BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 14. Hasil Uji Alkaloid dengan Pereaksi Meyer; a) Akar, b) Batang, c) Kulit batang, d) Daun

Lampiran 1. Pengambilan Sampel Daun Rhizophora mucronata Lamk. dari Kawasan Wisata Alam Angke Kapuk, Jakarta Utara.

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Serbuk halus daun tumbuhan jeringau sebanyak 400 g diekstraksi dengan

BAB III BAHAN DAN METODE

Gambar 10. Hasil Negatif Alkaloid Sargassum crassifolium

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kadar Air Ekstraksi dan Rendemen Hasil Ekstraksi

LAMPIRAN LAMPIRAN 1. Alur Kerja Ekstraksi Biji Alpukat (Persea Americana Mill.) Menggunakan Pelarut Metanol, n-heksana dan Etil Asetat

Analisis Fitokimia (Harborne 1987) Uji alkaloid. Penentuan Bakteriostatik Uji flavonoid dan senyawa fenolik. Penentuan Bakterisidal

BAB III BAHAN DAN METODE

HASIL DA PEMBAHASA. Kadar Air

3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. tanaman binahong (A. cordifolia) yang diperoleh dari Desa Toima Kecamatan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Instrumen Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan

3. METODOLOGI PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Penetapan Kadar Air Hasil Ekstraksi Daun dan Buah Takokak

BAB IV PEMBAHASAN. Gambar 4. Borok Pada Ikan Mas yang Terinfeksi Bakteri Aeromonas hydrophila

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Ekstraksi terhadap 3 jenis sampel daun pidada menghasilkan ekstrak

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Larutan bening. Larutab bening. Endapan hijau lumut. Larutan hijau muda

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Lokasi Pengambilan Sampel, Waktu dan Tempat Penelitian. Lokasi pengambilan sampel bertempat di sepanjang jalan Lembang-

HASIL. (%) Kulit Petai 6.36 n-heksana 0,33 ± 0,06 Etil Asetat 0,32 ± 0,03 Etanol 70% 12,13 ± 0,06

METODE. Waktu dan Tempat Penelitian

Uji Toksisitas Potensi Insektisida Nabati Ekstrak Kulit Batang Rhizophora mucronata terhadap Larva Spodoptera litura

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Juni 2012.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material Jurusan Pendidikan

IDENTIFIKASI FITOKIMIA DAN EVALUASI TOKSISITAS EKSTRAK KULIT BUAH LANGSAT (Lansium domesticum var. langsat)

BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat

BAB III METODE PENELITIAN. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain kulit jengkol, larva

Lampiran 1. Pembuatan Media Natrium Agar

BAB III METODE PENELITIAN

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat

3. METODOLOGI. Gambar 5 Lokasi koleksi contoh lamun di Pulau Pramuka, DKI Jakarta

BAB III METODE PENELITIAN. Lokasi pengambilan sampel bertempat di daerah Cihideung Lembang Kab

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

UJI EFEKTIVITAS EKSTRAK KERING DAUN Ocimum americanum L. SEBAGAI ANTIFUNGI Candida albicans

OPTIMASI PEMBUATAN KOPI BIJI PEPAYA (Carica papaya)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. negatif Escherichia coli ATCC 25922, bakteri gram positif Staphylococcus aureus

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Oktober Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pengolahan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah kentang merah dan

BAB III. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset, Jurusan Pendidikan Kimia,

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia dan Laboratorium Kimia Instrumen

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset, Jurusan Pendidikan Kimia,

Lampiran 1. Persiapan Media Bakteri dan Jamur. diaduk hingga larut dan homogen dengan menggunakan batang pengaduk,

3. BAHAN DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian. Pengambilan sampel karang lunak dilakukan pada bulan Juli dan Agustus

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAHAN DAN METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Prosedur Penelitian

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Tanaman Uji Serangga Uji Uji Proksimat

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel atau bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. polyanthum) asal NTB. Untuk memastikan identitas dari tanaman salam

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun Artocarpus

Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek atau bahan penelitian ini adalah daging buah paria (Momordica

PENDAHULUAN. terdiri atas penyakit bakterial dan mikotik. Contoh penyakit bakterial yaitu

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

2 METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Tahapan Penelitian Determinasi Tanaman Preparasi Sampel dan Ekstraksi

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh daya antibakteri

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek atau bahan penelitian ini adalah biji paria (Momordica charantia)

BAB 5 HASIL PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan dari bulan Agustus 2009 sampai dengan bulan

Uji Saponin Uji Triterpenoid dan Steroid Uji Tanin Analisis Statistik Uji Minyak Atsiri Penentuan Konsentrasi Hambat Tumbuh Minimum (KHTM)

BAB IV PROSEDUR PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Ekstraksi dan Penapisan Fitokimia

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. - Beaker glass 1000 ml Pyrex. - Erlenmeyer 1000 ml Pyrex. - Labu didih 1000 ml Buchi. - Labu rotap 1000 ml Buchi

Rumusan masalah Apakah ada efek antibakteri Aloe vera terhadap Enterococcus faecalis sebagai bahan medikamen saluran akar?

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat

LAMPIRAN. Universitas Sumatera Utara

BAB III METODE PENELITIAN

III. Metode Penelitian A. Waktu dan Tempat Penelitian kelimpahan populasi dan pola sebaran kerang Donax variabilis di laksanakan mulai bulan Juni

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel dari penelitian ini adalah daun murbei (Morus australis Poir) yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

3 METODE PENELITIAN. Gambar 3 Garis besar jalannya penelitian

HASIL. Kadar Air Daun Anggrek Merpati

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi ekstrak kulit buah dan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel atau bahan penelitian ini adalah daun M. australis (hasil

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Bahan

BAB III METODE PENELITIAN. ini berlangsung selama 4 bulan, mulai bulan Maret-Juni 2013.

BAB I PENDAHULUAN. ikan budidaya pada air tawar adalah penyakit Motil Aeromonas Septicemia (MAS)

BAB III METODE PENELITIAN. di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Laboratorium Kimia Analitik

BAHAN DAN METODE Tempat Penelitian Serangga Uji Bahan Tanaman Uji Penyiapan Tanaman Pakan

Transkripsi:

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kandungan Metabolit Sekunder Daun Rhizophora mucronata Lamk. Kandungan metabolit sekunder pada daun Rhizophora mucronata Lamk. diidentifikasi melalui uji fitokimia. Uji fitokimia yang dilakukan meliputi uji alkaloid, flavonoid, triterpenoid dan steroid, saponin dan tanin. Berikut data hasill uji fitokimia yang diperoleh (Tabel 2): Tabel 2. Hasil Uji Fitokimia Sampel Daun Rhizophora mucronata Lamk. Uji Fitokimia Sampel Daun Rhizophora mucronata Lamk. Alkaloid P. Meyer ++ P. Wagner ++ Flavonoid HCL Pekat + H 2 SO 4 2 N + NaOH 10% ++ Steroid ++ Triterpenoid - Saponin ++ Tanin ++ Keterangan tabel : - : negatif + : positif lemah, warna/busa/endapan terlihat samar ++ : positif kuat, warna/busa/endapan terlihat jelas 4.1.1 Uji Alkaloid Hasil positif uji alkaloid sampel daun Rhizophora mucronata Lamk. dengan menggunakan pereaksi meyer dan pereaksi wagner ditunjukkan dengan adanya endapan putih kekuningan pada Gambar 13 (a) pereaksi meyer dan 38

39 endapan coklat merah namun samar pada pereaksi wagner (b). Dari sampel yang diuji menggunakan dua pereaksi tersebut memperlihatkan bahwa sampel daun Rhizophora mucronata Lamk. positif mengandung alkaloid. a. Hasil Positif Pereaksi Meyer b. Hasil Positif Pereaksi Wagner Gambar 13. Hasil Positif Uji Senyawa Alkaloid 4.1.2 Uji Flavonoid Hasil uji flavonoid ditunjukkan dengan menggunakan tiga jenis pereaksi. Pereaksi pertama yang digunakan adalah asam klorida (HCl), sampel daun Rhizophora mucronata Lamk. menunjukkan perubahan warna menjadi orange/jingga samar setelah ditambahkan pereaksi sehingga dikatakan positif lemah mengandung senyawa flavonoid (Gambar 14). Sampel sebelum diuji Sampel setelah diuji Gambar 14. Hasil Positif Lemah Senyawa Flavonoid dengan Pereaksi HCl Pereaksi yang kedua adalah menggunakan asam sulfat (H 2 SO 4 ). Pada uji ini sampel daun Rhizophora mucronata Lamk. menunjukkan perubahan warna

40 menjadi kuning merah/coklat, maka sampel dikatakan positif mengandung senyawa flavonoid (Gambar 15). Sampel sebelum diuji Sampel setelah diuji Gambar 15. Hasil Positif Uji Senyawa Flavonoid dengan Pereaksi H 2 SO 4 Pereaksi terakhir menggunakan Natrium Hidroksida (NaOH) 10%. Pada uji ini sampel daun Rhizophora mucronata Lamk. menunjukkan perubahan warna menjadi kuning merah/coklat sehingga dikatakan bahwa sampel positif mengandung senyawa flavonoid. Berikut hasil uji senyawa flavonoid dengan menggunakan pereaksi NaOH 10% (Gambar 16) dan ketiga hasil uji flavonoid (Gambar 17): Sampel sebelum diuji Sampel setelah diuji Gambar 16. Hasil Positif Uji Senyawa Flavonoid dengan Pereaksi NaOH 10%

41 Gambar 17. Hasil Uji Senyawa Flavonoid dari Tiga Pereaksi Robinson (1991) dalam Naiborhu (2002) mengatakan bahwa salah satu fungsi flavonoid dari tumbuhan adalah sebagai kerja antimikroba dan antivirus. Senyawa flavonoid dapat merusak membran sitoplasma yang dapat menyebabkan bocornya metabolit penting dan menginaktifkan sistem enzim bakteri. Kerusakan ini memungkinkan nukleotida dan asam amino merembes keluar dan mencegah masuknya bahan-bahan aktif ke dalam sel, keadaan ini dapat menyebabkan kematian bakteri (Volk dan Wheeler 1988 dalam Prajitno 2008). 4.1.3 Uji Triterpenoid dan Steroid Hasil uji triterpenoid dan steroid ditunjukkan dengan timbulnya warna merah jika positif triterpenoid dan timbul warna biru atau ungu jika positif steroid. Pada hasil uji menggunakan sampel daun Rhizophora mucronata Lamk. dapat dilihat bahwa sampel positif mengandung senyawa steroid (Gambar 18): Gambar 18. Hasil Positif Uji Senyawa Steroid

42 Steroid merupakan salah satu golongan senyawa non polar. Senyawa steroid ini memiliki aktivitas antibakteri. Steroid yang diperoleh dari organisme telah terbukti penggunaannya untuk pengobatan yang bervariasi, diantaranya sebagai antibiotik (Kristanti dkk, 2008 dalam Tania 2011). 4.1.4 Uji Saponin Hasil positif dari uji saponin pada sampel daun Rhizophora mucronata Lamk. ditunjukkan dengan terbentuknya busa yang stabil tidak kurang dari 10 menit setinggi 3 cm dan tidak hilang pada penambahan satu tetes HCL 2 N (Gambar 19). Gambar 19. Hasil Positif Uji Senyawa Saponin Saponin merupakan salah satu golongan senyawa yang rumit dan terdapat pada berbagai jenis organisme, bersifat larut dalam air, larut dalam etil asetat dan butanol serta digolongkan dalam senyawa polar. Selain memiliki aktivitas antibakteri dan antijamur, saponin juga memiliki sifat yaitu aktivitas yang berhubungan dengan kanker seperti sitotoksik, antitumor, antimutagen dan yang menyangkut aktivitas antialergenik, antivirus, antidiabetes dan antifungi (Lacaille- Dubois dan Wagner 1996 dalam Tania 2011). 4.1.5 Uji Tanin Hasil positif untuk uji tanin ditunjukkan dengan perubahan warna menjadi hijau kehitaman. Sampel daun Rhizophora mucronata Lamk. yang diujikan positif mengandung tanin. Berikut hasil uji fitokimia dari senyawa tanin (Gambar 20):

43 Gambar 20. Hasil Positif Uji Senyawa Tanin Kemampuan tanin dalam menghambat pertumbuhan bakteri menurut (Masduki 1996 dalam Fatiqin 2009) yaitu dengan cara mempresipitasi protein, karena diduga tanin juga mempunyai efek yang sama dengan senyawa fenolik. Efek antibiotik tanin antara lain melalui reaksi dengan membran sel, inaktivasi enzim dan inaktivasi fungsi materi genetik. 4.2. Isolasi Metabolit Sekunder Ekstraksi merupakan suatu proses penarikan komponen yang diinginkan dari suatu bahan dengan cara pemisahan satu atau lebih komponen dari suatu bahan yang merupakan komponennya. Ekstraksi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu lama ekstraksi, suhu dan jenis pelarut yang digunakan (Achmadi 1992 dalam Yulian 2011). Proses ekstraksi dengan menggunakan metode maserasi bertingkat berdasarkan tingkat kepolarannya dilakukan dengan menggunakan tiga jenis pelarut yang mewakili. Hal ini didasarkan pada tingkat kepolaran dari masingmasing pelarut, yaitu n-heksan dengan titik didih 69 C sebagai pelarut nonpolar, etil asetat dengan titik didih 77 C sebagai pelarut semipolar dan butanol dengan titik didih 118 C sebagai pelarut polar. Maksud dari penggunaan berbagai pelarut ini adalah untuk memisahkan jenis bahan aktif yang mungkin dimiliki oleh daun Rhizopora mucronata Lamk. sesuai dengan kepolarannya. Ekstraksi daun Rhizophora mucronata Lamk. dilakukan dengan metode maserasi berdasarkan tingkat kepolaran pelarut. Perbandingan berat sampel dengan pelarut pada saat maserasi adalah 1 : 4 (500 g : 2000 ml). Maserasi

44 dilakukan dengan menggunakan pelarut non polar terlebih dahulu, yaitu pelarut n- heksan selama 1 x 24 jam dengan pengulangan sebanyak tiga kali. Pengulangan maserasi ini dilakukan untuk mengikat sisa senyawa metabolit sekunder yang mungkin masih tertinggal pada serbuk sampel yang direndam. Semakin lama waktu maserasi yang digunakan, maka akan semakin banyak jumlah senyawa yang terekstraksi. Filtrat dari rendaman n-heksan kemudian disaring dengan menggunakan kertas saring dan kemudian diuapkan menggunakan rotary evaporator pada suhu 40 C, sehingga didapatkan ekstrak kasar (pasta) berwarna hijau pekat. Setelah tiga kali pengulangan maserasi n-heksan kemudian dilanjutkan dengan maserasi menggunakan pelarut semi polar yaitu etil asetat. Dilakukan prosedur dan suhu yang sama pada saat evaporasi hingga didapat ekstrak pekat. Begitu juga dengan pelarut polarnya yaitu butanol, dilakukan tiga kali pengulangan maserasi hingga didapat ekstrak pekat hasil evaporasi. Ekstrak pekat dari ketiga hasil maserasi berdasarkan tingkat kepolaran tersebut kemudian disimpan di lemari pendingin untuk digunakan pada analisis selanjutnya. Ekstrak daun Rhizopora mucronata Lamk. hasil evaporasi dapat dilihat di bawah ini (Gambar 21): Gambar 21. Hasil Ekstrak daun Rhizophora mucronata Lamk. Berdasarkan Kepolarannya dari Kiri ke Kanan (Ekstrak n-heksan, etil asetat, dan butanol) Menurut Harborne (1987), beberapa senyawa fenol terutama flavonoid akan mengalami kerusakan pada suhu tinggi karena senyawa tersebut tidak tahan

45 panas dan mudah teroksidasi. Berikut data yang diperoleh dari ekstrak daun Rhizophora mucronata Lamk. dengan metode maserasi bertingkat (Tabel 3): Tabel 3. Data Hasil Ekstraksi daun Rhizopora mucronata Lamk. BK (gram) VP (ml) 500 2000 Sampel Ekstrak n-heksan Ekstrak Etil Asetat Ekstrak Butanol Suhu Evaporasi VF (ml) BE (gram) R (%) 40 C 5143 14,7502 2,95 40 C 5377 43,0281 8,61 40 C 4000 13,7616 2,75 Warna dan Bentuk Ekstrak Hijau Pekat Pasta Hijau Pekat Pasta Hijau Pekat Pasta Keterangan: *BK = Berat Kering, VP = Volume Pelarut, VF = Volume Filtrat, BE = Berat Ekstrak, R= Rendemen * Setiap ekstrak masing-masing dilakukan 3 kali pengulangan maserasi Rendemen tertinggi terdapat pada ekstrak etil asetat yaitu sebesar 8,61% (Lampiran 4). Sesuai dengan penelitian Suciati et. al., (2012), bahwa senyawa etil asetat merupakan pelarut semi polar sehinga dimungkinkan banyaknya zat aktif daun Rhizophora mucronata yang bisa terlarut di dalamnya yang menyebabkan tingginya nilai rendemen yang dihasilkan. Harborne (1987) dalam Suciati et. al., (2012), mengatakan bahwa senyawa etil asetat mampu mengekstrak senyawa fenol dan terpenoid, dan senyawa non polar n-heksan dapat mengekstrak golongan triterpenoid/steroid. Bahan yang mampu larut dalam etil asetat juga berupa senyawa flavonoid. Sedangkan senyawa polar (butanol) mampu mengekstrak fenolik dan tanin.

46 4.3. Kandungan Metabolit Sekunder Hasil Ekstraksi Ekstrak daun Rhizophora mucronata Lamk. hasil ekstraksi diuji kandungan metabolit sekundernya sesuai dengan kepolarannya. Berikut hasil uji kandungan metabolit sekunder (Tabel 4). Tabel 4. Uji Fitokimia Hasil Ekstraksi Daun Rhizophora mucronata Lamk. Ekstrak Uji Fitokimia Hasil n-heksan Steroid + Flavonoid HCL Pekat - Etil Asetat H 2 SO 4 2 N - NaOH 10% + Butanol Flavonoid HCL Pekat - H 2 SO 4 2 N - NaOH 10% - Fenolik + Tanin + a. Ekstrak n-heksan Sampel sebelum diuji Sampel setelah diuji Gambar 22. Hasil Positif Steroid Ekstrak n-heksan

47 b. Ekstrak Etil Asetat Sampel sebelum diuji Sampel setelah diuji Gambar 23. Hasil Negatif Flavonoid Ekstrak Etil Asetat Reagen HCl pekat + Mg Sampel sebelum diuji Sampel setelah diuji Gambar 24. Hasil Negatif Flavonoid Ekstrak Etil Asetat Reagen H 2 SO 4 2N c. Ekstrak Butanol Sampel sebelum diuji Sampel setelah diuji Gambar 25. Hasil Positif Flavonoid Ekstrak Etil Asetat Reagen NaOH 10% Sampel sebelum diuji Sampel setelah diuji Gambar 26. Hasil Negatif Flavonoid Ekstrak Butanol Reagen H 2 SO 4 2N

48 Sampel sebelum diuji Sampel setelah diuji Gambar 27. Hasil Negatif Flavonoid Ekstrak Butanol Reagen NaOH 10% Sampel sebelum diuji Sampel setelah diuji Gambar 28. Hasil Negatif Flavonoid Ekstrak Butanol Reagen HCl pekat + Mg Sampel sebelum diuji Sampel setelah diuji Gambar 29. Hasil Positif Uji Fenolik Ekstrak Butanol Sampel sebelum diuji Sampel setelah diuji Gambar 30. Hasil Positif Uji Tanin Ekstrak Butanol

49 4.4. Hasil Uji In Vitro (Uji Sensitivitas Bakteri) Uji in vitro bertujuan untuk menentukan jenis ekstrak daun Rhizophora mucronata Lamk. yang paling efektif untuk menghambat pertumbuhan bakteri Vibrio harveyi secara in vitro. Ketiga ekstrak daun Rhizophora mucronata Lamk. meliputi ekstrak n-heksan, ekstrak etil asetat, dan ekstrak butanol kemudian diencerkan dengan menggunakan akuades untuk menentukan konsentrasi pada masing-masing ekstrak yaitu 10.000 ppm sebagai larutan stok, 1000 ppm, 100 ppm, dan 10 ppm serta larutan kontrol positif menggunakan antibiotik kloramfenikol sebesar 30 ppm (Lampiran 5). Pengukuran zona bening dilakukan dengan menggunakan jangka sorong. Pengamatan dilakukan setelah 24 jam masa inkubasi bakteri Vibrio harveyi pada suhu 37 C. Bakteri Vibrio harveyi yang telah diremajakan kemudian disamakan kekeruhannya dengan larutan Mc Farland 0,5 atau senilai dengan kekeruhan 1,5 x 10 8 CFU/ml (Lampiran 6, 7, 8 dan 9). Berdasarkan uji aktivitas antibakteri dari ketiga ekstrak daun Rhizophora mucronata Lamk. yang meliputi ekstrak n-heksan, ekstrak etil asetat, dan ekstrak butanol terhadap bakteri Vibrio harveyi memperlihatkan bahwa ketiga ekstrak daun Rhizophora mucronata Lamk. tersebut dapat menghambat pertumbuhan bakteri Vibrio harveyi. Hal ini dibuktikan dengan adanya zona bening disekitar paper disk yang berukuran 6 mm sebagai zona hambat. Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa setiap konsentrasi pada masing-masing ekstrak menghasilkan zona hambat yang berbeda, hal ini dikarenakan setiap ekstrak memiliki kandungan metabolit sekunder yang berbeda meliputi ekstrak n- heksan yang mengandung senyawa steroid, ekstrak etil asetat mengandung senyawa flavonoid dan ekstrak butanol yang mengandung senyawa fenolik dan tanin yang merupakan senyawa antibakteri. Adanya zona hambat menunjukkan bahwa ketiga ekstrak daun Rhizophora mucronata Lamk. mengandung zat antibakteri sebagai penghambat bagi pertumbuhan Vibrio harveyi (Tabel 5).

50 Tabel 5. Diameter Zona Hambat Hasil Uji In Vitro Ekstrak Daun Rhizophora mucronata Lamk. terhadap Bakteri Vibrio Harveyi Konsentrasi Ekstrak n-heksan 10 ppm 100 ppm 1000 ppm 10000 ppm Etil asetat 10 ppm 100 ppm 1000 ppm 10000 ppm Butanol 10 ppm 100 ppm 1000 ppm 10000 ppm Diameter Zona Hambat (mm) Diameter Pengulangan Pengulangan Pengulangan Rata-rata ke-1 ke-2 ke-3 7.09 7.41 7.21 7.24 7.57 6.82 7.74 7.38 7.27 7.3 7.66 7.41 7.55 7.78 9.55 8.29 8.05 7.48 8.47 8.00 7.31 7.44 6.19 6.98 8.14 7.67 9.40 8.40 7.61 7.30 8.74 7.88 8.11 8.37 7.40 7.96 8.73 7.61 8.60 8.31 8.26 9.41 8.40 8.69 8.49 8.68 8.76 8.64 Kloramfenikol 30 ppm 11.56 15.56 13.34 13.49 (Kontrol +) Keterangan: Diameter paper disk = 6 mm Zona Hambat yang Terbentuk Bening + Bening + Bening + Agak bening Agak keruh Agak bening Bening + Bening + Agak bening Agak bening Bening + Agak bening Bening ++ Pada tabel 5 di atas, perlakuan kontrol positif yang digunakan adalah kloramfenikol dengan konsentrasi 30 ppm. Hal ini dikarenakan pengobatan penyakit pada udang windu yang terserang Vibrio harveyi biasanya menggunakan konsentrasi kloramfenikol sebesar 30 ppm. Dan dapat dilihat bahwa kontrol positif menggunakan kloramfenikol membentuk zona hambat sebesar 13.49 mm. Sedangkan ekstrak dengan diameter zona hambat terbesar diperoleh dari ekstrak butanol pada konsentrasi 1000 ppm sebesar 8,69 mm dan diameter zona

Diameter zona hambat (mm) 51 hambat terkecil diperoleh dari ekstrak etil asetat dengan konsentrasi 100 ppm sebesar 6,98 mm. Rata-rata zona hambat terbaik pada semua konsentrasi terdapat pada ekstrak butanol. Oleh karena itu ekstrak terbaik yang akan digunakan untuk uji selanjutnya yaitu ekstrak polar butanol daun Rhizophora mucronata Lamk. (Lampiran 10). Sesuai dengan hasil penelitian Suciati et. al., (2012), hasil uji in vitro ekstrak Rhizophora mucronata terhadap Vibrio harveyi menunjukkan bahwa jenis sampel daun pucuk metanol (DPM) memiliki diameter zona hambat yang paling besar yaitu 14,8 mm dibandingkan zona hambat jenis sampel n-heksan dan etil asetat. Berikut perbandingan diameter rata-rata zona hambat antibakteri pada masing-masing perlakuan (Gambar 31). Diagram perbandingan diameter rata-rata zona hambat ekstrak daun Rhizophora mucronata Lamk. 16 14 12 10 8 6 4 2 0 ekstrak n-heksan ekstrak etil asetat ekstrak butanol Kloramfenikol (+) Konsentrasi ekstrak (ppm) Gambar 31. Diagram Perbandingan Diameter Rata-rata Zona Hambat ekstrak Daun Rhizophora mucronata Lamk. Cara kerja antibakteri dibedakan menjadi bakteristatik dan bakterisidal. Ekstrak daun Rhizophora mucronata Lamk. diduga bersifat bakteristatik, hal ini dikarenakan ekstrak hanya mampu menghambat bakteri uji, tidak sampai membunuh. Terlihat dari keruhnya zona hambat ekstrak setelah diinkubasi lebih dari 24 jam (Jamaludin 2005 dalam Yulian 2011).

52 4.5. Pengamatan Konsentrasi Letal (LC 50 ) Ekstrak Butanol Daun Rhizophora mucronata Lamk. terhadap Larva Udang Windu Ekstrak butanol daun Rhizophora mucronata Lamk. merupakan ekstrak yang terbaik sebagai antibakteri terhadap Vibrio harveyi berdasarkan uji aktivitas antibakteri (in vitro). Dalam konsentrasi yang besar, ekstrak dapat mengakibatkan larva udang mengalami keracunan, oleh karena itu perlu diketahui besaran maksimum konsentrasi ekstrak yang masih dapat diterima tubuh larva udang windu yaitu dengan menggunakan uji konsentrasi letal (LC 50 ). Pada uji LC 50 dilakukan perendaman dengan 12 ekor larva udang windu yang direndam dalam ekstrak butanol daun Rhizophora mucronata Lamk. yang dilarutkan menggunakan air laut dengan variasi konsentrasi sebesar 0, 10, 100, 1000 dan 10.000 ppm selama 48 jam (Lampiran 11). Hasil pengamatan LC 50 selama 48 jam, ekstrak butanol daun Rhizophora mucronata Lamk. dengan konsentrasi 1000 ppm dan 10.000 ppm menghasilkan kelangsungan hidup yang lebih rendah dibandingkan dengan larva udang yang direndam pada konsentrasi 10 ppm dan 100 ppm (Lampiran 12). Hasil analisis LC 50 menggunakan program EPA Probit 1.5 memberikan nilai sebesar 455.772 ppm (dengan batas ambang bawah sebesar 192.028 dan batas ambang atas sebesar 1087.165 ppm) (Lampiran 13). Dari hasil EPA Probit ini dapat ditunjukkan bahwa larva udang windu hanya dapat mentolerir ekstrak butanol daun Rhizophora mucronata Lamk. pada konsentrasi 455.772 ppm. Sehingga hasil tersebut dapat dijadikan sebagai acuan dalam pengambilan kisaran konsentrasi ekstrak pada saat uji tantang untuk melihat tingkat kelangsungan hidup larva udang windu (uji in vivo).

53 4.6. Gejala Klinis Sebelum pengujian tingkat kelangsungan hidup larva udang windu terhadap penyakit vibriosis dengan menggunakan ekstrak butanol daun Rhizophora mucronata Lamk., dilakukan penginfeksian dengan menggunakan Vibrio harveyi dengan kepadatan 10 6 CFU/ml. Berikut gambar koloni bakteri Vibrio harveyi dengan perbesaran 100x menggunakan mikroskop (Gambar 32). Gambar 32. Koloni Bakteri Vibrio harveyi (Sumber: Dokumen pribadi) Penginfeksian dilakukan dengan cara perendaman ke dalam larutan bakteri selama 15 menit. Diamati gejala klinisnya, meliputi morfologi maupun perubahan tingkah laku udang setelah diinfeksi. Pengamatan dilakukan selama 3 jam sampai larva udang windu menunjukkan gejala klinis. Menurut Sunaryo et. al. (1987) dalam Yulian (2011), ciri-ciri udang windu yang terserang vibriosis adalah lemahnya kondisi tubuh, berenang lambat, nafsu makan hilang, badan mempunyai bercak merah-merah. Pada kaki renang dan kaki jalan menunjukkan melanisasi. Gambar 33. Nekrosis pada Kaki Renang Larva Udang Windu yang Terinfeksi Vibrio harveyi (Perbesaran 40x) (Sumber: Dokumen pribadi)

54 Larva udang windu yang terserang bakteri Vibrio harveyi mengalami penurunan nafsu makan, dilihat dari banyaknya sisa pakan pada media pemeliharaan. Selain itu larva udang windu mengalami pergerakan yang abnormal ketika diinfeksi dengan bakteri Vibrio harveyi. Warna tubuh larva udang windu yang terinfeksi dapat dilihat dengan munculnya bercak-bercak merah. Permukaan tubuh juga merupakan tempat media masuknya bakteri ke dalam tubuh dan daerah ini dapat menjadi gerbang utama untuk menyebabkan infeksi. Pada saat kulit inang (kutikula) atau permukaan tubuh lainnya mengalami luka, maka sangat memungkinkan bakteri patogen untuk masuk (Sukenda dan Wakabayashi 2001). Gambar 34. Kerusakan pada Ekor Larva Udang Windu (Perbesaran 4x10=40) (Sumber: Dokumen pribadi) Selama 7 hari pemeliharaan, aktivitas makan dan gerak larva udang windu yang terinfeksi bakteri Vibrio harveyi mulai meningkat. Perubahan signifikan terlihat pada aktivitas makan yang terlihat dari sedikitnya sisa pakan yang tertinggal, isi usus mulai penuh dan banyaknya feses di dasar akuarium. Hal ini membuktikan bahwa dengan perendaman ekstrak butanol daun Rhizophora mucronata Lamk. pada larva udang windu dapat mengobati infeksi bakteri Vibrio harveyi. Berikut data pengamatan respon makan udang windu selama uji in vivo (Tabel 7).

55 Tabel 7. Pengamatan Respon Makan Larva Udang Windu Terinfeksi Vibrio harveyi pada Pemaparan Ekstrak Butanol Daun Rhizophora mucronata Lamk. (Uji In Vivo) Hari ke- Konsentrasi Ekstrak Butanol Daun Rhizophora mucronata Lamk. A Kontrol B 113,943 ppm C 227,86 ppm D 341,829 ppm E 455,772 ppm 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 + + + + + + + + + + 2-4 + + ++ ++ ++ ++ ++ +++ ++ ++ 5-7 + + ++ ++ +++ ++ +++ +++ +++ +++ Keterangan: + : tidak responsif ++ : kurang responsif +++ : responsif ++++ : sangat responsif Pada Tabel 7, dapat dilihat bahwa pada hari pertama setelah pemaparan ekstrak butanol daun Rhizophora mucronata Lamk., larva udang windu pada setiap perlakuan respon makannya masih tidak responsif, hal ini dikarenakan bakteri Vibrio harveyi menyerang saluran pencernaan sehingga nafsu makan larva udang windu menurun. Pada hari kedua sampai keempat mulai terjadi peningkatan nafsu makan, dan terus meningkat pada hari kelima sampai hari ketujuh, terutama pada perlakuan D dan E nafsu makan larva udang windu sudah mulai responsif dengan dilihat dari keberadaan sisa pakannya. Selain pengamatan respon makan, dilakukan pengamatan pergerakan larva udang windu. Larva udang windu yang tidak terinfeksi biasanya berenang di dinding akuarium atau bergerak aktif di dasar. Larva udang windu akan bergerak cepat menjauh ketika disentuh. Berbeda halnya dengan larva udang windu yang terinfeksi bakteri Vibrio harveyi, larva akan diam dan bergerak lemah di dasar kolam. Berikut data pengamatan respon makan dan pergerakan udang windu selama uji in vivo (Tabel 8).

56 Tabel 8. Pengamatan Pergerakan Larva Udang Windu Terinfeksi Vibrio harveyi pada Pemaparan Ekstrak Butanol Daun Rhizophora mucronata Lamk. (Uji In Vivo) Hari ke- Konsentrasi Ekstrak Butanol Daun Rhizophora mucronata Lamk. A Kontrol B 113,943 ppm C 227,86 ppm D 341,829 ppm E 455,772 ppm 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 + + + + + + + + + + 2-4 ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ 5-7 ++ ++ ++ ++ ++ ++ +++ +++ ++ ++ Keterangan: + : abnormal ++ : diam di dasar +++ : aktif Pada tabel 8, dapat dilihat bahwa pada hari pertama kondisi pergerakan larva udang windu masih abnormal, terutama pada perlakuan A. Sampai hari ketujuh udang windu pada perlakuan A masih diam di dasar. Hal ini dikarenakan perlakuan A tidak dipaparkan ekstrak butanol daun Rhizophora mucronata Lamk., sehingga larva udang windu tidak mengalami pemulihan. Sedangkan pada perlakuan B sampai E, pergerakan larva udang windu sudah semakin aktif. Semakin banyak konsentrasi ekstrak yang diberikan, semakin cepat larva udang windu mengalami pemulihan, namun masih dalam batas tolerir konsentrasi LC 50. Pada hari kelima sampai ketujuh, pada perlakuan D larva udang windu sudah mulai aktif dan mulai berenang di dinding akuarium. Hal ini membuktikan bahwa dengan perendaman ekstrak butanol daun Rhizophora mucronata Lamk. pada larva udang windu mampu mengendalikan infeksi bakteri Vibrio harveyi melalui pengobatan.

57 4.7 Tingkat Kelangsungan Hidup Larva Udang Windu pada Uji In Vivo Pengamatan kelangsungan hidup udang windu selama 7 hari setelah pemaparan ekstrak didasarkan pada mortalitas udang yang diinfeksi bakteri Vibrio harveyi sampai adanya gejala klinis dan kemudian direndam selama 15 menit dalam masing-masing perlakuan ekstrak butanol daun Rhizophora mucronata Lamk. (Lampiran 14). Data kelangsungan hidup udang windu yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 9 berikut ini. Tabel 9. Mortalitas dan Tingkat Kelangsungan Hidup (SR) Larva Udang Windu Setelah Pemaparan Ekstrak Butanol Daun Rhizophora mucronata Lamk. Perlakuan Jumlah Mortalitas Udang Uji Jumlah Jumlah SR Udang Pengamatan (Hari ke-) Mortalitas Udang (%) Awal 1 2 3 4 5 6 7 Udang Akhir A 1 30 13 7 2 1 0 0 0 23 7 23,33 A 2 30 11 6 3 1 1 0 0 22 8 26,67 B 1 30 14 3 0 1 1 0 0 19 11 36,67 B 2 30 13 5 4 1 0 0 0 23 7 23,33 C 1 30 3 7 5 1 0 0 0 16 14 46,67 C 2 30 8 6 2 1 0 0 0 17 13 43,33 D 1 30 6 6 1 0 0 0 0 13 17 56,67 D 2 30 9 6 1 0 0 0 0 16 14 46,67 E 1 30 12 5 1 1 0 0 0 19 11 36,67 E 2 30 7 5 1 0 0 0 0 13 17 56,67 Keterangan: A 1, 2 = Tanpa pemberian ekstrak (kontrol) dengan 2 kali ulangan B 1, 2 = Konsentrasi ekstrak 113,943 ppm (25%) dengan 2 kali ulangan C 1, 2 = Konsentrasi ekstrak 227,86 ppm (50%) dengan 2 kali ulangan D 1, 2 = Konsentrasi ekstrak 341,829 ppm (75%) dengan 2 kali ulangan E 1, 2 = Konsentrasi ekstrak 455,772 ppm (100%) dengan 2 kali ulangan Rerata SR (%) 25 30 45 51,67 46,67 Pada Tabel 9 dapat dilihat bahwa mortalitas larva udang windu terjadi pada pengamatan hari pertama setelah diinfeksi bakteri Vibrio harveyi selama 15 menit dan kemudian direndam dalam ekstrak butanol daun Rhizophora mucronata Lamk. selama 15 menit. Mortalitas larva udang windu pada hari pertama cukup banyak pada setiap konsentrasinya, begitu juga pada hari kedua. Sedangkan pada hari ketiga sampai hari kelima masih terjadi kematian udang windu pada perlakuan A dan B, namun mortalitasnya tidak sebanyak hari pertama dan kedua.

Kelangsungan Hidup (%) 58 Pada perlakuan C dan E kematian udang windu terjadi sampai hari keempat, sedangkan pada perlakuan D, kematian udang windu hanya sampai hari ketiga sehingga tingkat kelangsungan hidup udang windunya lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya. Hal ini dikarenakan larva udang mampu mengeliminasi serangan bakteri dengan cara meningkatkan sifat pertahanan tubuhnya sehingga kematian tidak terjadi. Setelah direndam ekstrak butanol daun Rhizophora mucronata Lamk., tingkat kelangsungan hidup larva udang windu lebih besar dibandingkan dengan larva udang windu kontrol (tanpa perendaman). Semakin tinggi konsentrasi ekstrak butanol daun Rhizophora mucronata Lamk. menunjukkan tingkat kelangsungan hidup yang semakin tinggi pula, namun pada batas tertentu (Gambar 35). Grafik Kelangsungan Hidup (SR) 60 50 45 51.67 46.67 40 30 25 30 20 Ekstrak Butanol 10 0 A (0) B (113,943) C (227,86) D (341,829) E (455,772) Konsentrasi (ppm) Gambar 35. Grafik Kelangsungan Hidup Larva Udang Windu Uji in vivo Gambar diagram di atas menunjukkan bahwa kelangsungan hidup larva udang windu tanpa perendaman (kontrol) ekstrak butanol daun Rhizophora mucronata Lamk. yang terinfeksi bakteri Vibrio harveyi memberikan tingkat kelangsungan hidup yang rendah. Rendahnya kelangsungan hidup udang windu pada perlakuan A (kontrol/tanpa perendaman ekstrak) dikarenakan larva udang windu yang diinfeksi bakteri Vibrio harveyi tidak dilakukan pengobatan sehingga daya tahan tubuh dan metabolismenya terganggu, hal ini disebabkan bakteri

59 Vibrio harveyi masuk ke hepatopankreas dan menyebabkan kerusakan sehingga lama-kelamaan larva udang windu mengalami kematian. Hepatopankreas merupakan kelenjar pencernaan yang berfungsi untuk memproduksi enzim pencernaan, termasuk pula menyerap makanan, transportasi, sekresi dari enzim pencernaan serta menyimpan lemak, glikogen dan beberapa mineral (Harrison & Humes, 1992 dalam Yulian 2011). Jika organ hepatopankreasnya terganggu maka akan mengganggu sistem fisiologis larva udang sehingga menyebabkan kematian. Tingkat kelangsungan hidup udang windu pada perlakuan B (30%), C (45%) dan E (46,67%) lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan A (25%), namun lebih rendah dibandingkan perlakuan D (51,67%), hal ini terjadi karena perlakuan B (113,943 ppm) dan C (227,86 ppm) dengan pemberian konsentrasi ekstrak butanol daun Rhizophora mucronata Lamk. sudah mampu mencegah pertumbuhan bakteri Vibrio harveyi namun belum maksimal. Sedangkan pada perlakuan E (455,772 ppm) sudah dapat dikatakan mencegah pertumbuhan bakteri Vibrio harveyi namun konsentrasi tersebut masih berada dalam kisaran LC 50. Konsentrasi perlakuan E berada pada batas tolerir udang windu terhadap ekstrak pada hasil uji LC 50. Kemungkinan pada konsentrasi tersebut kandungan dari zat aktif ekstrak butanol daun Rhizophora mucronata Lamk. bersifat toksik sehingga memberikan efek kematian pada larva udang windu uji. Hal ini sesuai dengan penelitian Hidayat (2011), mengenai efektivitas ekstrak beberapa jenis rumput laut dari perairan Pangandaran sebagai agen antibakteri Vibrio harveyi yang menyerang udang windu (Penaeus monodon). Hasil penelitian Hidayat menunjukkan bahwa tingkat kelangsungan hidup tertinggi terdapat pada perlakuan D sebesar 56,67% dengan pemberian konsentrasi ekstrak Sargassum sp. pada konsentrasi 237,102 ppm yang efektif menghambat pertumbuhan bakteri Vibrio harveyi. Dari data hasil uji tantang (in vivo) pada udang larva udang windu di atas, dapat diketahui bahwa rata-rata tingkat kelangsungan hidup tertinggi terdapat pada perlakuan D dengan konsentrasi (341,829 ppm) mencapai 51,67%. Hal ini disebabkan serangan bakteri Vibrio harveyi pada larva udang windu dapat dihambat oleh ekstrak butanol daun Rhizophora mucronata Lamk. Kandungan

60 metabolit sekunder yang terdapat dalam ekstrak butanol daun Rhizophora mucronata Lamk. meliputi fenolik dan tanin. Hal ini memperlihatkan bahwa kandungan metabolit sekunder seperti golongan fenolik dan tanin dapat bekerja sebagai antibakteri. Hal ini sesuai dengan pendapat Pelezar et. al., (1993) dalam Maryani (2003), bahwa beberapa senyawa kimia yang memiliki sifat sebagai antimikroba diantaranya fenol dengan mekanisme kerja senyawa fenol sebagai antimikroba terjadi dengan cara merusak dan menembus dinding sel bakteri, kemudian mengendapkan protein sel mikroba sehingga merupakan racun bagi protoplasma. Menurut Co (1989) dalam Maryani (2003), efek dari senyawa yang mengandung fenol mampu melawan bakteri gram negatif termasuk Vibrio harveyi dan kandungan tanin yang diketahui mampu mengobati luka. 4.8. Kualitas Air Pada kegiatan budidaya udang windu, kondisi perairan merupakan suatu faktor penting keberhasilan kegiatan pembudidayaan. Perairan merupakan suatu habitat dimana udang hidup dan saling berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, baik yang bersifat abiotik maupun biotik. Pada kegiatan budidaya udang, suatu lingkungan perairan harus sesuai dengan habitat alami udang. Oleh karena itu kualitas air pada saat pemeliharaan larva udang windu pada waktu uji tantang (in vivo) harus dalam keadaan terkontrol. Pengukuran kualitas air dilakukan pada awal, tengah dan akhir percobaan. Selama penelitian, kondisi air atau media pemeliharaan larva udang windu diukur kualitasnya, meliputi suhu, salinitas, DO (oksigen terlarut) dan ph (derajat keasaman). Kisaran suhu rata-rata pada awal, tengah sampai akhir penelitian 28-29 C, salinitas dengan kisaran 30-35 ppm, DO dengan kisaran 6,2-7,8 dan ph dengan kisaran 7,5-8,0 (Tabel 10)

61 Tabel 10. Nilai Kualitas Air Udang Windu pada Saat Uji in vivo Kondisi Paramaeter Kualitas Air Suhu Salinitas DO ph Kisaran pada penelitian 28-29 C 30-35 ppm 6,2-7,8 7,5-8,0 Kisaran yang aman 28 C-32 C* 5-40 ppm* >3* 7,5-8,5* Keterangan: *) SNI Produksi udang windu (Penaeus monodon) di tambak dengan teknik sederhana (2009) Dilihat dari tabel parameter kualitas air di atas, dapat diketahui bahwa kualitas air selama penelitian berada dalam keadaan terkontrol pada kisaran toleransi yang masih aman dalam standar pembudidayaan udang windu mulai dari suhu, salinitas, DO (oksigen terlarut), dan ph (derajat keasaman). Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa kualitas air selama penelitian memenuhi syarat optimum untuk budidaya udang sehingga kematian larva udang bukan disebabkan oleh kualitas air tetapi oleh aktivitas bakteri Vibrio harveyi.