BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG LEMBAGA PEMBIAYAAN, PERUSAHAAN PEMBIAYAAN DAN WANPRESTASI. 2.1 Pengertian dan Dasar Hukum Lembaga Pembiayaan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. pembiayaan ini, maka banyak lembaga pembiayaan (finance) dan bank (bank

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN. A. Pembiayaan Konsumen dan Dasar Hukumnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Tentang Lembaga Pembiayaan Pada tanggal 20 Desember 1988 (PakDes 20, 1988) memperkenalkan

S I L A B U S A. IDENTITAS MATA KULIAH NAMA MATA KULIAH : KONTRAK PERBANKAN DAN PEMBIAYAAN STATUS MATA KULIAH : KODE MATA KULIAH : JUMLAH SKS : 2

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBIAYAAN. menerus atau teratur (regelmatig) terang-terangan (openlijk), dan dengan tujuan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN

PERJANJIAN SEWA GUNA USAHA ANTARA LESSEE DAN LESSOR. Aprilianti. Dosen Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Lampung.

BAB I PENDAHULUAN. bersifat terbuka, perdagangan sangat vital bagi upaya untuk meningkatkan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Modal ventura sebagai lembaga pembiayaan

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 1988 TENTANG LEMBAGA PEMBIAYAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. macam kegiatan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Untuk dapat memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. dengan pelaku usaha yang bergerak di keuangan. Usaha keuangan dilaksanakan oleh perusahaan yang bergerak di bidang

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mengalami pertumbuhan di segala aspek, diantaranya adalah aspek

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 1988 TENTANG LEMBAGA PEMBIAYAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

JURNAL HUKUM DAN MASYARAKAT Volume 14 Nomor 2 April 2015

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan

BAB I PENDAHULUAN. jenis dan variasi dari masing-masing jenis barang dan atau jasa yang akan

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk

BAB I PENDAHULUAN. jika dibandingkan dengan lembaga keuangan konvensial, yaitu bank. Berdasarkan

BAB III KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN KREDIT BANK. A. Klausula baku yang memberatkan nasabah pada perjanjian kredit

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan di bidang teknologi telah memacu perusahaan untuk

PELAKSANAAN PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN KENDARAAN BERMOTOR RODA DUA PADA PT SEMESTA FINANCE CABANG SEMARANG OLEH VILLYA SANDRA DEWI, SH B4B006248

PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT. Deny Slamet Pribadi

Leasing ialah setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barangbarang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan, dengan jangka

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 448/KMK.017/2000 TENTANG PERUSAHAAN PEMBIAYAAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan dan perkembangan perusahaan yang. menghasilkan berbagai macam produk kebutuhan hidup sehari-hari,

BAB I PENDAHULUAN. semakin meningkat telah memberikan kemajuan yang luar biasa kepada

PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN (Studi Tentang Hubungan Hukum Dalam Perjanjian Di PT. Adira Dinamika. Multi Finance Tbk.

BAB I PENDAHULUAN. atau mesin. Transportasi digunakan untuk memudahkan manusia dalam

Lembaga Pembiayaan. Copyright by Dhoni Yusra

BAB II TINJAUAN UMUM TETANG PERJANJIAN JUAL BELI ANGSURAN, WANPRESTASI, SERTA LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kebutuhan untuk mencapai kesejahteraan hidup. Kebutuhan itu

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

BAB II KEBERADAAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN DALAM INDUSTRI JASA KEUANGAN DAN PRANATA HUKUM INDONESIA

BAB II PEMBIAYAAN KONSUMEN SEBAGAI SALAH SATU BIDANG USAHA PEMBIAYAAN Pengertian Lembaga Pembiayaan. dibutuhkan masyarakat perlu diperluas.

BAB I PENDAHULUAN. Lembaga Pembiayaan (financing institution) merupakan badan usaha yang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ANDALAS PADANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Kebutuhan masyarakat akan pembiayaan sekarang ini semakin tinggi,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sejak krisis melanda Indonesia, perekonomian Indonesia mengalami

BAB I PENDAHULUAN. suatu sistem aturan. Hukum bukanlah, seperti terkadang dikatakan, sebuah

BAB I PENDAHULUAN. sehari-hari manusia pasti saling membutuhkan satu sama lainnya. Oleh sebab itu diwajibkan

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan semakin meningkatnya kegiatan pembangunan Nasional, peran

KAJIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN KENDARAAN BERMOTOR PADA PT. BUSSAN AUTO FINANCE SURAKARTA. Oleh:

seperti yang dimaksud dalam ketentuan Undang-Undang tentang definisi dari kredit ini sendiri

TINJAUAN TENTANG PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA BELI KENDARAAN BERMOTOR

BAB I PENDAHULUAN. negara Indonesia yang menganut Negara welfare state yaitu negara yang

BAB I PENDAHULUAN. dengan segala macam kebutuhan. Dalam menghadapi kebutuhan ini, sifat

BAB I PENDAHULUAN. pembiayaan. Bank sebagai lembaga keuangan ternyata tidak cukup mampu untuk

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2009 TENTANG LEMBAGA PEMBIAYAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. lembaga pembiayaan melakukan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau

BAB I PENDAHULUAN. produk dan ragam yang dihasilkan dan yang menjadi sasaran dari produk-produk

II. TINJAUAN PUSTAKA. kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan laju pertumbuhan ekonomi Negara Kesatuan Republik Indonesia dari

BAB I PENDAHULUAN. yang memproduksi dapat tetap berproduksi. Pada dasarnya kebutuhan


BAB III PELAKSANAAN PERJANJIAN SEWA BELI KENDARAAN BERMOTOR PADA PT. ADIRA FINANCE. perusahaan pembiayaan non-bank (multi finance).

BAB I PENDAHULUAN. berupa membayarkan sejumlah harga tertentu. mencukupi biaya pendidikan dan lainnya.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut SK Menkeu No / KMK.013 / 1988 Lembaga Pembiayaan

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 84/PMK. 012/2006 TENTANG PERUSAHAAN PEMBIAYAAN MENTERI KEUANGAN,

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Menurut Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. perumahan mengakibatkan persaingan, sehingga membangun rumah. memerlukan banyak dana. Padahal tidak semua orang mempunyai dana yang

1. Pengertian. 2. Peraturan Pembiayaan Konsumen. 3. Manfaat Pembiayaan Konsumen. PEMBIAYAAN KONSUMEN (Consumer Finance) 30-Oct-16

DAFTAR PUSTAKA. Ali, Moch Chidin, dkk Pengertian Pengertian Elementer Hukum Perjanjian Perdata. Bandung: Mandar Maju.

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. tidak asing dikenal di tengah-tengah masyarakat adalah bank. Bank tersebut

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP WANPRESTASI YANG DILAKUKAN DEBITOR DALAM PERJANJIAN PEMBIAYAAN SEPEDA MOTOR ARTIKEL. Diajukan Oleh : DODY PEBRI CAHYONO

Penerapan Klausula Baku Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

BAB I PENDAHULUAN. Penggunaan lembaga jaminan sudah sangat populer dan sudah tidak asing

BAB I PENDAHULUAN. nilai strategis dalam kehidupan perekonomian suatu negara. Lembaga. Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,

BAB I PENDAHULUAN. menyalurkan dana dari masyarakat secara efektif dan efisien. Salah satu

ANALISIS YURIDIS PERLINDUNGAN HUKUM BAGI LESSOR DALAM PERJANJIAN LEASING. Oleh : Deavid Maramis 1

BAB III TINJAUAN TEORITIS. ataulebih. Syarat syahnya Perjanjian menurut pasal 1320 KUHPerdata :

ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB I PENDAHULUAN. memenuhi tuntutan tersebut diperlukan adanya lembaga-lembaga yang

BAB III TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Di dalam perkembangan dunia perbankan hingga beberapa tahun

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dalam Pasal 1618 menyebutkan bahwa,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dalam Pasal 1618 menyebutkan bahwa, perseroan

BAB IV PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA BELI KENDARAAN BERMOTOR. A. Pelaksanaan Perjanjian Sewa Beli Kendaraan Bermotor

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan tujuan pembangunan nasional yang dicita-citakan, maka

BAB I PENDAHULUAN. alternatif pembiayaan mana yang paling menguntungkan agar dapat

BAB I PENDAHULUAN. harga-harga produksi guna menjalankan sebuah perusahaan bertambah tinggi

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab

I. PENDAHULUAN. pergeseran persepsi mengenai mobil sebagai suatu icon yang menandakan suatu

BAB III BADAN HUKUM SEBAGAI JAMINAN TAMBAHAN DALAM PERJANJIAN KREDIT DI BPR ALTO MAKMUR SLEMAN

BAB I PENDAHULUAN. Manusia di dalam kehidupan mempunyai bermacam-macam kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tak lepas dari bermacam-macam

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pembelian aset tetap, perusahaan harus mempertimbangkan alternatif

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG DEPOSITO SEBAGAI JAMINAN KREDIT. pengertian hukum jaminan. Menurut J. Satrio, hukum jaminan itu diartikan peraturan hukum

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RERANGKA PEMIKIRAN. a. Pengertian Lembaga Pembiayaan. Tahun 2009 Tentang Lembaga Pembiayaan, Lembaga Pembiayaan adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN. Istilah perjanjian secara etimologi berasal dari bahasa latin testamentum,

PDF Created with deskpdf PDF Writer - Trial ::

A B S T R A K S I PERJANJIAN PEMBIAYAAN DENGAN JAMINAN FIDUSIA DI KPI KOPINDO MULTI FINANCE SURAKARTA

BAB II TINJAUAN TERHADAP PERJANJIAN SEWA BELI. belum diatur dalam Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh para pakar

Transkripsi:

22 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG LEMBAGA PEMBIAYAAN, PERUSAHAAN PEMBIAYAAN DAN WANPRESTASI 2.1 Pengertian dan Dasar Hukum Lembaga Pembiayaan 2.1.1 Pengertian Lembaga Pembiayaan Istilah lembaga pembiayaan memang masih relatif baru jika dibandingkan dengan lembaga keuangan bank. Tidak seperti lembaga keuangan bank yang kita semua sudah kenal lama, lembaga pembiayaan justru baru tumbuh dan berkembang seiring dengan adanya Paket Deregulasi Tahun 1988, yaitu Paket Deregulasi 27 Oktober 1988 (Pakto 88) dan Paket Deregulasi 20 Desember 1988 (Pekdes 88). Meskipun lembaga pembiayaan merupakan lembaga keuangan bersamasama dengan lembaga perbankan, namun dilihat dari padanan istilah dan penekanan kegiatan usaha keduanya ternyata berbeda. Istilah lembaga pembiayaan merupakan padanan dari isitilah bahasa Inggris yaitu financing institution. Ditinjau dari istilahnya, lembaga pembiayaan merupakan lembaga yang membiayai suatu usaha tertentu atau individu. Pembiayaan ini dilakukan dengan memberikan dana ke perusahaan tersebut yang bisa berbentuk dana tunai atau uang bisa juga dalam bentuk barang modal. Lembaga pembiayaan ini kegiatan usahanya lebih menekankan pada fungsi pembiayaan, yaitu dalam

23 bentuk penyediaan dana atau barang modal dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat. Sedangkan lembaga keuangan merupakan padanan dari istilah bahasa Inggris yaitu financial institution. Sebagai badan usaha, lembaga keuangan menjalankan usahanya di bidang jasa keuangan, baik penyedia dana untuk membiayai usaha produktif dan kebutuhan konsumtif, maupun jasa keuangan bukan pembiayaan. Jadi, dalam kegiatan usahanya lembaga keuangan lebih menekankan pada fungsi keuangan, yaitu jasa keuangan pembiayaan dan jasa keuangan bukan pembiayaan. Dengan demikian istilah lembaga pembiayaan lebih sempit pengertiannya dibandingkan dengan istilah lembaga keuangan. Lembaga pembiayaan adalah bagian dari lembaga keuangan. 10 Kita mengenal lembaga pembiayaan yakni sebagai badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal. Lembaga pembiayaan merupakan alternatif pembiayaan di luar perbankan yang lebih dapat disesuaikan dengan kebutuhan riil masyarakat bisnis. 11 Menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan, yang dimaksud dengan lembaga pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang. 10 Sunaryo, op.cit, h. 2-3. 11 Khotibul Umam, 2010, Hukum Lembaga Pembiayaan, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, h. 2.

24 Lembaga pembiayaan dalam menjalankan usahanya dilaksanakan oleh perusahaan pembiayaan. Menurut Pasal 1 angka 2 Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan, yang dimaksud dengan Perusahaan Pernbiayaan adalah badan usaha yang khusus didirikan untuk melakukan Sewa Guna Usaha, Anjak Piutang, Pembiayaan Konsumen, dan/atau usaha Kartu Kredit. Keberadaan lembaga pembiayaan merupakan hal yang sangat positif karena dengan adanya lembaga ini, usaha-usaha yang kekurangan modal dapat dibantu dalam melaksanakan kegiatannya. Selain itu, individu dapat melakukan konsumsi dengan bantuan dana dari lembaga pembiayaan ini. 12 Kebijakan di bidang pengembangan kegiatan lembaga pembiayaan pertama kali diatur berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan yang kemudian ditindaklanjuti melalui Keputusan Menteri Keuangan No. 1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan. Menurut Pasal 1 huruf (b) SK Menkeu No. 1251/KMK.013/1988, yang dimaksud dengan lembaga pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat. 12 Andai Yani, 2010, Pengertian Lembaga Pembiayaan, (Cited, 2011 April 11), available from : URL : http://id.shvoong.com/business-management/investing/2077021-pengertian-lembagapembiayaan/#ixzz1jfvdaew9.

25 Berdasarkan pengertian tentang lembaga pembiayaan diatas, maka dapat ditarik unsur-unsur yang terdapat didalamnya yakni sebagai berikut : a. Badan usaha, yaitu perusahaan pembiayaan yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha lembaga pembiayaan. b. Kegiatan pembiayaan, yaitu melakukan pekerjaan atau aktivitas dengan cara membiayai pada pihak-pihak atau sektor usaha yang membutuhkan. c. Penyediaan dana, yaitu perbuatan menyediakan uang untuk suatu keperluan. d. Barang modal, yaitu barang yang dipakai untuk menghasilkan sesuatu atau barang lain, seperti mesin-mesin, peralatan pabrik, dan sebagainya. e. Tidak menarik dana langsung (non deposit taking) artinya tidak mengambil uang secara langsung baik dalam bentuk giro, deposito, tabungan, dan surat sanggup bayar kecuali hanya untuk dipakai sebagai jaminan utang kepada bank yang menjadi krediturnya. f. Masyarakat, yaitu sejumlah orang yang hidup bersama di suatu tempat, yang terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama. 13 2.1.2 Dasar Hukum Lembaga Pembiayaan Di Indonesia sendiri, walaupun sebelumnya sudah ada satu atau dua macam pranata penyaluran dana non bank, tetapi secara institusional gong mulai dibunyikan setelah pemerintah mengeluarkan Keppres No. 61 Tahun 1988 tentang 13 Sunaryo, loc.cit.

26 Lembaga Pembiayaan, yang kemudian ditindaklanjuti oleh Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 1251/KMK. 013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan sebagaimana telah berkali-kali dirubah, terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 448/KMK. 017/200 tentang Perusahaan Pembiayaan yang semuanya merupakan dasar hukum dari kegiatan lembaga pembiayaan. Namun saat ini telah lahir Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan, yang sekaligus mencabut berlakunya Keputusan Presiden No. 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan. Akan tetapi semua perundangundangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Keputusan Presiden dimaksud dinyatakan masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Presiden ini. 14 2.2 Bidang Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan pada Pasal 3 disebutkan bahwa bidang kegiatan dari perusahaan pembiayaan meliputi : 1. Sewa Guna Usaha; 2. Anjak Piutang; 14 Khotibul Umam, loc.cit.

27 3. Usaha Kartu Kredit; dan/atau 4. Pembiayaan Konsumen. 2.2.1 Sewa Guna Usaha Istilah sewa guna usaha merupakan terjemahan yang diambil dari bahasa Inggris yang berasal dari kata lease. Secara umum sewa guna usaha merupakan suatu kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan peralatan atau barang modal pada perusahaan untuk digunakan dalam proses produksi. Menurut Amin Widjaja Tunggal dan Arif Djohan Tunggal, leasing adalah perjanjian (kontrak) antara lessor dan lessee untuk menyewa suatu jenis barang modal tertentu yang dipilih atau ditentukan oleh lessee. Hak atas pemilikan barang modal tersebut ada pada lessor. Adapun lessee hanya menggunakan barang modal tersebut berdasarkan pembayaran uang sewa yang telah ditentukan dalam suatu jangka waktu tertentu. 15 Dalam Pasal 1 angka (5) Perpres No. 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan sebagai peraturan yang mencabut berlakunya Keppres No. 61 Tahun 1988 menyebutkan bahwa sewa guna usaha adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara Sewa Guna Usaha dengan hak opsi (Finance Lease) maupun Sewa Guna Usaha tanpa hak opsi (Operating Lease) 15 Amin Widjaja Tunggal dan Arif Djohan Tunggal, 1994, Aspek Yuridis Dalam Leasing, Rineka Cipta, Jakarta, h.8.

28 untuk digunakan oleh Penyewa Guna Usaha (Lessee) selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran. Yang dimaksud dengan hak pilih (opsi) adalah hak yang miliki oleh lessee pada akhir masa leasing, yaitu lessee mempunyai hak untuk menentukan apakah dia ingin membeli barang modal tersebut, memperpanjang perjanjian sewa guna usaha ataukah mengembalikan barang modal tersebut kepada lessor. Terjadinya transaksi sewa guna usaha dilatarbelakangi karena tidak cukupnya dana lessee untuk membeli barang modal sehingga menghubungi lessor untuk membiayainya. Dengan demikian ada tiga pihak utama yang terlibat didalamnya yaitu lessor sebagai perusahaan pembiayaan, lessee sebagai pihak yang dibiayai dalam memperoleh barang modal, dan supplier sebagai pihak penjual atau penyedia barang modal. Berdasarkan transaksi yang terjadi antara lessor dan lessee ini, maka sewa guna usaha secara umum dibedakan antara finance lease dan operating lease. Perbedaan pokok diantara kedua jenis sewa guna usaha tersebut adalah adanya hak opsi bagi lessee pada jenis finance lease, sedangkan dalam operating lease tidak ada hak opsi bagi lessee. 2.2.2 Anjak Piutang Anjak piutang dalam bahasa Inggris sering disebut factoring. Anjak piutang merupakan suatu istilah yang berasal dari gabungan kata anjak yang artinya pindah atau alih, dan piutang yang berarti tagihan sejumlah uang.

29 Berdasarkan arti kata tersebut, secara sederhana anjak piutang berarti pengalihan piutang dari pemiliknya kepada pihak lain. Menurut Dahlan Siamat, sejauh ini belum ada definisi yang lengkap yang dapat disetujui oleh kalangan masyarakat keuangan. Selanjutnya ia mendefinisikan anjak piutang sebagai transaksi pembelian dan/atau penagihan serta pengurusan piutang atau tagihan jangka pendek klien (penjual) kepada perusahaan factoring, kemudian akan ditagih oleh perusahaan anjak piutang kepada pembeli karena adanya pembayaran kepada klien oleh perusahaan factoring (factor). 16 Menurut Perpres No. 9 Tahun 2009, Pasal 1 angka (6) tentang Lembaga Pembiayaan, yang dimaksud dengan anjak piutang (factoring) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk pembelian piutang dagang jangka pendek suatu Perusahaan berikut pengurusan atas piutang tersebut. 2.2.3 Usaha Kartu Kredit Kartu kredit merupakan salah satu alat bayar dalam transaksi perdagangan yang sudah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Istilah kartu kredit dalam bahasa Inggris disebut dengan credit card yang didalamnya mencantumkan 16 Dahlan Siamat, 2001, Manajemen Lembaga Keuangan Edisi Ketiga, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, h. 363.

30 identitas pemegang kartu kredit dan penerbitnya, yaitu bank/perusahaan pembiayaan. Istilah kartu kredit juga menunjukkan cara pembayaran yang dilakukan dengan tidak menggunakan uang tunai, meskipun transaksinya dilakukan secara tunai. Kartu kredit ini umumnya dibuat dari bahan plastik dengan bentuk dan ukuran yang kecil, menjadikan kartu kredit/kartu plastik sebagai alat bayar yang aman, praktis, mudah, dan sekaligus meningkatkan prestise bagi pemegangnya. Menurut Pasal 1 angka (8) Perpres No. 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan yang mencabut Keppres No. 61 Tahun 1988, yang dimaksud dengan Usaha Kartu Kredit (Credit card) adalah kegiatan pembayaran untuk pembelian barang dan/atau jasa dengan menggunakan kartu kredit. Adapun menurut Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniati, kartu kredit adalah alat pembayaran dalam transaksi jual beli barang/jasa, atau alat untuk menarik uang tunai dari bank/perusahaan pembiayaan. Kartu kredit tersebut diterbitkan berdasarkan perjanjian penerbitan kartu kredit. Dimana berdasarkan perjanjian tersebut, peminjam memperoleh pinjaman dana dari bank/perusahaan pembiayaan. Peminjam dana adalah pihak yang menerima kartu kredit, yang disebut pemegang kartu kredit (card holder), dan bank/perusahaan pembiayaan adalah pihak yang menyerahkan kartu kredit, yang disebut penerbit (issuer). 17 2.2.4 Pembiayaan Konsumen Menurut Pasal 1 angka 7 Perpres No. 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan, yang dimaksud dengan Pembiayaan Konsumen (consumer finance) 17 Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniati, 2000, Segi Hukum Lembaga Keuangan Dan Pembiayaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 263.

31 adalah kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara angsuran. Pembiayaan konsumen merupakan salah satu model pembiyaan yang dilakukan oleh perusahaan financial, disamping kegiatan seperti leasing, factoring, kartu kredit dan sebagainya. Target pasar dari model pembiayaan konsumen ini sudah jelas yaitu konsumen. Di samping itu besarnya biaya yang diberikan per konsumen relatif kecil mengingat barang yang dibidik untuk dibiayai secara pembiayaan konsumen adalah barang-barang keperluan yang akan dipakai oleh konsumen untuk keperluan hidupnya. Karena itu, risiko dari pembiayaan ini juga menyebar, berhubung akan terlibat banyak konsumen dengan pemberian biaya yang relatif kecil, ini lebih aman bagi pihak pemberi biaya. 18 Pembiayaan konsumen pada dasarnya tidak menekankan pada aspek jaminan. Meskipun demikian sebagai lembaga bisnis, pembiayaan konsumen juga tidak lepas dari adanya resiko. Oleh karena itu dalam praktek, perusahaan pembiayaan konsumen biasanya meminta jaminan tertentu sebagaimana jaminan dalam kredit, dengan jaminan utama berupa kepercayaan. Transaksi pembiayaan konsumen didasarkan pada adanya suatu perjanjian, yaitu perjanjian antara perusahaan pembiayaan konsumen dan konsumen, serta perjanjian jual beli antara pemasok (supplier) dan konsumen. Dengan demikian dalam kegiatan pembiayaan konsumen terdapat 3 (tiga) pihak yang terlibat, yaitu perusahaan pembiayaan konsumen, konsumen, dan pemasok (supplier). Berdasarkan pada perjanjian tersebut maka akan lahir hubungan hukum diantara pihak-pihak tersebut, yang harus melaksanakan perjanjian tersebut dengan itikad baik oleh masing-masing pihak. 18 Munir Fuady, 1995, Hukum Tentang Pembiayaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 161.

32 2.3 Pengertian dan Kriteria Wanprestasi Wanprestasi disebutkan dalam Pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yaitu si berutang adalah lalai apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang telah ditentukan. Berdasarkan pasal tersebut maka seorang debitur dikatakan wanprestasi apabila dia sudah diperingatkan dengan diberikan surat perintah atau akta sejenis atau yang lebih dikenal dengan sebutan somasi oleh kreditur. Dimana somasi biasanya diberikan minimal sebanyak tiga kali. Apabila somasi tidak diindahkan maka kreditur berhak membawa persoalan wanprestasi tersebut ke Pengadilan. Menurut Yahya Harahap, M. seseorang dikatakan wanprestasi apabila orang tersebut dalam melaksanakan kewajibannya tidak tepat pada waktunya. 19 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa seseorang wanprestasi apabila ia dalam melaksanakan prestasinya telah lalai sehingga terlambat dari jadwal waktu yang ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi tersebut tidak menurut sepatutnya atau selayaknya. Sehingga untuk menghindari agar tidak terjadinya wanprestasi maka dalam melaksanakan perjanjian haruslah dibuat menurut yang sepatutnya, serasi, layak, serta sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati dan disetujui bersama. 19 Yahya Harahap, M., 1986, Segi-Segi Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, h. 60.

33 Menurut Yahya Harahap, M. dalam mewujudkan usaha untuk memenuhi suatu perjanjian dapat dilakukan oleh : a. Dilakukan sendiri oleh debitur, seperti dalam perjanjian membuat lukisan, hanya dapat dilakukan oleh debitur itu sendiri. b. Dilakukan dengan bantuan orang lain, misalnya dalam suatu operasi, dokter sebagai debitur biasanya dibantu oleh beberapa orang. c. Bisa juga pemenuhan prestasi perjanjian dilakukan oleh pihak ketiga untuk kepentingan dan atas nama debitur, umpamanya orang dari pihak debitur. 20 Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa dalam setiap persetujuan atau perjanjian akan terdapat pihak-pihak yang mempunyai kewajiban untuk memenuhi prestasinya sesuai dengan apa yang telah disepakati bersama. Atau dengan kata lain bahwa setiap pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian diharuskan untuk memenuhi isi perjanjiannya tersebut secara patut dan benar. Sebab apabila tidak, maka pihak yang tidak memenuhi isi perjanjian secara patut dapat dikatakan cedera janji atau wanprestasi. Karena pihak tersebut tidak melaksanakan prestasinya sejalan dengan tujuan perjanjian yang telah disepakatinya serta keadaan seperti itu merupakan pelanggaran atas hak pihak lainnya. Menurut Abdul Kadir Muhammad : Untuk menentukan apakah seorang debitur dinyatakan bersalah melakukan wanprestasi, terlebih dahulu perlu ditentukan dalam keadaan bagaimana seorang debitur itu dikatakan sengaja atau lalai tidak memenuhi prestasi, ada empat keadaan yaitu sebagai berikut : a. Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali, artinya debitur tidak memenuhi kewajiban yang telah disanggupinya untuk dipenuhi akan suatu 20 Ibid, 56.

34 perjanjian atau tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan Undang- Undang dalam perikatan yang timbul karena Undang-Undang. b. Debitur memenuhi prestasi tetapi tidak ada itikad baik atau melakukan kekeliruan, artinya disini debitur telah melaksanakan atau memenuhi sebagaimana mestinya menurut kwalitas yang telah ditentukan dalam perjanjian atau menurut kwalitas yang telah ditentukan oleh Undang- Undang. c. Debitur memenuhi prestasi tetapi tidak tepat pada waktunya, disini debitur memenuhi prestasi tetapi terlambat atau waktu yang telah ditetapkan tidak dipenuhi. d. Melakukan sesuatu menurut perjanjian tidak boleh dilakukan tetapi oleh pihak debitur hal yang dilarang tersebut tetap dilakukan. 21 Menurut R.Setiawan, ada tiga kriteria untuk menentukan wanprestasi yaitu : a. Tidak memenuhi prestasi sama sekali b. Terlambat memenuhi prestasi c. Memenuhi prestasi secara tidak baik 22 Sehubungan dengan ketiga hal tersebut diatas dapat dijelaskan bahwa debitur tidak lagi mampu memenuhi prestasinya maka dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali. Sedangkan jika prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka digolongkan ke dalam terlambat memenuhi prestasi. Jika debitur memenuhi prestasi secara tidak baik, ia dianggap terlambat memenuhi prestasi. Jika prestasi masih dapat diperbaiki dan jika tidak, maka dianggap tidak memenuhi prestasi sama sekali. Bandung, h. 62. 21 Abdul Kadir Muhammad, 1990, Hukum Perdata Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, 22 R. Setiawan, 1994, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta Bandung, h. 18.

35 Menurut Wirjono Projodikoro, wanprestasi ada tiga (3) bentuk atau kriteria yaitu : a. Pihak yang berwajib sama sekali tidak melaksanakan; b. Pihak yang berwajib terlambat melaksanakan kewajibannya; serta c. Melaksanakan kewajiban tetapi tidak semestinya atau sebaik-baiknya. 23 Menurut Abdulkadir Muhammad, beliau membagi kriteria wanprestasi menjadi tiga (3) yaitu : a. Tidak memenuhi prestasi sama sekali, artinya debitur tidak memenuhi kewajiban yang telah disanggupinya yuntuk dipenuhi dalam suatu perjanjian, atau tidak memenuhi kwewajiban yang ditetapkan Undang-Undang dalam perikatan yang timbul karena Undang-Undang. b. Memenuhi prestasi tetapi tidak atau keliru artinya debitur melaksanakan atau memenuhi apa yang diperjanjikan atau apa yang ditentukan oleh Undang- Undang tetapi tidak sebagaimana mestinya menurut kualitas yang ditentukan dalam perjanjian atau menurut kualitas yang ditetapkan Undang-Undang. c. Memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat pada waktunya artinya debitur memenuhi prestasi tetapi terlambat dengan waktu yang ditetapkan dalam perjanjian tidak dipenuhi. 24 Begitu pula menurut R.M. Suryodiningrat, kriteria wanprestasi ada tiga (3) yaitu : a. Sama sekali tidak berprestasi artinya debitur tidak perlu dinyatakan lalai oleh kreditur karena dalam hal ini tidak dapat diharapkan debitur dapat berprestasi. b. Salah berprestasi artinya apakah debitur perlu dinyatakan lalai terlebih dahulu oleh kreditur agar kreditur dapat menuntut pembatalan perikatan dengan/tanpa tambahan ganti rugi, biaya, dan bunga. c. Terlambat berprestasi artinya dalam terlambat berprestasi sama saja dengan tak berprestasi sama sekali. 25 23 Wirjono Projodikoro, 1985, Asas-Asas Hukum Perjanjian, PT. Bale, Bandung, h. 45. 24 Abdulkadir Muhammad II, op.cit, h. 21. 25 R.M. Suryodiningrat, 1995, Azaz-Azaz Hukum Perikatan, Tarsito, Bandung, h. 24.

36 Sedangkan menurut Purwahid Patrik, kriteria dari wanprestasi adalah : a. Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali. b. Debitur terlambat dalam memenuhi prestasi. c. Debitur berprestasi tidak sebagaimana mestinya. 26 Dari kriteria wanprestasi tersebut diatas, kadang-kadang menimbulkan keraguan pada waktu debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali atau terlambat dalam memenuhi prestasi. Apabila debitur sudah tidak mampu memenuhi prestasinya maka ia akan termasuk tidak memenuhi prestasi sama sekali, tetapi apabila debitur masih mampu memenuhi prestasi, ia dianggap sebagai terlambat dalam memenuhi prestasi. Demikian pula debitur memenuhi prestasinya, apabila prestasi masih dapat diharapkan untuk diperbaiki maka debitur dianggap terlambat tetapi tidak dapat diperbaiki lagi, debitur sudah dianggap sama sekali tidak memenuhi prestasi. Dari uraian kriteria wanprestasi diatas maka dapatlah diketahui bahwa yang dimaksud dengan wanprestasi adalah suatu keadaan dimana seorang debitur tidak dapat memenuhi isi persetujuan yang telah dibuat secara patut dan benar. Adapun dasar hukum bagi berlakunya wanprestasi itu sendiri adalah ketentuanketentuan hukum yang dipergunakan sebagai dasar yuridis untuk meletakkan keadaan tidak mampu memenuhi prestasi tersebut sebagai suatu prestasi. Tentang wanprestasi, baik dalam ketentuan pasal-pasal Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maupun 26 Purwahid Patrik, Dasar-dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung, h. 11.

37 ketentuan lainnya tidak terdapat pengaturannya secara pasti, artinya Kitab Undang- Undang Hukum Perdata tidak mengatur secara khusus perihal pengertian wanprestasi itu secara tersendiri. Akan tetapi pasal-pasal yang bersangkutan tentang hal itu, sebagaimana pula dapat dilihat dari beberapa literatur Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya mengatur tentang keadaan memenuhi kewajibannya setelah dinyatakan lalai untuk dimana seorang debitur dapat dikategorikan telah tidak dinyatakan lalai untuk berprestasi. Ketentuan tentang lalai dapat dilihat dalam Pasal 1238 KUHPerdata. Demikian pula tentang resiko dari kelalaian itu diatur dalam Pasal 1237 KUHPerdata, yang merupakan pengaturan atas sanksi atau pertanggungjawaban hukum karena lalai itu. Kedua ketentuan tersebut merupakan ketentuan yang mengatur tentang keadaan bagaimana seorang debitur dapat dikatakan wanpestasi. Demikian pula tentang resiko dalam perjanjian yang gunanya untuk meletakkan dasar tentang keadaan bagaimana debitur yang lalai dimintakan tanggung jawab karena wanprestasi.