BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis pertumbuhan..., Edi Tamtomo, FE UI, 2010.

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang besar dalam bidang

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 5 PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Ringkasan Hasil Regresi

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi. Transfer antar pemerintah tersebut bahkan sudah menjadi ciri

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem

BAB 1 PENDAHULUAN. ekonomi juga merupakan indikator pencapaian pembangunan nasional. akan memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di

BAB 1 PENDAHULUAN. disebutanggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Baik untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. daerah. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang. Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang dijadikan pedoman

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. berwewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah membuat beberapa perubahan

BAB 1 PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi yang seluas-luasnya, dalam arti daerah diberikan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. implikasi pada pelimpahan wewenang antara pusat dan daerah dalam berbagai bidang.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan salah satu upaya bagi pemerintah untuk mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi yang mensyaratkan perlunya pemberian otonomi seluas-luasnya

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkembangan kemampuan memproduksi barang dan jasa sebagai akibat

BAB I PENDAHULUAN. bangsa kita. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang

I. PENDAHULUAN. dalam mengelola potensi sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, yang diukur melalui elemen Pendapatan Asli Daerah (PAD). Diharapkan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. berdampak pada berbagai aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara di

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi membawa banyak perubahan dalam kehidupan berbangsa dan

BAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB I PENDAHULUAN. menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan. arti yang sebenarnya didukung dan dipasung sekian lama mulai

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengukur keberhasilan pembangunan dan kemajuan perekonomian di

BAB I PENDAHULUAN. yang dalam perkembangannya seringkali terjadi adalah ketimpangan

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah. memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur

BAB I PENDAHULUAN. Manusia (IPM), pembangunan manusia didefinisikan sebagai a process

BAB I PENDAHULUAN. pusat (Isroy, 2013). Dengan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab,

BAB I PENDAHULUAN. dan aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi.

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi, sehingga harus disembuhkan atau paling tidak dikurangi. Permasalahan kemiskinan memang

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran daerah

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang sangat mendasar sejak diterapkannya otonomi daerah. dalam hal pengelolaan keuangan daerah.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan sesuai prioritas dan kebutuhan masing-masing daerah dengan

BAB I PENDAHULUAN. mengenai pemerintah kabupaten/kota dan UU Nomor 25 tahun 1999 mengenai

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintahan Daerah (sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

BAB 1 PENDAHULUAN. Pusat mengalami perubahan, dimana sebelum reformasi, sistem pemerintahan

BAB 1 PENDAHULUAN. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi. daerah berkewajiban membuat rancangan APBD, yang hanya bisa

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan di daerah akhir-akhir ini,

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya dalam meningkatkan kapasitas

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru,

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan daerah akhir

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran dearah

I. PENDAHULUAN. Lampung Selatan merupakan pusat kota dan ibukota kabupaten. Pembangunan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang

BAB I PENDAHULUAN. sektor publik yang nantinya diharapkan dapat mendongkrak perekonomian rakyat

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mengelola keuangannya sendiri. Adanya otonomi daerah menjadi jalan bagi

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. titik awal pelaksanaan pembangunan, sehingga daerah diharapkan bisa lebih mengetahui

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

BAB I PENDAHULUAN. sejalan dengan dikeluarkannya Undang-undang No 22 Tahun 1999 dan

INUNG ISMI SETYOWATI B

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan tuntutan reformasi di Indonesia, otonomi daerah mulai diberlakukan. Hal ini salah satunya ditandai dengan adanya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah kemudian didukung dengan UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Otonomi daerah memberikan kewenangan yang lebih banyak kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengelola daerahnya dengan adanya pengalihan wewenang atas urusan-urusan yang sebelumnya menjadi wewenang pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Sebagian besar urusan pemerintah pusat menjadi urusan pemerintah kecuali bidang politik luar negeri, hukum, pertahanan keamanan, agama, fiskal dan moneter. Berarti bidang-bidang yang cukup mendasar seperti pendidikan, kesehatan dan infrastruktur menjadi wewenang dari pemerintah daerah. Dasar dari pengalihan ini adalah bahwa pemerintah daerah dianggap lebih dekat dengan rakyatnya sehingga dianggap lebih tahu apa yang dibutuhkan oleh masyarakat daerah dan bagaimana cara lebih tepat untuk mengelola daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerahnya. Pelaksanaan otonomi daerah ini menggambarkan perubahan sistem dari yang semula sentralisasi menjadi sistem desentralisasi. Pada era Orde Baru, segala urusan pemerintahan begitu terpusat sehingga daerah hanya sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah pusat. Hal ini yang mematikan kreativitas dari pemerintah daerah, padahal pemerintah daerah yang lebih tahu apa yang dibutuhkan oleh daerahnya. Oleh karena itu dengan sistem desentralisasi ini diharapkan akan mampu menciptakan kreativitas dari pemerintah daerah untuk mengelola daerahnya dan meningkatkan kesejahteraan daerah tersebut. Pelaksanaan desentralisasi dapat dibagi menjadi empat bidang, yaitu desentralisasi politik, desentralisasi administrasi, desentralisasi bidang fiskal dan desentralisasi ekonomi (Adirinekso : 2001). Desentralisasi bidang politik ditunjukkan melalui pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 1

2 (DPRD) dan pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyatnya. Pemilihan secara langsung ini diharapkan rakyat akan benar-benar tahu pemimpin dan wakil rakyat yang sesuai dengan aspirasinya. Desentralisasi administrasi adalah pemindahan wewenang administrasi dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sementara itu desentralisasi fiskal adalah adanya pembagian wewenang antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah mengenai revenue dan expenditure. Hal ini sesuai dengan istilah money follow the function dimana adanya suatu fungsi akan diikuti dengan dana untuk melaksanakan fungsi tersebut. Pelimpahan wewenang yang lebih banyak terhadap daerah pasti akan membutuhkan dana yang lebih besar juga sebagai expenditure untuk melaksanakan wewenang tersebut. Itu berarti harus ada wewenang yang lebih besar juga kepada daerah untuk mendapatkan sumber-sumber dana sebagai revenue. Desentralisasi ekonomi artinya adanya wewenang yang lebih besar kepada daerah untuk memajukan perekonomiannya dan hal ini bisa terlaksana jika ada dukungan dari desentralisasi bidang yang lain. Keempat bidang desentralisasi ini tidak dapat berdiri sendiri dan saling mendukung satu sama lain. Desentralisasi politik adalah membentuk susunan pemerintahan daerah dan legislatif daerah yang berfungsi membuat aturanaturan yang mengatur masalah penerimaan daerah sebagai pelaksanaan desentralisasi fiskal dan aturan lain untuk desentralisasi administrasi. Sebaliknya desentralisasi fiskal terkait dengan revenue dan expenditure untuk pelaksanaan desentralisasi. Desentralisasi ekonomi diharapkan bisa meningkatkan kesejahteraan masayarakat secara umum. Kesejahteraan yang meningkat akan menyebabkan pola hidup yang lebih baik dan lebih modern sehingga akan membuat pola pikir untuk meningkatkan kesejahteraan menjadi lebih baik pula. Pelaksanaan desentralisasi fiskal memberikan konsekuensi kepada pemerintah daerah berupa kewenangan yang lebih luas kepada daerah untuk mengoptimalkan potensi pendapatan daerah melalui pajak daerah, retribusi daerah dan sumber-sumber penerimaan daerah yang lain. Selanjutnya pendapatan tersebut digunakan untuk keperluan pembangunan daerah baik

3 untuk pengeluaran yang bersifat operasional, pemeliharaan maupun investasi. Melalui kegiatan pengeluaran-pengeluaran tersebut diharapkan akan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah bersangkutan. Namun demikian, potensi tiap-tiap daerah otonom baik sumber daya alam, keadaan geografis dan sumber daya manusia yang tidak sama. Keadaan ini membuat kemampuan keuangan daerah juga berbeda-beda tergantung potensi yang ada dan kemampuan daerah untuk mengoptimalkan potensi daerah yang ada. Oleh karena itu pada awal pelaksanaan desentralisasi fiskal akan terjadi ketimpangan kemampuan keuangan antar daerah. Permasalahan ini memerlukan adanya kebijakan yang mengurangi ketimpangan baik secara vertikal (antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah) maupun horizontal (antar pemerintah daerah). Kebijakan ini berupa dana transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang disebut dana perimbangan. Dana perimbangan tersebut berfungsi untuk mengurangi ketimpangan dan membantu daerah untuk dapat melaksanakan desentralisasi. Hal yang membedakan dana transfer sebelum era desentralisasi fiskal adalah sebelum desentralisasi fiskal dana bantuan transfer cenderung terikat dengan ketentuan-ketentuan dari pemerintah pusat, sedangkan setelah desentralisasi fiskal, dana transfer dari pemerintah pusat lebih banyak bersifat block grant dalam artian dana dari pemerintah pusat diberikan ke daerah dan wewenang penggunaannya diserahkan sepenuhnya kepada daerah (A.T.P.Panggabean, Mahi, M.P.H. Panggabean dan Brodjonegoro : 1999). Dengan demikian ada perubahan sifat dana transfer dari spesific grant ke arah block grant. Dengan bantuan yang bersifat block grant, diharapkan dana transfer akan digunakan secara efektif karena daerah yang lebih tahu apa yang dibutuhkan oleh daerah tersebut. Dalam UU No.33 tahun 2004 diatur tentang beberapa sumber-sumber penerimaan daerah. Sumber penerimaan tersebut adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan dan Lain-lain Pendapatan. PAD adalah adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. PAD menggambarkan kemampuan daerah untuk mengoptimalkan potensi ekonomi

4 dari daerah tersebut. PAD yang tinggi menunjukkan kemampuan keuangan daerah yang tinggi dan secara keaungan lebih mandiri karena tidak terlalu bergantung pada dana transfer dari pemerintah pusat. Dengan adanya desentralisasi fiskal, daerah mempunyai kewenangan yang lebih besar untuk mengoptimalkan PAD-nya sehingga seharusnya porsi PAD sebagai komponen penerimaan daerah juga meningkat. Dana perimbangan merupakan dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana Perimbangan terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH) Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Selain untuk mengurangi ketimpangan, DAU juga berperan sebagai modal awal bagi pemerintah daerah untuk melaksanakan desentralisasi dalam arti melaksanakan tugas pelayanan minimal dalam pelayanan publik. DBH adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DAK adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan-kegiatan tertentu yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Secara umum, peran dari dana-dana perimbangan tersebut adalah membantu daerah dalam melaksanakan desentralisasi dan desentralisasi sendiri bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah dengan memberikan kewenangan yang lebih luas kepada pemerintah daerah. Dari jenis dana transfer tersebut, DAU adalah dana transfer yang bersifat block grant dimana kewenangan penggunaan DAU diserahkan sepenuhnya kepada daerah. Dengan demikian peran DAU menjadi besar sebagai komponen penerimaan daerah karena sebagian besar dana transfer bersifat block grant. Salah satu indikator dari kesejahteraan masyarakat adalah pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang meningkat

5 menggambarkan keberhasilan pembangunan bidang ekonomi suatu daerah. Maka keberhasilan desentralisasi dapat diukur melalui pertumbuhan ekonomi dari daerah otonom. Menurut KPPOD (Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah) 1, otonomi daerah selama delapan tahun sejak tahun 2001 telah mengalami kegagalan. Hal ini bila dilihat dari indikator rata-rata pertumbuhan ekonomi daerah yang mengalami penurunan dari sebelum masa otonomi daerah dan setelah otonomi daerah. Rata-rata pertumbuhan ekonomi daerah melorot menjadi 4,88 persen (2001-2007) dari sebelumnya 8,13 persen (1993-1996). Dari fakta di atas, timbul pertanyaan apa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi daerah dikaitkan dengan desentralisasi fiskal dimana daerah lebih leluasa meningkatkan PAD dan mendapatkan bantuan dana perimbangan dari pemerintah pusat. Baik PAD dan DAU adalah komponen utama penerimaan daerah yang dipergunakan oleh pemerintah daerah dalam membiayai pembangunan daerah untuk meningkatkan perekonomian daerahnya dan berujung pada kesejahteraan masyarakat yang makin meningkat. Menurut Setiaji dan Priyo Hari (2007), pelaksanaan otonomi daerah memacu peningkatan kemampuan keuangan daerah dan mempercepat pembangunan ekonomi daerah. Secara umum terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi dan PAD tetapi ada indikasi ketergantungan daerah pada dana transfer pemerintah pusat. Studi oleh Pujiati (2008) menguji pengaruh PAD dan dana perimbangan berupa DAU dan DBH terhadap pertumbuhan ekonomi di karesidenan di Jawa Tengah. PAD dan DBH berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan DAU berpengaruh negatif signifikan. Jumlah dana perimbangan yang ditransfer dari pemerintah pusat ke daerah dari tahun 2000 mempunyai porsi yang besar dari belanja APBN. Hal ini menunjukkan bahwa besarnya ketimpangan kemampuan keuangan tiap 1 ) dikutip dari http://bisnis.vivanews.com/news/read/82675otonomi_daerah_picu_pertumbuhan_ daerah_turun tahun 2009

6 daerah sekaligus besarnya porsi belanja pemerintah pusat dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Kebijakan dana transfer pemerintah pusat ke daerah bertujuan untuk mengurangi ketimpangan dan membantu daerah melaksanakan desentralisasi. Oleh karena itu timbul pertanyaan apakah daerah-daerah otonom sudah mampu meningkatkan kapasitas keuangan daerah melalui PAD dan apakah Dana Perimbangan yang bersumber dari APBN mampu mendukung pencapaian tujuan desentralisasi. Adapun porsi realisasi belanja dana perimbangan terhadap realisasi belanja APBN keseluruhan sejak otonomi daerah dapat dilihat pada tabel 1.1 Tabel 1.1. Persentase Realisasi Dana Transfer Terhadap Realisasi Total Belanja Dalam APBN Tahun Persentase 2000 15,34% 2001 23,74% 2002 29,39% 2003 29,51% 2004 28,18% 2005 28,13% 2006 32,40% 2007 32,51% 2008 27,34% Sumber : www.bps.go.id (telah diolah kembali) Porsi dana transfer yang cukup besar, dan beberapa penelitian misalnya dari Pujiati (2008) yang menyebutkan bahwa DAU berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi dan Kharisma (2006) menyebutkan bahwa DAU berpengaruh positif tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa ada kemungkinan bahwa penggunaan DAU masih belum sesuai dengan harapan pada saat ide awalnya sebagai pendukung pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, kemampuan keuangan daerah yang bagus tidak menjamin sepenuhnya dalam mendorong pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Diperlukan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas di daerah tersebut

7 untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Menurut teori pertumbuhan Solow yang telah dimodifikasi oleh Mankiw, Romer dan Weil, unsur modal, tenaga kerja dan kemajuan teknologi adalah faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi (Bhinadi : 2003). Modal dapat dibagi menjadi 2 yaitu modal yang bersifat fisik dan yang bersifat non-fisik yang disebut human capital. PAD dan dana perimbangan bisa menjadi unsur-unsur yang dapat menguatkan kapital fisik dari suatu daerah. Human capital bisa dilihat dari bagaimana kualitas sumber daya manusia dari masyarakat daerah tersebut. Kualitas SDM terkait erat dengan tingkat pendidikan, sehingga dalam hal ini tingkat pendidikan bisa berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Pertumbuhan angkatan kerja dengan level yang lebih tinggi diduga berpengaruh dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi. Dalam studi terdahulu, faktor pertumbuhan kualitas SDM berpengaruh positif dalam pertumbuhan ekonomi tetapi tidak signifikan (Bhinadi:2003). Wibowo (2008) menjelaskan bahwa variabel human capital ratio berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Menurut teori transformasi struktural, sektor pertanian atau sektor primer merupakan sektor tradisional dan sektor industri adalah sebagai sektor modern. Di sektor modern akan menghasilkan nilai tambah yang lebih tinggi. Nilai tambah yang lebih tinggi menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi pula. Hal ini juga dipengaruhi oleh perilaku tenaga kerja yang cenderung akan mencari pekerjaan yang sesuai dengan level pendidikannya. Tenaga kerja dengan pendidikan tinggi akan memilih pekerjaan di bidang industri, perdagangan atau jasa. Semakin banyak tenaga berkualitas di sektor non-pertanian diduga akan meningkatkan produktivitas di sektor nonpertanian sehingga sektor-sektor tersebut akan lebih cepat berkembang dibandingkan sektor pertanian. Selain itu tenaga kerja berpendidikan cenderung untuk memilih-milih perkerjaan dan apabila tidak mendapatkan pekerjaan yang cocok, maka akan timbul pengangguran. Terjadinya pengangguran akan mempengaruhi modal per pekerja dan nantinya berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah.

8 1.2 Rumusan Masalah Dari uraian di atas muncul beberapa pertanyaan tentang bagaimana pelaksanaan desentralisasi fiskal mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dituliskan sebagai rumusan masalah sebagai berikut. 1. Bagaimana pengaruh PAD dan DAU terhadap pertumbuhan ekonomi daerah? 2. Bagaimana pengaruh tingkat pendidikan dan jumlah tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi daerah? 3. Apakah ada perbedaan tingkat pertumbuhan ekonomi antara daerah yang didominasi sektor pertanian dengan daerah yang didominasi sektor nonpertanian? 1.3 Tujuan Penelitian Dari rumusan masalah tersebut di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh PAD dan DAU serta pengaruh dari jumlah tenaga kerja serta tingkat pendidikan penduduk di suatu daerah terhadap pertumbuhan ekonomi daerah tersebut. Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan pertumbuhan ekonomi antara daerah yang didominasi sektor pertanian dengan daerah yang dominan dengan sektor non-pertanian. 1.4 Ruang Lingkup dan Metodologi Yang menjadi objek penelitian ini adalah kabupaten dan kota di propinsi Jawa. Tengah. Propinsi Jawa Tengah adalah propinsi dengan porsi PDRB sebesar 8,4 persen PDB nasional. Propinsi Jawa Tengah mempunyai 29 kabupaten dan 6 kota, propinsi dengan jumlah kabupaten dan kota terbanyak kedua setelah Jawa Timur. Dengan daerah terbanyak kedua maka dana transfer yang diberikan ke daerah di Jawa Tengah juga mempunyai porsi yang besar. Pada periode 2004-2008 rata-rata porsi DAU yang diterima

9 kabupaten/kota di Jawa Tengah adalah hampir mencapai 12 persen. Porsi terbesar kedua setelah daerah-daerah di propinsi Jawa Timur. 2 Hasil penelitian oleh Pujiati (2008) yang menyebutkan bahwa DAU di Jawa Tengah berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Dalam penelitian lain oleh Prakosa (2004) ternyata DAU berpengaruh positif terhadap belanja daerah dengan objek penelitian kabupaten/kota di Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta. Dengan demikian ada ketergantungan daerah yang besar terhadap DAU. Dari dua penelitian tersebut menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas dana DAU yang dibelanjakan oleh daerah di propinsi Jawa Tengah. Pemilihan periode penelitian adalah antara tahun 2004-2008. Pada awal desentralisasi fiskal tahun 2000, penentuan dana DAU masih menggunakan formula yang masih bnerubah-ubah karena mencari bentuk yang lebih cocok, dan baru mulai tahun 2004 formula DAU relatif tidak mengalami perubahan yang signifikan. Variabel yang digunakan adalah PDRB perkapita yang lebih mencerminkan tingkat kesejahteraan sebagai variabel independen dan variabel dependen adalah PAD, DAU, jumlah tenaga kerja, serta kualitas pendidikan di daerah yang menjadi objek penelitian. Selain itu dilakukan uji perbedaan pertumbuhan ekonomi antara daerah sektor pertanian dengan daerah sektor non-pertanian. Penelitian ini menggunakan data dalam rentang waktu tahun 2004 sampai tahun 2008. Pembentukan model dalam penelitian ini menggunakan teori pertumbuhan Solow yang dimodifikasi dengan memasukkan unsur human capital, dimana pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh kemajuan teknologi suatu daerah, pertumbuhan kapital baik yang bersifat fisik maupun bersifat human capital serta pertumbuhan tenaga kerja. Bhinadi (2003) 2 http://www.tkp2e dak.org (2009)

10 merumuskan model dari Mankiw, Romer dan Weil dengan bentuk fungsional sebagai berikut. Y = f (A, K, L, H) di mana Y merupakan laju pertumbuhan PDRB per kapita, A adalah pertumbuhan total factor productivity yang didalamnya termasuk kemajuan teknologi dan merupakan intersep dalam persamaan regresi atau residual pertumbuhan, K adalah pertumbuhan modal, L merupakan pertumbuhan kuantitas tenaga kerja dan H merupakan pertumbuhan kualitas SDM tenaga kerja. Dengan demikian penelitian ini dapat dituliskan dalam bentuk fungsi sebagai berikut. Y : f (A, K, L, H) dimana Y adalah pertumbuhan ekonomi, A adalah total factor productivity yang mencakup kemajuan teknologi, K adalah modal, L adalah jumlah tenaga kerja dan H menggambarkan kualitas SDM melalui tingkat pendidikan. Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan pertumbuhan ekonomi antara daerah sektor pertanian dan sektor non-pertanian diuji ratarata pertumbuhan ekonominya secara statistik. Kabupaten/kota dibagi menjadi 2 kelompok yaitu daerah sektor pertanian dan daerah sektor nonpertanian (industri, perdagangan dan jasa) kemudian duji dengan analysis of variance (ANOVA) untuk mengetahui apakah ada perbedaan rata-rata pertumbuhan ekonominya. Variabel PAD dan DAU sebagai faktor modal diduga berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Faktor jumlah tenaga kerja diduga berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi, karena semakin meningkat tenaga kerja semakin meningkat pula produktivitas dalam perekonomian. Faktor kualitas SDM juga berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi karena meningkatkan efisiensi dan produktivitas tenaga kerja.

11 1.5 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut. 1. Bagi pemerintah pusat, sebagai masukan dalam kebijakan dana DAU ke pemerintah daerah 2. Bagi pemerintah daerah sebagai masukan dalam pengelolaan keuangan daerah terutama melalui PAD dan DAU untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerahnya, melakukan kebijakan mengenai ketenagakerjaan baik kualitas maupun kuantitas. 1.6 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut. Bab I membahas tentang latar belakang masalah sehingga menuju ke perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup dan sistematika penulisan. Bab II berisi landasan teori yang mendukung penelitian dan literatur-literatur terdahulu yang terkait desentralisasi fiskal, pertumbuhan ekonomi dan tools untuk penelitian. Bab III membahas gambaran umum yang menunjukkan fakta-fakta terkait penelitian. Bab IV membahas metodologi penelitian yang terdiri dari penurunan model dari teori, teknik analisa dan cara pengambilan data. Bab V membahas analisa hasil dan pembahasan dan bab VI berisi Kesimpulan dan saran-saran.