Laporan Hasil SSP 2003 Maluku. iii. iii

dokumen-dokumen yang mirip
Laporan Hasil SSP 2003 Jayapura (Papua) iii. iii

Laporan Hasil SSP 2002 Jawa Barat. iii. iii

Laporan Hasil SSP 2003 Sumatera Selatan. iii. iii

Laporan Hasil SSP 2002 Jawa Timur. iii. iii

Laporan Hasil SSP 2002 Sumatera Utara. iii. iii

Laporan Hasil SSP 2003 B a l i. iii. iii

Laporan Hasil SSP 2002 Merauke (Papua)

Laporan Hasil SSP 2002 DKI Jakarta. iii. iii

Laporan Hasil SSP 2003 Sulawesi Selatan. iii. iii

Laporan Hasil SSP 2002 Riau. iii. iii

Laporan Hasil SSP 2003 Nusa Tenggara Timur. iii. iii

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi

SURVEI SURVEILANS PERILAKU (SSP) 2004/2005

BAB I PENDAHULUAN. Angka HIV/AIDS dari tahun ke tahun semakin meningkat. Menurut laporan

SURVEI SURVEILANS PERILAKU (SSP) 2004/2005

BAB I PENDAHULUAN. akan mempunyai hampir tiga kali jumlah orang yang hidup dengan HIV dan AIDS

BAB I PENDAHULUAN. Bali, respon reaktif dan proaktif telah banyak bermunculan dari berbagai pihak, baik

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala yang timbul akibat

SURVEI TERPADU BIOLOGIS DAN PERILAKU

BAB I PENDAHULUAN. (2004), pelacuran bukan saja masalah kualitas moral, melainkan juga

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan di dunia, baik negara maju maupun negara berkembang. Upaya

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency

BAB I PENDAHULUAN. dan diduga akan berkepanjangan karena masih terdapat faktor-faktor yang

GLOBAL HEALTH SCIENCE, Volume 2 Issue 1, Maret 2017 ISSN

Dr Siti Nadia M Epid Kasubdit P2 AIDS dan PMS Kementerian Kesehatan RI. Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan

SKRIPSI. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun Oleh :

BAB I PENDAHULUAN. Millennium Development Goals (MDGs), sebuah deklarasi global yang telah

Situasi Perilaku Berisiko dan Prevalensi HIV di Tanah Papua 2006

BAB 1 PENDAHULUAN. menjalankan kebijakan dan program pembangunan kesehatan perlu

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Profil Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2013, salah satu penyakit

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang mengakibatkan

BAB I PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome atau yang lebih dikenal dengan

BAB I PENDAHULUAN. pada sejarah, United National HIV/AIDS (UNAIDS) & Word Health. diperkirakan sebanyak 1.6 juta orang diseluruh dunia.

SURVEI SURVEILANS PERILAKU (SSP) 2004/2005

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan insidens dan penyebaran infeksi menular seksual (IMS) di seluruh dunia,

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency

SURVEI SURVEILANS PERILAKU (SSP) 2004/2005

ESTIMASI ORANG DENGAN HIV/AIDS (ODHA) DI KABUPATEN/KOTA PROVINSI BALI TAHUN 2007

BAB 1 PENDAHULUAN. kekebalan tubuh manusia, sedangkan Acquired Immunodeficiency Syndrom. penularan terjadi melalui hubungan seksual (Noviana, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. dalam kurun waktu adalah memerangi HIV/AIDS, dengan target

Informasi Epidemiologi Upaya Penanggulangan HIV-AIDS Dalam Sistem Kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. diselesaikan. Pada akhir abad ke-20 dunia dihadapkan dengan permasalahan

Situasi HIV & AIDS di Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Pandemi Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), saat ini merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah keseluruhan infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) atau orang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. pencegahan IMS yang dilaksanakan di banyak negara, nampaknya belum

Kegiatan Penanggulangan HIV/AIDS Melalui Serosurvey Di Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan Tahun Sitti Fatimah 1, Hilmiyah 2

BAB 1 : PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di negara berkembang, dimana penyakit IMS membuat

Laporan Survei Surveilans Perilaku Berisiko Tertular HIV di Nanggroe Aceh Darussalam 2008

BAB 1 PENDAHULUAN. Di Indonesia pelaku transeksual atau disebut waria (Wanita-Pria) belum

BAB I PENDAHULUAN Pada Januari hingga September 2011 terdapat penambahan kasus sebanyak

BAB I PENDAHULUAN. Sebaliknya dengan yang negatif remaja dengan mudah terbawa ke hal yang

PERAN CERAMAH TERHADAP TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG AIDS PADA SISWA KELAS XI SMK NEGERI 4 SURAKARTA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

SURVEI SUVEILANS PERILAKU (SSP) 2007

SURVEILANS TERPADU HIV-PERILAKU 2006

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. sistem kekebalan tubuh yang terjadi karena seseorang terinfeksi

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di seluruh dunia, baik di negara maju (industri) maupun di

TINJAUAN PUSTAKA BAB II 2.1. HIV/AIDS Pengertian HIV/AIDS. Menurut Departemen Kesehatan (2014), HIV atau

BAB 1 PENDAHULUAN. pesan yang akan disampaikan (Azrul & Azwar, 1983). Sedangkan Glanz, dkk.,

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV), merupakan suatu virus yang

BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang

Pokok Bahasan Latar Belakang Tujuan Peta Distribusi WPS dan Lokasi SCP Metodologi Temuan: Simpulan Rekomendasi

Ancaman HIV/AIDS di Indonesia Semakin Nyata, Perlu Penanggulangan Lebih Nyata

SURVEILANS TERPADU HIV-PERILAKU 2006

BAB 1 PENDAHULUAN. penyakit HIV/ AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acguired Immun Deficiency

BAB I PENDAHULUAN. yang dahulu kala lebih menitik beratkan kepada upaya kuratif, sekarang sudah

BAB I PENDAHULUAN. macam pekerjaan rumah tangga. Sedangkan HIV (Human Immuno Virus)

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia dan masih sering timbul sebagai KLB yang menyebabkan kematian

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan HIV/AIDS di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan karena

BAB I PENDAHULUAN. yang mengakomodasi kesehatan seksual, setiap negara diharuskan untuk

BAB I PENDAHULUAN. kekebalan tubuh yang disebabkan oleh virus HIV (Human. Immunodeficiency Virus) (WHO, 2007) yang ditemukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodefficiency Virus (HIV) merupakan virus penyebab

BAB I PENDAHULUAN. commit to user. A. Latar Belakang

Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS Pada Penduduk Usia Muda. Dr. Nafsiah Mboi, Sp.A, MPH Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. STUDI ini secara garis besar memotret implementasi program LSM H2O (Human

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan

BAB 1 PENDAHULUAN. bisa sembuh, menimbulkan kecacatan dan juga bisa mengakibatkan kematian.

BAB I PENDAHULUAN sebanyak 1,1 juta orang (WHO, 2015). menurut golongan umur terbanyak adalah umur tahun dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. sosial yang utuh bukan hanya bebas penyakit atau kelemahan dalam segala aspek

BAB I PENDAHULUAN. melalui hubungan seksual. PMS diantaranya Gonorrhea, Syphilis, Kondiloma

SURVEI SURVEILANS PERILAKU (SSP) 2004/2005 [ Waria ]

KOMISI PENANGGULANGAN AIDS

BAB 1 PENDAHULUAN. Penduduk Indonesia tahun , BPS, BAPPENAS, UNFPA, 2005).

SURVEI SURVEILANS PERILAKU (SSP) 2009 pada Kelompok Remaja

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Angka morbiditas dan angka mortalitas yang disebabkan oleh infeksi Human

LEMBAR FAKTA HARI AIDS SEDUNIA 2014 KEMENTERIAN KESEHATAN 1 DESEMBER 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodefficiency Virus (HIV) adalah virus penyebab Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) yang

WALIKOTA DENPASAR PERATURAN WALIKOTA DENPASAR NOMOR 21 TAHUN 2011 T E N T A N G PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KOTA DENPASAR WALIKOTA DENPASAR,

Penjangkauan dalam penggulangan AIDS di kelompok Penasun

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Infeksi Menular Seksual (IMS) sampai saat ini masih merupakan masalah

BAB I PENDAHULUAN. tinggal dalam darah atau cairan tubuh, bisa merupakan virus, mikoplasma, bakteri,

Transkripsi:

Laporan Hasil SSP 2003 Maluku iii iii

Kata Pengantar Badan Pusat Statistik (BPS) dipercaya oleh Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PPM & PL) Departemen Kesehatan dan Proyek Aksi Stop AIDS (ASA) yang didukung oleh Family Health International dan the United State AID (FHI & USAID) untuk melaksanakan Behavioral Surveilans Survey (BSS) di Indonesia. BSS yang selanjutnya di Indonesiakan dengan nama Survei Surveilans Perilaku (SSP) dilaksanakan di 12 lokasi terpilih dan terletak di 10 propinsi yang menjadi target wilayah kerja ASA/FHI. SSP merupakan suatu kegiatan baru bagi BPS, untuk itu pelaksanaannya dilakukan dalam 2 tahap. Tahap pertama yang merupakan tahap pengembangan dan sekaligus pembelajaran dilaksanakan antara bulan Juni-Agustus 2002, mencakup 3 lokasi di 3 propinsi, yaitu Kota Medan/Kabupaten Deli Serdang (Sumatera Utara), Kabupaten Kepulauan Riau (Riau), dan Jakarta Utara/Jakarta Pusat (DKI Jakarta). Tahap kedua yang merupakan tahap implementasi mencakup 9 lokasi (di 7 propinsi), dilaksanakan dalam 2 periode pelaksanaan, yaitu pada bulan Oktober 2002 di Kabupaten Karawang/Kabupaten Bekasi/Kota Bekasi (Jawa Barat), Kota Surabaya (Jawa Timur), Kota Manado/Kota Bitung (Sulawesi Utara), Kabupaten Merauke (Papua), dan pada bulan Februari-April 2003 di Kota Palembang (Sumatera Selatan), Kota Semarang (Jawa Tengah), Kota Jayapura (Papua), Kota Sorong (Papua), dan Kota Ambon (Maluku). Secara teknis penyelenggaraan SSP dibantu oleh ASA/FHI, Direktorat Pemberantasan Penyakit Menular dan Lingkungan (Dit. P2ML) Ditjen PPM & PL, Departemen Kesehatan, dan Population Council. Tim teknis dari ASA/FHI, Dit. P2ML, dan BPS secara bersama-sama menyusun metodologi, manual, dan kuesioner, termasuk menjadi tim instruktur dan supervisi, sedangkan Population Council membantu antara lain dalam penyiapan materi/manual pelatihan untuk instruktur, memberikan pelatihan instruktur, dan sebagai narasumber ahli mulai dari penyusunan instrumen sampai dengan pelaksanaan lapangan SSP tahap pertama. Pelaksanaan SSP juga dibantu oleh Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) di tingkat pusat, dan Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) di tingkat propinsi dan kabupaten/kota, serta dari Dinas terkait di daerah, khususnya Dinas Kesehatan Propinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas Sosial, Dinas Pariwisata, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di tingkat kabupaten/kota. Pimpinan BPS menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada pimpinan ASA/FHI dan USAID Jakarta, pimpinan Ditjen PPM & PL, dan pimpinan Population Council yang telah mendukung terselenggaranya survei ini. Ucapan terima kasih kami sampaikan pula kepada tim teknis SSP, khususnya Elizabeth Pisani dan Pandu Riono dari ASA/FHI, Saiful Jazan, Naning Nugrahini, dan Indrawati dari Dit. P2ML, serta seluruh anggota tim teknis dari BPS. Semoga buku ini memberi kontribusi yang berarti bagi upaya penanggulangan penyebaran HIV/AIDS, khususnya di Indonesia. Jakarta, Juni 2003 Kepala Badan Pusat Statistik Dr. Soedarti Surbakti Laporan Hasil SSP 2003 Maluku i i

Kata Pengantar Pada saat ini, Indonesia tengah menghadapi berbagai masalah kesehatan masyarakat yang sangat memprihatinkan. Salah satu diantaranya adalah memburuknya situasi epidemik HIV/AIDS dimana Indonesia sudah digolongkan sebagai Negara dengan concentrated level epidemic. Artinya prevalensi HIV/AIDS sudah mencapai 5 % atau lebih pada tempat-tempat dan kelompok sub populasi tertentu. Banyak upaya-upaya yang telah dilakukan baik oleh pemerintah maupun swasta dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia namun upaya-upaya tersebut tampaknya kurang memadai dan menjangkau sasaran. Menyadari hal tersebut Departemen Kesehatan menyambut dengan gembira hasil Keputusan Lokakarya Surveilans Nasional HIV di Jakarta pada bulan April 2001, yang antara lain merekomendasikan perlunya pengembangan Survei Surveilans Perilaku pada kelompok-kelompok tertentu untuk keperluan perencanaan, deteksi dini dan untuk mendapatkan informasi untuk melaksanakan kegiatan upaya penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia. Pada tahap uji coba pengembangan alat untuk melakukan Survei Surveilans Perilaku ini, Departemen Kesehatan mengucapkan terima kasih atas dukungan teknis dari ASA/FHI Indonesia, IHPCP (AusAID), Prof. Budi Utomo dari Population Council dan Badan Pusat Statistik sebagai pelaksana survei. Kami menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada semua pihak baik secara perorangan maupun secara kelembagaan, yang telah berpartisipasi pada pelaksanaan Survei Surveilans Perilaku ini. Pada akhirnya saya berharap semoga laporan hasil Pelaksanaan Survei Surveilans Perilaku ini dapat bermanfaat dan ditindak lanjuti dengan Upaya Penanggulangan HIV/AIDS yang lebih nyata baik oleh pemerintah, swasta, dan masyarakat. Jakarta, Mei 2003 Direktur Jenderal PPM & PL, Depkes RI Dr. Umar Fahmi Achmadi ii ii Laporan Hasil SSP 2003 Maluku

Daftar Isi Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Gambar Tabel Indikator Kunci i iii v vii 1. Pendahuluan 1 Latar Belakang 1 Survei Surveilans Perilaku 1 Sasaran Survei 2 Metode Survei 3 Sketsa Lokasi 4 2. Karakteristik Sosial dan Demografi 5 Struktur Umur 5 Status Perkawinan 5 Tingkat Pendidikan 6 Daerah Asal 6 Mobilitas 7 Umur Pertama Kali Berhubungan Seks 7 Lama Bekerja 8 Tarif 8 Rata-rata Pendapatan 9 3. Pengetahuan tentang HIV/AIDS 11 Pernah Mendengar HIV/AIDS 11 Pengetahuan mengenai HIV/AIDS 11 Cara tepat untuk Mengetahui Seseorang Telah Tertular HIV/AIDS 12 Pemahaman tentang Cara Menghindari Tertular HIV/AIDS 12 Miskonsepsi tentang Cara Pencegahan IMS atau HIV/AIDS 14 Laporan Hasil SSP 2003 Maluku iii iii

4. Persepsi Berisiko 17 Merasa Berisiko 17 Persepsi Tidak Berisiko di antara Kelompok Berisiko 17 Hubungan antara Merasa Berisiko dengan Tingkat Pendidikan 18 5. Pola Perilaku Berisiko 21 Penggunaan Kondom 21 Antara Pengetahuan dan Perilaku 22 Seks Anal dan Narkoba 23 6. IMS dan Perilaku Pencarian Pengobatan 25 Infeksi Menular Seksual (IMS) 25 Jenis Keluhan IMS 26 Tempat Berobat 26 7. Kesimpulan dan Saran 29 Pengetahuan dan Persepsi Berisiko 29 Perilaku Berisiko dan Kondom 30 Kesehatan dan Pemeliharaan Kesehatan 30 Usulan Tindakan 30 iv iv Laporan Hasil SSP 2003 Maluku

Daftar Gambar Gambar Judul Gambar 2.1 Struktur umur responden 2.2 Tingkat pendidikan responden 2.3 Propinsi asal responden 2.4 Rata-rata umur pertama kali berhubungan seks 2.5 Rata-rata uang jasa seks komersial pada hubungan seks yang terakhir 3.1 Responden yang pernah mendengar HIV/AIDS 3.2 Tingkat pengetahuan tentang HIV/AIDS 3.3 Tingkat pengetahuan tentang cara yang tepat untuk mengetahui seseorang telah tertular HIV/AIDS 3.4 Cara yang diketahui agar tidak tertular HIV/AIDS 3.5 Pengetahuan yang salah tentang cara menghindari tertular HIV/AIDS 4.1 Responden yang merasa berisiko tertular HIV/AIDS 4.2 Responden yang tidak merasa berisiko tertular HIV/AIDS menurut alasannya 4.3 Responden yang merasa berisiko tertular HIV/AIDS menurut tingkat pendidikan 5.1 Tingkat penggunaan kondom pada seks komersial 5.2 Tahu bahwa kondom dapat mencegah penularan HIV/AIDS tetapi tidak menawarkan dan tidak memakainya dalam hubungan seks komersial terakhir 5.4 Alasan tidak menggunakan kondom pada seks komersial terakhir 5.5 Responden dan masing-masing pasangan seksnya yang pernah menggunakan narkoba suntik 6.1 Pemakaian kondom pada responden yang mengalami gejala IMS 6.2 Jenis keluhan IMS 6.3 Responden yang pernah mengalami gejala IMS menurut cara yang dilakukan saat mengalami gejala IMS tersebut 6.4 Responden yang mengalami gejala IMS menurut tempat berobat/fasilitas kesehatan Laporan Hasil SSP 2003 Maluku v v

vi vi Laporan Hasil SSP 2003 Maluku

Tabel Indikator Kunci Indikator WPS Langsung WPS Tidak Langsung 1. Persentase yang pernah mendengar HIV/AIDS 66,4 92,5 2. Persentase yang mengetahui cara pencegahan dengan menggunakan kondom saat berhubungan seks 3. Persentase yang pernah berhubungan seks dengan WPS dalam setahun terakhir 4. Persentase yang mempunyai lebih dari satu pasangan seks dalam setahun terakhir 5. Rata-rata jumlah tamu/pelanggan yang dilayani dalam seminggu terakhir 6. Persentase yang menggunakan kondom pada seks komersial terakhir 7. Persentase yang selalu menggunakan kondom pada seks komersial dalam setahun terakhir untuk responden pria dan seminggu terakhir untuk WPS 41,1 58,5 - - - - 8,7 0,9 40,0 22,3 16,2 3,6 8. Persentase yang pernah menggunakan narkoba suntik 0,0 0,5 9. Persentase yang mengalami gejala infeksi menular seksual (IMS) dalam setahun terakhir 10. Persentase yang berobat ke petugas kesehatan bagi yang mengalami gejala PMS dalam setahun terakhir 9,4 7,5 70,0 53,3 Laporan Hasil SSP 2003 Maluku vii vii

viii vii Laporan Hasil SSP 2003 Maluku

1 Pendahuluan Latar Belakang Epidemi HIV/AIDS telah melanda dunia, tidak terkecuali Indonesia. Penyakit ini menyebar dengan cepat tanpa mengenal batas negara dan pada semua lapisan penduduk. Badan Dunia (PBB) menyatakan bahwa pada tahun 1999 AIDS telah merupakan penyebab kematian nomor 4 di dunia setelah penyakit jantung, hipertensi/stroke, dan infeksi pernapasan. Melihat kecenderungannya, maka bukan tidak mungkin penyakit ini akan menjadi pembunuh nomor 1 di dunia. Secara nasional prevalensi HIV/AIDS di Indonesia mungkin masih tergolong rendah dibandingkan dengan banyak negara lainnya. Namun demikian, perkembangan kasus yang muncul dalam beberapa tahun terakhir sangat mengkhawatirkan, khususnya yang ditemukan pada penduduk berisiko tinggi seperti penjaja seks dan pelanggannya, pria yang berhubungan dengan pria, dan pengguna narkoba suntik. Kecepatan penyebaran virus HIV terutama dipengaruhi oleh perilaku berisiko tinggi, dan upaya pencegahannya terutama juga diarahkan pada perubahan perilaku, antara lain mencakup peningkatan penggunaan kondom dan pengurangan jumlah pasangan seksual, serta penurunan pemakaian bersama atau bergantian alat/jarum suntik pada pemakai narkoba. Meskipun prevalensi HIV/AIDS di Indonesia masih rendah, namun perkembangannya sudah mengkhawatirkan Survei Surveilans Perilaku Survei Surveilans Perilaku (SSP) adalah suatu proses sistematik dan kontinyu dalam pengumpulan, analisis, interpretasi, dan diseminasi informasi untuk memantau perilaku responden dalam masalah kesehatan, dalam hal ini perilaku berisiko terhadap tertular HIV/AIDS. SSP merupakan bagian dari survei generasi kedua. Surveilans HIV generasi kedua adalah surveilans yang memadukan surveilans perilaku ke dalam surveilans serologik untuk HIV. Dalam hal ini, surveilans perilaku memperkuat surveilans serologik. Informasi hasil surveilans serologik akan semakin bermanfaat dengan adanya surveilans perilaku. Manfaat tersebut antara lain, dalam menumbuhkan perhatian, respon masyarakat terhadap pencegahan, menentukan kelompok populasi sasaran, menentukan cara pencegahan, merencanakan upaya penanggulangan, dan memantau keberhasilan program. Sampai saat ini, kegiatan surveilans HIV dibatasi hanya untuk mengetahui keberadaan virus HIV dalam sampel darah responden, yang biasa disebut surveilans serologik. Namun, bila sistem surveilans HIV hanya mencatat peningkatan prevalensi HIV, maka peluang pencegahan yang efektif telah Surveilans generasi kedua yang memadukan surveilans perilaku ke dalam surveilans serologik akan memberikan informasi yang lebih komprehensif sebagai dasar bagi pengembangan kebijakan penanggulangan HIV/AIDS 1 Laporan Hasil SSP 2003 Maluku 1

hilang. Menerapkan surveilans perilaku di Indonesia merupakan upaya yang sangat bermanfaat untuk pencegahan epidemi HIV, karena epidemi HIV di Indonesia relatif masih belum berkembang. Prevalensi HIV masih rendah di banyak tempat, dan peluang untuk berkembangnya epidemi HIV masih dapat dicegah. Agar pencegahan lebih efektif maka sumber daya perlu dikonsentrasikan pada perubahan perilaku berisiko. Manfaat Surveilans perilaku sebagai sistem peringatan dini dapat memberikan informasi tentang perilaku berisiko, dan masyarakat yang berperilaku berisiko. Surveilans generasi kedua juga menekankan pada pemanfaatan hasil surveilans untuk menunjang upaya penanggulangan HIV/AIDS. Informasi SSP dapat membantu mengidentifikasi masyarakat yang mempunyai risiko terinfeksi HIV. Pemahaman ini diharapkan dapat membantu perencanaan intervensi penanggulangan, baik berupa upaya pencegahan, pengobatan maupun dukungan. Dalam perspektif yang lebih luas, surveilans HIV generasi kedua diharapkan menyediakan informasi yang dibutuhkan sebagai dasar pengembangan kebijakan penanggulangan HIV/AIDS lebih efektif. Sasaran Survei Untuk wanita, kelompok berperilaku berisiko tinggi adalah wanita yang paling sering berganti pasangan seks, seperti pekerja seks komersial yang melakukan transaksi secara terbuka di tempat lokalisasi/rumah bordil atau di jalanan (wanita pekeja seks langsung) dan wanita yang melayani seks pelanggannya untuk memperoleh tambahan pendapatan di tempat ia bekerja, seperti wanita yang bekerja di panti pijat/salon/spa, bar/karoke/ diskotek/café/restoran, dan hotel/motel/cottage (wanita penjaja seks tidak langsung). Pengalaman dari negara lain menunjukkan bahwa laki-laki yang bekerja dan harus meninggalkan rumah atau keluarga dalam jangka waktu cukup lama adalah laki-laki yang cenderung membeli jasa seks, dan atau mempunyai pasangan seks lain selain isteri/pasangan tetapnya. Survei Surveilans Perilaku (SSP) 2003 di Indonesia termasuk Kota Ambon yang dilaksanakan bulan Maret 2003, difokuskan pada pengukuran perilaku penduduk dengan risiko tinggi, yaitu wanita penjaja seks (dibedakan antara penjaja seks langsung dan tidak langsung). Definisi (batasan) mengenai penduduk dengan perilaku berisiko tinggi yang dicakup dalam SSP 2003 adalah sebagai berikut: Wanita Penjaja Seks (WPS) Langsung, adalah wanita yang beroperasi secara terbuka sebagai penjaja seks komersial. WPS Tidak Langsung, adalah wanita yang beroperasi secara terselubung sebagai penjaja seks komersial, yang biasanya bekerja pada bidang-bidang pekerjaan tertentu. 2 2 Laporan Hasil SSP 2003 Maluku

Metode Survei Besar sampel dirancang untuk memperoleh gambaran tentang karakteristik masyarakat yang berperilaku dengan risiko tinggi, dan diharapkan dapat mengukur perubahan perilaku tersebut pada survei berikutnya. Penghitungan dengan menggunakan metode cluster survey menunjukkan bahwa besarnya sampel sekitar 200-400 responden pada setiap sasaran masyarakat berperilaku berisiko tinggi sudah cukup untuk mewakili populasi (representative), termasuk untuk mengukur perubahan perilaku. Di dalam rancangan sampel ditentukan target sampel lokasi sebanyak 13 lokasi WPS langsung dengan responden sebanyak 250 orang dan 20 lokasi WPS tidak langsung dengan responden sebanyak 200 orang, namun dalam implementasinya di lapangan target sebesar itu tidak dapat dicapai, karena baik jumlah lokasi maupun responden yang tersedia tidak sesuai target. Realisasi sampel lokasi dan responden untuk setiap sasaran survei di Kota Ambon Propinsi Maluku dicantumkan dalam tabel berikut ini. Tabel Realisasi Sampel Survei Surveilans Perilaku 2002 di Kota Ambon Kota WPS Tidak Langsung Lokasi Responden Lokasi Responden Kota Ambon 26 107 24 200 Cakupan wilayah SSP di Propinsi Maluku adalah Kota Ambon, dengan sasaran survei adalah WPS langsung dan WPS tidak langsung. Lokasi tersebut ditentukan setelah mendapatkan masukan dari Dinas Kesehatan Propinsi Maluku, dengan pertimbangan bahwa daerah tersebut merupakan daerah konsentrasi kegiatan jasa pelayanan seks di Propinsi Maluku, sekaligus merupakan daerah sasaran dari Survei Serologik HIV yang dilaksanakan oleh Departemen Kesehatan (Depkes). Dengan dipilihnya Kota Ambon, maka di daerah tersebut diharapkan dapat dikembangkan Surveilans Generasi Kedua. Perkiraan populasi WPS langsung, dan WPS tidak langsung diperoleh dari listing secara independen ke setiap lokasi dengan menggunakan data dasar yang diperoleh dari lembaga pemerintah daerah setempat. Identifikasi lokasi baru beserta populasinya dilakukan dengan cara sistem putaran bola salju (snowballing system). Dalam proses listing dari suatu lokasi ke lokasi lain di lapangan, peta wilayah administratif digunakan untuk operasional lapangan dan dalam peta tersebut digambar letak setiap lokasi secara geografis. Hasil listing ini merupakan kerangka sampel untuk pemilihan lokasi dan penentuan target sampel dalam setiap lokasi. Pemilihan sampel secara acak (random sampling) digunakan untuk pemilihan sampel. Untuk WPS langsung, seluruh populasi yang diperoleh dari hasil listing menjadi responden SSP, karena jumlahnya lebih kecil dari target yang ditentukan. Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara tatap muka antara petugas SSP dengan responden. Bias terhadap hasil SSP telah diupayakan seminimal mungkin Metode acak dilakukan pada setiap pemilihan sampel 3 Laporan Hasil SSP 2003 Maluku 3

4 4 Laporan Hasil SSP 2003 Maluku

2 Karakteristik Sosial dan Demografi Struktur Umur Struktur umur WPS di Kota Ambon menunjukkan bahwa rata-rata umur WPS tidak langsung jauh lebih muda dibanding WPS langsung. Sebagian besar atau sekitar 76 persen WPS tidak langsung berada pada kelompok usia di bawah 30 tahun, sedangkan persentase WPS langsung pada kelompok umur tersebut hanya 33,6 persen. WPS langsung mempunyai rata-rata usia 30,7 tahun sedangkan WPS tidak langsung adalah 25,7 tahun atau di antara mereka terdapat perbedaan ratarata umur sekitar 5 tahun. WPS langsung berusia 5 tahun lebih tua dari WPS tidak langsung Gambar 2.1. Struktur Umur Responden WPS Tidak Langsung 12 32 33 16 8 4 7 22 41 25 0 20 40 60 80 100 Persen Kurang dari 20 tahun 20-24 tahun 25-29 tahun 30-34 tahun 35 tahun atau lebih Status Perkawinan Sebagian besar WPS langsung berstatus cerai (82,2 persen) dan hanya 4,7 persen berstatus belum kawin. Namun proporsi WPS tidak langsung yang berstatus belum menikah dan cerai hampir sama, masing-masing sebesar 44,7 persen dan 45,7 persen. Secara umum, WPS yang berstatus cerai lebih besar dari yang belum menikah masing-masing 58,6 persen dan 30,6 persen. Cukup banyak responden WPS yang berstatus belum menikah 5 Laporan Hasil SSP 2003 Maluku 5

Tingkat Pendidikan WPS langsung pada umumnya berpendidikan lebih rendah dari WPS tidak langsung WPS langsung sebagian besar berpendidikan rendah, responden yang tidak tamat SD 52,3 persen dan tamat SD 32,7 persen. Sebaliknya untuk WPS tidak langsung yang berpendidikan tinggi sangat dominan. WPS langsung yang menamatkan SLTP 37,0 persen dan SLTA atau lebih tinggi 38,0 persen. Secara umum WPS di Ambon untuk semua tingkat pendidikan persentasenya hampir sama. Gambar 2.2. Tingkat Pendidikan Responden WPS Tidak Langsung 7 18 37 38 52 33 12 3 0 20 40 60 80 100 Persen Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA atau lebih tinggi Daerah Asal Hampir semua (92,5 persen) WPS langsung berasal dari Jawa Timur, dan sisanya 4,7 persen berasal dari Jawa Tengah. WPS langsung yang berasal dari penduduk setempat hanya 0,9 persen saja. Berbeda dengan WPS langsung, WPS tidak langsung yang bukan berasal dari Provinsi Ambon, banyak berasal dari beberapa daerah, terutama Jawa Timur (27,0 persen), Sulawesi Utara (26,5 persen), dan Sulawesi Selatan (14,0 persen). 6 6 Laporan Hasil SSP 2003 Maluku

Gambar 2.3. Propinsi Asal Responden WPS Tidak Langsung 27 3 27 43 93 5 1 0 20 40 60 80 100 Persen Jatim Jateng Sulut Lainnya Mobilitas Mobilitas pekerja seks cukup tinggi, yaitu berpindah-pindah dari satu lokasi ke lokasi yang lain, bahkan dari satu kota ke kota lain. Sekitar 33,6 persen WPS langsung menyatakan pernah bekerja sebagai WPS di kota/daerah lain. WPS tidak langsung yang mengaku pernah bekerja sebagai WPS di kota/daerah lain hanya sebanyak 17,5 persen. Ini menunjukkan bahwa mobilitas WPS, khususnya WPS langsung di Ambon adalah cukup tinggi. Sekitar 33,6 persen WPS langsung pernah kerja di daerah lain Umur Pertama Kali Berhubungan Seks Rata-rata usia WPS langsung saat pertama kali berhubungan seks ternyata masih relatif muda yaitu 16,6 tahun dan WPS tidak langsung 18,1 tahun. Bila dikaitkan dengan rata-rata usia mereka sekarang untuk WPS langsung dan WPS tidak langsung masing-masing 30,7 tahun dan 25,8 tahun, maka dapat dikatakan bahwa WPS yang beroperasi di Ambon telah melakukan hubungan seks masing-masing selama 14 tahun untuk WPS langsung dan 7 tahun untuk WPS tidak langsung. Jika dilihat rata-rata umur pertama kali berhubungan seks pertama kali dengan umur saat ini, WPS langsung dua kali lebih lama dibandingkan dengan WPS tidak langsung. Usia pertama kali berhubungan seks antara WPS langsung dan WPS tidak langsung hampir sama 7 Laporan Hasil SSP 2003 Maluku 7

Gambar 2.4. Rata-rata Umur Pertama Kali Berhubungan Seks 20 16 17 18 Umur 12 8 4 0 WPS Tidak Langsung WPS langsung lebih lama bekerja dari pada WPS tidak langsung Lama Bekerja Untuk penjaja seks lama masa kerja sebagai penjaja seks penting diketahui. Semakin lama ia berprofesi sebagai penjaja seks semakin besar kemungkinan untuk melayani pelanggan yang telah terinfeksi HIV. Perbedaan lamanya menjual seks antara WPS langsung dan tidak langsung relatif kecil. Secara rata-rata WPS langsung menjual seks selama 45,8 bulan, sedangkan WPS tidak langsung selama 32 bulan. Faktor lain yang mempengaruhi risiko penularan HIV di kalangan WPS adalah jumlah pelanggan. Jumlah pelanggan yang dilayani dalam seminggu oleh WPS langsung adalah 9 orang dan WPS tidak langsung adalah 1 orang. Tarif Ada perbedaan tarif yang cukup tinggi antara WPS langsung dan WPS tidak langsung Hasil SSP menunjukkan bahwa rata-rata uang yang diterima oleh WPS tidak langsung jauh lebih tinggi dibandingkan yang diterima WPS langsung. Hal ini tercermin dari rata-rata besarnya uang yang diterima pada hubungan seks yang terakhir, yaitu sebesar Rp 62,3 ribu oleh WPS langsung dan Rp 467,5 ribu oleh WPS tidak langsung. Pelanggan WPS tidak langsung pada umumnya mereka yang mempunyai cukup uang, dapat diduga bahwa mereka rata-rata berpendidikan relatif tinggi dan mempunyai pengetahuan serta kesadaran untuk membeli seks dengan cara yang sehat. 8 8 Laporan Hasil SSP 2003 Maluku

Gambar 2.5. Rata-rata Uang Jasa Seks Komersial pada Hubungan Seks yang Terakhir WPS Tidak Langsung 467 62 0 100 200 300 400 500 Ribuan Rp Rata-rata Pendapatan Dengan menghubungkan rata-rata banyaknya pelanggan dan besarnya uang yang diterima maka dapat diperkirakan besarnya pendapatan rata-rata WPS langsung dan WPS tidak langsung. Rata-rata pendapatan WPS langsung dalam seminggu adalah sekitar Rp 542 ribu atau Rp 1,6 juta sebulan, sedangkan rata-rata pendapatan WPS tidak langsung adalah sekitar Rp 420,8 ribu seminggu atau Rp 1,3 juta sebulan. Besarnya pendapatan ini jauh lebih tinggi dari rata-rata upah minimum yang diterima buruh/karyawan yang bekerja di Ambon, yaitu sebesar Rp 850 ribu (BPS, 2003. Indikator Tingkat Hidup Pekerja 2000-2002). Tidak terdapat perbedaan yang berarti antara pendapatan WPS langsung dan WPS tidak langsung 9 Laporan Hasil SSP 2003 Maluku 9

10 10 Laporan Hasil SSP 2003 Maluku

3 Pengetahuan tentang HIV/AIDS Pernah Mendengar HIV/AIDS Tingkat pengetahuan tidak selalu berkorelasi dengan perilaku sehat, namun demikian mengetahui cara penularan HIV dan cara menghindarinya merupakan langkah pertama yang perlu diketahui setiap orang terutama orang-orang dengan perilaku berisiko tinggi. Pengetahuan merupakan salah satu faktor kuat yang menentukan perilaku seseorang, termasuk perilaku dalam melindungi diri sendiri dari ancaman HIV/AIDS. Hasil SSP di Kota Ambon menunjukkan bahwa 83,4 persen responden pernah mendengar tentang HIV/AIDS. Di antara kedua kelompok sasaran ini, yang paling tinggi persentasenya adalah WPS tidak langsung 92,5 persen. Gambar 3.1. Responden yang Pernah Mendengar HIV/AIDS WPS Tidak Langsung 93 66 0 20 40 60 80 100 Persen Pengetahuan mengenai HIV/AIDS Meskipun persentase yang menyatakan pernah mendengar tentang HIV/AIDS besar, namun sebagian tidak memiliki pengetahuan yang benar tentang penyakit tersebut. Pengetahuan paling rendah terdapat pada kelompok WPS langsung, yaitu kurang dari 45 persen yang dapat secara cermat memberikan informasi lebih detil tentang HIV/AIDS yaitu penyakit kelamin, atau penyakit yang tak bisa disembuhkan. Di kalangan WPS langsung ada sekitar 30 persen yang menyatakan tidak pernah mendengar HIV/AIDS. Pernah mendengar tidak berarti mengetahui apa itu HIV/AIDS 11 Laporan Hasil SSP 2003 Maluku 11

Gambar 3.2. Tingkat Pengetahuan tentang HIV/AIDS Persen 70 60 50 40 30 20 10 17 41 16 40 62 8 Mengatakan AIDS adalah penyakit kelamin Mengatakan AIDS penyakit yg tidak bisa disembuhkan Pernah mendengar tapi tdk mengetahui apa itu HIV/AIDS 0 WPS Tidak Langsung Cara Tepat untuk Mengetahui Seseorang Telah Tertular HIV/AIDS Cukup banyak responden yang tahu cara tepat untuk mengetahui seseorang telah tertular HIV/AIDS Tes darah adalah cara yang paling tepat untuk mengetahui apakah seseorang tertular HIV atau tidak. Dari penelusuran lebih jauh tentang pengetahuan kelompok sasaran, ternyata 37,5 persen responden mengetahui cara yang tepat untuk mengetahui apakah seseorang tertular HIV atau tidak. Bahkan di antara WPS tidak langsung sekitar 44 persen yang menjawab dengan benar ketika ditanyakan hal tersebut. Cukup banyak kelompok sasaran, terutama WPS langsung, yang menyatakan tidak tahu cara yang tepat untuk mengetahui apakah seseorang tertular HIV atau tidak. Sementara sisanya dengan persentase cukup besar memberi jawaban yang salah (Gambar 3.3). Pemahaman tentang Cara Menghindari Tertular HIV/AIDS Pemahaman responden tentang cara menghindari tertular HIV/AIDS masih terbatas Pengetahuan yang benar tentang HIV/AIDS dapat menuntun seseorang untuk melakukan tindak pencegahan yang benar agar ia tidak tertular virus mematikan tersebut. Namun dalam kenyatannya, perilaku seseorang tidak selalu sejalan dengan tingkat pengetahuannya. Untuk mengetahui perbedaan antara pengetahuan teoritis dan pengetahuan yang dicerminkan dalam perilaku maka dalam SSP dilakukan dua tahap pertanyaan, yaitu i) meminta responden untuk menjawab secara spontan cara melindungi diri dari HIV dan ii) menelusurinya lebih jauh melalui probing (dengan menyebutkan jenisjenis cara pencegahan HIV). Paling tidak ada empat cara untuk menghindar dari terjangkit HIV yaitu tidak melakukan hubungan seks sama sekali, menggunakan kondom saat 12 12 Laporan Hasil SSP 2003 Maluku

berhubungan seks, menghindari penggunaan jarum suntik bersama, dan hanya berhubungan seks dengan satu pasangan yang belum terinfeksi HIV, serta tidak punya pasangan lain. Keempat cara menghindar tersebut ditanyakan dengan 2 tahapan bertanya di atas. Dari keempat cara yang benar tersebut yang paling banyak diungkapkan secara spontan oleh kalangan WPS adalah menggunakan kondom ketika berhubungan seks. Jawaban ini terutama diungkapkan oleh WPS langsung (34,6 persen) dan WPS tidak langsung (47,5 persen). Gambar 3.3. Tingkat Pengetahuan tentang Cara yang Tepat untuk Mengetahui Seseorang Telah Tertular HIV/AIDS WPS Tidak Langsung 44 38 21 51 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 Persen Tes darah Tidak tahu Ketika ditanyakan tentang cara mencegah tertular HIV, secara umum seseorang akan cenderung mengatakan cara melindungi yang paling relevan dengan kebiasaannya. Ini bukan berarti bahwa ia tidak mengerti cara atau metoda lain, tetapi mungkin tidak mempertimbangkan bahwa metoda lain tersebut cocok untuknya. Penelusuran (probing) ini telah menjadikan persentase yang menjawab benar meningkat secara berarti. Peningkatan persentase terutama terjadi untuk kategori jawaban berhubungan seks hanya dengan satu pasangan, yang naik dari 12 persen dari jawaban spontan menjadi 53 persen ketika dilakukan probing pada WPS tidak langsung. Ini merupakan hal yang menarik, karena angka tersebut menunjukkan bahwa meskipun kaum perempuan tersebut secara teoritis mempunyai pengetahuan, namun kenyataannya hanya sebagian di antara mereka yang mempertimbangkannya sebagai cara perlindungan yang aman bagi mereka. Ini bukanlah sesuatu yang mengejutkan karena WPS memberikan pelayanan seks. Pengetahuan tersebut menjadi tidak relevan bagi pekerja seks. Dari ketiga kategori kelompok berisiko terlihat bahwa secara umum pengetahuan WPS tidak langsung lebih baik dari WPS langsung. 13 Laporan Hasil SSP 2003 Maluku 13

Gambar 3.4. Cara yang Diketahui agar Tidak Tertular HIV/AIDS 100 Tidak melakukan hubungan seks Menggunakan kondom saat berhubungan seks Menghindari penggunaan jarum suntik bersama Berhubungan seks hanya dengan satu pasangan 80 60 40 20 0 31 11 44 22 41 35 58 48 17 6 44 33 53 10 12 8 WPS-L WPS-TL WPS-L WPS-TL WPS-L WPS-TL WPS-L Persen WPS-TL Setelah diprobing Jaw aban Spontan Masih ada yang menganggap seorang yang tertular HIV bisa diketahui dengan melihat saja Meski cukup banyak kelompok berisiko yang tahu tentang HIV/AIDS, namun ternyata tidak sedikit yang berpemahaman rendah tentang penyakit tersebut. Ini terlihat dari masih adanya kelompok sasaran yang menganggap seorang yang tertular HIV bisa diketahui dengan melihat saja. Pemahaman yang salah ini terungkap dari jawaban WPS langsung (8 persen), dan WPS tidak langsung (3,2 persen). Pemahaman yang rendah juga tercermin dari banyaknya responden yang memberi jawaban tidak tahu, yaitu mencapai 52,3 persen, dengan rincian pada WPS langsung dan tidak langsung masing-masing 66,7 persen dan 46,6 persen. Pemahaman salah atau miskonsepsi ini juga terlihat dari besarnya proporsi jawaban kelompok berisiko terhadap cara pencegahan yang salah seperti minum obat sebelum berhubungan seks, menghindari gigitan nyamuk atau serangga lain, tidak menggunakan secara bersama alat makan, dan makan makanan yang bergizi. Miskonsepsi tentang Cara Pencegahan IMS atau HIV/AIDS Miskonsepsi terhadap beberapa cara pencegahan IMS atau HIV/AIDS sangatlah berbahaya Minum obat sebelum berhubungan seks merupakan cara yang diyakini dapat mencegah penyakit menular seksual (IMS) oleh 34,6 persen WPS langsung dan 35,5 persen WPS tidak langsung. Keyakinan ini merupakan sesuatu yang sangat berbahaya. Antibiotik dan obat-obatan lainnya tidak dapat melindungi diri kita dari HIV. Meminum obat secara rutin dapat 14 14 Laporan Hasil SSP 2003 Maluku

dengan mudah membuat obat tersebut menjadi kurang efektif ketika dibutuhkan, misalnya, untuk menyembuhkan infeksi penyakit menular seksual seperti gonorrhea (GO). Lebih berbahaya lagi, jika orang berfikir bahwa mereka sudah terlindungi dari HIV atau IMS karena sudah minum antibiotik, diinjeksi, minum jamu, atau menggunakan preparat lainnya, karena mungkin kurang suka menggunakan kondom. Namun pada akhirnya, kondomlah satu satunya alat perlindungan yang paling ampuh bagi orang-orang yang berhubungan seks dengan orang lain selain pasangan kawinnya. Angka-angka persentase pada Gambar 3.5 mencerminkan apa-apa yang dipercaya orang tentang cara pencegahan HIV. Gambar 3.5. Pengetahuan yang Salah tentang Cara Menghindari Tertular HIV/AIDS Makan makanan yang bergizi 20 35 Tidak menggunakan secara bersama alat makan 12 15 WPS Tidak Langsung Menghindari gigitan nyamuk atau serangga lain 6 11 Minum obat sebelum berhubungan seks 36 35 0 20 40 60 80 100 Persen Dari SSP juga diperoleh informasi mengenai apa yang dilakukan oleh kelompok berisiko untuk menghindari terjangkitnya IMS atau HIV. Salah satunya adalah pemberian suntikan untuk pencegahan IMS dan HIV (54,2 persen WPS langsung dan 22,0 persen WPS tidak langsung). Depkes sudah lama tidak melaksanakan program penyuntikan secara massal. Bila petugas kesehatan masih memberikan suntikan, itu adalah diluar program Depkes. Bila penyuntikan-penyuntikan tersebut dilaksanakan di luar kontrol tenaga kesehatan, maka bahaya lain dapat muncul, yaitu apabila satu jarum suntik digunakan tidak hanya untuk satu orang (satu kali) tetapi untuk banyak orang atau berkali-kali tanpa proses pembersihan yang benar. Ini adalah media yang efektif untuk penyebaran penyakit lainnya seperti Hepatitis. Meskipun program penyuntikan massal sudah dihentikan oleh Depkes, persentase WPS yang memperoleh suntikan pencegahan IMS dan HIV masih sangat tinggi 15 Laporan Hasil SSP 2003 Maluku 15

16 16 Laporan Hasil SSP 2003 Maluku

4 Persepsi Berisiko Merasa Berisiko Informasi mengenai sejauh mana kelompok sasaran merasa berisiko terhadap IMS atau HIV/AIDS merupakan informasi yang penting untuk keperluan perencanaan program intervensi. Meskipun berada dalam lingkungan berisiko tinggi ternyata tidak semua kelompok sasaran merasa bahwa dirinya berisiko. Pemahaman tentang risiko pada kelompok WPS relatif lebih rendah, terutama WPS langsung di mana sebanyak 78,6 persen yang menjawab tidak berisiko dan tidak tahu tertular HIV/AIDS, sedangkan di antara WPS tidak langsung sekitar 78,3 persen yang merasa tidak berisiko dan tidak tahu. Lebih dari tiga perempat WPS merasa tidak berisiko dan tidak tahu dirinya berisiko Gambar 4.1. Responden yang Merasa Berisiko Tertular HIV/AIDS WPS Tidak Langsung 22 57 22 21 52 27 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Persen Merasa berisiko Tidak merasa berisiko Tidak tahu Persepsi Tidak Berisiko di antara Kelompok Berisiko Mereka yang merasa tidak berisiko tertular memiliki beberapa alasan yang bervariasi antar kelompok sasaran. Sekitar 25,6 persen WPS langsung dan 9,3 persen WPS tidak langsung yang merasa tidak berisiko memberikan alasan bahwa mereka selalu menggunakan kondom (pemahaman yang benar), namun 15,4 persen di antara WPS langsung dan 8,4 persen di antara WPS tidak langsung berkeyakinan bahwa berobat lebih dahulu membuat ia merasa tidak berisiko (pemahaman yang salah). Lebih dari 50 persen WPS baik langsung maupun tidak langsung merasa tidak berisiko karena merasa pasangannya bersih. Kelompok yang merasa tidak berisiko sangat penting untuk diperhatikan dalam program intervensi, khususnya di kelompok WPS tidak langsung. Sebagian besar WPS yang tidak merasa berisiko beralasan karena yakin pasangannya bersih 17 Laporan Hasil SSP 2003 Maluku 17

Gambar 4.2. Responden yang Tidak Merasa Berisiko Tertular HIV/AIDS menurut Alasannya 100 Persen 80 60 40 20 26 9 56 54 WPS Tidak Langsung 15 8 0 Karena selalu menggunakan kondom Karena yakin pasangannya bersih Karena berobat terlebih dahulu Hubungan antara Merasa Berisiko dengan Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan tidak mempengaruhi WPS dalam merasa berisiko tertular HIV/AIDS Kesadaran berisiko tertular IMS termasuk HIV/AIDS diduga berkorelasi dengan tingkat pendidikan. Asumsinya adalah semakin tinggi pendidikan, semakin mengerti seseorang bahwa ia melakukan pekerjaan yang berisiko. Hasil SSP di Ambon kurang menggambarkan dugaan tersebut, khususnya pada WPS tidak langsung, bahkan pada kelompok WPS langsung polanya terbalik. Di antara WPS tidak langsung yang tidak tamat SD hanya 20 persen yang menyatakan berisiko tertular HIV, sementara sebanyak 60 persen lainnya menyatakan tidak berisiko, dan 20 persen tidak tahu. Pola yang sama terlihat pula pada tingkat pendidikan tamat SD, SLTP dan SLTA. Pada kelompok WPS tidak langsung untuk semua tingkat merasa tidak berisiko berkisar dari 53,5 persen sampai dengan 66,7 persen, dan dengan asumsi bahwa mereka yang tidak tamat SD sebagiannya juga buta huruf, maka perlu dicari metode intervensi yang lebih tepat bagi mereka. Hal ini terjadi juga pada mereka yang pernah melakukan hubungan seks secara komersial tanpa kondom dan merasa dirinya berisiko tertular HIV/AIDS. 18 18 Laporan Hasil SSP 2003 Maluku

Gambar 4.3. Responden yang Merasa Berisiko Tertular HIV/AIDS menurut Tingkat Pendidikan 100 80 Persen 60 40 20 24 21 17 20 20 18 26 0 0 WPS Tidak Langsung Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA atau lebih tinggi Menarik untuk disampaikan bahwa di kalangan WPS langsung persentase yang merasa berisiko terhadap tingkat pendidikan yang ditamatkan polanya berbeda, karena kesadaran merasa berisiko pada kelompok yang belum tamat SD lebih tinggi dari kelompok manapun yaitu 24,2 persen menyatakan berisiko tertular HIV, dan 48,5 persen menyatakan tidak berisiko, sementara ada 27,3 persen yang menyatakan tidak tahu. Perlu dikaji lebih jauh mengapa terdapat perbedaan yang besar antara WPS langsung dan WPS tidak langsung dalam hal pemahaman mengenai risiko tertular HIV. Meskipun berpendidikan tinggi (SLTA ke atas), kesadaran mengenai risiko tertular HIV jauh lebih tinggi di kalangan WPS langsung walaupun tingkat pendidikannya lebih rendah. 19 Laporan Hasil SSP 2003 Maluku 19

20 20 Laporan Hasil SSP 2003 Maluku

5 Pola Perilaku Berisiko Penggunaan Kondom Responden yang menggunakan kondom dalam seks komersial terakhir masih sangat rendah, yaitu 40 persen pada WPS langsung, dan 22 persen pada WPS tidak langsung. Fenomena lain yang tercermin dalam pola penggunaan kondom adalah bahwa hanya sebagian saja kelompok berisiko yang secara konsisten (selalu) menggunakan kondom setiap kali berhubungan seks. Pada WPS langsung yang tingkat penggunaan kondomnya lebih tinggi dibandingkan WPS tidak langsung, sebanyak 16,2 persen menyatakan menggunakan kondom pada seks komersial terakhir, sementara hanya 3,6 persen pada WPS tidak langsung yang selalu menggunakannya selama seminggu terakhir. lebih banyak pakai kondom dibandingkan dengan WPS tidak langsung Gambar 5.1. Tingkat Penggunaan Kondom pada Seks Komersial 100 80 Persen 60 40 20 40 16 22 4 0 WPS Tidak Langsung Pakai kondom dalam seks komersial terakhir Selalu pakai kondom dalam seks komersial selama seminggu terakhir Rendahnya penggunaan kondom pada kelompok WPS tidak langsung tampaknya karena sulit memperoleh kondom di lokasi. Responden WPS tidak langsung yang menjawab dengan mudah memperoleh kondom di lokasi hanya 8,0 persen saja. Sebaliknya kelompok WPS langsung sangat mudah memperoleh kondom di lokasi (99,1 persen.) Pada kelompok WPS langsung kecenderungan untuk selalu menawarkan penggunaan kondom kepada pelanggan lebih dari 25,6 persen, dan kadang-kadang menawarkan kondom mencapai 27,9 persen, sedangkan sekitar 16,3 persen tidak pernah menawarkan. Sebagian besar responden WPS tidak langsung tidak menawarkan kondom kepada pelanggannya 21 Laporan Hasil SSP 2003 Maluku 21

Pada kelompok WPS tidak langsung kecenderungan untuk tidak menawarkan kondom kepada pelanggan sangat tinggi yaitu 58,7 persen, sementara itu yang selalu menawarkan kondom sangat rendah, hanya mencapai 4,8 persen saja. Gambar 5.2. Tahu bahwa Kondom Dapat Mencegah Penularan HIV/AIDS tetapi Tidak Menawarkan dan Tidak Memakainya dalam Hubungan Seks Komersial Terakhir 80 70 70 persen 60 50 40 53 59 Tahu pencegahan HIV pakai kondom tetapi tidak menaw arkan kepada pelanggan pada hubungan seks komersial terakhir 30 20 10 16 Tahu pencegahan HIV pakai kondom tetapi tidak memakainya pada hubungan seks komersial terakhir 0 WPS Tidak Langsung Antara Pengetahuan dan Perilaku Sebagian besar responden tidak sesuai antara perilaku dengan pengetahuannya Data menunjukkan bahwa WPS tidak langsung, yang umumnya lebih muda, lebih berpendidikan, dan mempunyai pelanggan lebih beruang daripada WPS langsung yang relatif kurang berpendidikan, ternyata mempunyai kepedulian yang lebih rendah terhadap HIV dan risiko hubungan seks tanpa pelindung daripada WPS langsung. Ini ditunjukkan oleh lebih besarnya persentase WPS langsung yang selalu pakai kondom setiap berhubungan seks. Namun bagi kedua kelompok tersebut, kesenjangan antara pengetahuan dan kesediaan kondom di satu sisi dan perilaku atau prakteknya di sisi lain sangatlah lebar. Rendahnya WPS tidak langsung yang menawarkan kondom kepada pelanggannya di satu sisi dan rendahnya persentase penggunaan kondom di kalangan WPS tidak langsung sekaligus mengindikasikan rendahnya kesadaran pelanggan dan kemauan menawarkan pemakaian kondom dari kedua kelompok sasaran ini. Perbedaan antara pengetahuan dan perilaku (praktek) yang dapat dikaji adalah dalam penggunaan kondom. Responden yang tidak menggunakan 22 22 Laporan Hasil SSP 2003 Maluku

kondom dalam seks komersial terakhir ditanyakan apa alasannya, dan baik responden WPS langsung maupun WPS tidak langsung menunjukkan jawaban yang konsisten, yaitu sebagian besar karena pelanggannya tidak menghendaki atau karena tidak ada/tidak tersedia atau merasa pelanggannya bersih (Gambar 5.3). Tingginya persentase hubungan seks komersial tanpa kondom karena tidak ada/tidak tersedia kondom di lokasi memberikan indikasi bahwa penyuluhan (promosi) penggunaan kondom tidak cukup hanya berfokus pada kegunaannya saja, akan tetapi diperlukan pula tindakan untuk kemudahan memperoleh kondom di lokasi perlu dipikirkan kembali. Penyuluhan pada WPS memang telah meningkatkan pengetahuannya mengenai bahaya HIV, dan mungkin telah meningkatkan kesadarannya untuk berperilaku seks sehat, tetapi pada akhirnya keputusan untuk menggunakan kondom atau tidak pada umumnya ada pada pelanggan dan ketersediaan/kemudahan memperoleh kondom di lokasi. Gambar 5.3. Alasan Tidak Menggunakan Kondom pada Seks Komersial Terakhir 100 80 WPS Tidak Langsung Persen 60 40 20 0 32 41 Tidak ada/tidak tersedia 26 21 Pelanggan tidak mau/terasa kurang enak 2 1 3 1 Terasa kurang enak Akan lebih mesra 15 22 Merasa bersih 6 5 Lainnya Seks Anal dan Narkoba Seks komersial antara WPS dan pelanggannya tentunya bukan satusatunya perilaku yang berisiko terhadap penularan HIV. Seks anal juga mempunyai risiko tinggi untuk tertular HIV termasuk penularan melalui penggunaan bersama jarum suntik, pada pecandu narkoba. Data mengenai prevalensi HIV di kalangan waria di Ambon tidak tersedia, tetapi hasil studi terakhir di Jakarta menunjukkan bahwa sekitar 1 di antara 5 waria terinfeksi HIV. Hal ini memberi indikasi pentingnya penyuluhan penggunaan kondom dalam berhubungan seks dengan segala jenis kategori responden, termasuk waria. Prevalensi yang tertular HIV lebih tinggi di antara pengguna narkoba suntik 23 Laporan Hasil SSP 2003 Maluku 23

Penggunaan narkoba suntik (injecting drug users/idu) merupakan orangorang yang paling rentan terinfeksi HIV. Hasil studi terakhir di Jakarta menunjukkan bahwa sekitar setengah dari pengguna narkoba suntik telah terinfeksi virus penyebab AIDS. Gambar 5.4. Responden dan masing-masing Pasangan Seksnya yang Pernah Menggunakan Narkoba Suntik 4 3 3.0 Persen 2 1 0 0.0 0.9 0.5 WPS Tidak Langsung Pernah menggunakan narkoba suntik Pasangan seks pernah menggunakan narkoba suntik Hasil SSP untuk Ambon menunjukkan bahwa sangat sedikit responden yang mengatakan pernah menggunakan narkoba suntik. Seperti ditunjukkan pada Gambar 5.4, sebagian responden dari setiap kelompok sasaran juga mengatakan bahwa pasangan seks mereka pernah menggunakan narkoba suntik, meskipun persentasenya relatif kecil. Penggunaan narkoba suntik dan seks komersial merupakan cara penularan utama HIV di Indonesia. 24 24 Laporan Hasil SSP 2003 Maluku

6 IMS dan Perilaku Pencarian Pengobatan Infeksi Menular Seksual (IMS) Dari kedua kelompok berisiko, cukup rendah dari kalangan WPS langsung (9,3 persen) yang pernah mengalami gejala infeksi menular seksual (IMS) dalam setahun terakhir, sedangkan dari kalangan WPS tidak langsung sebanyak 7,5 persen yang terkena gejala tersebut. Realitanya barangkali jauh lebih besar karena pada perempuan tidak menunjukkan simptom atau gejala tertentu, sehingga mereka tidak menyadarinya, sementara sebagian lainnya mungkin tidak melaporkannya karena berbagai alasan. Penyakit tersebut mereka terima terutama akibat perilaku yang tidak sehat (tidak menggunakan kondom) dalam melakukan hubungan seks. Ini terbukti dari besarnya proporsi mereka yang terkena IMS karena tidak menggunakan kondom ketika berhubungan seks komersial. Dari WPS langsung yang mengalami gejala IMS, 50 persen diantaranya tidak pakai kondom dalam seks komersial terakhir, sementara itu di kalangan WPS tidak langsung hampir semuanya (90 persen). Setelah ditelaah lebih jauh ternyata kecil sekali persentase WPS yang selalu pakai kondom. Gambar 6.1. Pemakaian Kondom pada Responden yang Mengalami Gejala IMS 100 90 80 Persen 60 40 50 Dari yang mengalami gejala IMS, persentase yang tidak pakai kondom dalam seks komersial terakhir Dari yang mengalami gejala IMS, persentase yang selalu pakai kondom dalam seks komersial seminggu terakhir 20 10 0 0 WPS Tidak Langsung 25 Laporan Hasil SSP 2003 Maluku 25

Jenis Keluhan IMS Keputihan merupakan jenis IMS yang paling banyak diderita kalangan WPS Secara umum, keputihan disertai bau tak sedap merupakan jenis IMS yang diderita oleh hampir semua kalangan WPS. Selain keputihan, banyak juga di antara mereka yang menderita benjolan di sekitar kelamin dan luka/koreng di daerah alat kelamin. Ini perlu mendapat perhatian yang serius, mengingat luka pada alat kelamin baik bagi perempuan maupun lelaki, akan membuka pintu bagi masuknya virus HIV dari seseorang ke pasangan seksnya, ketika berhubungan seks. Gambar 6.2. Jenis Keluhan IMS 100 80 70 80 Luka/koreng di daerah alat kelamin Persen 60 40 Benjolan di sekitar alat kelamin 20 20 20 20 13 Keputihan 0 WPS Tidak Langsung Tempat Berobat Petugas kesehatan merupakan pilihan utama pengobatan keluhan IMS yang dialami Sekitar 30 persen WPS langsung mencoba mengobati sendiri ketika mereka merasakan IMS, dan sekitar 40 persen WPS tidak langsung yang terkena gejala juga mengobati sendiri. Jelas bahwa pengobatan sendiri tidak efisien. Ada sekitar 80 persen WPS langsung yang mencoba mengobati dirinya sendiri akhirnya berobat ke fasilitas kesehatan dan sekitar 67 persen WPS tidak langsung melakukan hal yang sama. Hasil SSP di Ambon menunjukkan bahwa petugas kesehatan masih merupakan tempat mencari pengobatan IMS yang dialami oleh kelompok sasaran. 26 26 Laporan Hasil SSP 2003 Maluku

Gambar 6.3. Responden yang Pernah Mengalami Gejala IMS dan Cara menurut yang Dilakukan Saat Mengalami Gejala IMS tersebut WPS Tidak Langsung 53 7 20 20 70 0 20 10 0 20 40 60 80 100 Persen Berobat ke petugas kesehatan Melakukan pengobatan sendiri dg antibiotik Tidak melakukan sesuatu/tidak diobati Melakukan pengobatan sendiri dg jamu/obat lain Preferensi permintaan tolong pada petugas kesehatan untuk mengobati gejala IMS yang dialami ternyata berbeda antar kelompok sasaran. Responden WPS tidak langsung mempunyai pilihan tempat berobat yang dominan, yaitu pada dokter praktek (75 persen), sementara untuk WPS tidak langsung lebih dominan pergi ke petugas kesehatan mantri/bidan (71,4 persen). Jelas terlihat alasan pilihan ini mempunyai korelasi yang kuat terhadap rata-rata pendapatannya dan juga bisa karena akses yang mudah atau karena sudah berlangganan. Dokter praktek merupakan tempat berobat yang paling banyak dikunjungi WPS tidak langsung, sedangkan Mantri kesehatan/bidan merupakan pilihan terbanyak WPS langsung Gambar 6.4. Responden yang Mengalami Gejala IMS menurut Tempat Berobat/Fasilitas Kesehatan WPS Tidak Langsung 13 75 0 12 29 0 71 0 0 20 40 60 80 100 persen Rumah Sakit Dokter Praktek Mantri Kesehatan/Bidan Lainnya 27 Laporan Hasil SSP 2003 Maluku 27

28 28 Laporan Hasil SSP 2003 Maluku

7 Kesimpulan dan Saran Epidemi HIV telah berlangsung lebih dari 20 tahun. Dalam masa itu, kita telah belajar banyak tentang bagaimana dan apa yang perlu dilakukan untuk mencegah penyebarluasan HIV dan mengurangi dampaknya. Berbagai upaya ini biasanya dimulai dengan memberikan informasi dan melakukan kampanye kepedulian pada kelompok masyarakat yang berisiko tinggi terinfeksi HIV. Di Ambon, intervensi pendidikan seperti ini tidak cukup meluas. WPS langsung maupun WPS tidak langsung dalam setahun terakhir yang pernah mengikuti pertemuan mengenai pencegahan HIV masing-masing sebesar 66,4 persen dan 57,5 persen. Cakupan kampanye pengetahuan dasar yang sangat rendah ini diduga menjadi salah satu sebab masih rendahnya tingkat pengetahuan kelompok sasaran tentang perlindungan dasar seperti penggunaan kondom di antara kelompok yang berisiko tinggi terhadap HIV. Satu hal yang dapat kita pelajari adalah bahwa informasi itu sendiri tidaklah cukup. Orang memerlukan motivasi, kepandaian/keterampilan dan pelayanan untuk menindaklanjuti informasi yang mereka terima. Data yang disajikan dalam laporan ini memberikan gambaran bahwa semua itu masih kurang dalam konteks Ambon. Hasil ini mengungkapkan adanya perilaku berisiko pada tingkat yang tinggi dan adanya ancaman yang kuat akan cepat meluasnya epidemi HIV di daerah ini. Bagian ini memberikan ringkasan mengenai beberapa temuan utama dari putaran pertama surveilans perilaku di Ambon, dan tantangan yang muncul, serta usulan tindakan untuk menghadapi tantangan tersebut. Temuan kunci Pengetahuan dan persepsi risiko Banyak orang pernah mendengar tentang AIDS, tetapi pengetahuan detil tentang HIV, tentang cara pencegahannya masih sangat rendah. Adalah sangat berbahaya dengan adanya kepercayaan yang begitu meluas bahwa menggunakan obat sebelum atau sesudah berhubungan seks dapat melindungi atau mencegah dari tertular IMS, juga HIV. Bahkan di antara mereka yang mempunyai pengetahuan cukup tidak selalu siap mengubah perilakunya ke perilaku yang sehat. Banyak orang yang tahu bagaimana HIV dapat ditularkan tetapi tidak merasa berisiko tertular penyakit tersebut, meskipun mereka melaporkan melakukan hubungan seks tanpa pelindung dengan banyak pasangan. Ada ketidaksesuaian yang substansial terjadi pada 29 Laporan Hasil SSP 2003 Maluku 29

orang-orang yang merasa berisiko dengan perilaku berisiko yang mereka lakukan. Perilaku berisiko dan kondom WPS tidak langsung dilaporkan merupakan pengguna kondom yang paling rendah di antara penjaja seks di Ambon. Masih rendahnya tingkat penggunaan kondom, karena sulitnya memperoleh kondom di tempat transaksi seks berada. Hal ini menyebabkan WPS tidak menggunakan kondom, selain karena pelanggannya tidak suka atau merasa pasangannya bersih. Proporsi responden yang menggunakan narkoba suntik memang kecil, namun aktivitas ini merupakan kegiatan yang sangat berisiko tinggi tertular HIV. Yang juga mengkhawatirkan adalah bahwa responden percaya pasangan mereka yang menggunakan narkoba suntik juga cukup berarti jumlahnya. Kesehatan dan pemeliharaan kesehatan Perilaku berisiko tinggi mempunyai konsekuensi yang dapat diukur dari tingginya persentase orang-orang yang melaporkan tertular IMS. Mayoritas mereka yang pernah tertular IMS adalah mereka yang melaporkan tidak menggunakan kondom. Banyak orang mempunyai gejala IMS berusaha mengobati diri mereka sendiri terlebih dahulu. Bila upaya ini gagal baru mereka pergi ke tempat pelayanan kesehatan. Tempat pelayanan kesehatan yang paling banyak digunakan oleh WPS adalah tempat praktek dokter dan mantri kesehatan/bidan. Tidak jelas benar apakah tenaga medis ini mendapat pelatihan cara menangani IMS atau tidak. Proporsi yang cukup tinggi dari WPS melaporkan menerima injeksi secara rutin untuk melindungi diri dari HIV dan IMS. Ini merupakan tantangan bagi kebijakan pemerintah, dan merupakan sesuatu yang berbahaya bagi kaum perempuan yang telah merasa aman dengan adanya injeksi tersebut. Usulan tindakan Menjamin tersedianya akses terhadap informasi yang benar, detil, dan relevan, tentang HIV, dan bagaimana pencegahannya untuk orangorang yang berisiko tinggi. Menyediakan informasi rinci tentang kondom bagi kaum lelaki, termasuk demonstrasi penggunaannya, dan pengorganisasian kampanye penggunaan kondom yang menyediakan insentif bagi 30 30 Laporan Hasil SSP 2003 Maluku