang disebabkan oleh kondisi batuan yang tidak mampu menyimpan dan melepaskan air (Suyono, 2007). Gambar 1.2 merupakan contoh kekeringan hidrometeorologis. Kekeringan hidrometeorologis terjadi apabila curah hujan yang turun kurang dari jumlah evapotranspirasi aktual. Kekeringan ini berkaitan dengan kondisi meteorologis. Menurut Asdak (1995), apabila jumlah curah hujan yang turun kurang dari 60 mm/bulan, maka disebut bulan kering. 1.5.3 Standardized Precipitation Index (SPI) Kekeringan seringkali dikaitkan dengan suatu kondisi yang ditandai dengan kurangnya ketersediaan air untuk memenuhi kebutuhan air di sektor manapun, baik dalam hal pemenuhan kebutuhan irigasi untuk pertanian, maupun pemenuhan kebutuhan air dalam kegiatan ekonomi. Kekeringan ini bersifat sementara yang salah satunya dapat terjadi akibat menurunnya curah hujan di suatu daerah. Untuk mengamati terjadinya penyimpangan jumlah curah hujan terhadap normalnya dapat menggunakan Standardized Precipitation Index (SPI). Nilai SPI dihitung berdasarkan metode statistik probabilistik distribusi gamma, dengan kategori sebagai berikut: a. Sangat kering, apabila nilai SPI -2,00, b. Kering, apabila nilai SPI -1,50 s/d -1,99, c. Agak kering, apabila nilai SPI -1,00 s/d -1,49, d. Normal, apabila nilai SPI -0,99 s/d 0,99, e. Agak basah, apabila nilai SPI 1,00 s/d 1,49, f. Basah, apabila nilai SPI 1,50 s/d 1,99, g. Sangat basah, apabila nilai SPI 2,00. Metode yang digunakan SPI berdasarkan pada asumsi kekeringan meteorologis, sehingga data yang dibutuhkan adalah curah hujan bulanan. Kekeringan meteorologis merupakan kondisi kekeringan yang ditandai dengan berkurangnya curah hujan dari keadaan normalnya dalam jangka waktu yang panjang. 8

SPI dapat memberikan perbandingan curah hujan selama beberapa periode bulan tertentu. Hal ini dapat membantu menilai tingkat keparahan kekeringan serta memberikan peringatan dini akan kekeringan. 1.5.4 Sirkulasi Walker Sirkulasi Walker merupakan sirkulasi udara zonal yang terjadi di sekitar Samudra Pasifik yang berada di khatulistiwa, dimana tekanan udara dan suhu permukaan Samudra tersebut berbeda antara bagian barat dengan bagian timur. Samudra Pasifik ekuatorial bagian barat normalnya memiliki suhu permukaan yang hangat dan basah dengan tekanan rendah. Berbeda dengan Samudra Pasifik ekuatorial bagian timur, daerah ini memiliki suhu permukaan yang dingin dan kering serta bertekanan tinggi. Hal tersebut menyebabkan udara di sekitar permukaan Samudra Pasifik tersebut bergerak dari tempat yang bertekanan tinggi, yakni timur, ke tempat yang bertekanan lebih rendah, yaitu barat. Udara di atasnya didominasi oleh angin yang bergerak dari barat ke timur. Kejadian inilah yang disebut dengan sirkulasi Walker. Normalnya sirkulasi Walker memusat di sekitar wilayah Indonesia (Tjasjono, 2004). Suhu permukaan laut di Pasifik ekuator sebelah barat cukup tinggi sehingga menghangatkan udara yang berada di atasnya. Udara tersebut kemudian naik membawa pasokan uap air dan terbentuklah awan yang terbang ke arah timur. Awan tersebut menurunkan hujan di daerah Pasifik ekuator bagian timur. Sesampainya di pantai barat Amerika Selatan, udara tersebut turun dan terbang kembali, namun lebih rendah, ke arah barat Pasifik ekuator, melewati tepat di atas permukaan laut (Gambar 1.3). Peran sirkulasi Walker di kawasan tropis sangat penting, mengingat sirkulasi ini mengatur pertukaran panas dan uap udara dalam skala besar di sekitar garis khatulistiwa. Hal ini memungkinkan sirkulasi Walker untuk menentukan karakteristik cuaca hingga iklim di kawasan tropis tersebut. Sebagai buktinya, sirkulasi Walker memiliki keterkaitan dengan anomali iklim ENSO. Apabila terjadi ENSO, arah sirkulasi Walker akan berbalik. Ketika sirkulasi Walker melemah, angin juga akan melemah sehingga air di Pasifik ekuator barat yang 9

memiliki suhu yang hangat akan menyebar ke arah timur. Kejadian ini dinamakan El Nino. Apabila sirkulasi Walker sangat kuat, yang berarti angin bertiup lebih kencang melewati kawasan Pasifik ekuator, maka suhu permukaan laut di Pasifik ekuator timur akan menjadi lebih dingin karena terjadi upwelling. Kejadian tersebut disebut La Nina. Sirkulasi Walker yang melemah, yang berasosiasi dengan El Nino, menyebabkan kekeringan yang tersebar meluas di Indonesia, kekeringan di timur laut Brazil, dan banjir bandang di Peru dan Ekuador, serta tenggara Brazil dan Argentina bagian utara. Ketika terjadi La Nina, sirkulasi Walker yang menguat akan memicu terjadinya anomali curah hujan (Lau dan Yang, 2002). Hal ini kemudian menyebabkan fenomena yang terbalik dari El Nino, dimana wilayah yang kekeringan apabila terjadi El Nino akan mendapatkan curah hujan yang lebih banyak dari normalnya pada kondisi La Nina, sehingga dapat menyebabkan banjir. Waktu Normal Waktu El Nino Gambar 1.3 Sirkulasi Walker pada Kondisi Normal dan Kondisi El Nino Sumber: Australian Coastal Information (2013) http://www.ozcoasts.gov.au/indicators/climate_change.jsp 10

1.5.5 El Nino Salah satu anomali iklim berskala global adalah El Nino. Istilah El Nino pertama kali dicetuskan pada abad 19 oleh para nelayan di Peru yang mendefinisikannya sebagai menghangatnya suhu permukaan laut di sekitar pesisir saat hari raya natal (Enfield, 1988). Hal ini yang kemudian sering dihubunghubungkan dengan penurunan jumlah tangkapan ikan lokal secara mendadak (Jordan, 1991). Secara meteorologis El Nino didefinisikan sebagai fenomena peningkatan suhu rata-rata permukaan laut di atas normal di seputar Pasifik Tengah dan Timur sepanjang garis ekuator. Suhu muka laut di sebelah Utara dan Timur Laut Australia biasanya bernilai 28 C pada tahun-tahun normal, sedangkan di Samudra Pasifik sekitar Amerika Selatan suhu muka lautnya sekitar ± 20 C (Tongkukut, 2011). Mekanisme El Nino berawal dari menghangatnya suhu permukaan air laut di Samudra Pasifik sekitar ekuator atau terjadi tekanan udara rendah di daerah tersebut. Suhu permukaan air laut di perairan Indonesia pada saat yang bersamaan menjadi dingin yang kemudian membentuk tekanan udara yang tinggi. Perbedaan tekanan udara yang cukup besar atau peningkatan suhu permukaan laut di Samudra Pasifik sekitar ekuator yang tinggi dapat menyebabkan massa udara di Indonesia cenderung bergerak ke arah Samudra Pasifik sekitar ekuator yang memiliki tekanan udara lebih rendah. Hal ini berdampak pada pengurangan pembentukan awan di wilayah Indonesia, sehingga secara otomatis juga mengurangi jumlah curah hujan yang turun di sebagian besar wilayah Indonesia. Dampak turunannya dapat menyebabkan kekeringan akibat musim kemarau yang berkepanjangan atau mundurnya awal dari musim hujan apabila dibandingkan dengan kondisi normal. Angin Monsoon ialah angin yang berhembus secara periodik setiap enam bulan dengan arah yang saling berlawanan, dimana pada bulan Oktober-April angin akan bergerak dari Benua Asia ke Benua Australia. Hal ini disebabkan matahari pada periode bulan tersebut berada di belahan bumi selatan sehingga Benua Australia mengalami musim panas. Tekanan udara di atas Benua Australia pada saat itu berada pada nilai minimum, sebaliknya di atas Benua Asia tekanan 11

udaranya berada pada nilai maksimum, sehingga menyebabkan angin akan bergerak dari Asia ke Australia. Angin tersebut dinamakan angin Monsoon Asia, yang melewati Samudra Pasifik dan berpotensi menurunkan hujan di wilayah Indonesia. Angin Monsoon Asia ini seharusnya melewati Indonesia, akan tetapi jika El Nino terjadi angin Monsoon Asia tersebut akan berbelok ke Samudra Pasifik bagian ekuator karena tekanan udara di daerah tersebut sedang turun. Hal ini yang menyebabkan sirkulasi Monsoon melemah (Tongkukut, 2011). Terdapat beberapa parameter yang mempengaruhi terjadinya El Nino, antara lain: a. Anomali Suhu Permukaan Laut Ketika terjadi El Nino, suhu permukaan laut di Samudra Pasifik ekuator bagian tengah dan timur memanas, yakni suhu berada di atas normal. Sebaliknya, suhu permukaan laut di Samudra Pasifik ekuator bagian barat atau di sekitar wilayah perairan Indonesia menjadi lebih dingin dari biasanya, yaitu suhu berada di bawah normal. Keadaan inilah yang menjadi salah satu parameter yang mengindikasikan terjadinya El Nino. Kondisi sebaliknya mengindikasikan terjadinya La Nina. Berdasarkan intensitasnya, El Nino menurut anomali suhu permukaan laut dibagi menjadi tiga, yaitu: El Nino dikatakan lemah apabila penyimpangan suhu permukaan laut di Pasifik ekuator mencapai +0,5 C sampai dengan +1.0 C selama minimal 3 bulan berturut-turut. El Nino dikatakan sedang apabila penyimpangan suhu permukaan laut di Pasifik ekuator berkisar antara +1,0 C sampai dengan +1,5 C selama minimal 3 bulan berturut-turut. El Nino dikatakan kuat apabila penyimpangan suhu permukaan laut di Pasifik ekuator lebih dari +1,5 C selama minimal 3 bulan berturut-turut. b. Indeks Osilasi Selatan/Southern Oscillation Index (SOI) El Nino juga memiliki intensitas yang dikategorikan menurut besarnya penyimpangan suhu muka air laut yang menyebabkan perubahan tekanan udara 12

di atas nilai rata-ratanya. Perubahan tekanan udara tersebut dapat dibaca dengan Indeks Osilasi Selatan (South Oscillation Index/SOI). Biasanya nilai SOI yang dipakai untuk kepentingan analisis klimatologi berskala bulanan, sebab nilai SOI dengan skala harian atau mingguan dapat dipengaruhi oleh pola-pola cuaca harian. SOI mengindikasikan adanya El Nino ataupun La Nina di Samudra Pasifik dengan melihat perbedaan tekanan atmosfer antara Tahiti dan Darwin. Darwin merupakan perwakilan dari wilayah Hindia Australia, sedangkan Tahiti mewakili wilayah Amerika Selatan. Ketika El Nino terjadi, tekanan udara rata-rata di Darwin lebih tinggi daripada di Tahiti, ditunjukkan dengan nilai SOI yang negatif, sedangkan nilai SOI positif mengindikasikan terjadinya La Nina (Gambar 1.4). Intensitas El Nino dikatakan semakin kuat apabila nilai SOI-nya semakin negatif. Hal tersebut dijelaskan oleh Salmawati (2010) tentang tingkatan intensitas El Nino: El Nino dikatakan lemah, apabila nilai SOI -5 s/d 0 dan berlangsung minimal 3 bulan berturut-turut. El Nino dikatakan sedang, apabila nilai SOI -10 s/d -5 dan berlangsung minimal 3 bulan berturut-turut. El Nino dikatakan kuat, apabila nilai SOI lebih kecil dari -10 dan berlangsung minimal 3 bulan berturut-turut. c. Curah Hujan Terjadinya El Nino membawa dampak kekeringan dan curah hujan menurun dari normalnya di sejumlah wilayah di Indonesia. Wilayah Indonesia yang terpengaruh dampak El Nino merupakan wilayah Indonesia bagian timur, termasuk Pulau Bali. Hal ini dapat dilihat dari curah hujan yang biasanya berkurang dari normalnya di wilayah-wilayah timur Indonesia ketika El Nino berlangsung. Parameter yang paling berpengaruh untuk melihat dampak El Nino di Indonesia adalah curah hujan. 13

Gambar 1.4 Grafik Nilai SOI Bulanan Sumber: Australian Bureau of Meteorology (2014) http://www.bom.gov.au/climate/current/soi2.shtml 1.5.6 Dampak Kekeringan Kekeringan yang terjadi di wilayah timur Indonesia biasanya berkaitan dengan peristiwa El Nino dimana nilai SOI menunjukkan negatif (Prabowo, Mulyono, dan Nicholls, 2002). Kekeringan akibat berlangsungnya El Nino memang telah menimbulkan dampak terhadap pertanian di Indonesia. Produksi beras dan kedelai di Indonesia, sebagai contohnya, mengalami penurunan produksi yang nyata pada beberapa tahun El Nino. Perlu diperhatikan bahwa dampak kekeringan akibat El Nino terhadap pangan sebaiknya dihitung dengan mempertimbangkan musim kemarau hingga akhir tahun (Boer, 1999). Tanah juga mengalami dampak kekeringan. Kualitas tanah akan menurun akibat kurangnya kandungan air dalam lengas tanah yang dapat menciptakan kondisi tekstur yang buruk serta miskin hara. Hal ini harus menjadi perhatian 14

karena produksi tanaman, unsur hara tanah dan lainnya akan terancam (Turyanti, 1995). Kekeringan lahan akibat El Nino tersebut juga dapat memicu kebakaran. 1.5.7 Penanganan Dampak Kekeringan Penanganan dampak kekeringan disini diasumsikan berasal dari El Nino, sehingga sumber utama air adalah air hujan. Untuk menghadapi hal tersebut, maka perlu diperhatikan sifat fisik tanah sebagai penyedia air tanaman, sifat anasir cuaca terhadap tanah dan tanaman, serta watak tanaman untuk menghindari dari pengaruh negatif cekaman kekeringan. Pemilihan tanaman yang mampu beradaptasi terhadap cekaman kekeringan juga perlu dipertimbangkan, sehingga tanaman mampu bertahan dalam kondisi tersebut. 1.6 Penelitian Sebelumnya Fenomena El Nino merupakan anomali iklim yang memiliki pengaruh terhadap iklim global, termasuk di Indonesia. El Nino dapat diidentifikasi dari nilai Southern Oscillation Index (SOI) yang bernilai negatif. El Nino biasanya menimbulkan dampak berkurangnya curah hujan yang turun dari rata-rata normalnya sehingga berpotensi menimbulkan kekeringan. Kekeringan yang dimaksud disini merupakan kekeringan meteorologis yang dapat diidentifikasi dari indikator utamanya, yakni kuantitas curah hujan. Standardized Precipitation Index (SPI) merupakan metode untuk mengetahui jumlah curah hujan yang berkurang dari normalnya dengan mempertimbangkan skala waktu tertentu. Fenomena El Nino dan kekeringan merupakan hal penting untuk diteliti mengingat kedua fenomena ini saling berkaitan dan berpotensi terjadi di Indonesia. Beberapa penelitian terkait telah dilakukan seperti yang disajikan pada Tabel 1.1. Abd. Rahman As-syakur (2007) melakukan penelitian tentang hubungan fluktuasi nilai SOI terhadap curah hujan bulanan. Daerah penelitian bertempat di Kawasan Batukaru-Bedugul, Bali. Penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai acuan perencanaan pengelolaan kawasan apabila terjadi fenomena ENSO. Data curah hujan dan nilai SOI dianalisis secara regresi, sehingga hubungannya dapat dilihat melalui nilai koefisien determinasi (R 2 ). 15

E. Surmaini dan E. Susanti (2008) mengambil topik penelitian tentang indikator global dan pengaruhnya terhadap kejadian iklim ekstrim di Indonesia. Tujuan penelitian tersebut adalah untuk mengetahui faktor apa yang paling berpengaruh terhadap curah hujan di Indonesia, dampaknya terhadap pergeseran musim, serta hubungannya dengan kejadian banjir dan kekeringan. Penelitian ini menggunakan metode analisis regresi antara anomali curah hujan dengan indikator iklim global. Penelitian ini juga menganalisis dampak El Nino terhadap kerusakan tanaman padi karena kekeringan di Indonesia. Andre Herdian (2012) meneliti tentang indeks kekeringan menggunakan metode Thronthwaite Matter dengan analisis spasial di wilayah Garut, Jawa Barat. Salah satu hasil penelitian ini berhasil menemukan korelasi antara El Nino dengan indeks kekeringan yang besar pada tahun itu yang menghasilkan produksi padi menurun di tahun yang sama. Danu Triatmoko dkk (2012) melakukan penelitian menggunakan metode SPI untuk mengidentifikasi kekeringan meteorologis di daerah Pantura, Jawa Barat. Penelitian ini juga menemukan bahwa pada periode El Nino 1997/1998, 2002/2003, dan 2006/2007, kekeringan meteorologis di Kabupaten Indramayu dan Subang mencapai kategori sangat kering. Penelitian yang akan dilakukan ini bertemakan tentang analisis hubungan El Nino dengan kekeringan meteorologis menggunakan SPI. Lokasi penelitian bertempat di Pulau Bali. Nilai SPI yang merepresentasikan kekeringan meteorologis dibandingkan dengan nilai SOI ketika terjadi fenomena El Nino. Penelitian ini juga akan menganalisis tentang dampak turunannya serta merumuskan upaya untuk mengantisipasinya. Berdasarkan penelitian terdahulu, belum ada penelitian serupa yang menganalisis hubungan antara El Nino dengan kekeringan meteorologis berdasarkan nilai SOI dan SPI di Pulau Bali. Abd. Rahman As-syakur (2007) meneliti tentang hubungan fluktuasi nilai SOI dengan curah hujan bulanan, bukan nilai SPI. Penelitian tersebut tidak dilakukan di seluruh Pulau Bali, namun hanya di suatu kawasan tertentu di Bali. E. Surmaini dan E. Susanti (2008) melakukan analisis regresi antara curah hujan dengan beberapa indikator iklim global di Indonesia. 16

Lingkup penelitian tersebut lebih luas, namun nilai SPI tidak termasuk dalam analisis regresi. Penelitian tersebut berhasil menemukan korelasi positif antara kejadian El Nino dengan tingkat kekeringan yang tinggi. Andre Herdian (2012) menggunakan metode Thronthwaite Matter untuk mendapatkan indeks kekeringan di Garut, Jawa Barat. Penelitian tersebut juga mengungkapkan produksi padi menurun pada tahun El Nino yang berasosiasi dengan nilai indeks kekeringan yang besar pada tahun yang sama. Danu Triatmoko dkk (2012) lebih meneliti tentang periode kekeringan meteorologis menggunakan SPI di Pantura, Jawa Barat. Berdasarkan nilai SPI tersebut kemudian dikaitkan dengan 3 periode waktu kejadian El Nino. Penelitian ini tidak menggunakan metode analisis regresi untuk menghubungkan antara nilai SPI dengan kejadian El Nino, karena kejadian El Nino tidak dilihat berdasarkan nilai SOI-nya. 17

Tabel 1.1 Perbandingan antara Penelitian Sebelumnya dengan Penelitian yang Akan Dilakukan No. Nama Peneliti (Tahun) Judul Penelitian Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian 1. Abd. Rahman As-syakur (2007) Identifikasi Hubungan Fluktuasi Nilai SOI terhadap Curah Hujan Bulanan di Kawasan Batukaru-Bedugul, Bali Mengetahui hubungan antara fluktuasi nilai SOI dengan besaran curah hujan di kawasan Batukaru-Bedugul, sehingga bisa dimanfaatkan sebagai acuan perencanaan pengelolaan kawasan saat terjadinya fenomena El Nino dan La Nina. Metode pengumpulan data curah hujan dan nilai SOI serta dianalisis secara regresi untuk melihat nilai koefisien determinasi (R 2 ) 1. Variabilitas hujan pada daerah penelitian tidak berpengaruh pada fluktuasi nilai SOI saat musim hujan kecuali Munduk, sedangkan saat musim kemarau sangat terlihat jelas kecuali Gitgit. 2. Saat masa transisi, pengaruh nilai SOI terhadap variabilitas hujan terlihat berbeda-beda pada setiap pos hujan. 3. Keberadaan lokasi penelitian yang berada pada daerah berpola hujan monsun, adanya Siklus Walker, keberadaan jalur ITCZ, serta posisi pos hujan terhadap topografi berpengaruh terhadap variabilitas hujan sehingga menyebabkan perbedaan pengaruh nilai SOI pada masing-masing musim. 18

Lanjutan Tabel 1.1 Perbandingan Antara Penelitian Sebelumnya dengan Penelitian yang Akan Dilakukan No. Nama Peneliti (Tahun) Judul Penelitian Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian 2. E. Surmaini dan E. Susanti (2008) Indikator Iklim Global dan Pengaruhnya terhadap Kejadian Iklim Ekstrim di Indonesia 3. Andre Herdian (2012) Analisis Spasial Indeks Kekeringan Thronthwaite Matter di Wilayah Garut Jawa Barat Menganalisis indikator iklim global yang paling berpengaruh terhadap curah hujan di Indonesia, dampaknya terhadap pergeseran musim dan hubungannya dengan kejadian banjir dan kekeringan Untuk mengetahui karakterisasi kekeringan di wilayah Garut. 1. Analisis regresi curah hujan dengan anomali SST Nino 3.4, DMI, SOI, interaksi ASST dengan DMI, dan interaksi SOI dengan DMI. 2. Plot antara anomali curah hujan dengan indikator iklim global. 3. Analisis peluang awal musim hujan dan lama musim hujan berdasarkan skenario indikator iklim. 4. Analisis dampak kejadian iklim ekstrim terhadap kejadian banjir dan kekeringan serta luas kerusakan tanaman padi pada lahan sawah di Indonesia Metode perhitungan neraca air dihitung dengan menggunakan Tabel Neraca Air Thornthwaite Matter dari data meteorologis dengan melakukan perhitungan empiris. 1. Indikator iklim global yang paling berpengaruh terhadap hujan di Indonesia adalah suhu muka laut di zone Nino 3.4, dan pengaruhnya hanya signifikan pada musim transisi bulan Agustus Nopember, sehingga SST bulan Mei Juni dapat digunakan untuk memprediksi hujan pada periode musim transisi (Agustus Nopember). 2. Hubungan SST dengan hujan menunjukkan korelasi negatif. 3. Dampak El Nino terhadap kerusakan pertanaman padi di Indonesia karena kekeringan lebih luas dibandingkan karena banjir. 1. Berdasarkan rata-rata curah hujan (tahun 2001 2010), kekeringan meteorologis di sebagian besar wilayah Kabupaten Garut terjadi pada periode Mei hingga September. Sedangkan untuk Garut Selatan bulan kering terjadi pada bulan Juni hingga September. 2. Pada tahun 2006 yang merupakan tahun El Nino, produksi padi menurun berkorelasi dengan nilai indeks kekeringan yang besar pada tahun itu. 19

Lanjutan Tabel 1.1 Perbandingan Antara Penelitian Sebelumnya dengan Penelitian yang Akan Dilakukan No. Nama Peneliti (Tahun) Judul Penelitian Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian 4. Danu Triatmoko, Armi Susandi, Musa Ali Mustofa, Erwin E.S. Makmur (2012) 5. Mira Anantha Yosilia (2013) Using Standardized Precipitation Index Method for Identification Meteorological Drought in Pantura West Java Area Analisis Hubungan El Nino Dengan Kekeringan Meteorologis Menggunakan SPI (Standardized Precipitation Index) Di Pulau Bali Mengidentifikasi tingkat kekeringan meteorologis dan melakukan pemetaan daerah kekeringan berdasarkan nilai SPI di wilayah Pantura Jawa Barat saat fenomena El Nino terjadi di tahun 1997/1998, 2002/2003, dan 2006/2007. Untuk menganalisis korelasi antara El Nino dengan kekeringan meteorologis dan dibandingkan dengan dampak turunannya serta merumuskan usaha untuk mengantisipasinya. Menggunakan metode SPI (Standardized Precipitation Index) untuk memonitoring tingkat kekeringan meteorologis. Berhubungan dengan metode pengumpulan data curah hujan yang dianalisis secara kuantitatif deskriptif dengan hasil olahan dari software SPI untuk mengidentifikasi kekeringan meteorologis dan dikaitkan dengan nilai SOInya dengan analisis regresi 1. Berdasarkan historis curah hujan (tahun 1981 2010), kekeringan meteorologis di wilayah Kabupaten Indramanyu dan Subang terjadi pada periode Juli Oktober. Sedangkan di Kab. Karawang terjadi pada bulan Juni Nopember. 2. Berdasarkan spasial nilai SPI3 selama periode El Nino (1997/1998), (2002/2003), (2006/2007), Kabupaten Indramayu dan Subang lebih sering mengalami kekeringan meteorologis kategori sangat kering. Sumber: Syakur (2007), Surmaini dan Susanti (2008), Herdian (2012), Triatmoko dkk (2012) 20

1.7 Kerangka Pemikiran Curah hujan merupakan salah satu unsur iklim yang penting dalam siklus hidrologi. Curah hujan adalah komponen masukan atau input utama, yang mana air hujan yang jatuh di permukaan tanah meresap ke dalam tanah maupun yang jatuh di perairan dapat dimanfaatkan oleh manusia. Hal ini secara otomatis membuat karakteristik hujan, seperti intensitas dan besarnya curah hujan. Anomali iklim global dapat mempengaruhi indikator iklim lain, salah satunya adalah curah hujan. Contoh anomali iklim global adalah El Nino. El Nino merupakan istilah dari peningkatan suhu permukaan laut di atas normal di sekitar Samudra Pasifik bagian tengah dan timur sepanjang garis khatulistiwa. Peningkatan suhu permukaan laut ini menyebabkan tekanan udara di atasnya rendah. Sementara itu di sisi lain, perairan Indonesia mendingin sehingga tekanan udara di atas perairan Indonesia tinggi. Massa udara di Indonesia pun bergerak ke daerah yang bertekanan lebih rendah, yakni Samudra Pasifik bagian timur dan tengah sekitar ekuator. Hal ini menyebabkan pengurangan pembentukan awan yang dapat menginisiasi terjadinya hujan, akibatnya hujan yang turun di wilayah Indonesia berkurang pula. Fenomena El Nino dapat diidentifikasi dari nilai SOI (Southern Oscillation Index) yang negatif. Pengaruh El Nino terhadap curah hujan ialah terjadinya penurunan curah hujan dari kondisi normalnya di daerah tertentu. Hal ini dapat ditinjau dengan menggunakan software SPI (Standardized Precipitation Index) yang mengacu pada asumsi kekeringan meteorologis. Curah hujan bulanan diolah dengan metode SPI yang kemudian menghasilkan indeks presipitasi yang terstandarisasi. Nilai indeks tersebut dihubungkan dengan nilai SOI menggunakan metode analisis regresi, sehingga dapat diketahui hubungan antara El Nino dengan kekeringan meteorologis. Kekeringan biasanya diawali dengan kekeringan meteorologis yang mengakar. Kekeringan meteorologis ini dilihat dari penurunan jumlah curah hujan dari normalnya sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan air karena kurangnya 21

ketersediaan air. Penurunan curah hujan dapat menyebabkan kekeringan yang bersifat sementara, bahkan berkepanjangan apabila curah hujan berkurang dalam periode waktu yang lama. Kekeringan meteorologis ini dapat menjadi acuan untuk peringatan dini akan kekeringan lainnya, seperti kekeringan pertanian ataupun kekeringan hidrologis, serta dampak turunannya yang mungkin dapat terjadi. Dampak turunan yang ditimbulkan dapat bermacam-macam. Penting dilakukan perumusan upaya antisipasinya yang dapat diadaptasikan apabila terjadi kekeringan. Kerangka pemikiran ini disajikan pada Gambar 1.5. Curah Hujan Penurunan Curah Hujan El Nino SOI Negatif Standardized Precipitation Index (SPI) Kekeringan Adaptasi Dampak Turunan Respon/Antisipasi Gambar 1.5 Diagram Kerangka Teori 22