25 HASIL DAN PEMBAHASAN Sampel susu berasal dari 5 kabupaten yaitu Bogor, Bandung, Cianjur, Sumedang dan Tasikmalaya. Lima sampel kandang diambil dari setiap kabupaten sehingga jumlah keseluruhan sampel yang diperiksa sebanyak 25 sampel kandang. Volume sampel susu yang diambil minimal 500 ml. Setiap sampel susu dimasukkan ke dalam kantong plastik steril, kemudian kantong plastik diberi label dan disimpan dalam cool box berisi es. Sampel diuji di laboratorium maksimum 24 jam setelah pengambilan. Rataan jumlah total mikroorganisme dari 25 sampel susu segar yang berasal dari lima kabupaten di Provinsi Jawa Barat berdasarkan hasil pengujian kurang dari 1.0 x 10 6 cfu/ml (7.4 x 10 5 cfu/ml) kecuali sampel dari Bogor (1.9 x 10 6 cfu/ml) dan Cianjur (1.3 x 10 7 cfu/ml). Berdasarkan SNI no.3141.1 2011 tentang Susu Segar, batas maksimum cemaran mikroorganisme pada susu adalah 1.0 x 10 6 cfu/ml. Rataan jumlah total mikroorganisme yang paling tinggi berasal dari Bogor (6.2 x 10 5 cfu/ml) sedangkan yang paling rendah berasal dari Sumedang (1.3 x 10 5 cfu/ml). Batas maksimum cemaran E. coli menurut SNI 3788:2009 sebesar 3 MPN/ml (BSN 2009). Seluruh sampel (100%) melebihi ketetapan SNI karena jumlah E. coli lebih dari 3 MPN/ml. Cemaran S. aureus pada susu di lima kabupaten sangat tinggi (100%) melebihi batas yang diperbolehkan dalam SNI no 3141.1 2011 yang menetapkan batas maksimum cemaran S. aureus pada susu adalah 1.0 x 10 2 cfu/ml. Seperti halnya jumlah total mikroorganisme, rataan jumlah S. aureus yang paling tinggi berasal dari Bogor (4.9 x 10 5 cfu/ml) sedangkan yang paling rendah berasal dari Sumedang (1.2 x 10 3 cfu/ml). Hasil pengujian jumlah mikroorganisme pada susu di lima kabupaten di Provinsi Jawa Barat terdapat pada Tabel 9. Susu segar di Indonesia harus memenuhi persyaratan yang didasarkan pada SNI 3141.1 2011 tentang Susu Segar-bagian 1: Sapi, diantaranya persyaratan mengenai jumlah maksimum cemaran mikroba yang diperbolehkan. Berdasarkan SNI total cemaran mikroba pada susu maksimum 1.0 x 10 6 cfu/ml dan jumlah maksimum cemaran S. aureus harus di bawah 1.0 x 10 2 cfu/ml (BSN 2011).
26 Berdasarkan SNI 3788:2009, batas cemaran mikroba pada susu segar adalah jumlah total mikroorganisme 1.0 x 10 6 cfu/ml, MPN E. coli < 3/ml, dan jumlah S. aureus 1.0 x 10 2 cfu/ml (BSN 2009). Tabel 9 Rataan jumlah total mikroorganisme, Escherichia coli, dan Staphylococcus aureus pada susu segar di lima kabupaten, Provinsi Jawa Barat No Lokasi Sampel TPC (cfu/ml) E. coli (MPN/ml) S. aureus (cfu/ml) 1. Kabupaten Bogor 1 110 000 30 180 000 2 270 000 30 19 000 3 480 000 30 2 100 000 4 310 000 30 10 000 5 1 900 000 30 160 000 Rata-rata 614 000 ± 730 842 30 ± 0 493 800 ± 901 286 2. Kabupaten Bandung 1 190 000 30 13 000 2 81 000 30 9 900 3 970 000 30 25 000 4 100 000 30 9 000 5 76 000 30 16 000 Rata-rata 283 400 ± 386 574 30 ± 0 14 580 ± 6 445 3. Kabupaten Cianjur 1 5 600 30 21 000 2 320 000 30 23 000 3 130 000 30 12 000 4 13 000 000 30 250 000 5 13 000 30 24 000 Rata-rata 2 693 720 ± 5 762 787 30 ± 0 66 000 ± 102 968 4. Kabupaten Sumedang 1 2 700 30 280 2 500 30 560 3 3 800 30 120 4 7 400 30 3 500 5 14 000 30 1 600 Rata-rata 124 800 ± 131 623 30 ± 0 1 212 ± 1 402 5. Kabupaten Tasikmalaya 1 18 000 30 260 2 210 000 30 560 3 160 000 30 13 000 4 57 000 30 8 400 5 49 000 30 3 600 Rata-rata 98 800 ± 81 956 30 ± 0 5 164 ± 5 467 Rata-rata Total 739 120 ± 1 117 110 30 ± 0 116 942 ± 212 181
27 Jumlah Total Mikroorganisme Rataan jumlah total mikroorganisme susu segar pada lima kabupaten di Provinsi Jawa Barat adalah 7.4 x 10 5 cfu/ml. Berdasarkan hasil pengujian rataan jumlah total mikroorganisme susu segar dari 25 sampel didapatkan dua sampel (8%) melebihi ketetapan SNI no.3141.1, yaitu sampel dari Bogor (1.9 x 10 6 cfu/ml) dan Cianjur (1.3 x 10 7 cfu/ml) (Gambar 6). Berdasarkan SNI no.3141.1 2011 tentang Susu Segar batas maksimum cemaran mikroorganisme pada susu adalah 1.0 x 10 6 cfu/ml. Hal ini terjadi dimungkinkan karena higiene pemerahan di peternakan tempat pengambilan sampel buruk. Rataan jumlah total mikroorganisme yang paling tinggi berasal dari Bogor (6.2 x 10 5 cfu/ml) sedangkan yang paling rendah berasal dari Sumedang (1.3 x 10 5 cfu/ml). 1,900.00 13,000.00 SNI 3 Gambar 6 Sebaran jumlah total mikroorganisme (TPC) pada susu segar di lima kabupaten, Provinsi Jawa Barat. Mikroorganisme pencemar pada susu bisa bersumber dari lingkungan, pemerah, dan hewan itu sendiri. Tinggi rendahnya tingkat pencemaran pada susu erat kaitannya dengan higiene dan sanitasi selama produksi susu segar di tingkat peternakan. Kehadiran mikrooorganisme yang tinggi pada sampel lingkungan (air
28 dan udara), alat perah, pemerah, dan ambing berefek pada tingginya pencemaran mikroorganisme pada susu. Peternak menggunakan alat yang berbahan alumunium atau stainless untuk menampung susu, misalnya ember atau wadah penampung. Ember yang tidak bersih memungkinkan kontaminasi bakteri pada susu, sehingga ember menjadi peralatan yang tidak aman untuk membawa susu. Air yang digunakan untuk membersihkan peralatan, tangan pemerah, dan ambing juga mempengaruhi tingkat pencemaran pada susu, sehingga perlu dijaga dari kontaminasi feses (Nanu et al. 2007). Perkins et al. (2009) menambahkan bahwa kualitas air yang digunakan untuk membersihkan peralatan merupakan hal kecil, tetapi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kualitas susu segar yang dihasilkan. Kemungkinan tingginya cemaran pada susu yang dihasilkan oleh suatu peternakan disebabkan sanitasi kandang dan higiene pemerahan yang buruk. Chye et al. (2004) menambahkan bahwa cemaran susu mastitis ke dalam susu segar sehat adalah penyebab tingginya jumlah mikroorganisme pada susu keseluruhan (bulk milk). Susu segar dapat menjadi sumber signifikan foodborne pathogen, dan banyak wabah foodborne disease yang terkait dengan konsumsi susu mentah, susu yang tidak dipanaskan dengan baik, atau susu yang tercemar kembali setelah pemanasan (Baylis 2009). Susu mentah dapat mengandung beragam mikroorganisme patogen, termasuk Salmonella spp (khususnya Salmonella Typhimurium dan Salmonella Dublin, serotipe yang virulen untuk manusia), Escherichia coli O157, Listeria monocytogenes, dan Campylobacter spp. yang berasal dari hewan perah, lingkungan, pekerja, dan peralatan susu (Fernandez 2009). Susu mentah atau yang tidak dipasteurisasi (raw/unpasteurized milk) merupakan wahana pemindah (vehicle of transmission) dari mikroorgisme seperti Salmonella spp, E. coli O157 dan Listeria monocytogenes (Omiccioli et al. 2009). Lactococcus, Lactobacillus, Streptococcus, Staphylococcus dan Micrococcus spp merupakan flora bacterial yang biasa ditemukan dalam susu segar (Chye et al. 2004). Kualitas susu mentah yang baik penting bagi Industri Pengolah Susu (IPS) sehingga dapat menghasilkan produk olahan susu yang berkualitas tinggi.
29 Produksi susu dengan jumlah bakteri yang rendah dimulai dari peternakan dan dipengaruhi oleh banyak prosedur yang berkaitan dengan praktik manajemen di peternakan (Elmoslemany et al. 2010). Jumlah MPN Escherichia coli Batas maksimum cemaran E. coli pada susu segar menurut SNI 3788:2009 sebesar 3 MPN/ml (BSN 2009). Seluruh sampel (100%) melebihi ketetapan SNI karena jumlah MPN E. coli lebih dari 3 MPN/ml (Gambar 7). Rataan Jumlah MPN E. coli dari lima kabupaten di Provinsi Jawa Barat adalah 30 MPN/ml. Tingginya jumlah MPN E.coli menunjukkan tingginya tingkat pencemaran fekal pada peternakan di lima kabupaten, Provinsi Jawa Barat. Keberadaan E. coli di dalam susu menunjukkan adanya kemungkinan pencemaran dari manur, tanah, air yang tercemar, kontaminasi feses dan penanganan susu yang tidak baik sehingga susu akan menjadi sumber penyebab diare. Jumlah E. coli ( MPN/ml) 35 30 25 20 15 10 5 0 Kab. Bogor Kabupaten Bandung Kabupaten Cianjur Kabupaten Sumedang Kabupaten Tasikmalaya SNI Gambar 7 Rataan jumlah E. coli pada susu segar di lima kabupaten, Provinsi Jawa Barat. Altalhi dan Hassan (2009) menjelaskan koliform dan E. coli sering digunakan sebagai mikroorganisme indikator (marker organism). Perolehan dan penghitungan E. coli digunakan sebagai indikator yang dapat dipercaya terhadap kontaminasi feses dan menandakan kemungkinan adanya mikroorganisme enteropatogenik dan/atau toksigenik, yang merupakan ancaman kesehatan masyarakat. Faktor yang berpengaruh pada susu segar yang tercemar koliform bukan hanya dari feses sapi akan tetapi ada faktor lain. Kesalahan dalam
30 pemerahan dan penyimpanan susu yang tidak menggunakan rantai dingin akan menyebabkan peningkatan jumlah bakteri selama dalam kendaraan penampung susu. Chye et al. (2004) menambahkan bahwa adanya bakteri koliform dan patogen dalam susu mengindikasikan kemungkinan cemaran dari ambing, peralatan atau air. Keberadaan bakteri koliform dalam susu merupakan indikator higiene dan sanitasi yang buruk selama pemerahan dan penanganan selanjutnya. Susu mentah atau yang tidak dipasteurisasi (raw/unpasteurized milk) merupakan wahana pemindah (vehicle of transmission) dari mikroorgisme seperti Salmonella spp, E. coli O157 dan Listeria monocytogenes. Beberapa wabah foodborne illness terjadi setelah konsumsi susu mentah yang tercemar dan produk-produk susu, seperti yang disebabkan oleh Shiga toxin yang dihasilkan E. coli O157:H7 (Omiccioli et al. 2009). E. coli O157:H7 menjadi ancaman serius bagi industri susu dengan munculnya beberapa wabah bakteri tersebut di negaranegara maju, mulai dari diare sedang sampai hemolytic uremic syndrome (HUS), hemorrhagic colitis dan thrombotic thrombocytopaenic purpura (Chye et al. 2004). Jumlah Staphylococcus aureus Cemaran S. aureus pada susu di lima kabupaten (100%) sangat tinggi melebihi batas yang diperbolehkan dalam SNI no 3141.1 2011 yang menetapkan batas maksimum cemaran S. aureus pada susu adalah 1.0 x 10 2 cfu/ml (Gambar 8). Rataan jumlah total S. aureus dari lima kabupaten di Provinsi Jawa Barat adalah 1.2 x 10 5 cfu/ml. Seperti halnya jumlah total mikroorganisme, rataan jumlah S. aureus yang paling tinggi berasal dari Bogor (4.9 x 10 5 cfu/ml) sedangkan yang paling rendah berasal dari Sumedang (1.2 x 10 3 cfu/ml). Hal ini menunjukkan buruknya higiene personal pada beberapa peternakan di Provinsi Jawa Barat. Praktik higiene personal dari pekerja saat pemerahan serta lingkungan di sekitar kandang sangat berpengaruh terhadap terjadinya cemaran S. aureus. Chye et al. (2004) dan André et al. (2008) sepakat bahwa S. aureus merupakan agen patogen sangat penting yang menyebabkan infeksi intramamari pada sapi perah.
31 S. aureus secara luas dikenal sebagai agen penyebab utama mastitis klinis dan subklinis pada sapi perah. Keberadaan S. aureus dalam makanan sering dikaitkan dengan penanganan yang tidak tepat oleh pekerja. Oleh sebab itu, keberadaan bakteri ini dalam susu segar adalah hal biasa jika tindakan-tindakan pencegahan tidak dilakukan. 21,000.00 2,500.00 2 SNI Gambar 8 Sebaran jumlah Staphylococcus aureus pada susu segar di lima kabupaten, Provinsi Jawa Barat. André et al. (2008) menambahkan bahwa sumber pencemaran susu antara lain manusia, peralatan susu, lingkungan, ambing dan kulit puting sapi perah. Dari studi André et al. (2008) diperoleh 16 positif S. aureus dari 24 sampel susu mentah (66.7%) yang diambil di industri pengolah susu skala kecil di Goiá State, Brazil dari Maret 2004 sampai Februari 2005. Jumlah rata-rata S. aureus di dalam susu mentah adalah 1.1 x 10 5 cfu/ml dengan kisaran dari tidak ditemukan sampai 7.5 x 10 5 cfu/ml. S. aureus juga ditemukan pada saluran hidung dan tangan pekerja, masing-masing 32.6% (15/46) dan 30.4% (14/46). S. aureus merupakan foodborne pathogen yang menyebar di seluruh dunia dan kontaminan yang sering ditemukan pada bahan makanan. Beberapa strain mampu menghasilkan enterotoksin staphylococcal (SE). Konsumsi terhadap
32 makanan yang tercemar SE akan menyebabkan terjadinya kejadian staphylococcal food poisoning (SFP). Susu dan susu olahan merupakan bahan makanan yang sering menjadi penyebab SFP. Gejala dari SFP adalah muntah dengan atau tanpa diare dan kram abdominal yang berkurang setelah 12 sampai 72 jam (Cretenet et al. 2011). Pada strain S. aureus yang diisolasi dari manusia dan makanan, sekitar lebih dari 50% strain yang bersifat enterotoksigenik dan menyebabkan 95% dari wabah keracunan makanan akibat staphylococcal. Jumlah strain enterotoksigenik S. aureus yang mencapai 10 6 atau lebih sel per gram makanan bisa menghasilkan sejumlah enterotoksin yang cukup untuk menyebabkan intoksikasi jika makanan yang tercemar tersebut dikonsumsi (Bendahou et al. 2009). Tindakan Pencegahan Produk susu yang tercemar E. coli dan S. aureus akan menyebabkan keracunan makanan dan gangguan kesehatan manusia sehingga perlunya higiene yang ketat, sterilisasi alat yang teratur, pembersihan peralatan, cuci tangan, pembersihan ambing, pemusnahan penyakit hewan dan pasteurisasi susu sebelum pengumpulan dan pendistribusian untuk konsumsi dan pembuatan produk susu selanjutnya (Kumar & Prasad 2010). Perlu adanya pemeliharaan higiene yang baik selama pemerahan, perjalanan, dan distribusi. Pendinginan yang dilakukan pada susu setelah produksi, penerapan prosedur standar higienis personal yang tinggi dan penggunaan air bersih berperan penting dalam menjaga kualitas susu segar (Shekhar et al. 2010). Menurut Baylis (2009) pencegahan pencemaran dari feses merupakan tahapan terpenting untuk mengurangi keberadaan patogen yang mencemari susu. Banyak patogen enterik umum seperti Salmonella, Escherichia coli O157:H7 dan Campylobacter pada saluran intestinal ruminansia, termasuk hewan yang digunakan untuk produksi susu, seperti sapi, domba dan kambing. Prosedur pembersihan yang efektif, termasuk pembersihan kotoran dari ambing sebelum pemerahan, dapat mengurangi pencemaran bakteri patogen dan menyediakan produk yang aman. Susu yang terdapat di dalam alveol-alveol ambing bebas mikroorganisme, namun kontaminasi terjadi saat melewati saluran (duktus) dan bagian luar ambing
33 serta kontaminasi dari pemerah, peralatan atau lingkungan. Critical Point (CP) kontaminasi bakteri terjadi selama produksi susu segar di peternakan. Pemerah harus melakukan cuci tangan dengan sabun dan air sebelum memerah ambing. Prosedur yang tidak higienis pada pemerah diantaranya tidak memotong kuku, batuk, meludah, dan bersin saat memerah dan menggunakan pakaian yang tidak bersih. Kontaminasi dari lingkungan (air dan udara) juga terjadi pada susu. Oleh karena itu perlu diperhatikan sanitasi yang baik di peternakan (Nanu et al. 2007). Gustiani (2009) menambahkan penerapan sistem keamanan pangan pada setiap proses produksi melalui good farming practices (GFP), good handling practices (GHP), dan good manufacturing practices (GMP). Perlu adanya upaya untuk meningkatkan pengetahuan, kesadaran, dan kepedulian masyarakat terhadap penyakit yang disebabkan oleh cemaran mikroba sehingga dapat mengeliminasi dampak yang ditimbulkan oleh pencemaran mikroba pada susu.