3. Pola hubungan spasial intra-interregional di Kapet Bima dapat diamati dari pergerakan arus barang dan penduduk antar wilayah, yakni dengan

dokumen-dokumen yang mirip
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau.

1. Berdasarkan analisis tipologi gabungan kinerja sistim agropolitan dan kinerja

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 150 TAHUN 2000 TENTANG KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS CEPAT TUMBUH DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN PRODUK UNGGULAN DAERAH

ASPEK EKONOMI DAN SOSIAL DALAM PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN

I. PENDAHULUAN. Otonomi Daerah dengan sistem desentralisasi diimplementasikan di

BAB X PEDOMAN TRANSISI DAN KAIDAH PELAKSANAAN. roses pembangunan pada dasarnya merupakan proses yang berkesinambungan,

REKOMENDASI SEMINAR STRATEGI DAN TANTANGAN PEMBANGUNAN EKONOMI JANGKA MENENGAH PROVINSI JAMBI 22 DESEMBER 2005

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 150 TAHUN 2000 TENTANG KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

6. ANALISIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kebijakan di dalam pengembangan UKM

MATRIKS 2.2.B ALOKASI PENDANAAN PEMBANGUNAN TAHUN 2011 PRAKIRAAN PENCAPAIAN TAHUN 2010 RENCANA TAHUN 2010

IX. SIMPULAN, SARAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. Maluku, maka dapat dikemukakan beberapa simpulan sebagai berikut:

FORUM KOORDINASI DEWAN RISET DAERAH SE-SUMATERA Periode Tahun

PERATURAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN RETENSI ARSIP SEKTOR PEREKONOMIAN URUSAN PENANAMAN MODAL

PENJELASAN SUBTEMA IDF. Pathways to Tackle Regional Disparities Across the Archipelago

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

b. Kepala Sub Bagian Keuangan; c. Kepala Sub Bagian Program, Evaluasi dan Pelaporan.

I. PENDAHULUAN. dunia menghadapi fenomena sebaran penduduk yang tidak merata. Hal ini

LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 1 TAHUN 2012

PENINGKATAN PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS TANAMAN TAHUNAN PEDOMAN TEKNIS KOORDINASI KEGIATAN PENGEMBANGAN TANAMAN TAHUNAN TAHUN 2015 (REVISI)

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG POLA PENGEMBANGAN TRANSPORTASI WILAYAH

Analisis Isu-Isu Strategis

I. PENDAHULUAN. utama ekonomi, pengembangan konektivitas nasional, dan peningkatan. dalam menunjang kegiatan ekonomi di setiap koridor ekonomi.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH,

RINGKASAN EKSEKUTIF Muhammad Syahroni, E. Gumbira Sa id dan Kirbrandoko.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN BUPATI REJANG LEBONG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS CEPAT TUMBUH DI KABUPATEN REJANG LEBONG BUPATI REJANG LEBONG,

BAB V PENYELENGGARAAN TUGAS PEMBANTUAN. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah kepada

Penyelenggaraan Kewenangan dalam Konteks Otonomi Daerah

Mendukung terciptanya kesempatan berusaha dan kesempatan kerja. Meningkatnya jumlah minat investor untuk melakukan investasi di Indonesia

KEPUTUSAN GUBERNUR KALIMANTAN TIMUR NOMOR: 03 TAHUN 2001 T E N T A N G

BAB I PENDAHULUAN. Investasi adalah merupakan langkah awal kegiatan produksi sehingga

GAMBARAN UMUM PROPINSI KALIMANTAN TIMUR. 119º00 Bujur Timur serta diantara 4º24 Lintang Utara dan 2º25 Lintang

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Ketahanan Pangan dan Gizi adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG

LEMBARAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 10 TAHUN 2008

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 76/Permentan/OT.140/12/2012 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PENETAPAN PRODUK UNGGULAN HORTIKULTURA

BAGAIMANA MENAKAR PEMBANGUNAN EKONOMI LOKAL DI ERA OTONOMI DAERAH*)

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DIN PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH

BAB-6 BAB VI ARAH PENGEMBANGAN JARINGAN TRANSPORTASI

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMERINTAH KOTA DUMAI

LAMPIRAN III PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA TANGGAL.. INDIKASI PROGRAM UTAMA LIMA TAHUNAN (KONSEPSI) ARAHAN PEMANFAATAN RUANG KAPET SERAM

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RINGKASAN EKSEKUTIF HENNY NURLIANI SETIADI DJOHAR IDQAN FAHMI

BAHAN MENTERI DALAM NEGERI PADA ACARA MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN (MUSRENBANG) REGIONAL KALIMANTAN TAHUN 2015

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

BAB IV ANALISIS SUB SEKTOR POTENSIAL DALAM MENDUKUNG FUNGSI KOTA CILEGON

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 068 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA UMUM PENANAMAN MODAL PROVINSI KALIMANTAN SELATAN TAHUN

BAB VI SASARAN, INISITIF STRATEJIK DAN PROGRAM PEMBANGUNAN KEMENTERIAN KOPERASI DAN UKM

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

II PENDAHULUAN PENDAHULUAN

PDRB Harga Berlaku Kepulauan Bangka Belitung triwulan II-2015) Rp miliar dan PDRB Harga Konstan atas dasar Rp miliar.

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI JAWA BARAT. dan GUBERNUR JAWA BARAT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2014

No. Program Sasaran Program Instansi Penanggung Jawab Pagu (Juta Rupiah)

BUPATI BIMA PERATURAN BUPATI BIMA NOMOR 04 TAHUN 2010 TENTANG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

3.1 Penilaian Terhadap Sistem Perekonomian / Agribisnis

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA NOMOR : 4 TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN PROVINSI SULAWESI TENGAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT

SALINAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PELAKSANAAN TRANSMIGRASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

REVITALISASI INSTITUSI PERENCANAAN DAN PEMBANGUNAN DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN KOTABARU

BAB II KEBIJAKAN PEMERINTAHAN DAERAH

KAJIAN JARINGAN TRAYEK ANGKUTAN LAUT NASIONAL UNTUK MUATAN PETIKEMAS DALAM MENUNJANG KONEKTIVITAS NASIONAL

Gubernur Jawa Barat GUBERNUR JAWA BARAT,

LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 72/Permentan/OT.140/10/2011 TANGGAL : 31 Oktober 2011

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting dalam. secara langsung maupun secara tidak langsung dalam pencapaian tujuan

BUPATI BANTUL PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG

III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI DAN HIPOTESIS

BAB IV LANDASAN PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM

Transkripsi:

VI. PENUTUP 6.1. Kesimpulan Dari hasil analisis dan pembahasan tentang studi pengembangan wilayah di Kapet Bima dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Kapet Bima memiliki beragam potensi sumber daya dalam pengembangan wilayah. Kabupaten Bima dan Dompu memiliki karakteristik sebagai daerah pertanian dan perdagangan sedangkan Kota Bima dengan karakteristik sebagai kota jasa dan perdagangan. Dengan laju pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat (rata-rata 4.45 % pertahun atas dasar harga konstan dan 12.16 % atas dasar harga berlaku) di atas pertumbuhan ekonomi propinsi, dapat menjadikan kawasan ini sebagai prime mover bagi pertumbuhan wilayah sekitarnya, namun di sisi lain, ketersedian infrastruktur sosial ekonomi relatif terbatas dan kurang merata, disamping belum optimalnya pengelolaan lahan kering, kawasan pesisir dan kelautan, serta masih lemahnya komunikasi dan koordinasi antar pelaku pembangunan kawasan sehingga orientasi dan kepentingan pembangunan masih bersifat parsial. 2. Sektor yang memiliki tingkat keunggulan paling tinggi di Kapet Bima (Skor keunggulan = 3) adalah sektor tanaman bahan makanan dan industri pengolahan non migas. Sektor tanaman bahan makan merupakan sektor basis (LQ-PDRB > 1) dengan output ekonomi yang paling tinggi yakni sebesar Rp.1.02 trilyun serta memiliki daya dorong yang tinggi terhadap sektor lainnya. Sedangkan kegiatan industri pengolahan non migas juga merupakan sektor yang memiliki output ekonomi yang tinggi serta memiliki tingkat keterkaitan yang tinggi baik kedepan maupun kebelakang dengan sektor lainnya, sehingga dapat memberikan multiplier effect yang besar terhadap total pertumbuhan ekonomi wilayah. Sektor unggulan kedua (skor keunggulan = 2) adalah peternakan dan hasilnya, perikanan, bangunan, perdagangan besar dan eceran, angkutan, bank dan lembaga keuangan bukan bank serta sektor jasa pemerintahan umum. Sektor-sektor ini memenuhi dua dari tiga indikator keunggulan sektor

184 3. Pola hubungan spasial intra-interregional di Kapet Bima dapat diamati dari pergerakan arus barang dan penduduk antar wilayah, yakni dengan gambaran sebagai berikut : a. Penduduk di Kapet Bima melakukan perjalan untuk memenuhi berbagai kebutuhan sosial maupun ekonomi. Sekitar 88.50 % kebutuhan penduduk dapat dipenuhi dalam kawasan (intra regional) sedangkan sisanya 11.50 % dipenuhi dari luar kawasan (inter regional). Hubungan Interregional Kapet Bima secara garis besar melalui tiga jaringan transportasi, yaitu darat, udara dan laut. Melalui jaringan transportasi darat, Kapet Bima dominan berinteraksi dengan daerah-daerah lain di Propinsi NTB, Bali, Jatim, Jateng, Yogyakarta, DKI Jakarta dan Banten. Melalui jaringan transportasi udara, Kapet Bima dominan berinteraksi dengan daerah-daerah lain di Propinsi NTB, Propinsi NTT, Bali, Jatim, DKI Jakarta dan Banten. Melalui jaringan transportasi laut, Kapet Bima dominan berinteraksi dengan daerah-daerah lain di Propinsi NTB, NTT, Bali, Jatim, DKI Jakarta, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan. b. Berdasarkan model grafitasi melalui jalur transportasi laut terlihat bahwa dinamika interaksi spasial inter regional yang tergambar dari nilai arus penumpang dari Kapet Bima, secara sigifikan dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi wilayah daerah tujuan (b = 0.82) dan menurun seiring dengan makin jauh jarak antar wilayah (c = -2.68), sedangkan arus barang dari Kapet Bima secara signifikan menurun seiiring dengan peningkatan jumlah penduduk (b = -0.50) dan PDRB wilayah tujuan (b = -0.31).Arus penumpang dari berbagai daerah menuju Kapet Bima ditentukan oleh pertumbuhan ekonomi wilayah asal (b = 0.64) dan menurun seiring dengan makin jauhnya jarak wilayah tersebut dengan Kapet Bima (c = -2.31). sedangkan arus barang menuju Kapet Bima secara signifikan meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk Kapet Bima (b = 39.98) dan jarak antar wilayah (c = 93.74), namun menurun seiring peningkatan jumlah penduduk daerah asal (a = -66.15). Fenomena ini menunjukkan bahwa dinamika sosial (yang ditunjukkan dengan arus

185 penumpang) di Kapet Bima lebih tinggi dari pada dinamika ekonomi (yang ditunjukkan dengan arus barang). c. Dalam interaksi wilayah secara nasional, Kapet Bima memegang peranan cukup penting karena merupakan salah satu simpul jaringan transportasi penyeberangan lintas selatan dan terhubung dengan daerah-daerah yang berfungsi sebagai pusat pertumbuhan ekonomi Kawasan Indonesia Barat dan Timur. Sedangkan dalam kajian sejarah Kapet Bima juga melakukan hubungan internasional khususnya dengan Negara-Negara Timur Tengah. Keberadaan Kapet Bima tersebut memiliki posisi strategis dalam hubungan intra-interregional, serta memberikan dampak pada perkembangan sosial, ekonomi dan politik wilayah. 4. Dalam menyusun strategi pengembangan wilayah Kapet Bima, maka digunakan analisis stakeholders, analisis hirarki proses, analsis SWOT serta disintesakan (kolaborasi) dengan analisis sebelumnya. Adapun rumusan strategi umum pengembangan wilayah Kapet Bima sebagai berikut : a. Pengembangan kerjasama dan peningkatan kapasitas institusi, yakni meliputi : - Pengembangan kerjasama antar kabupaten/kota dalam Kapet Bima. Peluang kerja sama yang dapat dilakukan adalah pada bidang transportasi/perhubungan, pengelolaan sumber daya hutan dan wilayah perbatasan, pengelolaan pesisir dan kelautan, pengelolaan air bersih dan energi kelistrikan, pengembangan kegiatan ekonomi, industri dan perdagangan serta pengembangan sosial budaya dan pariwisata. - Promosi dan kerjasama intra-interregional. - Reposisi dan restrukturisasi BP Kapet Bima. - Perencanaan dan penganggaran pembangunan wilayah Kapet Bima secara reguler pada jangka pendek, menengah dan jangka panjang. b. Pengembangan sosial ekonomi perdesaan, yakni meliputi : - Peningkatan kualitas SDM dan ketrampilan usaha masyarakat perdesaan - Pemberdayaan usaha kecil, menengah dan koperasi (UKMK) serta lembaga lokal lainnya

186 - Pengembangan infrastruktur sosial ekonomi perdesaan - Pengembangan pusat pertumbuhan/pelayanan di daerah hinterland. c. Pengembangan sektor unggulan dan optimalisasi sumber daya lahan kering dan pesisir/kelautan, yakni meliputi : - Pengembangan daya saing produk unggulan melalui kebijakan pendukung - Pengembangan sektor unggulan melalui kegiatan agribisnis dan agroindustri - Pengembangan industri pengolahan berbasis sumber daya lokal baik di sektor hulu maupun di hilir - Pengembangan pemanfaatan sumber daya pesisir dan kelautan - Pengembangan sumber daya lahan kering melalui melalui usaha tani lahan kering, industri dan perdagangan d. Pengembangan infrastruktur transportasi dan perdagangan skala regional 6.2. Saran Sehubungan dengan kesimpulan di atas, berikut ini disampaikan beberapa saran berkenaan dengan kebijakan pemerintah dan pengembangan studi ke depan, yakni sebagai berikut : 1. Potensi berbagai sumber daya wilayah potensial di Kapet Bima, khususnya di sektor pertanian cukup tinggi dan diusahakan oleh sebagian besar masyarakat di Kapet Bima, namun pengelolaannya masih sederhana dan bersifat tradisional. Untuk itu Pemerintah Daerah perlu melakukan pembinaan/pendampingan dengan melibatkan stakeholders lainnya terutama pada kegiatan agribisnis subsistem pascapanen dan pemasaran sehingga petani atau masyarakat mendapatkan nilai tambah (value added) produk yang berkorelasi terhadap peningkatan pendapatan dan kesejahteraannya. Selain itu juga perlu dioptimalkan pemanfaatan sumber daya buatan, pariwisata, sumber daya hayati, sumber daya sosial dan nilai budaya dalam pengembangan wilayah secara terpadu.

187 2. Peningkatan keterkaitan antar sektor dan pengembangan sektor unggulan dapat memberikan dampak pengganda yang besar bagi pengembangan wilayah, untuk itu perlu diperhatihan beberapa hal sebagai berikut : a. Dalam pengembangan wilayah Kapet Bima dibutuhkan suatu kebijakan yang strategis bagi total pertumbuhan wilayah, untuk itu perlu diprioritaskan pengembangan sektor unggulan dengan meningkatkan produktivitas, melalui investasi dan pengembangan teknologi khususnya usaha tani lahan kering (pertanian lahan kering, peternakan, perkebunan dan tanaman industri/kehutanan), membangun industri baik industri hulu, pengadaan sarana produksi yang terjangkau, industri hilir/pengolahan yang dapat meningkatkan keterkaitan antar sektor serta dengan meningkatkan daya saing sektor unggulan tersebut. b. Dibutuhkan promosi dan kerjasama yang yang efektif untuk membangun pencitraan komoditi dan wilayah yang didukung oleh pengembangan mutu dan ciri produk yang khas (varietas/spesifik lokal) sehingga dapat membentuk image dan trade mark komoditi unggulan Kapet Bima. Selain itu untuk mendukung promosi dan keberlanjutan kegiatan perdagangan di butuhkan pengadaan gudang, cold storage dan etalase khususnya untuk komoditi unggulan baik dalam kawasan maupun di daerah-daerah pasar potensial luar kawasan. Pengadaan gudang, cold storage dan etalase komoditi dapat menciptakan pencitraan komoditi yang baik, menjaga/mengendalikan tingkat harga yang layak serta dapat meningkatkan daya saing komoditi dari Kapet Bima. Kegiatan ini dapat melibatkan pihak perbankan dan swasta/kadin. 3. Interaksi spasial intra dan inter regional perlu ditingkatkan untuk mendukung pergerakan sumber daya yang optimal dan berimbang di Kapet Bima, untuk itu perlu diperhatikan beberapa hal sebagai berikut : a. Peningkatan interaksi spasial intra dan inter regional melalui pengembangan infrastruktur transportasi, meliputi peningkatan kapasitas jalan raya, khususnya jalan negara yang dilalui oleh kendaraan besar dan berat lintas propinsi, serta pengembangan pelabuhan laut dan udara yang dapat melayani pada skala regional (daerah-daerah di Pulau Lombok,

188 Sumbawa dan NTT) dalam interaksinya dengan wilayah lain secara nasional dan internasional sehingga memberikan dampak positif pada perkembangan sosial, ekonomi wilayah. b. Perkembangan wilayah yang cenderung mengikuti sepanjang jalan raya negara dapat menciptakan pertumbuhan yang terpusat dan linear, dampaknya mengakibatkan pertumbuhan ekonomi dan fisik wilayah yang lamban dan tidak merata. Untuk mengembangkan ekonomi daerah-daerah hinterland (daerah pinggir) yang memiliki sumber daya alam yang besar, maka pengelolaannya membutuhkan infrastruktur yang memadai. Untuk itu perlu dikembangkan instalasi listrik yang dapat berupa energi listrik alternatif dengan menggunakan sumber-sumber energi lokal khususnya untuk mendukung home industri/indutri mikro-kecil dan menengah diperdesaan. Selain itu juga perlu dibangun infrastruktur air bersih, transportasi dan komunikasi serta pasar-pasar tingkat desa untuk membantu kegiatan pemasaran komoditi lokal, sehingga terbentuk pusatpusat pertumbuhan baru yang berbasis sumber daya local di wilayahwilayah hinterland. c. Alasan utama perpindahan penduduk dari desa/kelurahan di Kapet Bima ke daerah lain adalah untuk melanjutkan pendidikan dan mencari pekerjaan. Ketersediaan sekolah masih dirasakan terbatas. Perbandingan jumlah sekolah dengan jumlah penduduk masih tinggi, karena itu perlu dikembangkan lembaga pendidikan khususnya pendidikan kejuruan yang dibangun di daerah pedesaan yang dibutuhkan dalam pengembangan sumber daya setempat untuk meningkatkan SDM yang trampil di perdesaan serta diharapkan secara signifikan dapat membuka lapangan pekerjaan, hal ini dapat mengurangi migrasi keluar kawasan perdesaan di Kapet Bima. 4. Untuk mendukung strategi pengembangan wilayah Kapet Bima, maka beberapa hal yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut : a. Tiap stakeholders memiliki fungsi peran masing-masing dalam pengembangan wilayah Kapet Bima, namun hubungan dan kerja sama secara kelembagaan belum optimal. Sehingga berbagai stakeholders perlu

189 duduk bersama untuk menyusun kerangka kerja dan membangun kemitraan efektif dalam suatu pola yang saling menguntungkan (win-win solution) dalam berbagai kegiatan pengembangan sumber daya wilayah. Untuk itu pemerintah daerah khususnya di tingkat kabupaten/kota perlu menyiapkan perangkat kebijakan (misalnya Perda atau Peraturan Bupati/Walikota) yang memberikan kemudahan atau insentif sehingga dapat mendorong terjadinya kemitraan/keterlibatan khususnya pihak swasta/perbankan. b. Kerjasama antar pemerintah kabupaten/kota dalam lingkup wilayah Kapet Bima merupakan pilihan utama dalam pengembangan wilayah Kapet Bima secara terpadu karena adanya permasalahan struktural, teknis dan keterbatasan infrastruktur yang merupakan kendala utama dalam kegiatan pembangunan. Selain itu alternatif lainnya adalah dengan melakukan penggambungan daerah administratif. Hal ini sesuai dengan pasal 4 sampai dengan pasal 7 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 yang dalam pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 129 tahun 2000 yang sekarang sedang dalam proses revisi, namun alternatif penggabungan beberapa daerah administratif dapat dilakukan apabila adanya usulan dan persetujuan dari daerah yang bersangkutan dan memenuhi syarat administratif, teknis dan fisik wilayah. Berbagai pilihan alternatif ini dalam pelaksanaannya harus melalui kajian yang lebih mendalam sehingga tujuan peningkatan pelayanan kepada masyarakat serta percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah secara terpadu dapat diwujudkan. c. Kerja sama antar daerah telah diamatkan dalam Undang-Undang 32 tahun 2004, khususnya pasal 195 dan 196, yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat serta efisiensi dan efektifitas dalam mengelola pelayanan publik secara bersama dengan daerah sekitarnya. Untuk pengelolaan kerja sama ini daerah dapat membentuk Badan Kerja Sama Antar Daerah (Bakesda). yang dibentuk sesuai dengan bidang kerja sama, sehingga badan ini berjalan lebih fokus dan terarah.

190 d. BP Kapet Bima yang diharapkan sebagai ujung tombak pengembangan wilayah Kapet Bima berjalan stagnan, karena kurang tegasnya fungsi dan kewenangan BP Kapet sebagai lembaga pengelola pembangunan wilayah di Kapet Bima, untuk itu keberadaan BP Kapet Bima perlu dilakukan reposisi dan restrukturisasi, yang kelembagaannya dapat diarahkan sebagai Badan Kerja Sama Antar Daerah (Bakesda) dibidang pengembangan Ekonomi, Industri dan Perdagangan. e. Badan Kerja Sama Antar Daerah (Bakesda) ini bertugas untuk melakukan kajian, perencanaan, pengelolaan dan evaluasi atas pelaksanaan kerja sama. Sehingga Badan Kerjasama Antar Daerah (Bakesda) dapat memberikan masukan atau saran secara lebih efektif kepada masingmasing Kepala Daerah mengenai kebijakan dan program pengembangan wilayah pada bidang kerja sama dimaksud. f. Badan Kerja Sama Antar Daerah (Bakesda) didalam penyelenggaraan kerja sama perlu menyusun program kerja baik untuk periode jangka pendek (satu tahun) maupun untuk jangka menengah dan panjang. Program kerja tersebut terintegrasi dengan program pembangunan wilayah daerah masing-masing sehingga segala pembiayaan dan pendapatan daerah sebagai akibat kerja sama ini dimasukkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang sebelumnya telah dikonsultasikan dan disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) masing-masing. Selain itu pembiayaan dapat pula diusahakan melalui pembiayaan APBD Propinsi, APBN atau dari pihak ketiga. g. Pemerintah Daerah Propinsi NTB memiliki kewenangan yang lebih besar dalam pengembangan wilayah Kapet Bima, namun tingkat peran (keterlibatan)nya relatif masih rendah. Untuk itu Pemerintah Daerah Propinsi NTB perlu berperan lebih besar dengan menggunakan kewenangan yang dimilikinya untuk pengembangan wilayah Kapet Bima, baik sebagai jabatan Gubernur (Kepala Daerah Propinsi) yang secara ad.interm selaku ketua BP Kapet Bima maupun selaku pimpinan kelembagaan pemerintah yang bersifat otonom, yang memiliki kewenangan dalam bentuk desentralisasi dan dekonsentrasi (pasal 1 UU

191 Nomor 32 Tahun 2004), yang melaksanakan fungsinya dalam mengelola sumber daya wilayah lingkup propinsi, serta melakukan koordinasi dan fasilitasi lintas pemerintah daerah kabupaten/kota dalam lingkup propinsi (pasal 13, pasal 15, pasal 16, pasal 17 dan pasal 18 UU Nomor 32 Tahun 2004). 5. Penelitian ini mengkaji pengembangan wilayah di Kapet Bima masih pada tingkat wilayah kabupaten/kota, sehingga kesimpulan dan rekomendasi masih bersifat umum, untuk itu dibutuhkan penelitian lanjutan yang mengkaji wilayah secara lebih mikro, minimal sampai pada kajian tingkat kecamatan, sehingga kajian tipologi/karakteristik wilayah dan rekomendasi hubungan fungsional dan kerja sama intra regional dapat ditentukan secara lebih spesifik.