ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB I PENDAHULUAN. memenuhi tuntutan tersebut diperlukan adanya lembaga-lembaga yang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB I PENDAHULUAN. memenuhi tuntutan tersebut diperlukan adanya lembaga-lembaga yang"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang dan Rumusan Masalah Seiring bertambahnya ilmu pengetahuan dan teknologi, sejalan dengan era globalisasi yang bergulir saat ini, maka semua sektor kehidupan manusia baik itu sosial, budaya, politik dan khususnya perekonomian juga mengalami peningkatan yang cukup pesat sehingga menimbulkan banyak pula tuntutan kebutuhan oleh masyarakat, baik dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan konsumsi sehari-hari maupun di bidang usaha atau bisnis khususnya di Indonesia.Untuk dapat memenuhi tuntutan tersebut diperlukan adanya lembaga-lembaga yang memberikan jasa keuangan bagi perusahaan-perusahaan atau perseorangan yang memiliki masalah keuangan dalam memperoleh barang modal maupun barang yang digunakan untuk keperluan sehari-hari, misalnya kendaraan bermotor, barang elektronik dan mesin-mesin industri. Dalam bidang pembiayaan secara berkala, selain melalui sistem perbankan dan lembaga keuangan non bank yang telah dikenal, juga terdapat sistem pembiayaan alternatif. Diantara lembaga keuangan non bank yang merupakan bagian dari sistim pembiayaan alternatif yang saat ini banyak diminati oleh masyarakat adalah Lembaga Pembiayaan melalui Perusahaan Pembiayaan dengan

2 cara Sewa Guna Usaha (leasing). Sebagai alternatif sistem pembiayaan, usaha leasing dalam tahun-tahun belakangan ini memainkan peranan yang semakin penting bagi perkembangan perekonomian di Indonesia karena pada saat ini tidak sedikit perusahaan atau perseorangan yang membutuhkan modal baik berupa uang maupun barang, tetapi tidak memiliki keuangan yang mencukupi. Melalui mekanisme leasing, secara teoritis jelas lebih menguntungkan bagi pengusaha yang memiliki keterbatasan modal untuk melakukan ekspansi usaha dan juga lebih memberi kemudahan-kemudahan dibandingkan dengan pembiayaan melalui pinjaman dari bank. Perjanjian leasing merupakan salah satu bentuk perjanjian yang tidak bernama yang secara yuridis tidak diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata atau Burgerlijk Wetboek ( yang selanjutnya di singkat dan disebut BW) dan merupakan ciptaan di dalam praktik berdasarkan hukum kebiasaan. Secara yuridis, saat ini lembaga leasing telah diatur dalam Pasal 1 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 tahun 2009 Tentang Lembaga Pembiayaan, bahwa Sewa Guna Usaha (Leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara Sewa Guna Usaha dengan hak opsi (Finance Lease) maupun Sewa Guna Usaha tanpa hak opsi (Operating Lease) untuk digunakan oleh Penyewa Guna Usaha (Lessee) selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran. Finance lease merupakan bahasan utama dalam penelitian ini merupakan salah satu fenomena modern dalam dunia bisnis, yang

3 dimaksudkan untuk memberikan kemudahan kepada Lessee 1 dalam penyedia barang modal, dimana ia belum mampu untuk membeli barang modal tersebut tetapi hanya mampu sebatas menyewa barang modal tersebut. Dengan adanya Hak Opsi yang terdapat dalam leasing tipe Finance lease merupaka pilihan bagi pihak lessee apakah ia akan membeli barang tersebut pada harga yang telah disepakati bersama. Harga ini didasarkan pada nilai dari barang obyek leasing yang merupakan besarnya jumlah uang yang harus dibayar kembali oleh Lessor kepada Lesee pada saat memilih menggunakan opsinya. Menurut Black s Law Dictionary,Lease adalah : a contract by which a rightful possesor of personal conveys the right to use and occupy the property in exchange for consideration. 2 MenurutSri Suyatmi leasing atau leasing company adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal, baik secara finance lease maupun operating lease yang digunakan oleh penyewa 1 Para pihak dalam perjanjian leasing adalah Perusahaan Pembiayaan atau disebut Lessor dan Penyewa Guna Usaha yang biasa disebut Lessee. Didalam Pasal 1 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1169/KMK.01/1991 Tentang kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing) memberikan pengertian Lessoradalah badab usaha diluar Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha Lembaga Pembiayaan. Sedangkan Lessee adalah perusahaan atau perorangan yang menggunakan barang modal dengan pembiayaan dari Perusahaan Pembiayaan. 2 Bryan A. Garner, Black s Law Dictionary (Minnesota: West Publishing Co, 2004) ed. 8, h. 2602

4 guna usaha selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala. 3 Equipment Leasing Association di London sebagaimana dikutip Amin Widjaja Tunggal dan Arif Djohan Tunggal memberikan pengertian leasing adalah perjanjian antara lessor dan lessee untuk menyewa suatu jenis barang modal tertentu yang dipilih/ditentukan oleh lessee. Hak pemilikan atas barang modal tersebut berdasarkan pembayaran uang sewa yang telah ditentukan dalam suatu jangka waktu tertentu. 4 Oleh karena perjanjian leasing merupakan salah satu bentuk perjanjian tidak bernama yang secara yuridis tidak diatur dalam BW. Hal ini dimungkinkan, karena pada prinsipnya hukum perjanjian yang diatur dalam BW menganut sistem terbuka, yang berarti bahwa hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk membuat perjanjian yang berisi apa saja, selama tidak melanggar peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, dan kesusilaan. Sistem terbuka ini mengandung suatu asas kebebasan berkontrak yang tertuang dalam Pasal 1338 ayat (1) BW yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.. Dengan berpedoman pada asas kebebasan berkontrak, 3 Sri Suyatmi SE dan J. Sadiarto, Problematika Leasing di Indonesia, Arikha Media Cipta, Jakarta, 1992, h.8 4 Amin Widjaja Tunggal dan Arif Djohan Tunggal, Aspek Yuridis Dalam Leasing, Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hal. 8

5 memberikan suatu landasan bagi terbentuknya perjanjian leasing yang merupakan salah satu dari beberapa jenis perjanjian tak bernama lainnya. Pada dasarnya setiap perjanjian di Indonesia sampai saat ini masih berpedoman pada ketentuan yang terdapat dalam Buku III BW sebagai dasar hukum berlakunya suatu perjanjian. Pada Pasal 1319 BW disebutkan bahwa semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lalu. Bertolak dari ketentuan tersebut dikenal adanya dua kelompok perjanjian, yang pertama adalah perjanjian bernama (benoemde atau nominaat contracten) yaitu perjanjian yang oleh undang-undang diberikan suatu nama tertentu dan pengaturannya diatur secara tegas di dalam undang-undang sebagaimana yang terdapat pada titel V sampai dengan titel XIX Buku III BW, dan yang kedua adalah perjanjian yang dalam BW tidak dikenaldengan suatu nama tertentu yang disebut dengan perjanjian tak bernama (onbenoemde atau innominaat contracten) 5. Umumnya, pranata sewa guna usaha/leasing di Indonesia menggunakan bentuk Perjanjian Baku (Standart Form Contract) yang mengikat para pihak. Klausul-klausul dalam perjanjian tersebut telah dibuat sebelumnya oleh pihak lessor tanpa melibatkan pihak lessee, sehingga pihak lessee hanya berwenang untuk menyatakan kesepakatannya terhadap isi atau ketentuan yang telah ada atau 5 J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Cetakan ke-1, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 1995, h. 147 (Selanjutya disingkat J. Satrio I)

6 tidak. Dewasa ini kontrak baku banyak dipraktekkan dalam dunia bisnis karena dipandang lebih efisien, dapat membuat praktek bisnis lebih simpel, dan dapat segera ditandatangani para pihak. Namun disatu sisi kontrak baku juga mempunyai kelemahan-kelemahan adalah bahwa karena kurangnya kesempatan bagi pihak lawan untuk menegosiasi atau mengubah klausula-klausula dalam kontrak yang bersangkutan, sehingga kontrak baku tersebut sangat berpotensi untuk jadi klausula yang berat sebelah. 6 Adakalanya dalam melaksanakan perjanjian tidak sesuai dengan yang diharapkan atau terdapatnya hambatan dalam pelaksanaan perjanjian. Tidak dapat dilaksanakannya perjanjian tersebut karena salah satu pihak melakukan wanprestasi atau ingkar janji. Mengingat bahwa transaksi leasing ini yang biasanya melibatkan sejumlah modal besar, maka memungkinkan terjadinya penyimpangan berupa ingkar janji atau wanprestasi dari para pihak. Tidak terlaksananya kewajiban lessee seperti yang diperjanjikan, yaitu pihak lessee (debitur) tidak dapat membayar uang sewa kepada pihak lessor, hal ini merupakan tindakan wanprestasi yang dalam perusahaan leasing merupakan resiko usaha. Untuk itu kemungkinan-kemungkinan kerugian yang disebabkan wanprestasi pihak lessee diperkecil resikonya dengan memperkuat klausulaklausula di dalam perjanjian leasing, bahkan membuat akta-akta tambahan 6 Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis),Buku Kedua, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hal (selanjutnya disingkat Minir Fuady I)

7 sebagai bentuk perjanjian lain yang disatukan dengan perjanjian leasing. Oleh sebab itulah dalam praktek agar tidak merugikan pihak lessor dan usaha lessee dapat berjalan dengan baik, maka para pihak berupaya untuk melakukan penyelesaian yaitu dengan bersepakat untuk menempuh dengan cara pembaharuan utang (novasi) sebagaimana yang diatur dalam pasal 1413 BW. Hal ini sebagai alternatif penyelesaian kewajiban lessee dalam perjanjian leasing. Berdasarkan ketentuan Pasal 1413 BW, novasi atau pembaharuan utang ada tiga (3) macam jalan untuk melaksanakan yaitu novasi obyektif, novasi subjektif pasif, dan novasi subjektif aktif. Dalan hal ini yang akan dibahas dalam permasalahan penelitian ini adalah yang berkaitan dengan novasi subyektif pasif atau disebut juga alih debitur yaitu apabila seorang berutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang berutang lama, yang oleh yang si berpiutang dibebaskan dari perikatannya artinya penggantian debitur lama oleh debitur baru. Debitur lama sebagai pihak yang berhutang atas inisiatif debitur sendiri atau inisiatif dari krediturnya dapat mengalihkan utang debitur lama kepada pihak lain sebagai debitur baru. Dengan penggantian debitur lama kepada debitur baru berarti membebaskan debitur lama dari kewajiban membayar utangnya kepada kreditur. Oleh karena telah terjadi pembaharuan utang (novasi), maka berakibat hukum terhadap perikatan yang dituangkan dalam perjanjian leasing yang dibuat oleh pihak lessor dan lessee tersebut yaitu hapusnya perikatan tersebut, sebagaimana ketentuan pasal 1381 BW menyatakan :

8 Perikatan-perikatan hapus: karena pembayaran, karena penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan, karena pembaharuan utang (novasi), karena perjumpaan utang (kompensasi), karena percampuran utang, karena pembebasan utangnya, karena musnahnya barang yang terutang, karena kebatalan atau pembatalan, karena berlakunya suatu syarat batal, karena lewatnya waktu (daluwarsa). Novasi terhadap debitur pada perjanjian leasing yang dilakukan dimana jangka waktu sewanya masih berjalan, biasanya terjadi karena debitur lama (lessee) mengalami kesulitan untuk melanjutkan pembayaran uang sewa dikarenakan menurunnya kondisi keuangan lessee atau debitur lama meninggal sehingga ahli warisnya menggantikan posisi debitur lama. Hal tersebut yang dapat menyebabkan pada akhirnya lessee mengalihkan kewajibannya kepada pihak lain walaupun masih dalam ikatan perjanjian leasing, sehingga perlu adanya persetujuan pihak lessor untuk terjadinya novasi. Timbulnya pembaharuan utang tersebut yang mengakibatkan si berutang (debitur baru) menggantikan orang yang berutang lama (debitur lama) mendorong orang yang berutang baru tersebut untuk mengikatkan dirinya terhadap orang yang berpiutang (kreditur), ternyata berdasarkan Pasal 1417 BW hal yang demikian tersebut tidak menerbitkan suatu pembaharuan utang, jika si berpiutang tidak secara tegas menyatakan bahwa ia bermaksud membebaskan orang berutang yang melakukan pemindahan itu dari perikatannya. Berdasarkan pasal 1417 BW tersebut terhadap pembaharuan utang harus dipertegas oleh pihak orang yang berpiutang (kreditur/ dalam hal ini lessor) dalam

9 suatu perjanjian atau kesepakatan dengan orang yang berutang yang lama maupun yang baru bahwa ia si berpiutang membebaskan orang yang berutang (debitur lama) dari penuntutan, sehingga prinsip-prinsip hukum perjanjian harus diperhatikan dan dijalankan kedua oleh belah pihak. Namun demikian berdasarkan Pasal 1418 BW pihak yang berpiutang dapat mempertahankan hak penuntutan itu dengan tegas dalam suatu perjanjian jika dalam suatu keadaan tertentu, yang selengkapnya Pasal 1418 BW menyatakan : Si berpiutang yang membebaskan siberutang yang telah melakukan pemindahan, tak dapat menuntut orang tersebut, jika orang yang ditunjuk untuk menggantikan itu jatuh dalam keadaan pailit atau nyata-nyata tak mampu, terkecuali jika hak penuntutan itu dengan tegas dipertahankan dalam perjanjian, atau jika orang berutang yang ditunjuk sebagai pengganti itu pada saat pemindahan telah nyatanyata bangkrut atau telah berada dalam keadaan terus-menerus merosot kekayaannya. Oleh karena itu dalam proses novasi subjektif pasif, ada syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi baik oleh pihak lessor sebagai kreditur maupun lessee sebagai debitur lama dan debitur baru. Selain itu juga perlu dibuat beberapa akta atau dokumen yang perlu dibuat berkaitan dengan proses novasi ini. Salah satu syarat dilakukannya novasi subjektif pasif sebagaimana diatur pada Pasal 1415 BW yaitu novasi subyektif pasif harus dilakukan secara tegas tidak boleh hanya dipersangkakan. Artinya novasi terhadap debitur tersebut harus dilakukan dengan persetujuan dari pihak Lessor sebagai kreditur, hal ini sebagai bagian dari perlindungan hukum terhadap lessor itu sendiri.

10 Sesuai dengan latar belakang sebagaimana tersebut di atas, maka permasalahan atau isu hukum (legal issue) yang akan dibahas adalah: 1. Prinsip hukum apakah yang wajib dijalankan oleh para pihak jika terjadi novasi subyektif pasif sebagai alternatif penyelesaian kewajiban lessee dalam perjanjian leasing? 2. Apa akibat hukumnya jika terjadi novasi subyektif pasif sebagai alternatif dalam penyelesaian kewajiban lessee dalam perjanjian leasing? 2. Tujuan Penelitian a. Untuk menganalisis prinsip hukum yang harus dijalankan dalam penyelesaian kewajiban lessee jika terjadi novasi subyektif pasif sebagai alternatif penyelesaiannya. b. Untuk menganalisis akibat hukumnya jika terjadi novasi subyektif pasif sebagai alternatif penyelesaian kewajiban lessee kepada lessor dalam perjanjian leasing. 3. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk: a. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan peneliti, sehubungan dengan novasi subyektif pasif sebagai alternatif penyelesaian kewajiban lessee dalam perjanjian leasing.

11 b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran terhadap pengetahuan dan wawasan keilmuan khususnya bagi praktisi hukum dan pelaku usaha serta masyarakat. 4. Kajian Pustaka a. Perjanjian Buku III BW tentang perikatan (van Verbintensis) tidak memberikan definisi tentang apa yang dimaksud dengan perikatan itu. Namun justru diawali dengan Pasal 1233 BW mengenai sumber perikatan yaitu kontrak atau perjanjian yang merupakan salah satu dari dua unsur hukum yang ada selain undang-undang yang dapat menimbulkan perikatan. Bahkan apabila diperhatikan dalam praktik masyarakat, perikatan yang bersumber dari kontrak atau perjanjian begitu mendominasi. 7 Oleh karenanya pemerintah membuatkan aturan-aturannya yang terpampang atau tertuang di dalam Bab V-XVIII Buku III BW dan dibuatkan nama-nama khusus terhadap jenis-jenis perjanjian tersebut, baik itu Perjanjian Bernama maupun Perjanjian Tak Bernama. Apabila di dalam BW tidak dapat mengakomodir kebutuhan bisnis masyarakat, maka pemerintah memberikan kewenangan kepada masyarakat untuk membuat perjanjian diluar Buku III BW. Pasal 1319 BW menyatakan semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus, maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lain. BW merestui 7 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian:Asas Proporsional dalam Kontrak Komersial, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010, h. 19

12 perjanjian tak bernama yang dibuat oleh masyarakat, dengan tetap tunduk pada Buku III BW. Di dalam melakukan perikatan baik perjanjian Bernama dan tak Bernama, harus tetap memenuhi syarat sahnya perjanjian yang ada dalam Pasal 1320 BW yaitu kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu dan sesuatu sebab yang halal. Syarat sepakat mereka yang mengikatkan dirinya dan kecakapan untuk membuat suatu perikatan disebut dengan syarat subyektif, sedangkan syarat suatu hal tertentu dan sesuatu sebab yang halal disebut dengan syarat obyektif. Apabila perjanjian yang dibuat syarat subyektifnya tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalan sesuai dengan yang dikemukakan oleh Subekti sebagai berikut: Apabila pada waktu pembuatan perjanjian, ada kekurangan mengenai syarat subyektif, maka perjanjian itu bukan batal demi hukum, tetapi dapat dimintakan pembatalan. Namun jika syarat obyektif tidak dipenuhi, maka perjanjiannya adalah batal demi hukum. Dalam hal demikian secara yuridis dari semula tidak ada suatu perjanjian dan tidak pula suatu perikatan antara orang-orang yang bermaksud membuat perjanjian itu. 8 Perjanjian yang dibuat memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana Pasal 1320 BW, maka perjannjian tersebut mengikat kedua belah pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang, sesuai dengan bunyi Pasal 1338 BW menyatakan semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang- 8 R. Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1991, h.22

13 undang bagi mereka yang membuatnya. Semua`perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Semua`perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Pasal 1338 BW ini mencerminkan asas kebebasan berkontrak dan dengan berpedoman pada asas kebebasan berkontrak, memberikan suatu landasan bagi terbentuknya perjanjian leasing yang merupakan salah satu dari beberapa jenis perjanjian tak bernama lainnya. Sedangkan berdasarkan ketentuan Pasal 1233 BW, perikatan itu bersumber pada undang-undang atau pada perjanjian. Namun terlihat nyata, bahwa dalam kehidupan sosial, perikatan yang sering muncul kebanyakan bersumber dari perjanjian. 9 Pengertian perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Dari kejadian ini, timbulah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Jadi, pengertian perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Pihak yang berhak menuntut sesuatu, dinamakan kreditur atau si berpiutang, sedangkan pihak yag berkewajiban memenuhi tuntutan itu dinamakan debitur atau si berutang M. Isnaeni, Hipotek Pesawat Udara di Indonesia, Dharma Muda, Surabaya, 1996, h R. Subekti, Op.Cit, h.1

14 Hukum Perjanjian mengenal beberapa asas penting yang merupakan dasar kehendak para pihak dalam mencapai tujuan. Beberapa prinsip atau asas perjanjian sebagaimana diatur dalam Buku III BW, yaitu: 11 (1) Asas Kebebasan Berkontrak Asas ini terdapat dalam ketentuan Pasal 1338 BW, yang menyebutkan : Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya Asas kebebasan berkontrak bermakna bahwa setiap orang bebas membuat perjanjian dengan siapapun, apapun isinya, apapun bentuknya sejauh tidak melanggar undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Asas ini memiliki ruang lingkup kebebasan untuk: a) Membuat atau tidak membuat perjanjian; b) Mengadakan perjanjian dengan siapapun; c) Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya; d) Menentukan objek perjanjian; e) Menentukan bentuk perjanjian secara tertulis atau lisan (2) Asas Konsensualisme Asas konsensualisme ini terdapat dalam Pasal 1320 ayat (1) BW yang mengandung pengertian bahwa perjanjian itu terjadi saat tercapainya kata 11 Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia., Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2009, h

15 sepakat (konsensus) antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian, sehingga sejak saat itu perjanjian mengikat dan mempunyai akibat hukum. (3) Asas Mengikatnya Perjanjian (Asas Pacta Sunt Servanda) Asas ini dapat disimpulkan dalam ketentuan Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), yang merupakan akibat hukum suatu perjanjian, yaitu adanya kepastian hukum yang mengikat suatu perjanjian. (4) Asas Itikad Baik Asas ini tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, yang berbunyi: Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik Itikad baik ada 2 (dua), yaitu : a) Bersifat objektif, artinya mengindahkan kepatutan dan kesusilaan; b) Bersifat subjektif, ditentukan oleh sifat batin seseorang. b. Leasing Istilah leasing sebenarnya berasal dari kata lease, yang berarti sewa menyewa. Karena memang dasarnya leasing adalah sewa menyewa. Jadi leasing merupakan suatu bentuk derivatif dari sewa menyewa. Tetapi kemudian dalam dunia bisnis berkembanglah sewa menyewa dalam bentuk khusus yang disebut leasing itu atau kadang-kadang disebut sebagai lease saja dan telah berubah

16 fungsinya menjadi salah satu jenis pembiayaan. Dalam bahasa Indonesia leasing sering diistilahkan dengan sewa guna usaha. 12 Secara yuridis, saat ini lembaga leasing telah diatur dalam Pasal 1 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 tahun 2009 Tentang Lembaga Pembiayaan bahwa Sewa Guna Usaha (Leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara Sewa Guna Usaha dengan hak opsi (Finance Lease) maupun Sewa Guna Usaha tanpa hak opsi (Operating Lease) untuk digunakan oleh Penyewa Guna Usaha (Lessee) selama jangka waktu tertentu berdasarkanpembayaran secara angsuran. Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan yang dimaksudsewa guna usaha atau Leasing adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara guna usaha dengan hak opsi maupun sewa guna usaha tanpa opsi untuk digunakan oleh penyewa guna usaha sampai jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran Selanjutnya menurut Keputusan Menteri Keuangan RI No. 1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (leasing), yang dimaksud dengan leasing adalah suatu kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyedia barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk 12 Munir Fuady, Hukum Tentang Pembiayaan (Dalam Teori dan Praktek), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, h.7. (selanjutnya disingkat Munir Fuady II)

17 dipergunakan oleh lessee selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala. Dari definisi tersebut di atas, dapat disebutkan bahwa yang menjadi elemen-elemen dari suatu leasing adalah sebagai berikut 13 : 1. Suatu pembiayaan perusahaan 2. Penyediaan barang modal 3. Keterbatasan Jangka Waktu 4. Pembayaran kembali secara berkala 5. Hak opsi untuk membeli barang modal 6. Nilai sisa (residu) Dalam suatu perjanjian leasing pada dasarnya terdapat tiga pihak yang terkait, yaitu : a. Lessor(perusahaan leasing) sebagai pemilik barang atau pihak yang menyewakan; b. Lessee (perusahaan/nasabah) sebagai pemakai barang atau pihak penyewa; c. Supplier sebagai penjual barang; dimana setiap pihak mempunyai hak dan kewajiban dengan kepentingan masing-masing. Pihak lessor sebagai pihak yang menyewakan barang modal dalam hal ini sangat memerlukan dan menghendaki kepastian adanya jaminan dari pihak lessee bahwa barang modal yang telah disewakan akan kembali. Sehingga jaminan merupakan hal yang pokok untuk mendapat fasilitas leasing, karena bila 13 Ibid, h. 10.

18 dikemudian hari ternyata debitur ingkar janji/wanprestasi terhadap perjanjian leasing maka jaminan mempunyai fungsi yang sangat penting. Pada dasarnya dalam praktek leasing dibedakan dalam dua bentuk leasing, yang dilakukan secara Finance Lease maupun secara Operating Lease. Dalam finance lease dimana penyewa guna usaha pada akhir masa kontrak mempunyai hak opsi untuk membeli obyek leasing berdasarkan nilai sisa yang disepakati bersama, sedangkan dalam operating lease dimana penyewa guna usaha tidak mempunyai hak opsi untuk membeli obyek leasing. c. Novasi Novasi merupakan pembaharuan utang dalam hal ini hutang yang lama dihapus dan diganti dengan hutang yang baru. Di sisi lain novasi mempunyai maksud secara luas yaitu suatu persetujuan yang menyebabkan hapusnya suatu perikatan lainnya ditempatkan sebagai pengganti semula. 14 Apabila memperhatikan Pasal 1381 BW, terdapat penegasan, bahwa novasi merupakan salah satu cara penghapusan perjanjian. Namun dari segi karakternya, novasi sedikit berbeda dengan cara-cara penghapusan perjanjian yang lain seperti pembayaran, kompensasi, ataupun dengan penghapusan hutang. Pada cara dan bentuk penghapusan serta merta mengakhiri hubungan hukum antara kreditor dengan debitor, misalnya pembayaran barang yang sudah dibeli dengan sendirinya berakhirlah hubungan hukum antara kreditor dengan debitor. 14 Wirjono Projodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Mandar maju, Bandung, 2000, h

19 Berbeda halnya dengan novasi, sekalipun pada prinsipnya bertujuan menghapuskan perjanjian, namun hubungan hukum perjanjian lama dilanjutkan dalam bentuk perjanjian baru. Hal ini terjadi disebabkan penghapusan perjanjian dan hubungan hukum yang baru yang mengmbil posisi di atas perjanjian dan hubungan hukum lama. Dengan kata lain, novasi adalah pernyataan kehendak para pihak kreditor dan debitor, yang berisi penghapusan perjanjian lama dan pada saat yang sama diganti dengan perjanjian baru yang berupa kelanjutan dari perjanjian lama. Karena novasi dimaksudkan untuk menggantikan perikatan yang lama dengan perikatan baru, maka novasi tidak terjadi, kalau ternyata perikatannya yang lama tidak ada. 15 Menurut ketentuan Pasal 1413 BW, novasi dapat terjadi disebabkan karena: Apabila debitor dan kreditor mengadakan ikatan perjanjian hutang terhadap kreditor dengan tujuan menghapuskan dan mengganti perjanjian lama dengan perjanjian baru. Dalam hal ini perjanjiannya yang diperbaharui. (Novasi Obyektif) 2. Apabila seorang debitor baru menggantikan debitor lama yang dibebaskan dari kewajiban pembayaran oleh kreditor. (Novasi Subyektif Pasif) 15 J. Satrio, Cessie,Subrogatie,Novatie,Kompensatie,& Percampuran Hutang,Alumni, Bandung,1999, h.102 (Selanjutnya disingkat J. Satrio II) 16 Mariam darus Badrulzaman et,all, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, h. 133

20 3. Dengan membuat perjanjian baru yang menggantikan kreditor lama dengan kreditor baru, dan kreditor lama tidak berhak lagi menagih/menuntut pembayaran dari ikatan perjanjian yang lama. Terjadinya novasi pada angka 2 dan 3 tersebut di atas adalah merupakan novasi subyektif yakni adanya pembaharuan terhadap subyek perjanjian. Jika subyek (debitor) yang diperbaharui dengan debitor baru, novasi yang demikian disebut sebagai novasi subyektif pasif, yang akan menjadi pokok bahasan permasalahan dalam penelitian ini. d. Wanprestasi Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan debitur. 17 Prestasi merupakan kewajiban, yang berarti kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak yang membuat perjanjian sebagai pelaksanaan dari perjanjian tersebut. Kewajian yang timbul dari suatu perjanjian menurut Pasal 1234 BW yang menentukan bahwa tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu. Menurut Subekti, seseorang dikatakan telah wanprestasi apabila: 18 a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya b. melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan 17 Salim H.S, Hukum Kontrak (Teori dan Tehnik Penyusunan Kontrak), Sinar Grafika, Jakarta, 2010, h R. Subekti, Op.Cit, h.45

21 c. melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat d. melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya. Adapun yang dimaksud dengan cidera janji atau wanprestasi menurut Yahya Harahap, bahwa istilah wanprestasi atau cidera janji diatur dalam Pasal 1243 jo. Pasal 1763 BW, yaitu: 19 (1) Pasal 1243 BW menjelaskan pengertian wanprestasi atau cidera janji, yaitu : a) Lalai memenuhi perjanjian; b) Tidak menyerahkan atau membayar dalam jangka waktu yang ditentukan; c) Tidak berbuat sesuai yang dijanjikan dalam tenggang waktu yang ditentukan. (2) Pasal 1763 BW menjelaskan pengertian yang lebih spesifik, bahwa wanprestasi adalah tidak mengembalikan pinjaman sesuai dengan jumlah pinjaman dalam waktu yang ditentukan. meliputi : 20 Wanprestasi dapat disebabkan oleh adanya kesalahan debitur,yang a) Kesengajaan, adalah perbuatan yang menyebabkan terjadinya wanprestasi tersebut memang diketahui oleh debitur. b) Kelalaian, adalah debitur melakukan kesalahan akan tetapi perbuatan itu tidak dimaksudkan untuk terjadinya wanprestasi yang kemudian ternyata menyebabkan terjadinya wanprestasi 19 M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, h J. Satrio I, Op.Cit, hal.12.

22 Dengan adanya wanprestasi, pihak kreditur yang dirugikan sebagai akibat kegagalan pelaksanaan kontrak oleh pihak debitur mempunyai hak gugat dalam upaya menegakkan hak-hak kontraktualnya yaitu dapat memilih apakah memaksa pemenuhan prestasi, pemenuhan prestasi dengan ganti rugi, ganti kerugian tau pembatalan perjanjian. Hal ini sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 1267 BW yang menyatakan bahwa: Pihak yang terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih apakah ia, jika hal itu masih dapat dilakukan, akan memaksa pihak yang lain untuk memenuhi perjanjian, ataukah ia akanmenuntut pembatalan perjanjian, disertai dengan penggantian biaya kerugian dan bunga. Hal ini dipertegas oleh Subekti, Kreditor dapat ditetapkan bahwa kreditor dapat memilih antara tuntutan-tuntutan sebagai berikut: 1). Pemenuhan perjanjian 2). Pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi 3). Ganti rugi saja 4). Pembatalan perjanjian 5). Pembatalan disertai ganti rugi Pendekatan Masalah Penelitian ini tergolong sebagai penelitian hukum normatif, dengan pendekatan yang berdasarkan perundang-undangan yang berlaku (Statute Approach) karena mengingat permasalahan pada penelitian ini bersumber pada 21 R. Subekti, Op.Cit, h.46

23 materi perundang-undangan dan menggunakan pendekatan konseptual (Conceptual Approach) yakni berdasarkan pada pendapat para sarjana yang berkaitan dengan pokok masalah yang dibahas dalam penelitian ini. 6. Sumber Bahan Hukum Berkaitan dengan pendekatan secara statute approach, maka dalam hal ini, sumber hukum yang digunakan adalah: 1. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer dalam penelitian ini meliputi peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas yaitu BW, Undangundang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 tahun 2009 Tentang Lembaga Pembiayaan, Peraturan Menteri Keuangan Nomor. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan, Keputusan Menteri Keuangan RI No. 1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (leasing),dan peraturan lainnya yang berkaitan dengan leasing. 2. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini meliputi studi pustaka pada perpustakaan Universitas Airlangga, perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Airlangga dan literatur-literatur, penelusuran situs di internet dan peraturan perundang-undangan dari berbagai sumber yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji.

24 7. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Hukum Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang diperoleh, terlebih dahulu dilakukan inventarisasi dan identifikasi, kemudian dilakukan penyusunan secara sistematis untuk memudahkan menganalisa permasalahan yang berhubungan dengan kajian penelitian ini. Terhadap data yang diperoleh dari hasil wawancara diperiksa lagi kelengkapannya, kejelasannya, dan keseragaman datanya untuk menghilangkan keragu-raguan, sehingga data yang diperoleh tersebut dapat dipercaya dan akurat, selanjutnya data tersebut dicatat secara sistematis dan konsisten. Sehingga data-data yang diperoleh penelitian ini dapat ditulis dengan penatalaksanaannya secara kritis, logis dan sistematis. 8. Pertanggungjawaban Sistematika. Dalam tesis ini, menggunakan sistematika penulisan yang sistematis untuk membahas permasalahan yang telah ditetapkan. Adapun sistematika penulisan tesis ini dibagi menjadi 4 bagian, yaitu: Bab I Pendahuluan, yang mengawali seluruh rangkaian uraian dan pembahasan tesis ini yang berisi gambaran umum permasalahan yang terdiri dari : latar belakang permasalahan dan rumusan permasalahan, tujuan dan manfaat penulisan, kajian pustaka, metode penelitian, analisis bahan hukum serta pertanggung jawaban sistematika ; Bab II dengan judul Prinsip hukum dalam penyelesaian kewajiban lessee melalui novasi subyektif pasif, dalam bab ini akan diuraikan untuk menjawab permasalahan pertama yang sub babnya terdiri dari : Hubungan Hukum Para

25 Pihak Dalam Perjanjian Leasing, Prinsip-prinsip Hukum Perikatan dalam Perjanjian Leasing, Karakteristik Pembaharuan Utang (Novasi). Bab III dengan judul Akibat hukum terjadinya novasi subyektif pasif dalam perjanjian leasing, dalam bab ini akan diuraikan untuk menjawab permasalahan kedua, yang sub babnya terdiri dari:akibat hukum terjadinya Novasi Subyektif Pasif sebagai alternatif penyelesaian kewajiban lessee, Akibat Hukum Novasi Terhadap Jaminan Hutang Dalam Leasing, Perlindungan hukum terhadap lessor akibat terjadinya novasi. Bab IV penutup, yang merupakan kesimpulan dari pembahasan atas permasalahan yang diajukan setelah dilakukan pengkajian berdasarkan telaah sumber bahan hukum yang ditetapkan. Kesimpulan ini merupakan rangkaian akhir dari penelitian ini. Selain kesimpulan, penulis juga merekomendasikan saransaran yang bermanfaat dan dapat dijadikan sarana informasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan, yang terkait dengan permasalahan dalam penulisan ini.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan Suatu perjanjian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN 2.1 Perjanjian 2.1.1 Pengertian Perjanjian Definisi perjanjian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Selanjutnya

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM A. Segi-segi Hukum Perjanjian Mengenai ketentuan-ketentuan yang mengatur perjanjian pada umumnya terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada Buku

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG LEMBAGA PEMBIAYAAN, PERUSAHAAN PEMBIAYAAN DAN WANPRESTASI. 2.1 Pengertian dan Dasar Hukum Lembaga Pembiayaan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG LEMBAGA PEMBIAYAAN, PERUSAHAAN PEMBIAYAAN DAN WANPRESTASI. 2.1 Pengertian dan Dasar Hukum Lembaga Pembiayaan 22 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG LEMBAGA PEMBIAYAAN, PERUSAHAAN PEMBIAYAAN DAN WANPRESTASI 2.1 Pengertian dan Dasar Hukum Lembaga Pembiayaan 2.1.1 Pengertian Lembaga Pembiayaan Istilah lembaga pembiayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pihak untuk saling mengikatkan diri. Dalam kehidupan sehari-hari seringkali

BAB I PENDAHULUAN. pihak untuk saling mengikatkan diri. Dalam kehidupan sehari-hari seringkali 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan bisnis tentunya didasarkan pada suatu perjanjian atau kontrak. Perjanjian atau kontrak merupakan serangkaian kesepakatan yang dibuat oleh para pihak untuk

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA A. Pengertian Perjanjian Jual Beli Menurut Black s Law Dictionary, perjanjian adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak asing dikenal di tengah-tengah masyarakat adalah bank. Bank tersebut

BAB I PENDAHULUAN. tidak asing dikenal di tengah-tengah masyarakat adalah bank. Bank tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya lembaga keuangan di Indonesia dibedakan atas dua bagian, yakni lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan non bank, namun dalam praktek sehari-hari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun selalu hidup bersama serta berkelompok. Sejak dahulu kala pada diri manusia terdapat hasrat untuk berkumpul

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Di dalam Buku III KUH Perdata mengenai hukum perjanjian terdapat dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jenis dan variasi dari masing-masing jenis barang dan atau jasa yang akan

BAB I PENDAHULUAN. jenis dan variasi dari masing-masing jenis barang dan atau jasa yang akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian yang pesat telah menghasilkan berbagai jenis dan variasi dari masing-masing jenis barang dan atau jasa yang akan dikonsumsi. Barang dan atau

Lebih terperinci

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris.

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A.Pengertian perjanjian pada umumnya a.1 Pengertian pada umumnya istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari istilah Overeenkomst

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perjanjian merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Perjanjian merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perjanjian merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat dewasa ini karena masyarakat sekarang sering membuat perikatan yang berasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembiayaan. Bank sebagai lembaga keuangan ternyata tidak cukup mampu untuk

BAB I PENDAHULUAN. pembiayaan. Bank sebagai lembaga keuangan ternyata tidak cukup mampu untuk 8 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan dana atau modal bagi seseorang saat ini sangatlah penting, untuk memenuhi kebutuhan dana atau modal maka diperlukan suatu lembaga pembiayaan. Bank sebagai

Lebih terperinci

Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata(BW)

Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata(BW) Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata(BW) Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUHPerdata: Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Oleh: Nama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mengalami pertumbuhan di segala aspek, diantaranya adalah aspek

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mengalami pertumbuhan di segala aspek, diantaranya adalah aspek BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia mengalami pertumbuhan di segala aspek, diantaranya adalah aspek ekonomi. Kondisi demikian tidak terlepas dari peran pelaku usaha. Pelaku usaha berperan penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Hal janji adalah suatu sendi yang amat penting dalam Hukum

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Hal janji adalah suatu sendi yang amat penting dalam Hukum BAB I PENDAHULUAN Hukum perjanjian adalah bagian dari Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia. Hal janji adalah suatu sendi yang amat penting dalam Hukum Perdata, karena Hukum Perdata banyak mengandung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Menurut Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Menurut Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring berkembangnya zaman negara Indonesia telah banyak perkembangan yang begitu pesat, salah satunya adalah dalam bidang pembangunan ekonomi yang dimana sebagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI. 2.1 Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Jual Beli

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI. 2.1 Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Jual Beli BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI 2.1 Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Jual Beli Sebelum membahas tentang pengertian dan pengaturan juali beli, terlebih dahulu perlu dipahami tentang

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015 PEMBERLAKUAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK MENURUT HUKUM PERDATA TERHADAP PELAKSANAANNYA DALAM PRAKTEK 1 Oleh : Suryono Suwikromo 2 A. Latar Belakang Didalam kehidupan sehari-hari, setiap manusia akan selalu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan pelaku usaha yang bergerak di keuangan. Usaha keuangan dilaksanakan oleh perusahaan yang bergerak di bidang

BAB I PENDAHULUAN. dengan pelaku usaha yang bergerak di keuangan. Usaha keuangan dilaksanakan oleh perusahaan yang bergerak di bidang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada hakekatnya setiap orang berhak mendapatkan perlindungan dari hukum. Hampir seluruh hubungan hukum harus mendapat perlindungan dari hukum. Oleh karena itu terdapat

Lebih terperinci

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA 25 BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Hukum perjanjian

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1.Uraian Teori Beberapa teori akan dipakai sebagai acuan dalam penelitian ini, yaitu pengertian perjanjian, pembiayaan leasing dan teori fidusia. 2.1.1. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khusus (benoemd) maupun perjanjian umum (onbenoemd) masih berpedoman

BAB I PENDAHULUAN. khusus (benoemd) maupun perjanjian umum (onbenoemd) masih berpedoman 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sampai sekarang pembuatan segala macam jenis perjanjian, baik perjanjian khusus (benoemd) maupun perjanjian umum (onbenoemd) masih berpedoman pada KUH Perdata,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia di dalam kehidupannya mempunyai bermacam-macam kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia di dalam kehidupannya mempunyai bermacam-macam kebutuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia di dalam kehidupannya mempunyai bermacam-macam kebutuhan dalam hidupnya. Kebutuhan itu berfungsi untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. macam kegiatan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Untuk dapat memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. macam kegiatan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Untuk dapat memenuhi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia selalu berusaha untuk mencapai kesejahteraan dalam hidupnya. Hal ini menyebabkan setiap manusia di dalam kehidupannya senantiasa melakukan berbagai

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. 2

BAB III TINJAUAN TEORITIS. dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. 2 BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Wanprestasi 1. Pengertian Wanprestasi Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. signigfikan terhadap sistem ekonomi global dewasa ini. Teknologi telah

BAB I PENDAHULUAN. signigfikan terhadap sistem ekonomi global dewasa ini. Teknologi telah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan sains dan teknologi membawa dampak yang signigfikan terhadap sistem ekonomi global dewasa ini. Teknologi telah membawa kontribusi yang begitu domain

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata, bahwa suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Perjanjian Dalam istilah perjanjian atau kontrak terkadang masih dipahami secara rancu, banyak pelaku bisnis mencampuradukkan kedua istilah tersebut seolah merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditentukan oleh manusia. Salah satu cara untuk mengurangi risiko tersebut di

BAB I PENDAHULUAN. ditentukan oleh manusia. Salah satu cara untuk mengurangi risiko tersebut di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehidupan dan kegiatan manusia, pada hakikatnya mengandung berbagai hal yang menunjukkan sifat hakiki dari kehidupan itu sendiri. Sifatsifat hakiki yang dimaksud di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan segala macam kebutuhan. Dalam menghadapi kebutuhan ini, sifat

BAB I PENDAHULUAN. dengan segala macam kebutuhan. Dalam menghadapi kebutuhan ini, sifat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia kodratnya adalah zoon politicon, yang merupakan makhluk sosial. Artinya bahwa manusia dikodratkan untuk hidup bermasyarakat dan saling berinteraksi.

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. Istiana Heriani*

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. Istiana Heriani* Al Ulum Vol.61 No.3 Juli 2014 halaman 17-23 17 AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA Istiana Heriani* ABSTRAK Masalah-masalah hukum yang timbul dalam perjanjian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendesak para pelaku ekonomi untuk semakin sadar akan pentingnya

BAB I PENDAHULUAN. mendesak para pelaku ekonomi untuk semakin sadar akan pentingnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini, globalisasi ekonomi guna mencapai kesejahteraan rakyat berkembang semakin pesat melalui berbagai sektor perdangangan barang dan jasa. Seiring dengan semakin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berwujud perjanjian secara tertulis (kontrak). berjanji untuk melakukan suatu hal. 1

BAB I PENDAHULUAN. berwujud perjanjian secara tertulis (kontrak). berjanji untuk melakukan suatu hal. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum perjanjian merupakan bagian daripada Hukum Perdata pada umumnya, dan memegang peranan yang sangat besar dalam kehidupan sehari-hari. Khususnya dalam bidang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan eksistensinya di dunia. Naluri self preservasi selalu. mengatasi bahaya-bahaya yang dapat mengancam eksistensinya.

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan eksistensinya di dunia. Naluri self preservasi selalu. mengatasi bahaya-bahaya yang dapat mengancam eksistensinya. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia memiliki naluri self preservasi yaitu naluri untuk mempertahankan eksistensinya di dunia. Naluri self preservasi selalu berhadapan dengan berbagai

Lebih terperinci

HUKUM PERJANJIAN & PERIKATAN HUBUNGAN BISNIS ANDRI HELMI M, SE., MM.

HUKUM PERJANJIAN & PERIKATAN HUBUNGAN BISNIS ANDRI HELMI M, SE., MM. HUKUM PERJANJIAN & PERIKATAN HUBUNGAN BISNIS ANDRI HELMI M, SE., MM. PERIKATAN & PERJANJIAN Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang berdasarkan mana yang satu berhak menuntut hal dari

Lebih terperinci

DAMPAK PELAKSANAAN EKSEKUSI TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN PASAL 29 UNDANG UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA

DAMPAK PELAKSANAAN EKSEKUSI TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN PASAL 29 UNDANG UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA DAMPAK PELAKSANAAN EKSEKUSI TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN PASAL 29 UNDANG UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA Oleh Rizki Kurniawan ABSTRAK Jaminan dalam arti luas adalah jaminan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan yang harus dipenuhi, seperti kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan.dalam usaha untuk memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Perjanjian dalam Pasal 1313

BAB I PENDAHULUAN. sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Perjanjian dalam Pasal 1313 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berjanji atau membuat suatu perjanjian merupakan perbuatan yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Perjanjian dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara Indonesia yang menganut Negara welfare state yaitu negara yang

BAB I PENDAHULUAN. negara Indonesia yang menganut Negara welfare state yaitu negara yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan negara di zaman sekarang begitu pesat dan cepat dari perkembangan Sumber Daya Manusia dan Sumber Daya Alam, bahkan di negara Indonesia yang menganut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu sistem aturan. Hukum bukanlah, seperti terkadang dikatakan, sebuah

BAB I PENDAHULUAN. suatu sistem aturan. Hukum bukanlah, seperti terkadang dikatakan, sebuah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum adalah suatu tatanan perbuatan manusia. Tatanan adalah suatu sistem aturan. Hukum bukanlah, seperti terkadang dikatakan, sebuah peraturan. Hukum adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian besar masyarakat tidak memahami apa itu klausula baku,

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian besar masyarakat tidak memahami apa itu klausula baku, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagian besar masyarakat tidak memahami apa itu klausula baku, meskipun di dalam praktek kehidupan sehari-hari masyarakat tersebut telah membubuhkan tanda tangannya

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 29 BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini

BAB I PENDAHULUAN. adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu alat transportasi yang banyak dibutuhkan oleh manusia adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini menjadi salah satu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA. 2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama dan Tempat Pengaturannya

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA. 2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama dan Tempat Pengaturannya 36 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA 2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama dan Tempat Pengaturannya Perjanjan memiliki definisi yang berbeda-beda menurut pendapat para ahli yang satu dengan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 51. Grafindo Persada, 2004), hal. 18. Tahun TLN No. 3790, Pasal 1 angka 2.

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 51. Grafindo Persada, 2004), hal. 18. Tahun TLN No. 3790, Pasal 1 angka 2. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Aktivitas bisnis merupakan fenomena yang sangat kompleks karena mencakup berbagai bidang baik hukum, ekonomi, dan politik. Salah satu kegiatan usaha yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada kehidupan sehari-hari manusia tidak terlepas dari manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. Pada kehidupan sehari-hari manusia tidak terlepas dari manusia lain BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada kehidupan sehari-hari manusia tidak terlepas dari manusia lain sebagai makhluk sosial dimana manusia saling membutuhkan satu dengan yang lainnya, sebuah dimensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya. Dalam memenuhi segala kebutuhan hidup, akal dan pikiran. Ia memerlukan tangan ataupun bantuan dari pihak lain.

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya. Dalam memenuhi segala kebutuhan hidup, akal dan pikiran. Ia memerlukan tangan ataupun bantuan dari pihak lain. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang paling tinggi derajatnya dibandingkan dengan makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Hal ini dikarenakan manusia diberikan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN. A. Pembiayaan Konsumen dan Dasar Hukumnya

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN. A. Pembiayaan Konsumen dan Dasar Hukumnya BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN A. Pembiayaan Konsumen dan Dasar Hukumnya 1. Pembiayaan Konsumen Pembiayaan konsumen merupakan salah satu model pembiayaan yang dilakukan oleh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. Kata perjanjian berasal dari terjemahan overeenkomst dan

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. Kata perjanjian berasal dari terjemahan overeenkomst dan BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Kata perjanjian berasal dari terjemahan overeenkomst dan verbintenis, yang diterjemahkan dengan menggunakan istilah perjanjian maupun persetujuan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sejak krisis melanda Indonesia, perekonomian Indonesia mengalami

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sejak krisis melanda Indonesia, perekonomian Indonesia mengalami 12 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak krisis melanda Indonesia, perekonomian Indonesia mengalami kemunduran baik dari sektor formal maupun sektor non formal, yaitu dengan banyaknya pengusaha

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sedang pihak lain menuntut pelaksanaan janji itu. 1. perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata adalah Suatu perjanjian adalah

BAB I PENDAHULUAN. sedang pihak lain menuntut pelaksanaan janji itu. 1. perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata adalah Suatu perjanjian adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perjanjian pada hakikatnya sering terjadi di dalam masyarakat bahkan sudah menjadi suatu kebiasaan. Perjanjiaan itu menimbulkan suatu hubungan hukum yang biasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehari-hari digerakan dengan tenaga manusia ataupun alam. mengeluarkan Peraturan Perundang-undangan No. 15 Tahun 1985 tentang

BAB I PENDAHULUAN. sehari-hari digerakan dengan tenaga manusia ataupun alam. mengeluarkan Peraturan Perundang-undangan No. 15 Tahun 1985 tentang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Listrik merupakan kebutuhan manusia yang sangat penting. Sejak adanya listrik manusia mengalami kemajuan yang sangat pesat dalam berbagai bidang, yang menonjol adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan hubungan atau pergaulan antar masyarakat memiliki batasan yang

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan hubungan atau pergaulan antar masyarakat memiliki batasan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara hukum pada prinsipnya mengakui bahwa kehidupan hubungan atau pergaulan antar masyarakat memiliki batasan yang menjamin hak-hak pribadi dan komunal.

Lebih terperinci

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut, maka salah satu cara dari pihak bank untuk menyalurkan dana adalah dengan mem

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut, maka salah satu cara dari pihak bank untuk menyalurkan dana adalah dengan mem BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan di bidang ekonomi yang semakin meningkat mengakibatkan keterkaitan yang erat antara sektor riil dan sektor moneter, di mana kebijakan-kebijakan khususnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kalangan individu maupun badan usaha. Dalam dunia usaha dikenal adanya

BAB I PENDAHULUAN. kalangan individu maupun badan usaha. Dalam dunia usaha dikenal adanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara hukum, dimana Negara hukum memiliki prinsip menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum yang berintikan kepada kebenaran dan

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB III TINJAUAN PUSTAKA BAB III TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata, bahwa suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang

Lebih terperinci

Common Law Contract Agreement Agree Pact Covenant Treaty. Civil Law (Indonesia) Kontrak Sewa Perjanjian Persetujuan Perikatan

Common Law Contract Agreement Agree Pact Covenant Treaty. Civil Law (Indonesia) Kontrak Sewa Perjanjian Persetujuan Perikatan Common Law Contract Agreement Agree Pact Covenant Treaty Civil Law (Indonesia) Kontrak Sewa Perjanjian Persetujuan Perikatan 2 Prof. Subekti Perikatan hubungan hukum antara 2 pihak/lebih, dimana satu pihak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN KOPERASI. Perikatan-Perikatan yang dilahirkan dari Kontrak atau Perjanjian,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN KOPERASI. Perikatan-Perikatan yang dilahirkan dari Kontrak atau Perjanjian, 23 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN KOPERASI 2.1 Pengertian Perjanjian Kredit Pasal 1313 KUHPerdata mengawali ketentuan yang diatur dalam Bab Kedua Buku III KUH Perdata, dibawah judul Tentang

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT. Deny Slamet Pribadi

PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT. Deny Slamet Pribadi 142 PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT Deny Slamet Pribadi Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Samarinda ABSTRAK Dalam perjanjian keagenan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kehadiran bank sebagai penyedia jasa keuangan berkaitan dengan kepentingan

I. PENDAHULUAN. Kehadiran bank sebagai penyedia jasa keuangan berkaitan dengan kepentingan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehadiran bank sebagai penyedia jasa keuangan berkaitan dengan kepentingan masyarakat yang akan mengajukan pinjaman atau kredit kepada bank. Kredit merupakan suatu istilah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. hal. 2. diakses 06 September Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN.  hal. 2. diakses 06 September Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan dunia dalam era globalisasi ini semakin menuntut tiap negara untuk meningkatkan kualitas keadaan politik, ekonomi, sosial dan budaya mereka agar

Lebih terperinci

Hukum Perikatan Pengertian hukum perikatan

Hukum Perikatan Pengertian hukum perikatan Hukum Perikatan Pengertian hukum perikatan Perikatan dalam bahasa Belanda disebut ver bintenis. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PERJANJIAN KONSINYASI. dan perikatan itu merujuk pada dua hal yang berbeda, perikatan ialah suatu hal

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PERJANJIAN KONSINYASI. dan perikatan itu merujuk pada dua hal yang berbeda, perikatan ialah suatu hal 16 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PERJANJIAN KONSINYASI 2.1. Perjanjian 2.1.1. Pengertian Perjanjian Dalam ilmu hukum yang kita pelajari menjelaskan bahwa suatu perjanjian dan perikatan itu

Lebih terperinci

PERJANJIAN SEWA GUNA USAHA ANTARA LESSEE DAN LESSOR. Aprilianti. Dosen Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Lampung.

PERJANJIAN SEWA GUNA USAHA ANTARA LESSEE DAN LESSOR. Aprilianti. Dosen Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Lampung. PERJANJIAN SEWA GUNA USAHA ANTARA LESSEE DAN LESSOR Aprilianti Dosen Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Lampung Abstrak Perjanjian sewa guna usaha (leasing) yang diadakan oleh Lessor dan Lesseen

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT A. Pengertian Hukum Jaminan Kredit Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, zekerheidsrechten atau security of law. Dalam Keputusan

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP WANPRESTASI YANG DILAKUKAN DEBITOR DALAM PERJANJIAN PEMBIAYAAN SEPEDA MOTOR ARTIKEL. Diajukan Oleh : DODY PEBRI CAHYONO

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP WANPRESTASI YANG DILAKUKAN DEBITOR DALAM PERJANJIAN PEMBIAYAAN SEPEDA MOTOR ARTIKEL. Diajukan Oleh : DODY PEBRI CAHYONO TINJAUAN YURIDIS TERHADAP WANPRESTASI YANG DILAKUKAN DEBITOR DALAM PERJANJIAN PEMBIAYAAN SEPEDA MOTOR ARTIKEL Diajukan Oleh : DODY PEBRI CAHYONO 1 1 1 0 0 0 4 2 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyelerasikan dan menyeimbangkan unsur-unsur itu adalah dengan dana (biaya) kegiatan untuk menunjang kehidupan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. menyelerasikan dan menyeimbangkan unsur-unsur itu adalah dengan dana (biaya) kegiatan untuk menunjang kehidupan manusia. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka pelaksanaan pembangunan nasional harus lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. layak dan berkecukupan. Guna mencukupi kebutuhan hidup serta guna

BAB I PENDAHULUAN. layak dan berkecukupan. Guna mencukupi kebutuhan hidup serta guna BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia setiap hari selalu berhadapan dengan segala macam kebutuhan. Karena setiap manusia pasti selalu berkeinginan untuk dapat hidup layak dan berkecukupan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam suatu transaksi jual beli, apapun jenis benda yang diperjual-belikan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam suatu transaksi jual beli, apapun jenis benda yang diperjual-belikan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap orang mempunyai kepentingan terhadap orang lain sehingga timbullah hubungan hak dan kewajiban. Setiap orang mempunyai hak yang wajib selalu di perhatikan orang

Lebih terperinci

pada umumnya dapat mempergunakan bentuk perjanjian baku ( standard contract)

pada umumnya dapat mempergunakan bentuk perjanjian baku ( standard contract) Definisi pinjam-meminjam menurut Pasal 1754 KUHPerdata adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang habis karena pemakaian,

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. tentang Pembuktian dan Kadaluwarsa/Bewijs en Verjaring.

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. tentang Pembuktian dan Kadaluwarsa/Bewijs en Verjaring. 28 BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Pengertian Perjanjian Hukum perjanjian diatur dalam Buku III KUH Perdata sebagai bagian dari KUH Perdata yang terdiri dari IV buku. Buku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kebutuhan untuk mencapai kesejahteraan hidup. Kebutuhan itu

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kebutuhan untuk mencapai kesejahteraan hidup. Kebutuhan itu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dalam perjalanan dan pergaulan hidupnya selalu memiliki berbagai kebutuhan untuk mencapai kesejahteraan hidup. Kebutuhan itu diklasifikasikan menjadi

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. terwujud dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini disebabkan adanya tujuan dan

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. terwujud dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini disebabkan adanya tujuan dan BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Pengertian Perjanjian Hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya selalu terwujud dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini disebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan era globalisasi yang semakin pesat berpengaruh

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan era globalisasi yang semakin pesat berpengaruh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini perkembangan era globalisasi yang semakin pesat berpengaruh terhadap semakin banyaknya kebutuhan masyarakat akan barang/ jasa tertentu yang diikuti

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. IV/No. 6/Juli/2016

Lex Privatum, Vol. IV/No. 6/Juli/2016 PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA (UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999) 1 Oleh: Aristo Yermia Tamboto 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam perkembangan kebutuhan manusia pada umumnya dan pengusaha

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam perkembangan kebutuhan manusia pada umumnya dan pengusaha BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam perkembangan kebutuhan manusia pada umumnya dan pengusaha khususnya yang semakin meningkat, menyebabkan kegiatan ekonomi yang juga semakin berkembang.

Lebih terperinci

BAB II ASPEK HUKUM TENTANG MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DAN PERJANJIAN

BAB II ASPEK HUKUM TENTANG MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DAN PERJANJIAN BAB II ASPEK HUKUM TENTANG MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DAN PERJANJIAN A. Dasar Hukum Memorandum Of Understanding Berdasarkan Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 alinea keempat yang berbunyi : Kemudian daripada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, PERJANJIAN BAKU DAN KREDIT BANK Pengertian Perjanjian dan Dasar Hukumnya

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, PERJANJIAN BAKU DAN KREDIT BANK Pengertian Perjanjian dan Dasar Hukumnya 16 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, PERJANJIAN BAKU DAN KREDIT BANK 2.1 Perjanjian 2.1.1 Pengertian Perjanjian dan Dasar Hukumnya Dalam bahasa Belanda, perjanjian disebut juga overeenkomst dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kecenderungan kondisi masyarakat dewasa ini membeli suatu benda

BAB I PENDAHULUAN. Kecenderungan kondisi masyarakat dewasa ini membeli suatu benda 9 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kecenderungan kondisi masyarakat dewasa ini membeli suatu benda bergerak maupun yang tidak berwujud. Pesatnya perkembangan masyarakat dewasa ini, kebutuhan akan sarana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, (Malang: Bayumedia Publishing, 2007), hal 1.

BAB I PENDAHULUAN. Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, (Malang: Bayumedia Publishing, 2007), hal 1. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pokok-pokok pikiran yang tercantum di dalam Pasal 33 ayat (3) Undang- Undang Dasar 1945 menekankan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijanjikan oleh orang lain yang akan disediakan atau diserahkan. Perjanjian

BAB I PENDAHULUAN. dijanjikan oleh orang lain yang akan disediakan atau diserahkan. Perjanjian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di dalam suasana abad perdagangan dewasa ini, boleh dikatakan sebagian besar kekayaan umat manusia terdiri dari keuntungan yang dijanjikan oleh orang lain yang akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan yang sedang giat dilaksanakan melalui rencana bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, baik materiil

Lebih terperinci

BAB III KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN KREDIT BANK. A. Klausula baku yang memberatkan nasabah pada perjanjian kredit

BAB III KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN KREDIT BANK. A. Klausula baku yang memberatkan nasabah pada perjanjian kredit BAB III KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN KREDIT BANK A. Klausula baku yang memberatkan nasabah pada perjanjian kredit Kehadiran bank dirasakan semakin penting di tengah masyarakat. Masyarakat selalu membutuhkan

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Akibat Hukum dari Wanprestasi yang Timbul dari Perjanjian Kredit Nomor 047/PK-UKM/GAR/11 Berdasarkan Buku III KUHPERDATA Dihubungkan dengan Putusan Pengadilan Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembiayaan ini, maka banyak lembaga pembiayaan (finance) dan bank (bank

BAB I PENDAHULUAN. pembiayaan ini, maka banyak lembaga pembiayaan (finance) dan bank (bank 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemajuan zaman di bidang teknologi telah memacu perusahaan untuk menghasilkan produk electronic yang semakin canggih dan beragam. Kelebihan-kelebihan atas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Munculnya berbagai lembaga pembiayaan dewasa ini turut memacu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Munculnya berbagai lembaga pembiayaan dewasa ini turut memacu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Munculnya berbagai lembaga pembiayaan dewasa ini turut memacu roda perekonomian masyarakat. Namun sayangnya pertumbuhan institusi perekonomian tersebut tidak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tidak ada dirumuskan dalam undang-undang, tetapi dirumuskan sedemikian rupa

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tidak ada dirumuskan dalam undang-undang, tetapi dirumuskan sedemikian rupa 16 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Hukum Perikatan Pada Umumnya 1. Pengertian Perikatan Hukum perikatan diatur dalam buku III KUH Perdata. Definisi perikatan tidak ada dirumuskan dalam undang-undang,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN. Istilah perjanjian secara etimologi berasal dari bahasa latin testamentum,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN. Istilah perjanjian secara etimologi berasal dari bahasa latin testamentum, 19 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN 2.1 Perjanjian Pembiayaan Konsumen 2.1.1 Pengertian Perjanjian Pembiayaan konsumen Istilah perjanjian secara etimologi berasal dari bahasa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam suatu perjanjian kredit memerlukan adanya suatu jaminan. Namun

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam suatu perjanjian kredit memerlukan adanya suatu jaminan. Namun BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam suatu perjanjian kredit memerlukan adanya suatu jaminan. Namun bukan berarti didalam suatu perjanjian kredit tersebut tidak ada risikonya. Untuk menghindari wanprestasi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa

II. TINJAUAN PUSTAKA. kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak, yang isinya adalah hak dan kewajiban, suatu hak untuk menuntut sesuatu

Lebih terperinci

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2 ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana ketentuan hukum mengenai pembuatan suatu kontrak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjanjian pengalihan..., Agnes Kusuma Putri, FH UI, Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjanjian pengalihan..., Agnes Kusuma Putri, FH UI, Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, dinyatakan bahwa Indonesia merupakan negara hukum (rechtsstaat) yang bersumber pada Pancasila dan bukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TERHADAP PERJANJIAN SEWA BELI. belum diatur dalam Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh para pakar

BAB II TINJAUAN TERHADAP PERJANJIAN SEWA BELI. belum diatur dalam Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh para pakar BAB II TINJAUAN TERHADAP PERJANJIAN SEWA BELI A. Pengaturan Sewa Beli di Indonesia Perjanjian sewa beli adalah termasuk perjanjian jenis baru yang timbul dalam masyarakat. Sebagaimana perjanjian jenis

Lebih terperinci

KLASIFIKASI PERJANJIAN KELOMPOK I DWI AYU RACHMAWATI (01) ( )

KLASIFIKASI PERJANJIAN KELOMPOK I DWI AYU RACHMAWATI (01) ( ) PENGERTIAN PERJANJIAN KLASIFIKASI PERJANJIAN KELOMPOK I DWI AYU RACHMAWATI (01) (166010200111038) FANNY LANDRIANI ROSSA (02) (166010200111039) ARLITA SHINTA LARASATI (12) (166010200111050) ARUM DEWI AZIZAH

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI TENTANG PERJANJIAN PADA UMUMNYA DAN PERJANJIAN UTANG PIUTANG

BAB II KAJIAN TEORI TENTANG PERJANJIAN PADA UMUMNYA DAN PERJANJIAN UTANG PIUTANG BAB II KAJIAN TEORI TENTANG PERJANJIAN PADA UMUMNYA DAN PERJANJIAN UTANG PIUTANG A. Perjanjian Pada Umumnya 1. Pengertian Perjanjian Pengertian perjanjian menurut pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Lebih terperinci

ASPEK HUKUM WANPRESTASI ATAS PERJANJIAN KREDIT YANG DIALIHKAN KEPADA PIHAK KETIGA SECARA PERJANJIAN DI BAWAH TANGAN. Kasiani 1

ASPEK HUKUM WANPRESTASI ATAS PERJANJIAN KREDIT YANG DIALIHKAN KEPADA PIHAK KETIGA SECARA PERJANJIAN DI BAWAH TANGAN. Kasiani 1 ASPEK HUKUM WANPRESTASI ATAS PERJANJIAN KREDIT YANG DIALIHKAN KEPADA PIHAK KETIGA SECARA PERJANJIAN DI BAWAH TANGAN Kasiani 1 yanikasiani@yahoo.co.id Abstrak Penelitian ini merupakan penelitian hukum (legal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) (Preambule) memuat tujuan

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) (Preambule) memuat tujuan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) (Preambule) memuat tujuan serta cita-cita bangsa, termasuk di dalamnya

Lebih terperinci

BAB IV KEKUATAN HUKUM MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DALAM PERJANJIAN BERDASARKAN BUKU III BURGERLIJKE WETBOEK

BAB IV KEKUATAN HUKUM MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DALAM PERJANJIAN BERDASARKAN BUKU III BURGERLIJKE WETBOEK BAB IV KEKUATAN HUKUM MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DALAM PERJANJIAN BERDASARKAN BUKU III BURGERLIJKE WETBOEK A. Kekuatan Hukum Memorandum Of Understanding dalam Perjanjian Berdasarkan Buku III Burgerlijke

Lebih terperinci