KEDUDUKAN PRESIDEN DALAM MEMBERIKAN GRASI 1 Oleh : Rezha Donald Makawimbang 2

dokumen-dokumen yang mirip
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2002 TENTANG GRASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMBERIAN GRASI OLEH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ( Niklas Bantika/ D )

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2002 TENTANG GRASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2002 TENTANG GRASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Mengenal Mahkamah Agung Lebih Dalam

BAB II. Prosedur Pengajuan Grasi Kepada Presiden Baik Tahap I. Maupun Tahap II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

TINJAUAN ATAS PENGADILAN PAJAK SEBAGAI LEMBAGA PERADILAN DI INDONESIA

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

SKRIPSI. Diajukan Guna Memenuhi Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : Nama : Adri Suwirman.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Presiden sebagai kepala negara Republik Indonesia (selanjutnya

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

Lex Crimen Vol. III/No. 4/Ags-Nov/2014

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan pemerintahan suatu negara. Salah satu hak prerogatif Presiden yang

BAB I PENDAHULUAN. berlaku dalam kehidupan bermasyarakat yang berisi mengenai perintah-perintah

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MAHKAMAH KONSTITUSI, MAHKAMAH AGUNG, PEMILIHAN KEPALA DAERAH

EKSISTENSI GRASI MENURUT PERSPEKTIF HUKUM PIDANA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

BAB II PEMBERIAN GRASI TERHADAP TERPIDANA DI INDONESIA

NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

MAHKAMAH KONSTITUSI. R. Herlambang Perdana Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 19 Juni 2008

file://\\ \web\prokum\uu\2004\uu htm

KEWEWENANGAN PRESIDEN DALAM BIDANG KEHAKIMAN SETELAH AMANDEMEN UUD 1945

FUNGSI MAHKAMAH AGUNG DALAM MENERIMA PENINJAUAN KEMBALI SUATU PERKARA PIDANA 1 Oleh: Eunike Lumi 2

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN.

PENDAHULUAN. Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD Tahun 1945) telah melahirkan sebuah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2002 TENTANG GRASI

BAB II. berkewajiban untuk mengabulkan semua permohonan grasi yang ditujukan

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PEMBERIAN GRASI BAGI TERPIDANA MATI. Oleh. Josi Dedi Gultom. A A. Gde Oka Parwata

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 29/PUU-XV/2017 Perintah Penahanan yang Termuat dalam Amar Putusan

PENDAHULUAN. kendatipun disebut sebagai karya agung yang tidak dapat terhindar dari

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2002 TENTANG GRASI

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

Lembaga Kepresidenan dalam Sistem Presidensial

NOMOR 3 TAHUN 1950 TENTANG PERMOHONAN GRASI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

DAFTAR ISI. BAB I PENDAHULUAN...1 A. Latar Belakang...1. B. Rumusan Masalah...7. C. Tujuan Penelitian...8. D. Manfaat Penelitian...

I. PENDAHULUAN. Perubahan Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD tahun 1945) tidak hanya

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2002 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI OLEH MAHKAMAH AGUNG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. Pajak menurut Pasal 1 Undang-Undang No 28 Tahun 2007 tentang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis normatif ( normative legal reserch) yaitu

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan.

BAB III GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 5/PUU-XIII/2015 Pengecualian Pembina dalam Menerima Gaji, Upah, atau Honorarium Pengurus

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK

BAB SATU PENDAHULUAN

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 32/PUU-XIV/2016 Pengajuan Grasi Lebih Dari Satu Kali

Kuasa Hukum Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc., dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 2 Maret 2015.

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara hukum. 1 Konsekuensi

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 45/PUU-XIV/2016 Kewenangan Menteri Hukum dan HAM dalam Perselisihan Kepengurusan Partai Politik

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 24/PUU-XV/2017 Penyelesaian Perselisihan Kepengurusan Partai Politik

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 84/PUU-XII/2014 Pembentukan Pengadilan Hubungan Industrial di Kabupaten/Kota

-2- memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dipe

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Presiden dan Wakil Presiden dalam Sistem Hukum Ketatanegaraan Indonesia. Herlambang P. Wiratraman 2017

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan

UNDANG-UNDANG DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN

DR. R. HERLAMBANG P. WIRATRAMAN MAHKAMAH KONSTITUSI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA, 2015

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. adanya pemerintah yang berdaulat dan terakhir yang juga merupakan unsur untuk

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR:...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 24/PUU-XII/2014 Pengumuman Hasil Penghitungan Cepat

EKSISTENSI GRASI DALAM HUKUM PIDANA NASIONAL

Soal LCC 4 Pilar kehidupan berbangsa dan bernegara :)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2002 TENTANG GRASI

Makalah Rakernas

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas

BAB I PENDAHULUAN. selanjutnya disebut UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa. berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar

CHECK AND BALANCES ANTAR LEMBAGA NEGARA DI DALAM SISTEM POLITIK INDONESIA. Montisa Mariana

BAB I PENDAHULUAN. 1.4 Metode penelitian

Reformasi Kelembagaan MPR Pasca Amandemen UUD 1945

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENYELESAIAN SENGKETA INFORMASI PUBLIK DI PENGADILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN KEDUA Perkara Nomor 29/PUU-XII/2014 Hak Politik Bagi Mantan Terpidana Politik

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENYELESAIAN SENGKETA KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 24/PUU-XII/2014 Pengumuman Hasil Penghitungan Cepat

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang (UU) tehadap Undang-Undang Dasar (UUD). Kewenangan tersebut

Transkripsi:

KEDUDUKAN PRESIDEN DALAM MEMBERIKAN GRASI 1 Oleh : Rezha Donald Makawimbang 2 A B S T R A K Permohonan Grasi diajukan oleh yang dihukum bersalah kepada Kepala Negara atau Presiden yang mempunyai hak prerogatif. Oleh karena pemberian grasi merupakan suatu hak, maka Kepala Negara tidak berkewajiban untuk mengabulkan semua permohonan grasi yang ditujukan kepadanya. Dalam kedudukannya sebagai Kepala Negara, maka walaupun ada nasihat atau pertimbangan dari Mahkamah Agung. Grasi oleh Presiden pada dasarnya adalah bukan suatu tindakan hukum, melainkan suatu tindakan non-hukum berdasarkan hak preogratif seorang Kepala Negara atau Presiden. Prerogatif adalah hak istimewa yang dimiliki seorang Kepala Negara atau Presiden diluar kekuasaan badan-badan perwakilan lain (seperti: Grasi, abolisi, amnesati, rehabilitasi, ataupun mengangkat dan memberhentikan menteri). Hak prerogatif adalah hak Presiden sebagai Kepala Negara untuk mengeluarkan keputusan, atas nama Negara bersifat final, mengikat, dan memiliki kekuatan hukum tetap. Hak prerogatif adalah hak tertinggi yang tersedia dan desediakan oleh konstitusi bagi Presiden sebagai Kepala Negara Kata kunci: Presiden, Grasi A. PENDAHULUAN Cabang kekuasaan eksekutif adalah cabang kekuasaan yang memegang kewenangan administrasi negara yang tertinggi. Dalam hubungan ini, di dunia dikenal adanya tiga sistem Pemerintahan Negara, yaitu: (i) sistem Pemerintahan Presidential (presidential system), (ii) sistem Pemerintahan Parlementer (parliamentary 1 Artikel skripsi. 2 NIM: 090711350 system), dan (iii) sistem Campuran (mixed system atau hybrid system). 3 Sistem Pemerintahan Republik Indonesia menganut sistem Presidentil. Itu berarti Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat (Pasal 6A UUD 1945) dan tidak lagi oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). 4 Dalam sistem Pemerintahan Presidentil ini terdapat hak prerogatif Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Namun, karena kuatnya otoritas yang dimiliki Presiden, timbul persoalan sehinga kecenderungan terlalu kuatnya otoritas dan kekuasaan di tangan Presiden diusahakan untuk dibatasi. Pembatasan kekuasaan Presiden tersebut dilakukan dengan adanya Perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945, dimana salah satu perubahan itu terjadi pada kekuasaan Presiden di bidang yudisial, berkaitan dengan kewenangan Presiden dalam pemberian Grasi. Grasi sebenarnya bukanlah upaya hukum, namun merupakan hak Kepala Negara untuk memberikan pengampunan kepada warganya yang dijatuhi putusan oleh pengadilan. Pemberian Grasi oleh Presiden selaku Kepala Negara bukan sebagai Kepala Pemerintahan (Eksekutif) atau yudikatif, tetapi merupakan hak prerogatif Presiden untuk memberikan pengampunan. Menurut ketentuan Pasal 14 Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan, Presiden mempunyai kewenangan untuk memberikan Grasi, Amnesti, Abolisi, dan Rehabilitasi. Namun, setelah perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang pertama, ketentuan tersebut sedikit mengalami perubahan, yaitu dalam hal memberi Grasi dan Rehabilitasi, Presiden memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung, dan dalam hal memberi 3 Jimly Asshidiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia, PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2011, hlm 311 4 Mifta Thoha, Birokrasi Pemerintahan Indonesia di Erah Reformasi, Jakarta, 2008, hlm 4 48

Amnesti dan Abolisi, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Pertimbangan Rakyat. Dalam Praktiknya setiap permohonan Grasi harus disertai dengan pertimbangan Mahkamah Agung, karena Grasi mengenai atau menyangkut putusan hakim. Undangundang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi merupakan pengganti dari Undangundang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi yang dibentuk pada masa pemerintahan Republik Indonesia Serikat, sehingga saat ini tidak sesuai lagi dengan sistem ketatanegaraan Indonesia dan substansinya sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan tata hukum Indonesia. 5 Menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi: Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden. Didalam Penjelasan Undang-undang tersebut dikatakan, pemberian Grasi dapat merubah, meringankan, mengurangi atau menghapuskan kewajiban menjalani pidana yang dijatuhkan pengadilan. Hal ini tidak berarti menghilangkan kesalahan dan juga bukan merupakan rehabilitasi terhadap pidana. 6 Menurut Pasal 2 ayat (1) Undangundang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, Terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, terpidana dapat mengajukan permohonan Grasi kepada Presiden. Berbeda dengan ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi, menyebutkan: Atas hukuman-hukuman yang dijatuhkan oleh keputusan kehakiman, baik militer maupun sipil, yang 5 Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 22 tahun 2002 tentang Grasi. 6 Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 22 tahun 2002 tentang Grasi. tidak dapat diubah lagi,orang yang dihukum atau pihak lain dapat mengajukan permohonan Grasi kepada Presiden. Kedua Undang-undang diatas yang lebih mengutamakan putusan pengadilan yang telah memperoleh keputusan yang tetap, tidak demikian halnya yang di atur dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1948 tentang Permohonan Grasi. Dalam Peraturan Pemerintah ini mengatakan bahwa permohonan Grasi yang dapat diajukan kepada Presiden adalah atas hukuman yang dijatuhkan di semua lingkungan peradilan pada waktu itu ditetapkan oleh Menteri Kehakiman. Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan Grasi menurut Pasal 2 Ayat (2) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi adalah putusan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, dan pidana penjara paling rendah selama 2 (dua) tahun. Hal ini berbeda dengan yang dinyatakan dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi dan Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1948 tentang Permohonan Grasi, bahwa semua jenis pidana dapat dimohonkan Grasi. Menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi di dalam Pasal 2 Ayat (3) menyatakan bahwa permohonan Grasi hanya dapat diajukan 1 (satu) kali, kecuali dalam hal terpidana yang pernah ditolak permohonan Grasi sebelumya dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal penolakan permohonan Grasi tersebut. Sedangkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Grasi tidak mengatur pembatasan putusan pengadilan yang dapat diajukan Grasi. Dalam Undang-undang Kehakiman dengan jelas disebutkan proses pengajuan Grasi hanya dilakukan satu kali saja. Oleh karena Jangka waktu 2 (dua) tahun tersebut belum dipenuhi maka permohonan Grasi 49

untuk kedua kalinya tidak dapat diproses. 7 Dari beberapa pengaturan baru dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi ada dirasa lebih menjamin kepastian hukum bagi pemohon Grasi, ternyata ada satu hal yang pengaturannya tidak tegas, yaitu mengenai tidak ada pembatasan waktu bagi pemohon Grasi. Untuk putusan yang berupa pidana penjara seumur hidup, pidana penjara sementara waktu, dengan tidak adanya pembatasan waktu tersebut tidak akan berpengaruh pada pelaksanaan putusan, tetapi untuk terpidana mati eksekusinya harus menunggu putusan penolakan Grasi dari Presiden. Ketidakjelasan pengaturan tersebut dapat dimanfaatkan oleh terpidana mati untuk menunda eksekusi hukuman. 8 Di dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, juga tidak mengatur pengecualian pemberian Grasi diberikan kepada terpidana kasus korupsi. Menurut Kementrian Hukum dan HAM masalah pemberian Grasi kepada terpidana adalah kewenangan Presiden dengan pertimbangan dari Mahkamah Agung sebagaimana yang diatur dalam Undangundang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi. B. PERUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana mekanisme pemberian grasi dari Presiden berdasarkan Hukum Positif Indonesia? 2. Bagaimana pelaksanaan pemberian grasi di Indonesia? C. METODE PENELITIAN 7 http://www.mahkamahagung.go.id/rnews.asp?jid=8 &bid=514 di akses tanggal 1 Januari 2012 8 Grasi Samarkan Hukuman Mati Suara pembaharuan Dally, http://www.suarapembaharuan.com di akses tanggal 2 Januari 2013 Penulis dalam tulisan ini menggunakan metode penelitian normatif. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek, baik aspek teori, sejarah, filosofi, perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup dan materi, konsisten mengikat suatu Undang-undang serta bahasa hukum yang digunakan tetapi tidak mengkaji aspek terapan atau implementasinya. Penulisan hukum dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif digunakan dalam usaha menganalisis bahasa hukum yang mengacu kepada norma-norma hukum yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan maupun penelaan pustaka (literatur) yang ada kaitannya dengan objek penelitian. Data yang diperoleh bersifat kualitatif dalam bentuk deskriptif yuridis, yang saling melengkapi dan menggambarkan permasalahan yang diteliti. Diharapkan dari penelitian ini dapat menggambarkan persoalan hukum yang terjadi dalam praktek mekanisme pemberian grasi berdasarkan hukum positif Indonesia serta dengan bagaimana pelaksanaan pemberian grasi yang dilakukan oleh Presiden secara normatif. Mengingat penulisan skripsi ini menggunakan pendekatan normatif, maka titik berat penelitian bertujuan pada penelitian kepustakaan. Pada penelitian hukum normatif diteliti hanya bahan pustaka atau data sekunder, yang mencakup bahan hukum primer, sekunder dan tertier. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan yang mengikat yang terdiri dari Undang-Undang Dasar 1945, Undangundang tentang Grasi dan perundangundangan terkait lainnya. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti: hasil-hasil seminar, karya ilmia maupun hasil penelitian, jurnal yang ada kaitannya dengan permasalahan yang di bahas. Bahan hukum tertier, yakni bahan 50

yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang terdiri dari kamus hukum dan kamus umum bahasa indonesia, maupun buku-buku petunjuk lain yang ada kaitannya dengan permasalahan dalam penelitian ini. Penelitian kepustakaan bertujuan untuk mendapatkan bahan-bahan hukum melalui telaah pustaka (umumnya legal document) dari berbagai referensi yang ada. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis dengan menggunakan landasan teori. Baik data yang bersumber pada data primer maupun data sekunder dianalisis dengan menggunakan analisis yuridis normatif berupa kajian terhadap norma hukum, prinsip-prinsip hukum suatu peraturan perundang-undangan, sistematika hukumnya berupa hirarki peraturan perundangan dan sinkronisasi materinya, dan kajian perbandingan hukum terhadap pelaksanaan pemberian grasi di Indonesia. Data sekunder dianalisis dengan cara melakukan perbandingan dan korelasi terhadap bahan-bahan hukum dan membuat konstruksi hukum dari beberapa konsep hukum yang relevan dalam kajian ini. D. PEMBAHASAN 1. Mekanisme Pemberian Grasi di Indonesia Grasi pada dasarnya, pemberian dari Presiden dalam bentuk pengampunan yang berupa perubahan, peringatan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan putusan kepada terpidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden. Sesuai dengan ketentuan pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, Presiden memberikan grasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Pemberian grasi bukan merupakan persoalan teknis yuridis peradilan dan karenanya tidak terkait dengan penilaian terhadap putusan hakim. Pemberian grasi bukan merupakan bentuk campur tangan presiden dalam urusan yudikatif, melainkan hak presiden untuk memberikan pengampunan. Meski pemberian grasi tersebut dapat mengubah, meringankan, mengurangi, atau menghapus kewajiban menjalani pidana yang dijatukan pengadilan, tidak berarti menghilangkan kesalahan dan juga bukan merupakan rehabilitasi terhadap terpidana. 9 Kepala Negara atau Presiden dianggap berwewenang dalam hal memberikan grasi, abolisi dan amnesti untuk kepentingan memulihkan keadilan terhadap dampak penderitaan yang ditimbulkan oleh putusan pengadilan terhadap perilaku tindak pidana yang telah terbukti secara hukum dalam proses peradilan sebelumnya. Namun, dalam sistem presidensil tidak membedakan antara kedua jenis jabatan tersebut, kewenangan tersebut dianggap ada pada Presiden yang merupakan Kepala Negara dan sekaligus Kepala Pemerintahan. Hanya saja untuk membatasi penggunaan kewenangan ini, sebelum Presiden nenentukan akan memberikan grasi, amnesti dan abolisi itu, Presiden terlebih dahulu diharuskan mendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung dan Dewan Pertimbangan Rakyat. 10 1. Standar Baku Permohonan Grasi Grasi merupakan hak preogratif Presiden, yang diberikan oleh konstitusi (Undang-Undang Dasar Tahun 1945). Prerogatif diartikan sebagai hak atau kekuasaan eksekutif atau istimewa yang berada pada sebuah badan atau pejabat karena menduduki suatu kedudukan resmi. Prerogatif adalah hak istimewa yang dimiliki seorang Kepala Negara atau Presiden diluar 9 Jimly Asshidiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia, PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2011, hlm 348 10 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstutionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm 184 51

kekuasaan badan-badan perwakilan lain (seperti: Grasi, abolisi, amnesati, rehabilitasi, ataupun mengangkat dan memberhentikan menteri) 11. Hak prerogatif adalah hak Presiden sebagai Kepala Negara untuk mengeluarkan keputusan, atas nama Negara bersifat final, mengikat, dan memiliki kekuatan hukum tetap. Hak prerogatif adalah hak tertinggi yang tersedia dan desediakan oleh konstitusi bagi Presiden sebagai Kepala Negara. 12 Dengan demikian, dalam menghadapi permohonan grasi dari terpidana, Presiden sebagai Kepala Negara akan mengambil tindakan dan kebijaksanaannya sendiri secara alternatif, mengabulkan atau menolak permohonan grasi tersebut. Keputusan ini juga bersifat absolut, artinya, tindakan Presiden dalam kaitannya dengan pemberian atau penolakan grasi tidak dapat dikontrol oleh pengadilan. 2. Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Permohonan Grasi Mengajukan grasi diberitahukan kepada terpidana oleh Hakim Ketua Sidang yang memutus perkara pada tingkat pertama 13. Jika pada waktu putusan pengadilan yang dijatuhkan, terpidana tidak hadir, hak terpidana untuk mengajukan grasi di beritahukan secara tertulis oleh panitera dari pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama. Kewajiban panitera untuk memberitahukan secara tertulis hak terpidana untuk mengajukan grasi, berlaku pula dalam hal putusan dijatuhkan pada tingkat banding atau kasasi. Permohonan grasi dapat dijatuhkan sejak putusan pengadilan memperoleh 11 Telly Sumbu, Merry Kalalo, Engelin Palandeng, Jhony Lumolos, Kamus Umum Politik dan Hukum, Media Prima Aksara, Jakarta, 2011, hlm 648 12 Hendarmin Ranadireksa, Visi Bernegara Arsiktektur Konstitusi Demokratik, Fokus Media, Bandung, 2009, hlm 198 13 Pasal 5 s.d 13 UU Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi kekuatan hukum tetap. Dan pengajuan permohonan grasi tidak dibatasi oleh tenggang waktu tertentu. Tatacara Pengajuan Permohonan Grasi adalah sebagai berikut: 1. Permohonan grasi diajukan secara tertulis oleh terpidana, kuasa hukumnya atau keluarganya kepada presiden secara langsung. Salinan permohonan grasi disampaikan kepada pengadilan yang memutus pada tingkat pertama untuk di teruskan kepada Mahkamah Agung. 2. Apabila terpidana sedang menjalani pidana penjara maka permohonan grasi dan salinannya dapat disampaikan oleh terpidana melalui Lembaga pemasyarakatan, maka Kepala Lembaga Pemasyarakatan menyampaikan permohonan grasi tersebut kepada presiden dan salinannya dikirimkan kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama dalam jangka waktu paling lama 7 (Tujuh) hari terhitung sejak diterima permohonan grasi dan salinannya. 3. Pelaksanaan Pemberian Grasi Kedaulatan yang dianut dalam Undang- Undang Dasar Tahun 1945 adalah kedaulatan rakyat sekaligus kedaulatan hukum. Hal ini ditegaskan dalam pasal 1 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar. Dalam pasal 1 ayat 3 Undang-undang Dasar menjelaskan Indonesia sebagai Negara Hukum, segala tindakan penyelenggaraan Negara harus sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Hukum dalam hal ini adalah hierarki tatanan norma yang berpuncak pada konstitusi, yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Maka, pelaksanaan demokrasi juga harus berdasarkan pada aturan hukum 52

yang berpucuk pada Undang-Undang Dasar Tahun 1945. 14 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menentukan bahwa Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara adalah pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka, di samping Mahkamah Konstitusi. Dengan kata lain bahwa reformasi dalam bidang hukum (Amendemen Undang-Undang Dasar 1945) telah menempatkan Mahkamah Agung tidak lagi sebagai satu-satunya kekuasaan kehakiman, tetapi Mahkamah Agung hanya salah satu pelaku kekuasaan kehakiman. 15 Peraturan perundang-undangan memberikan sejumlah kewenangan kepada Mahkamah Agung untuk menjalankan tugas dan fungsinya adalah sebagai berikut. Pertama, wewenang untuk memeriksa dan memutus permohonan kasasi, sengketa kewenangan mengadili, dan permohonan peninjauan kembali putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Kedua, wewenang menguji peraturan perundangundangan di bawah Undang-undang. Ketiga, kewenangan lain yang diberikan oleh Undang-undang. Dalam kaitannya dengan Pelaksanaan Grasi di Indonesia, Mahkamah Agung diberikan mandat oleh Undang-undang untuk memberikan pertimbangan atas permohonan Grasi yang diajukan kepada Presiden untuk mendapatkan putusan dari Presiden. Wewenang Mahkamah Agung memiliki satu peranan penting dalam pengajuan Grasi sehingga dapat diperiksa dan diputuskan oleh Presiden, Mahkamah Agung dapat membatasi setiap pengajuan 14 Saldi Isra, demokrasi konstitusional (Praktek Ketatanegaraan Indonesia setelah perubahan UUD 1945), Konspress, Jakarta, 2012, hlm 7-8 15 Titik Triwulan Tutik, POKOK-POKOK HUKUM TATA NEGARA PASCA AMANDEMEN UUD 1945, Cerdas Pustaka, Jakarta, 2008, hlm 247 Grasi kepada Presiden oleh Pengadilan yang mengajukan. Wewenang Mahkamah Agung pada poin (L) itulah yang kini mendapat sorotan seiring kritik tajam sejumlah kalangan atas pemberian grasi kepada Schapelle Leigh Corby. Keputusan Presiden (Keppres) No. 22/G Tahun 2012 tertanggal 15 Mei Tahun 2012 memberikan grace kepada terpidana kasus narkotika asal Australia itu. Berkat grasi Presiden, hukuman Corby berkurang dari 20 Tahun menjadi 15 Tahun. Pengurangan hukuman juga diterima warga Jerman Peter A.F. Grobmann melalui Keputusan Presiden No. 23/G Tahun 2012. Keputusan Presiden itu akhirnya digugat Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Nasional Anti Narkotika (DPP Granat) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Berkas gugatan sudah dimasukkan kuasa hukum Granat pada 7 Juni lalu. Kebijakan pemberian grasi dinilai tidak sesuai dengan semangat pemberantasan narkotika. E. PENUTUP 1. Kesimpulan 1. Pada dasarnya Indonesia sebagai Negara Hukum yang ditegaskan dalam Undang- Undang Dasar 1945 pasal (1) ayat (3), memberikan perlindungan kepada masyarakatnya sendiri dalam hal perlindungan hukum. Pemberian grasi merupakan salah satu perlindungan hukum yang dibuat Pemerintah Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 untuk memberikan pertimbangan bagi terpidana yang layak untuk mendapatkan pembelaan hukum yang luar biasa. Grasi dalam Undangundang No. 22 Tahun 2002 menjelaskan mekanisme pemberian grasi bagi terpidana, ataupun mekanisme pelaksanaan pengajuan grasi hingga mendapatkan putusan oleh Presiden sebagai Kepala Negara adalah sebagai berikut: 53

a. Standar baku permohonan grasi, dan b. Tata cara pengajuan dan penyelesaian permohonan grasi. 2. Dalam pelaksanaannya grasi yang diajukan oleh pengadilan, di proses oleh Mahkamah Agung untuk dilakukan pemeriksaan serta pengujian terhadap permohonan grasi yang melalui pertimbangan bahwa pengajuan grasi tersebut telah sesuai dengan Undangundang dan bisa mendapat keputusan oleh Presiden selaku Kepala Negara dalam pelaksanaannya. Pelaksanaan grasi yang sesuai dengan Undangundang memberikan pertimbangan khusus oleh Presiden dalam memberikan keputusan yang juga memperhatikan pertimbangan kemanusiaan hingga pertimbangan yang dianggap sesuai berdasarkan Peraturan Perundangundangan seperti halnya, pemberian grasi kepada Schapelle Leigh Corby yang mendapatkan keputusan grasi oleh Presiden dengan melihat pertimbangan dari Mahkamah Agung dan disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan maka pemberian grasi terhadap Schapelle Leigh Corby dapat disahkan oleh Keputusan Presiden (Keppres) No. 22/G Tahun 2012 tertanggal 15 Mei Tahun 2012. Dalam hal pembatasan pengajuan grasi yang dapat diterima oleh Mahkamah Agung adalah mekanisme khusus dari Mahkamah Agung. Sangat jelas bahwa pelaksanaan Grasi adalah senantiasa melalui Pertimbangan Mahkamah Agung yang realistis dan dapat diterima oleh Presiden. Selama pertimbangan tidak dapat diterima oleh Presiden meskipun telah mengikuti mekanisme yang benar menurut Undang-undang, maka Grasi akan ditolak. 2. Saran Pemberian grasi menurut Undangundang N0. 22 Tahun 2002 harus mampu memberikan perlindungan yang jelas terhadap kasus yang digolongkan sebagai kasus yang layak mendapatkan grasi. Dalam pembatasan kasus yang dapat diterima oleh Presiden maka perlu dijelaskan terlebih dahulu proses dari pengajuan hingga pembatasan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung sehingga grasi yang diajukan dipandang telah sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan dan tidak cacat hukum atau dikira hanya demi kepentingan politik. Dengan kejalasan dari pengajuan grasi hingga keputusan grasi yang secara transparan dapat membuktikan bahwa satu putusan grasi adalah diputuskan berdasarkan hukum bukan hanya berdasarkan alasan kemanusiaan terlebih hanya kepentingan politik belaka. DAFTAR PUSTAKA Asshiddiqie Jimly, Konstitusi dan Konstutionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010 Asshidiqie Jimly, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia, PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2011 Faudy Munir, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Refika Aditama, Bandung, 2009 Huda Ni Matul, Hukum Tata Negara Indonesia Edisi Revisi, Rajawali Pers, Jakarta, 2012 Isra Saldi, demokrasi konstitusional (Praktek Ketatanegaraan Indonesia setelah perubahan UUD 1945), Konspress, Jakarta, 2012 Lumintang P. A. P, Hukum Penintentier Indonesia, CV. Armieo, Bandung, 1981 Thoha Mifta, Birokrasi Pemerintahan Indonesia di Erah Reformasi, Prenada Media Group, Jakarta, 2008 Ranadireksa Hendarmin, Visi Bernegara Arsiktektur Konstitusi Demokratik, Fokus Media, Bandung, 2009 Sumbu Telly, Kamus Umum Politik dan Hukum, Media Prima Aksara, Jakarta, 2011 54

Tutik Titik Triwulan, POKOK-POKOK HUKUM TATA NEGARA PASCA AMANDEMEN UUD 1945, Cerdas Pustaka, Jakarta, 2008 Tutik Titik Triwulan, PENGANTAR HUKUM TATA USAHA NEGARA INDONESIA, Prestasi Pustakaraya, Jakarta, 2010 Utrech, Ringkasan Sari Kuliah HUKUM PIDANA II, Refika Aditama, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1997 55