BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di negara-negara berkembang, diperkirakan penyakit tidak menular akan menggantikan penyakit menular dan malnutrisi sebagai penyebab utama kematian dan disabilitas (Rahajeng & Tuminah, 2009). Salah satu penyakit tidak menular yang menjadi masalah kesehatan utama tidak hanya di Indonesia namun juga di seluruh dunia adalah hipertensi (Rohman et al., 2011). Menurut catatan Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2000 terdapat sekitar satu milyar orang di dunia menderita hipertensi dan dua per tiga di antaranya berada di negara berkembang. Bila tidak dilakukan upaya yang tepat, jumlah ini akan terus meningkat, dan diperkirakan pada tahun 2025 proporsi orang dewasa di seluruh dunia yang menderita hipertensi akan mencapai 29% (Tedjasukmana, 2012). Di Inggris prevalensi hipertensi diperkirakan sebesar 39% pada pria dan 31% pada wanita. Prevalensinya meningkat seiring usia dan ditemukan lebih tinggi pada masyarakat kulit hitam dan Asia Selatan (Webster-Gandy et al., 2014). Hasil dari Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa prevalensi hipertensi di Indonesia yang didapat melalui pengukuran tekanan darah pada subjek berusia 18 tahun sebesar 25,8 persen, tertinggi di Bangka Belitung (30,9%), diikuti Kalimantan Selatan (30,8%), Kalimantan Timur (29,6%) dan Jawa Barat (29,4%). Sedangkan saat dilakukan wawancara, didapatkan prevalensi hipertensi yang didiagnosis oleh tenaga kesehatan di seluruh Indonesia sebesar 9,4%. Perbedaan besar pada prevalensi hipertensi di Indonesia berdasarkan hasil pengukuran dan wawancara menunjukkan bahwa sebagian besar kasus hipertensi di masyarakat tidak terdiagnosis (Balitbang Kemenkes RI, 2013). Asam urat adalah hasil akhir dari metabolisme purin pada manusia. Hiperurisemia atau peningkatan kadar asam urat serum diketahui memiliki kaitan dengan penyakit kardiovaskular, dan cukup sering ditemukan pada penderita hipertensi, stroke, penyakit jantung, sindrom metabolik, ataupun penyakit ginjal 1

2 2 (Heinig & Johnson, 2006; Afsar, 2014). Pada penelitian yang dilakukan di Tiongkok, ditemukan bahwa hiperurisemia berkaitan dengan peningkatan risiko timbulnya hipertensi dan peningkatan progresif tekanan darah seseorang (Zhang et al., 2009). Angka kejadian hiperurisemia secara global sangat bervariasi, dilaporkan mencapai 18% pada beberapa populasi (Luk & Simkin, 2005). Bahkan di Amerika Serikat didapatkan prevalensi sebesar 21,4% (Zhu et al., 2011). Belum ada data mengenai besarnya prevalensi hiperurisemia pada masyarakat Indonesia secara nasional. Pada penelitian di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah didapatkan prevalensi hiperurisemia sebesar 21,15%, sedangkan pada penelitian di Kabupaten Karangasem, Bali didapatkan prevalensi hiperurisemia sebesar 18,8% (Kumalasari et al., 2009; Wisesa & Suastika, 2009). Disfungsi ereksi (juga dikenal dengan istilah impotensi) didefinisikan sebagai ketidakmampuan persisten dalam mencapai atau mempertahankan fungsi ereksi yang cukup untuk aktivitas seksual yang memuaskan (Wibowo & Gofir, 2007). Disfungsi ereksi adalah kondisi progresif yang erat kaitannya dengan usia, dan tergolong kondisi yang banyak dijumpai namun sering tidak terdiagnosis dan tertangani (Hood & Kirby, 2004). Di Amerika Serikat, prevalensi disfungsi ereksi pada pria berusia tahun adalah sebesar 5%, prevalensinya terus meningkat berdasarkan usia, dan pada pria berusia 70 tahun ke atas sebesar 70% (Dieterle, 2014). Sebagai perbandingan, di kawasan Timur Tengah diperkirakan prevalensi disfungsi ereksi mencapai lebih dari 50% pada pria berusia 50 tahun ke atas (El- Sakka et al., 2011). Disfungsi ereksi dapat disebabkan oleh faktor fisik dan faktor psikis. Penyebab fisik dapat dikelompokkan menjadi faktor hormonal, faktor vaskulogenik, faktor neurogenik dan faktor iatrogenik (Pangkahila, 2005). Penderita hipertensi yang juga mengalami penyakit pembuluh darah halus (arteriolosklerosis) rentan mengalami disfungsi ereksi terutama melalui faktor vaskulogenik. Berkaitan dengan hal ini, kadar asam urat seseorang dapat menjadi salah satu penanda potensial untuk memprediksi kejadian disfungsi ereksi, karena telah diketahui bahwa hiperurisemia berkaitan dengan disfungsi endotel, penyakit

3 3 mikrovaskular dan hipertensi (Solak et al., 2014). Pada penelitian di RSUD Dr. Moewardi Surakarta didapatkan hasil bahwa prevalensi disfungsi ereksi sebesar 79% pada penderita stroke, dan hanya sebesar 39% pada bukan penderita stroke (Santoso, 2010). Melalui penelusuran pustaka tidak ditemukan prevalensi disfungsi ereksi pada penderita hiperurisemia di Indonesia, terlebih yang secara khusus dikaitkan dengan hipertensi. Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan hiperurisemia dengan disfungsi ereksi pada penderita hipertensi di RSU Bethesda Lempuyangwangi Yogyakarta. B. Perumusan Masalah Apakah ada hubungan hiperurisemia dengan disfungsi ereksi pada penderita hipertensi di RSU Bethesda Lempuyangwangi Yogyakarta? C. Tujuan a. Tujuan umum Mengetahui hubungan hiperurisemia dengan disfungsi ereksi pada penderita hipertensi di RSU Bethesda Lempuyangwangi Yogyakarta. b. Tujuan khusus 1. Mengetahui kejadian hiperurisemia pada penderita hipertensi di RSU Bethesda Lempuyangwangi Yogyakarta. 2. Mengetahui kejadian disfungsi ereksi pada penderita hipertensi di RSU Bethesda Lempuyangwangi Yogyakarta. 3. Mengetahui faktor lain yang mempengaruhi hubungan hiperurisemia dengan disfungsi ereksi pada penderita hipertensi di RSU Bethesda Lempuyangwangi Yogyakarta. 1. Bagi subjek penelitian D. Manfaat Proses penelitian yang mencakup anamnesis dan pemeriksaan diharapkan

4 4 dapat menjadi sumber informasi dan edukasi bagi subjek penelitian untuk lebih memahami status kesehatannya terutama mengenai disfungsi ereksi, serta kaitannya dengan hipertensi dan hiperurisemia. 2. Bagi masyarakat Hasil penelitian dapat menjadi salah satu sumber informasi ilmiah tentang kejadian disfungsi ereksi, serta kaitannya dengan hipertensi dan hiperurisemia. 3. Bagi ilmu pengetahuan Hasil penelitian dapat menjadi bahan referensi untuk penelitian lebih lanjut mengenai disfungsi ereksi, serta kaitannya dengan hipertensi dan hiperurisemia. E. Keaslian Penelitian Penelitian yang serupa dengan penelitian ini dan perbedaannya: 1. Solak, Y., et al. (2014). Uric Acid Level and Erectile Dysfunction in Patients with Coronary Artery Disease. J Sex Med (11), Persamaannya adalah desain penelitian yaitu cross-sectional, variabel bebas (kadar asam urat serum) dan variabel terikat (disfungsi ereksi). Disfungsi ereksi diukur menggunakan IIEF. Perbedaannya pada subjek penelitian yaitu pasien dengan risiko penyakit arteri koroner. Kadar asam urat dianalisis sebagai data kontinyu maupun dikategorikan berdasarkan kuartil. 2. Gorgel, S., et al. (2014). Sexual Function in Male Patients with Metabolic Syndrome and Effective Parameters on Erectile Dysfunction. Int Braz J Urol 40 (1), Persamaannya adalah desain penelitian yaitu crosssectional dan variabel terikat (disfungsi ereksi). Disfungsi ereksi diukur menggunakan IIEF. Perbedaannya pada variabel bebas (sindrom metabolik), serta subjek penelitian yaitu pasien klinik urologi dan endokrinologi. 3. Coca, V., et al. (2006). The Prevalence of the Metabolic Syndrome in a Male Population with Erectile Dysfunction. Medica 1 (1),

5 5 Persamaannya adalah disfungsi ereksi menjadi variabel penelitian, namun pada penelitian ini disfungsi ereksi menjadi variabel bebas. Disfungsi ereksi diukur menggunakan IIEF. Perbedaan lainnya adalah desain penelitian yaitu kohort retrospektif.