BAB I PENDAHULUAN. namun demikian ternyata tidak semua pasangan dapat mengalami. Hubungan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. kadar hormon seseorang. Aging proses pada pria disebabkan oleh menurunnya sistem

TESTOSTERON REPLACEMENT THERAPY PADA DISFUNGSI EREKSI OLEH KARENA DIABETES MELITUS. Ni Luh Kadek Alit Arsani

BAB I PENDAHULUAN. Late-onset hypogonadism (LOH) atau andropause secara klinis dan

BAB I PENDAHULUAN. gangguan kesehatan, penyakit degeneratif dan menurunnya kualitas hidup.

TERAPI SULIH TESTOSTERON MENINGKATKAN KETEBALAN OTOT POLOS KORPUS KAVERNOSUM TIKUS WISTAR (Rattus norvegicus) DIABETES MELITUS

BAB I PENDAHULUAN. Proses penuaan merupakan rangkaian proses yang terjadi secara alami

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit degeneratif yang merupakan salah

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. menuju dewasa dimana terjadi proses pematangan seksual dengan. hasil tercapainya kemampuan reproduksi. Tanda pertama pubertas

BAB I PENDAHULUAN. tidak selalu diidentikkan semata-mata untuk menghasilkan keturunan (prokreasi),

BAB I PENDAHULUAN. Penyekat beta merupakan salah satu terapi medikamentosa pada pasien

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di seluruh negara-negara industri stroke merupakan. problem kesehatan besar. Penyakit ini masih merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Saat ini di seluruh dunia jumlah lansia di perkirakan lebih dari 629 juta jiwa

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Bahaya penggunaan timah hitam, timbal atau plumbum (Pb) mengakibatkan 350 kasus penyakit jantung koroner, 62.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Diabetes mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit kronis yang masih

BAB I PENDAHULUAN. Kehidupan manusia mulai dalam kandungan sampai mati tampaklah. perkembangan, sedangkan pada akhirnya perubahan itu menjadi kearah

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Status kesehatan masyarakat ditunjukkan oleh angka kesakitan, angka

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Anatomi sistem endokrin. Kerja hipotalamus dan hubungannya dengan kelenjar hormon Mekanisme umpan balik hormon Hormon yang

BAB I PENDAHULUAN. Penuaan pada manusia berkaitan dengan proses multi dimensional fisik,

BAB I PENDAHULUAN. di Indonesia dan dunia. World Health Organization (WHO) memperkirakan 30%

Testosteron Deficiency Syndrome ( TDS ) & Metabolic Syndrome ( METS )

BAB I PENDAHULUAN. ketidakmampuan sel tubuh yang memiliki reseptor insulin untuk mengoksidasi

I. PENDAHULUAN. retrospektif ditetapkan sebagai saat menopause (Kuncara, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Pada wanita, komposisi lemak tubuh setelah menopause mengalami

BAB I PENDAHULUAN. wanita mengalami menopause. Namun tidak seperti menopause pada

BAB I PENDAHULUAN. penanganan serius, bukan hanya itu tetapi begitu juga dengan infertilitas. dan rumit (Hermawanto & Hadiwijaya, 2007)

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Hormon testosteron merupakan bagian penting dalam. kesehatan pria. Testosteron memiliki fungsi utama dalam

BAB I PENDAHULUAN. Secara alamiah, proses penuaan merupakan sesuatu yang pasti terjadi pada

BAB I PENDAHULUAN. di negara-negara barat. Penyakit jantung koroner akan menyebabkan angka

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. oleh seluruh umat manusia, meliputi lahir, masa kanak-kanak, remaja, dewasa

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes

BAB I PENDAHULUAN. kemajuan, termasuk di bidang kedokteran, salah satunya adalah ilmu Anti Aging

BAB 1 PENDAHULUAN. produksi glukosa (1). Terdapat dua kategori utama DM yaitu DM. tipe 1 (DMT1) dan DM tipe 2 (DMT2). DMT1 dulunya disebut

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. mengeluarkan hormon. Di dalam setiap ovarium terjadi perkembangan sel telur

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. menjadi tantangan dalam bidang kesehatan di beberapa negara (Chen et al., 2011).

BAB I PENDAHULUAN. biologis atau fisiologis yang disengaja. Menopause dialami oleh wanita-wanita

HORMON REPRODUKSI JANTAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Radiografi baik intra maupun ekstra oral sangat banyak pemakaiannya

E- ISSN: , Print ISSN: ISM VOL. 7 NO.1, SEPTEMBER-DESEMBER, HAL 76-80

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada dasarnya penyakit dibagi menjadi dua bagian yaitu penyakit

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Pubertas merupakan suatu tahap penting dalam proses tumbuh kembang

BAB 1 PENDAHULUAN. organ, khususnya mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah (America

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman dahulu hingga sekarang banyak masyarakat Indonesia

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN. Disfungsi ereksi (DE) pada pasien penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)

BAB I PENDAHULUAN. Nefropati diabetik merupakan komplikasi mikrovaskular diabetes melitus

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai dengan meningkatnya glukosa darah sebagai akibat dari

BAB I PENDAHULUAN. kerja insulin, atau kedua-duanya (American Diabetes Association, 2005).

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. berperan, sampai saat ini masih menjadi perhatian dalam dunia kedokteran. Hal ini

HUBUNGAN ANTARA DIABETES MELITUS DENGAN ANDROPAUSE SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Amerika Serikat prevalensi tahunan sekitar 10,3%, livetime prevalence mencapai

BAB I PENDAHULUAN. terutama di masyarakat kota-kota besar di Indonesia menjadi penyebab

BAB 1 PENDAHULUAN. akibat penyakit kardiovaskuler pada tahun 1998 di Amerika Serikat. (data dari

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan ciri perkembangannya seorang remaja dibagi menjadi tiga

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1. PENDAHULUAN. Berdasarkan laporan dari International Diabetes Federation (IDF)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Organisasi kesehatan dunia, World Health Organization (WHO)

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan kerja insulin dan/atau sekresi insulin (Forbes & Cooper, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. akibatnya terjadi peningkatan penyakit metabolik. Penyakit metabolik yang

BAB I PENDAHULUAN. pankreas tidak lagi memproduksi insulin atau ketika sel-sel tubuh resisten

I. PENDAHULUAN. Infertilitas adalah ketidak mampuan untuk hamil setelah sekurang-kurangnya

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dari sepuluh masalah kesehatan utama di dunia dan kelima teratas di negara

BAB I PENDAHULUAN. kardiovaskular yang diakibatkan karena penyempitan pembuluh darah

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Proses penuaan mengakibatkan kerja otak melambat dan fungsi organ-organ

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kesehatan saat ini sudah bergeser dari penyakit infeksi ke

BAB 1 PENDAHULUAN. didominasi oleh penyakit infeksi dan malnutrisi, pada saat ini didominasi oleh

UKDW BAB I PENDAHULUAN

BAB 1 PENDAHULUAN. penduduk dunia meninggal akibat diabetes mellitus. Selanjutnya pada tahun 2003

Pada wanita penurunan ini terjadi setelah pria. Sebagian efek ini. kemungkinan disebabkan karena selektif mortalitas pada penderita

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit degeneratif merupakan transisi epidemiologis dari era penyakit

Pilose Antler Capsule, Tingkatkan Fungsi Seksual

Tugas Endrokinologi Kontrol Umpan Balik Positif Dan Negatif

BAB I PENDAHULUAN. prevalensinya terus meningkat dari tahun ke tahun (Guariguata et al, 2011). Secara

PROPORSI ANGKA KEJADIAN NEFROPATI DIABETIK PADA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN PENDERITA DIABETES MELITUS TAHUN 2009 DI RSUD DR.MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dan 8 16% di dunia. Pada tahun 1999 berdasarkan data Global burden of

PENDAHULUAN. Secara alamiah seluruh komponen tubuh setelah mencapai usia dewasa tidak

I. PENDAHULUAN. Obesitas adalah kondisi kelebihan berat tubuh akibat tertimbunnya lemak,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. di hampir semua negara tak terkecuali Indonesia. Penyakit ini ditandai oleh

Peristiwa Kimiawi (Sistem Hormon)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Hipoglikemia adalah suatu keadaan dimana kadar glukosa dalam darah

PERBEDAAN ANGKA KEJADIAN HIPERTENSI ANTARA PRIA DAN WANITA PENDERITA DIABETES MELITUS BERUSIA 45 TAHUN SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik anovulasi, hiperandrogenisme, dan/atau adanya morfologi ovarium polikistik.

I. PENDAHULUAN. Andropause merupakan sindrom pada pria separuh baya atau lansia dimana

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hubungan seksual yang harmonis adalah dambaan bagi setiap pasangan, namun demikian ternyata tidak semua pasangan dapat mengalami. Hubungan seksual yang harmonis dapat berlangsung apabila fungsi seksual berkembang secara normal baik dari segi fisik maupun dari segi perilaku seksualnya. Perubahan persepsi dan perilaku seksual yang terjadi sejak lebih dari dua dekade yang lalu menyebabkan masyarakat lebih terbuka menyampaikan keluhan seksual yang dialaminya. Disfungsi seksual banyak terjadi di masyarakat, baik pada pria maupun wanita, walaupun belum ada data yang pasti tentang insidennya. Salah satu disfungsi seksual pada pria yang sering dijumpai adalah disfungsi ereksi. Diduga tidak kurang dari 10% pria menikah di Indonesia mengalami disfungsi ereksi (Pangkahila, 2005). Di Amerika Serikat, the Massachusetts Male Aging Studi (MMAS) melakukan survei pada 1.290 pria berumur 40-70 tahun dari tahun 1987-1989 mendapatkan prevalensi disfungsi ereksi (DE) sebesar 52%. Prevalensi DE meningkat sesuai dengan umur. Pada umur 40 tahun prevalensinya sebesar 40% dan pada umur 70 tahun mencapai hampir 70%. Pada tahun 2005 diduga terdapat 322 juta pria yang mengalami disfungsi ereksi di seluruh dunia. Di Indonesia, belum ada data yang pasti berapa banyak pria mengalami DE (Pangkahila, 2005; Agarwal et al., 2006). 1

2 Disfungsi ereksi bisa disebabkan oleh faktor fisik dan faktor psikis. Faktor fisik dapat dikelompokkan menjadi faktor endokrin, neurogenik, vaskulogenik dan iatrogenik (Pangkahila, 2005). Faktor risiko utama yang berpengaruh terhadap terjadinya disfungsi ereksi adalah diabetes melitus (DM), hiperkolesterolemia, merokok, dan penyakit kronis. Faktor-faktor ini meningkatkan risiko untuk terjadinya aterosklerosis yang merupakan faktor predominan untuk terjadinya disfungsi ereksi vaskulogenik (Agarwal et al., 2006). Disfungsi ereksi lebih sering terjadi pada penderita diabetes melitus dibandingkan dengan populasi umum. Sekitar 30%-90% pria dengan diabetes melitus akan menderita disfungsi ereksi (Cho et al., 2005; Kapoor et al., 2007). Studi-studi sebelumnya melaporkan prevalensi berkisar antara 20-70% (Penson et al., 2004). Terjadinya hipogonadisme, autonomic neuropathy, dan arterial insuficiency dihubungkan dengan tingginya kejadian disfungsi ereksi pada diabetes melitus. Relaksasi jaringan erektil pada korpus kavernosum memerlukan nitrit oksida (Nitric Oxide/NO) dari neuron nonadrenergik-nonkolinergik dan endotel. Jaringan penis penderita diabetes melitus menunjukkan gangguan relaksasi dari otot polos yang dimediasi oleh faktor neurogenik dan endotel, peningkatan advanced glication end products (AGEs), dan upregulation arginase yang merupakan kompetitor dari nitrat oksida sintase (NOS) dengan substratnya yaitu L-arginin, sehingga terjadi penurunan sintesis, pelepasan, dan aktivitas nitrit oksida. Sebagai akibat dari diabetes melitus maka akan terjadi kehilangan yang progresif dari otot polos dan endotel yang normal dari korpus kavernosum diganti

3 dengan jaringan fibrotik sehingga menyebabkan terjadinya disfungsi ereksi yang komplit (Penson et al., 2004; Brown et al., 2005; Sakka dan Yassin, 2010). Studi-studi epidemiologis selama 2 dekade terakhir menunjukkan pria dengan DM tipe 2 mempunyai kadar hormon testosteron yang rendah. Dhindsa et al. (2004) melakukan penelitian pada pria dengan DM tipe 2 yang berumur antara 31-75 tahun, sepertiga diantaranya mempunyai kadar free testosterone yang rendah. Hal ini berhubungan dengan tidak cukupnya kadar luteinizing hormone (LH) dan follicle-stimulating hormone (FSH), menyebabkan terjadinya hypogonadotrophic hypogonadism. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan di United Kingdom, Italia, Australia, dan Brazil. Chandel et al. (2007) juga melaporkan tingginya prevalensi hypogonadotrophic hypogonadism pada pria muda (18-35 tahun) dengan DM tipe 2 yaitu sebesar 58%. Testosteron yang rendah dihubungkan dengan penurunan libido, disfungsi ereksi, peningkatan masa lemak, penurunan masa otot dan tulang, serta penurunan energi, depresi, dan anemia (Dandona et al., 2009). Investigasi yang dilakukan pada binatang menunjukkan bahwa kekurangan hormon testoteron menyebabkan atropi jaringan penis, perubahan struktur nervus dorsalis, perubahan morfologi endotel, penurunan otot polos trabekular, dan akumulasi jaringan lemak pada daerah subtunika korpus kavernosum (Sakka dan Yassin, 2010). Mekanisme terjadinya hipogonadotropik hipogonadisme pada pria dengan DM tipe 2 belum jelas. Berdasarkan studi yang dilakukan pada binatang menyatakan bahwa insulin diperlukan oleh otak untuk fungsi yang normal dari

4 hypothalamo-hypophyseal-testis axis. Insensitivitas insulin pada level hipotalamus menyebabkan terjadinya hipogonadotropik hipogonadisme sehingga terjadi penurunan fungsi testis dan menyebabkan terjadi penurunan produksi hormon testosteron (Dandona et al., 2009). Pada pria dengan gejala-gejala hipogonad, maka pemberian hormon sulih testosteron (testosterone replacement therapy) dapat meningkatkan fungsi seksual dan memelihara karakteristik seks sekunder (Dandona et al., 2009). Synder et al. (2000) menyatakan bahwa terapi dengan testosteron pada pria hipogonad dapat meningkatkan fungsi seksual, libido, masa otot, kekuatan fisik, densitas tulang, dan perasaan senang. Lazarou dan Morgentaler (2005) menyatakan bahwa pemberian hormon testosteron merupakan terapi terbaik pada pria hipogonad dengan disfungsi ereksi. Sejak ditemukannya PDE-5 (Phosphodiesterase type 5) inhibitors untuk terapi disfungsi ereksi testosteron telah dikesampingkan sebagai terapi pilihan pada disfungsi ereksi. Tetapi sebesar 50% pria yang diterapi dengan PDE-5 inhibitors menunjukkan kegagalan (Park et al., 2005). Hal ini menimbulkan ketertarikan pada terapi disfungsi ereksi dengan hormon testosteron (Hesle et al., 2005). Pada penderita diabetes melitus dengan disfungsi ereksi, maka pemberian testosteron akan dapat mengembalikan fungsi ereksinya. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Yassin et al. (2006); Yassin & Saad (2006; 2007 b) terhadap peran hormon testosteron pada disfungsi ereksi dengan penyakit penyerta seperti diabetes melitus, sindrom metabolik, dislipidemia, obesitas, dan

5 kombinasi dari penyakit ini, dimana dengan terapi PDE-5 inhibitor telah gagal untuk mengembalikan fungsi ereksinya. Dilaporkan bahwa terjadi peningkatan dalam fungsi ereksi setelah 12-20 minggu diterapi dengan testosteron. Greenstein et al. (2003) juga melaporkan bahwa 63% dari pria hipogonad dengan disfungsi ereksi yang diberikan terapi dengan testosteron saja mendapatkan kembali fungsi ereksi yang normal dan peningkatan sexual desire. Melihat hal tersebut di atas, dimana disfungsi ereksi sering terjadi pada penderita diabetes melitus karena terjadi penurunan hormon testosteron sehingga mengakibatkan kehilangan yang progresif dari otot polos dan endotel yang normal dari korpus kavernosum penis, maka peneliti ingin melihat perubahan yang terjadi pada korpus kavernosum penis tikus jantan diabetes melitus dengan induksi aloksan apabila diberikan terapi dengan hormon testosteron. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: apakah terapi sulih testosteron (testosterone replacement therapy) dapat meningkatkan ketebalan otot polos korpus kavernosum tikus wistar (Rattus norvegicus) diabetes melitus? 1.3 Tujuan Penelitian Untuk mengetahui pemberian terapi sulih testosteron dapat meningkatan ketebalan otot polos korpus kavernosum tikus wistar (Rattus norvegicus) diabetes melitus.

6 1.4 Manfaat Penelilitian Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Dapat menambah wawasan pengetahuan tentang pengaruh terapi sulih testosteron terhadap peningkatan ketebalan otot polos korpus kavernosum tikus wistar (Rattus norvegicus) diabetes melitus untuk kesehatan reproduksi. 2. Hasil penelitian terapi sulih testosteron dapat dijadikan salah satu alternatif untuk memperbaiki disfungsi ereksi pada diabetes melitus yang dicurigai salah satu penyebabnya karena kerusakan struktur korpus kavernosum penis.