BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
Mengapa Kita Batuk? Mengapa Kita Batuk ~ 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mycobacterium tuberculosis dan menular secara langsung. Mycobacterium

Penemuan PasienTB. EPPIT 11 Departemen Mikrobiologi FK USU

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Tinjauan Pustaka. Tuberculosis Paru. Oleh : Ziad Alaztha Pembimbing : dr. Dwi S.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Organisasi Kesehatan Dunia/World Health Organization (WHO) memperkirakan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan secara retrospektif berdasarkan rekam medik dari bulan Januari

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit paling mematikan di

II. TINJAUAN PUSTAKA. penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Berdasarkan penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh

Materi Penyuluhan Konsep Tuberkulosis Paru

Dasar Determinasi Pasien TB

BAB 1 PENDAHULUAN. Mycobacterium tuberculosis. Sumber infeksi TB kebanyakan melalui udara, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis sebagian besar bakteri ini menyerang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

PATOFISIOLOGI, DIAGNOSIS, DAN KLASIFIKASI TUBERKULOSIS. Retno Asti Werdhani Dept. Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, dan Keluarga FKUI

Pengobatan TB pada keadaan khusus. Kuliah EPPIT 15 Departemen Mikrobiologi FK USU

PENANGANAN DAN PENCEGAHAN TUBERKULOSIS. Edwin C4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Peran ISTC dalam Pencegahan MDR. Erlina Burhan. Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi. FKUI-RS Persahabatan

Dasar Determinasi Kasus TB. EPPIT 12 Departemen Mikrobiologi FK USU

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Angka kematian dan kesakitan akibat kuman Mycobacterium tuberculosis masih

BAB XXV. Tuberkulosis (TB) Apakah TB itu? Bagaimana TB bisa menyebar? Bagaimana mengetahui sesorang terkena TB? Bagaimana mengobati TB?

Dasar Determinasi Kasus TB

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang yakni

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Sulianti (2004) Tuberculosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. kedua di dunia setelah HIV/AIDS. Pada tahun 2012, terdapat 8.6 juta orang

TUBERKULOSIS. Fransiska Maria C. Bag. FKK-UJ

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tuberkulosis paru adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium

ABSTRAK EFEK SAMPING PENGOBATAN TUBERKULOSIS DENGAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS KATAGORI 1 PADA FASE INTENSIF

Tema Lomba Infografis Community TB HIV Care Aisyiyah 2016

BAB 1 PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan

2016 GAMBARAN MOTIVASI KLIEN TB PARU DALAM MINUM OBAT ANTI TUBERCULOSIS DI POLIKLINIK PARU RUMAH SAKIT DUSTIRA KOTA CIMAHI

Peran ISTC dalam Pencegahan MDR. Erlina Burhan Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI RSUP Persahabatan

Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. oleh infeksi saluran napas disusul oleh infeksi saluran cerna. 1. Menurut World Health Organization (WHO) 2014, demam tifoid

Panduan OAT yang digunakan di Indonesia adalah:

BAB I PENDAHULUAN. menular (dengan Bakteri Asam positif) (WHO), 2010). Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan global utama dengan tingkat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan global. yang utama. Penyakit infeksi ini menyerang jutaan manusia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh kuman TBC ( Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman. lainnya seprti ginjal, tulang dan usus.

MULTI DRUG RESISANT TUBERCULOSIS (MDR-TB): PENGOBATAN PADA DEWASA

SAFII, 2015 GAMBARAN KEPATUHAN PASIEN TUBERKULOSIS PARU TERHADAP REGIMEN TERAPEUTIK DI PUSKESMAS PADASUKA KECAMATAN CIBEUNYING KIDUL KOTA BANDUNG

I. PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut WHO (World Health Organization) sejak tahun 1993

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit menular. langsung yang disebabkan oleh Mycobacterium

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 BAHAN, SUBJEK, DAN METODE PENELITIAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai sediaan obat uji, subjek uji dan disain penelitian.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Tuberkulosis Dapat Disembuhkan

BAB I PENDAHULUAN. sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise,

BAB I PENDAHULUAN. Sampai saat ini penyakit Tuberkulosis Paru ( Tb Paru ) masih menjadi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bakteri Mycobacterium Tuberkulosis (KemenKes, 2014). Kuman tersebut

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu masalah kesehatan utama yang

PROFIL RADIOLOGIS TORAKS PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI POLIKLINIK PARU RSUD DR HARDJONO-PONOROGO SKRIPSI

BAGI PENDERITA TBC/TUBERCULOSIS DI KOTA BANDUNG. yakni menyerang berbagai organ tubuh (Wahyu, 2008, h.2).

Penyebab Tuberkulosis. Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit infeksi yang menular langsung, disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tuberkulosis paru adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium

FARMAKOTERAPI TUBERCULOSIS (TBC) Bagian Farmakologi Fak Kedokteran UNLAM

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. I.1.Latar Belakang. Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah utama. kesehatan global. TB menyebabkan kesakitan pada jutaan

APA ITU TB(TUBERCULOSIS)

BAB 1 PENDAHULUAN. TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar bakteri TB menyerang paru, tetapi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi kronis yang masih menjadi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. dan termasuk salah satu sasaran Millennium Development Goals (MDGs) dalam

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. gejala klinik yang manifestasinya bisa berbeda beda pada masing

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

S T O P T U B E R K U L O S I S

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kepatuhan menurut Trostle dalam Simamora (2004), adalah tingkat perilaku

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Human

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis.bakteri ini berbentuk batang dan bersifat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berhubungan erat dengan penderita (Amiruddin. et al. Dokter Paru Indonesia, 2002).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Mycobacterium tuberculosis complex (Depkes RI, 2008). Tingginya angka

PENATALAKSANAAN TB MDR DAN STRATEGI DOTS PLUS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. bakteri Mycobacterium tuberculosis, yang dapat menyerang berbagai organ,

Diagnosis danpengobatan TB ParuDewasa

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh

BAB II. Meningkatkan Pengetahuan dan, Mirandhi Setyo Saputri, Fakultas Farmasi UMP, 2014

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) masih menjadi penyebab kesakitan dan kematian yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis yang bersifat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lainnya (Depkes RI, 2011). Manusia adalah satu-satunya tempat untuk. termasuk bakteri aerob obligat (Todar, 2009).

Transkripsi:

5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tuberkulosis Paru 2.1.1. Definisi Tuberkulosis paru (TB paru) adalah penyakit radang parenkim paru karena infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis paru mencakup 80% dari keseluruhan kejadian penyakit tuberkulosis, sedangkan 20% selebihnya merupakan tuberkulosis ekstrapulmonar (Djojodibroto, 2009). 2.1.2. Epidemiologi Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini. Tuberkulosis merupakan penyebab kematian kedua pada penyakit infeksi tunggal setelah Human Immunodeficiency Virus (HIV). Pada tahun 2013 ditemukan kasus sebanyak 6,1 juta kasus dan 5,7 juta diantaranya sebagai kasus baru dan kambuh dan 0,4 juta kasus yang sudah mendapatkan pengobatan. Insidensi kasus TB secara global telah mengalami penurunan selama beberapa tahun. Pada tahun 2000 sampai dengan tahun 2013 telah mengalami penurunan insidensi dengan rata-rata 1,5 % setiap tahunnya. Angka mortalitas TB dan prevalensi rate juga mengalami penurunan antara tahun 1990 dan 2013. Penurunan angka mortalitas yang diperkirakan adalah sebesar 45 % dan prevalensi rate sebesar 41 %. Indonesia merupakan salah satu dari enam negara yang memiliki kasus baru TB BTA positif terbanyak dengan jumlah antara 420.000-520.000 jiwa (WHO, 2014). Pada tahun 2013 diperkirakan dari 2,6 juta kasus TB paru, 300.000 merupakan kasus MDR TB. Sekarang ini jumlah MDR TB di seluruh dunia adalah sebesar 480.000 kasus ( 350.000-610.000) dan diperkirakan 210.000 jiwa akan meninggal karena ini. Indonesia merupakan satu dari 10 negara yang memiliki kasus MDR TB terbanyak dengan berada di urutan ke-8. Selain Indonesia negara lain yang mempunyai kasus MDR TB terbanyak adalah China, India, Myanmar, Pakistan, Filipina, Federasi Rusia, Afrika Selatan, Ukraina dan Uzbekistan. Selama tahun 2011 kasus MDR TB di Indonesia dilaporkan terdapat sejumlah 260 kasus dan diperkirakan pada tahun 2013 akan terdeteksi 1.800 kasus (WHO, 2014).

6 2.1.3. Patogenesis Jalan masuk awal bagi basilus tuberkel ke dalam paru atau tempat lainnya pada individu yang sebelumnya sehat menimbulkan respon peradangan akut nonspesifik yang jarang diperhatikan dan biasanya disertai dengan sedikit atau sama sekali tanpa gejala. Basilus kemudian ditelan oleh makrofag dan diangkut ke kelenjar limfe regional. Bila penyebaran organisme tidak terjadi pada tingkat kelenjar limfe regional, lalu basilus mencapai aliran darah dan terjadi diseminata yang luas. Kebanyakan lesi tuberkulosis diseminata menyembuh, sebagaimana lesi paru primer, walaupun tetap ada fokus potensial untuk reaktivasi selanjutnya. Diseminasi dapat mengakibatkan tuberkulosis meningeal atau miliaris yaitu penyakit dengan potensial terjadinya morbiditas dan mortalitas yang utama, terutama pada bayi dan anak kecil (Isselbacher et al., 2013). Selama 2 hingga 8 minggu setelah infeksi primer, saat basilus terus berkembang biak di lingkungan intraselulernya, timbul hipersensitivitas pada pejamu yang terinfeksi. Limfosit yang cakap secara imunologik memasuki daerah infeksi, di situ limfosit menguraikan faktor kemotaktik, interleukin dan limfokin. Sebagai responsnya, monosit masuk ke daerah tersebut dan mengalami perubahan bentuk menjadi makrofag dan selanjutnya menjadi sel histiosit yang khusus, yang tersusun menjadi granuloma. Mikrobakterium dapat bertahan dalam makrofag selama bertahun-tahun walaupun terjadi peningkatan pembentukan lisozim dalam sel ini, namun multiplikasi dan penyebaran selanjutnya biasanya terbatas. Kemudian terjadi penyembuhan, seringkali dengan kalsifikasi granuloma yang lambat yang kadang meninggalkan lesi sisa yang tampak pada foto rontgen paru. Kombinasi lesi paru perifer terkalsifikasi dan kelenjar limfe hilus yang terkalsifikasi dikenal sebagai kompleks ghon (Isselbacher et al., 2013). Tuberkulosis sebagai penyakit klinis timbul pada sebagian kecil individu yang tidak mengalami infeksi primer. Pada beberapa individu, tuberkulosis timbul dalam beberapa minggu setelah infeksi primer. Pada kebanyakan orang, organisme tetap dorman selama bertahun-tahun sebelum memasuki fase multiplikasi eksponensial yang menyebabkan penyakit. Di antara banyak keadaan, usia dapat dianggap sebagai faktor bermakna yang menentukan jalannya penyakit tuberkulosis. Pada bayi, infeksi tuberkulosis seringkali cepat berkembang menjadi penyakit, dan berisiko tinggi menderita penyakit diseminata, antara lain meningitis dan tuberkulosis miliaris. Pada

7 anak di atas usia 1 atau 2 tahun sampai sekitar usia pubertas, lesi tuberkulosis primer hampir selalu menyembuh. Sebagian besar akan menjadi tuberkulosis pada masa akil balig atau dewasa muda. Individu yang terinfeksi pada masa dewasa memiliki risiko terbesar untuk terjadinya tuberkulosis dalam waktu sekitar 3 tahun setelah infeksi penyakit tuberkulosis dan lebih sering pada perempuan dewasa muda, sementara pada laki-laki lebih sering pada usia yang lebih tua (Isselbacher et al.,2013). 2.1.4. Klasifikasi Tuberkulosis Kasus TB diklasifikasikan berdasarkan : 1. Berdasarkan letak anatomi penyakit a. Tuberkulosis paru adalah kasus TB yang mengenai parenkim paru. Tuberkulosis milier diklasifikasikan sebagai TB paru karena lesinya yang terletak dalam paru (PDPI,2011). b. Tuberkulosis ekstraparu adalah kasus TB yang mengenai organ lain selain paru seperti pleura, kelenjar getah bening (termasuk mediastinum dan/atau hilus), abdomen, traktus genitourinarius, kulit, sendi, tulang dan selaput otak (PDPI, 2011). 2. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak atau bakteriologi a. Tuberkulosis paru BTA positif, apabila: Minimal satu dari sekurang-kurangnya dua kali pemeriksaan dahak menunjukkan hasil positif pada laboratorium yang memenuhi syarat external quality assurance (EQA). Sebaiknya satu kali pemeriksaan dahak tersebut berasal dari dahak pagi hari (PDPI,2011). b. Tuberkulosis paru BTA negatif, apabila: Hasil pemeriksaan dahak negatif tetapi hasil kultur positif. Sedikitnya dua hasil pemeriksaan dahak BTA negatif pada laboratorium yang memenuhi syarat EQA (PDPI,2011). c. Kasus bekas TB Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran radiologi paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial (dalam 2 bulan) menunjukkan gambaran yang menetap.

8 Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung (PDPI,2011). 3. Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya Riwayat pengobatan sebelumnya sangat penting diketahui untuk melihat risiko resistensi obat atau MDR. Pada kelompok ini perlu dilakukan pemeriksaan kultur dan uji kepekaan OAT. Tipe pasien berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, yaitu: a. Pasien baru adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB sebelumnya atau sudah pernah mendapat OAT kurang dari satu bulan. Pasien dengan hasil dahak BTA postif atau negatif dengan lokasi anatomi penyakit di manapun (PDPI,2011). b. Pasien dengan riwayat pengobatan sebelumnya adalah pasien yang sudah pernah mendapatkan pengobatan TB sebelumnya minimal selama satu bulan dengan hasil dahak BTA positif atau negatif dengan lokasi anatomi penyakit di manapun (PDPI, 2011). 4. Status HIV Status HIV pasien merupakan hal yang penting untuk keputusan pengobatan (PDPI, 2011) 2.1.5. Diagnosis Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan fisik, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan penunjang lainnya (PDPI, 2011). Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu gejala respiratorik dan gejala sistemik. Gejala respiratorik dapat berupa batuk lebih dari atau sama dengan tiga minggu, batuk darah, sesak napas dan nyeri dada. Sedangkan gejala sistemik yaitu adanya demam, malaise, keringat malam, anoreksia, dan berat badan menurun (PDPI, 2011). Pada pemeriksaan fisik kelainan yang akan dijumpai tergantung luas kelainan struktur paru. Pada pemeriksaan awal perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apex dan segmen posterior, serta daerah apex lobus

9 inferior. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara nafas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum (PDPI, 2011). Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis yang mempunyai arti sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat bersasal daru dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar, dan jaringan biopsi termsauk biopsi jarum halus. Cara pengambilan dahak tiga kali, setiap pagi tiga hari berturut-turut atau dengan cara sewaktu pagi sewaktu yaitu sewaktu saat kunjungan, keesokan harinya dan pada saat mengantarkan dahak pagi (PDPI, 2011). Selain pemeriksaan dahak, terdapat pemeriksaan radiologik dalam penegakan diagnosa. Pemeriksaan standar adalah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacammacam bentuk. Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB aktif adalah bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah, bayangan bercak milier, kaviti, dan efusi pleura unilateral. Sedangkan gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif adalah fibrosis pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas, kalsifikasi, kompleks ranke dan fibrosis parenkim paru (PDPI, 2011). Selain pemeriksaan diatas, terdapat pemeriksaan penunjang lainnya berupa polymerase chain reaction (PCR), pemeriksaan BACTEC,pemeriksaan cairan pleura, pemeriksaan histopatologi jaringan,pemeriksaan darah, uji tuberkulin dan pemeriksaan serologi seperti ELISA, mycodot, uji peroksidase anti peroksidase (PAP), dan immunochromatographic tuberculosis (PDPI, 2011). 2.1.6. Pengobatan Tuberkulosis Pengobatan TB terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif dan fase lanjutan. Pada umumnya lama pengobatan adalah 6-8 bulan. Obat anti tuberkulosis (OAT) yang dipakai terdiri dari obat lini pertama dan kedua. Obat lini pertama adalah INH, rifampisin, pirazinamid, etambutol, dan streptomisin. Sedangkan obat lini kedua adalah kanamisin, kapreomisin, amikasin, kuinolon, sikloserin, etionamid, dan paraamino salisilat(pas). Obat lini kedua hanya digunakan untuk kasus resisten obat,

10 terutama TB multidrug resistant (MDR). Beberapa obat seperti kapreomisin, sikloserin, etionamid dan PAS belum tersedia di pasaran Indonesia tetapi sudah digunakan pada pusat pengobatan TB-MDR (PDPI, 2011). Pengobatan TB standar dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu: 1. Pasien baru Paduan obat yang dianjurkan 2RHZE/4HR dengan pemberian dosis setiap hari. Bila menggunakan OAT program, maka pemberian dosis setiap hari pada fase intensif dilanjutkan dengan pemberian dosis tiga kali seminggu dengan DOT 2RHZE/4R3H3 (PDPI, 2011). 2. Pada pasien dengan riwayat pengobatan TB lini pertama pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji kepekaan secara individual. Selama menunggu hasil uji kepekaan, diberikan paduan obat 2RHZES/HRZE/5RHE (PDPI, 2011). 3. Pasien multi-drug resistant (MDR). Tuberkulosis paru kasus gagal pengobatan dirujuk ke dokter spesialis paru sedangkan kasus TB-MDR dirujuk ke pusat rujukan TB-MDR (PDPI, 2011). 2.1.7. Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis Sebagian besar penderita TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan (PDPI, 2011). Pendekatan berdasarkan gejala digunakan untuk penatalaksanaan efek samping umum yaitu mayor dan minor. Pada umumnya, pasien yang mengalami efek samping minor sebaiknya tetap melanjutkan pengobatan TB dan diberikan pengobatan simtomatis. Apabila pasien mengalami efek samping berat (mayor), OAT penyebab dapat dihentikan dan segera pasien dirujuk ke pusat kesehatan yang lebih besar atau dokter paru untuk tatalaksana selanjutnya (PDPI, 2011).

11 Tabel 2.1. Efek samping Mayor OAT Efek Samping Mayor Obat Tatalaksana Hentikan Obat Penyebab dan rujuk secepatnya Kemerahan kulit dengan atau tanpa gatal Streptomisin, Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid Streptomisin Hentikan OAT Tuli (bukan disebabkan oleh Hentikan Streptomisin kotoran) Pusing (vertigo dan nystagmus) streptomisin Hentikan Streptomisin Kuning (setelah penyebab lain Isoniazid, Hentikan pengobatan TB disingkirkan), hepatitis Pirazinamid, Rifampisin Sumber: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,2011. Tabel 2.2. Efek samping Minor OAT Efek Samping Minor Obat Teruskan pengobatan / Evaluasi Pengobatan Bingung (diduga gangguan Sebagian besar Hentikan pengobaatan TB hepar berat bila bersamaan dengan kuning) OAT Gangguan penglihatan (setelah Etambutol Hentikan etambutol gangguan lain disingkirkan) Syok, purpura, gagal ginjal akut Rifampisin Hentikan rifampisin Penurunan jumlah urin Streptomisin Hentikan streptomisin Tidak nafsu makan, mual dan nyeri perut Pirazinamid, Rifampisin, isoniazid Berikan obat bersamaan dengan makanan ringan atau sebelum tidur dan anjurkan pasien untuk minum obat dengan air sedikit demi sedikit. Apabila terjadi muntah yang terus menerus, atau ada tanda perdarahan segera pikirkan efek samping mayor dan segera rujuk Nyeri sendi Pirazinamid Aspirin atau NSAID atau Rasa terbakar, kebas atau kesemutan pada tangan atau kaki parasetamol Isoniazid Piridoksin dosis 100-200 mg/hari selama 3 minggu. Sebagai profilaksis 25-100 mg/hari

12 Mengantuk Isoniazid Yakinkan kembali, berikan obat sebelum tidur Urin bewarna kemerahan atau oranye Rifampisin Yakinkan pasien dan sebaiknya pasien diberi tahu sebelum mulai Sindrom flu (demam, menggigil, malaise, sakit kepala, nyeri tulang) Dosis rifampisin intermitten Sumber: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,2011. pengobatan Ubah pemberian dari intermitten ke pemberian harian 2.1.8. Resisten Ganda (Multi Drug Resistance/ MDR) Resitensi ganda menujukkan M.tuberculosis yang resisten minimal terhadap rifampisin dan INH dengan atau tanpa OAT lainnya. Rifampisin dan INH merupakan 2 obat yang sangat penting pada pengobatan TB yang diterapkan strategi DOTS. Secara umum resistensi terhadap obat anti tuberkulosis dibagi menjadi : 1. Resistensi primer ialah apabila penderita sebelumnya tidak pernah mendapat pengobatan OAT atau telah mendapat pengobatan OAT kurang 1 bulan. 2. Resistensi inisial ialah apabila kita tidak tahun pasti apakah penderitanya sudah pernah ada riwayat pengobatan sebelumya atau tidak. 3. Resistensi sekunder ialah apabila penderita telah punya riwayat pengobatan sebelumnya (PDPI, 2011). Diagnosis TB-MDR dipastikan berdasarkan uji kepekaan. Semua suspek TB- MDR diperiksa dahaknya untuk selanjutnya dilakukan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan. Jika hasil uji kepekaan terdapat M.tuberculosis yang resisten minimal terhadap rifampisin dan INH, maka dapat ditegakkan diagnosis TB-MDR (PDPI, 2011). Strategi program pengobatan sebaiknya berdasarkan data uji kepekaan dan frekuensi penggunaan OAT di negara tersebut. Di bawah ini adalah beberapa strategi pengobatan TB-MDR yaitu: 1. Pengobatan standar. Data drugs resistancy survey (DRS) dari populasi pasien yang representative digunakan sebagai dasar regimen pengobatan karena tidak tersedianya hasil uji kepekaan individual.

13 2. Pengobatan empiris. Setiap regimen pengobatan dibuat berdsarkan riwayat pengobatan TB pasien sebelumnya dan data hasil uji kepekaan populasi representatif. 3. Pengobatan individual. Regimen pengobatan berdasarkan riwayat pengobatan TB sebelumnya dan hasil uji kepekaan (PDPI, 2011). Regimen standar TB MDR di Indonesia adalah: 6 pirazinamidetambutol - kanamisin - levoflosasin - etionamid- sikloserin atau 18 pirazinamid etambutol kanamisin levoflosasin etionamid - sikloserin (PDPI, 2011). Tabel 2.3. Efek Samping Obat TB MDR Efek Samping Obat Obat Evaluasi Pengobatan Hepatitis Z,H,R,Of,L,PAS Hentikan pengobatan Renal Failure S, Km, Am, Cm Hentikan pengobatan yang diduga sebagai penyebab Arthralgia Z, Of, L 1.Berikan Pengobatan dengan NSAID 2.Kurangi dosis obat yang diduga sebagai penyebab. 3.Hentikan pengobatan bila tidak ada pengurangan gejala Gastritis PAS, H, E, Ctz 1.Berikan pengobatan antasida 2.kurangi dosis obat yang diduga sebagai penyebab 3.hentikan pengobatan Mual dan muntah PAS, H,E,Ctz, Z 1.Rehidrasi 2.Mulai dengan memberikan anti-muntah 3. kurangi dosis obat yang diduga sebagai penyebab 4.hentikan pengobatan

14 Kejang Cs, H, Of, L, 1.Mulai dengan memberi obat anti kejang (phenytoin) 2. kurangi dosis obat yang diduga sebagai penyebab 3.hentikan pengobatan Neuropati perifer S, Km, Am, Cm, M, Cs, E, Of, L 1.Tingkatkan pemberian pyridoxine s.d. 300 mg/hari 2.kurangi dosis obat yang diduga sebagai penyebab 3.hentikan pengobatan Tuli S, Km, Am, Cm, Clr 1.kurangi dosis obat yang diduga sebagai penyebab 2..hentikan pengobatan Gejala Psikotik Cs, Of, L, H 1.Berikan obat antipsikotik 2.kurangi dosis obat yang diduga sebagai penyebab 3. Hentikan pengobatan Depresi Cs, Of,L, H 1.konseling dengan dokter psikiatri 2. berikan obat antidepresan 3.kurangi dosis obat yang diduga sebagai penyebab 4. Hentikan pengobatan Hipotiroid PAS, Tha 1.Berikan terapi thyroxine 2. Hentikan Pengobatan Sumber: Mtonga.V. 2008. Guideline for The Programmatic Management of Drug-Resistant Tuberculosis. The National TB programme.

15 2.2. Depresi 2.2.1. Definisi Depresi Depresi merupakan gangguan mental yang ditandai dengan adanya perasaan sedih, kehilangan minat terhadap sesuatu, perasaan bersalah, gangguan tidur, nafsu makan berkurang, perasaan lelah dan penurunan konsentrasi (World Health Organization, 2015). Depresi adalah suatu gangguan suasana perasaan (mood) yang mempunyai gejala utama afek depresi kehilangan minat dan kegembiraan, dan kekurangan energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan menurunnya aktifitas. Disamping itu gejala lainnya yaitu konsentrasi dan perhatian berkurang, pikiran bersalah dan tidak berguna, pandangan masa depan yang suram dan pesimistis, gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri, tidur terganggu dan nafsu makan berkurang (PPDGJ, 1993). 2.2.2. Klasifikasi Depresi Gangguan depresi teridiri dari berbagai jenis, yaitu: 1. Gangguan depresi mayor Terjadinya satu atau lebih periode atau episode depresi (disebut episode depresi mayor) tanpa ada riwayat terjadinya episode manik atau hipomanik alami. Seseorang dapat mengalami satu episode depresi mayor, yang diikuti dengan kembalinya mereka pada keadaan fungsional biasa (Nevid et al., 2003). Pada episode ini setidaknya ada 2 minggu dan memiliki setidaknya empat gejala seperti perubahan berat badan dan nafsu makan, perubahan tidur dan aktivitas, tidak ada energy, rasa bersalah, masalah dalam berpikir dan membuat keputusan, serta pikiran berulang mengenai kematian dan bunuh diri (Sadock dan Sadock, 2004). 2. Gangguan distimik Pola depresi ringan, tetapi mungkin saja menjadi mood yang menyulitkan pada anak-anak atau remaja yang terjadi dalam suatu rentang waktu sedangkan pada orang dewasa, biasanya dalam beberapa tahun (Nevid et al., 2003). 3. Gangguan depresi psikotik Gangguan depresi berat yang ditandai dengan gejala-gejala, seperti halusinasi dan delusi (National Institute of Mental Health, 2010).

16 4. Gangguan depresi persisten Perasaan depresi yang berlangsung selama minimal 2 tahun. Seseorang didiagnosis dengan gangguan depresi yang terus-menerus mungkin memiliki episode depresi utama bersama dengan periode gejala yang lebih ringan, tetapi gejala harus berlangsung selama 2 tahun (National Institute of Mental Health, 2010). 5. Gangguan depresi postpartum Perempuan setelah melahirkan mengalami perubahan hormon dan fisik serta tanggung jawab baru dalam merawat bayi yang baru lahir. Diperkirakan bahwa 10 sampai 15 persen wanita mengalami depresi postpartum (National Institute of Mental Health, 2010). 2.2.3. Alat Ukur Depresi Beck Depression Inventory dibuat oleh dr.aaron T.Beck BDI merupakan salah satu instrumen paling sering digunakan untuk mengukur tingkat depresi. Para responden akan mengisi 21 pertanyaan, setiap pertanyaan memiliki skor 1 s.d. 3, setelah responden menjawab semua pertanyaan kita dapat menjumlah skor tersebut, skor tertinggi adalah 63 jika responden mengisi 3 poin seluruh pertanyaan. Skor terendah adalah 0 jika responden mengisi poin 0 pada keseluruhan pertanyaan. Total dari keseluruhan akan menjelaskan tingkat depresi yang akan dijelaskan dibawah ini. Skor Total Tabel 2.4 Skor BDI Tingkat Depresi 0-9 Minimal/Normal 10-16 Depresi ringan 17-29 Depresi sedang 30-63 Depresi berat Sumber: Beck, T. Aron. 1996. Beck Depression Inventory. San Antonio: The Psychological Corporation Harcourt Brace & Company. 2.3. Hubungan Tuberkulosis Paru dengan Depresi

17 Depresi adalah suatu keadaan yang sering menyertai penderita TB. Ini terbukti dari studi penelitian dimana tingginya angka prevalensi depresi pada penderita TB. Prevalensinya berkisar dari 11,3 % sampai 80,2%, dengan rata-rata prevalensi 48,9 % (Sweetland et al., 2014). Seperti halnya studi penelitian yang dilakukan di India, angka prevalensi penderita TB yang mengalami depresi juga tinggi. Dari 110 sampel penderita TB, 62 % mengalami depresi, 2/3 mengalami depresi ringan-sedang dan 5,5 % mengalami depresi berat (Basu et al., 2012). Berdasarkan penelitan yang dilakukan vega et al., (2003) di Peru dari 75 sampel yang diteliti terdapat 36 orang atau 52,2 % penderita MDR TB mengalami depresi. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa penderita TB-MDR yang mengalami depresi lebih rendah yaitu 7 orang dari 45 penderita TB atau sekitar 16 %. Dari 7 penderita TB MDR ini, terdapat 4 penderita yang mengalami depresi sedang-berat (Das et al., 2014). Efek samping obat pada regimen pengobatan TB- MDR juga sebagai penyebab timbulnya depresi dan keinginan bunuh diri. Obat yang diduga pemicu timbulnya hal tersebut adalah sikloserin (Mtonga, 2008). Banyaknya penderita TB yang mengalami depresi selama proses pengobatan akan berpengaruh kepada ketidakpatuhan berobat oleh penderita TB. Hal-hal yang menyebabkan banyak penderita TB yang mengalami depresi adalah ketidaktahuan mereka tentang penyakitnya, penderita mengira bahwa TB adalah suatu penyakit berbahaya dengan angka kesembuhan dan survival yang rendah.selain itu, proses pengobatan akan berlangsung dan lama dan menganggu rutinitas keseharian penderita TB. Sehingga mereka melakukan pengobatan dengan tidak baik (Aamir dan Aisha, 2010). Begitu juga halnya dengan penelitian yang dilakukan di negara Nigeria, dimana penelitian yang dilakukan membandingkan depresi pada penderita TB dengan Non-TB keluarga penderita didapatkan hasil bahwa yang mengalami depresi adalah yang usia yang lebih tua, riwayat pengobatan yang sudah lama, belum menikah dan termasuk pengobatan kategori II ( Ige dan Lasebikan, 2011). Hal ini juga dipaparkan oleh Rachmawati dan Turniani (2009) bahwa TB paru merupakan penyakit kronis dan memerlukan pengobatan secara teratur selama 6-8 bulan. Karena pengobatan memerlukan waktu yang lama maka penderita TB paru sangat memungkinkan mengalami depresi yang cukup berat sehingga selain

18 diperlukan pengobatan secara medis juga diperlukan dukungan sosial dari keluarga maupun orang di sekitarnya. Pada penelitian yang dilakukan oleh Riskiyani et al., (2013) di Desa Ajangale, TB paru dapat sembuh bila dilakukan pengobatan secara teratur selama 6-8 bulan. Karena pengobatan memerlukan waktu yang lama maka penderita TB paru berisiko mengalami kebosanan yang cenderung akan mengakibatkan putus obat. Di samping itu setelah mengonsumsi OAT (Obat Anti Tuberkulosis), penderita mengalami efek samping obat yang sangat keras sehingga penderita berhenti minum obat karena kurangnya informasi tentang pengobatan penyakit TB paru yang diterima. Tingginya tingkat depresi yang dialami penderita TB membuat perlunya peningkatan screening pada seluruh penderita TB, sehingga penderita TB yang mengalami depresi mendapatkan pengobatan yang komprehensif dari bidang psikiatri selain dari dokter yang mengobati Tuberkulosis nya (Peltzer et al., 2012). Menangani depresi yang terjadi pada penderita TB akan mendapatkan hasil pengobatan TB yang lebih baik dan adekuat. Seperti studi secara prospektif yang dilakukan di India ditemukan penderita TB yang mendapatkan psikoterapi individual selama pengobatan TB secara segnifikan akan mendapatkan pengobatan TB yang maksimal dan baik (Sweetland et al., 2014).