IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
Arti Penting Kalender Tanam (Katam) Padi

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP

Tabel Lampiran 1. Hasil Perhitungan Analisis Neraca Air dengan Kecamatan Anjatan Kabupaten Indramayu Tahun Normal. Tabel Lampiran 2. Hasil Perhitungan

KAT (mm) KL (mm) ETA (mm) Jan APWL. Jan Jan

s y n x = sample rata-rata untuk variabel pertama y = sample rata-rata untuk variabel kedua

PRESS RELEASE PERKEMBANGAN MUSIM KEMARAU 2011

EVALUASI MUSIM HUJAN 2007/2008 DAN PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2008 PROVINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA

Update BoM/POAMA NCEP/NOAA. Jamstec J ul (Prediksi BMKG (Indonesia. La Nina. moderate.

KATA PENGANTAR. merupakan hasil pemutakhiran rata-rata sebelumnya (periode ).

ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT. ANALISIS & PREDIKSI CURAH HUJAN UPDATED DASARIAN I APRIL 2017

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Update BoM/POAMA NCEP/NOAA. Jamstec J ul (Prediksi BMKG (Indonesia. La Nina. La Nina.

PENGANTAR. Bogor, Maret 2017 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI BOGOR

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR

PENGANTAR. Bogor, September 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR. DEDI SUCAHYONO S, S.Si, M.Si NIP

PENGANTAR. Bogor, Maret 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR

KATA PENGANTAR. Kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu penerbitan publikasi prakiraan musim hujan ini.

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 8. Pola Hubungan Curah Hujan Rata-rata Harian RegCM3(Sebelum dan Sesudah Koreksi) dengan Observasi

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

V. PENYUSUNAN MODEL PREDIKSI CURAH HUJAN BERDASARKAN FENOMENA ENSO DAN IOD UNTUK MENENTUKAN RENCANA TANAM

PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA)

ANGKA RAMALAN 2 TAHUN 2015 PADI DAN PALAWIJA SULAWESI UTARA

PREDIKSI LA NINA OLEH 3 INSTITUSI INTERNASIONAL DAN BMKG (UPDATE 03 JANUARI 2011)

KATA PENGANTAR. Semarang, 22 maret 2018 KEPALA STASIUN. Ir. TUBAN WIYOSO, MSi NIP STASIUN KLIMATOLOGI SEMARANG

Gambar 3 Sebaran curah hujan rata-rata tahunan Provinsi Jawa Barat.

BMKG PRESS RELEASE BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

ANALISIS MUSIM KEMARAU 2011 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PROVINSI DKI JAKARTA

Bab 5 Pengembangan Aspek Prediksi Iklim pada Atlas Kalender Tanam

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG ANALISIS MUSIM KEMARAU 2013 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2013/2014

PRODUKSI PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI (Angka Ramalan II Tahun 2013)

ANGKA TETAP TAHUN 2015 PADI DAN PALAWIJA SULAWESI UTARA

Propinsi Banten dan DKI Jakarta

BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP

IV. PENETAPAN WAKTU TANAM OPTIMAL PADA WILAYAH TERKENA DAMPAK ENSO DAN IOD

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG

KATA PENGANTAR. Negara, September 2015 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI NEGARA BALI. NUGA PUTRANTIJO, SP, M.Si. NIP

PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA (Angka Tetap Tahun 2012 dan Angka Ramalan I Tahun 2013)

PRAKIRAAN ANOMALI IKLIM TAHUN 2016 BMKG DI JAWA TENGAH

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

Tz 1 = (28,4 0,59 x h ) o C

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM

KATA PENGANTAR KUPANG, MARET 2016 PH. KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI LASIANA KUPANG CAROLINA D. ROMMER, S.IP NIP

MONITORING DINAMIKA ATMOSFER DAN PRAKIRAAN CURAH HUJAN SEPTEMBER 2016 FEBRUARI 2017

IDENTIFIKASI FENOMENA ENSO

Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur

LITBANG KEMENTAN Jakarta, 8 Maret 2011

PRODUKSI PADI JAGUNG DAN KEDELAI (ANGKA SEMENTARA TAHUN 2015)

ANGKA SEMENTARA TAHUN 2014 PADI DAN PALAWIJA SULAWESI UTARA

INFORMASI IKLIM UNTUK PERTANIAN. Rommy Andhika Laksono

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

ANGKA TETAP TAHUN 2014 PADI DAN PALAWIJA SULAWESI UTARA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG

PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA (Angka Tetap 2013 dan Angka Ramalan I 2014)

KATA PENGANTAR. Demikian Buku KEADAAN TANAMAN PANGAN JAWA TENGAH kami susun dan semoga dapat digunakan sebagaimana mestinya.

ANGKA RAMALAN 1 TAHUN 2015 PADI DAN PALAWIJA SULAWESI UTARA

PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA (Angka Sementara Tahun 2012)

UPDATE DASARIAN III MARET 2018

BAB II LANDASAN TEORITIS

KEKERINGAN TAHUN 2014: NORMAL ATAUKAH EKSTRIM?

ANALISIS MUSIM KEMARAU 2015 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2015/2016

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM

8. MODEL RAMALAN PRODUKSI PADI

Gbr1. Lokasi kejadian Banjir dan sebaran Pos Hujan di Kabupaten Sidrap

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PRODUKSI TANAMAN PANGAN PROVINSI BENGKULU (ANGKA RAMALAN I 2015)

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL

Buletin Pemantauan Ketahanan Pangan INDONESIA. Volume 7, Agustus 2017

PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA (Angka Sementara Tahun 2015)

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM

ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT. ANALISIS & PREDIKSI CURAH HUJAN UPDATE DASARIAN I MARET 2017

Musim Hujan. Musim Kemarau

Impact of Climate Variability on Agriculture at NTT

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DINAS PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR Jl. Madukoro Blok.AA-BB Telp. (024) , , , S E M A R A N

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan April 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2012 KATA PENGANTAR

UPDATE HASIL MONITORING EL NINO DAN PRAKIRAAN CURAH HUJAN AGUSTUS DESEMBER 2015

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM

KATA PENGANTAR REDAKSI. Pengarah : Wandayantolis, S. SI, M. Si. Penanggung Jawab : Subandriyo, SP. Pemimpin Redaksi : Ismaharto Adi, S.

ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT, ANALISIS & PREDIKSI CURAH HUJAN UPDATED DASARIAN II FEBRUARI 2017

PRODUKSI PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI (Angka Ramalan II Tahun 2014)

Gambar 1. Diagram TS

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM

KATA PENGANTAR. Pontianak, 1 April 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI SIANTAN PONTIANAK. WANDAYANTOLIS, S.Si, M.Si NIP

Buletin Analisis Hujan Bulan April 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2013 KATA PENGANTAR

PENGARUH DIPOLE MODE TERHADAP CURAH HUJAN DI INDONESIA

HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT. ANALISIS & PREDIKSI CURAH HUJAN UPDATED DASARIAN II JUNI 2017

KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI

KATA PENGANTAR. Prakiraan Musim Kemarau 2018

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

PRODUKSI PADI, JAGUNG, KEDELAI DAN UBI KAYU 2015

ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT. ANALISIS & PREDIKSI CURAH HUJAN UPDATED DASARIAN III FEBRUARI 2017

Transkripsi:

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Analisis pengaruh ENSO dan IOD terhadap curah hujan Pola hujan di Jawa Barat adalah Monsunal dimana memiliki perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dan periode musim kemarau kemudian dikelompokan dalam Zona Musim (ZOM), tipe curah hujan yang bersifat unimodial (satu puncak musim hujan, DJF musim hujan, JJA musim kemarau). Curah hujan yang jatuh pada setiap bulan atau setiap tahun disetiap lokasi di permukaan bumi tidak selalu sama menurut jumlah dan waktu. Terkadang ada tahun yang curah hujannya tinggi dan bahkan di tahun berikutnya sangat rendah. Datangnya musim hujan yang tidak selalu sama, kadang-kadang mendahului atau terlambat dari waktu rata-rata normalnya. Untuk itu dikatakan bahwa jumlah hujan dan kedatangan musim hujan adalah variabel yang selalu berubah-ubah dimana salah satu faktor penyebabnya adalah adanya iklim regional yang mempengaruhi. Berdasarkan hasil penelitian Koesmaryono (2008), dampak ENSO dan DMI pengaruhnya kuat terhadap daerah Jawa Barat dengan tipe curah hujan munsonal. Oleh karena itu kesiapan sarana dan prasarana bagi penyediaan air irigasi perlu disiagakan ketika memasuki periode bulan Juni - November. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar kuat pengaruh hubungan ENSO dan DMI terhadap curah hujan di Jawa Barat bagian utara yaitu Kabupaten Indramayu dan bagian Selatan Jawa yaitu Kabupaten Cianjur. 4.1.1 Pola Distribusi Curah Hujan Berdasarkan hasil analisis terdapat 46 stasiun di Kabupaten Indramayu dan 21 stasiun di Kabupaten Cianjur, terlihat bahwa distribusi curah hujan relatif beragam. Pada bulan DJF, daerah Indramayu relatif lebih rendah dan penurunan curah hujan pada bulan MAM lebih cepat terjadi. Memasuki bulan JJA penurunan curah hujan hampir merata pada kedua kabupaten tersebut. Pada periode SON, peningkatan curah hujan terjadi di Cianjur sedangkan di Indramayu curah hujan masih relatif rendah. Terjadi penurunan curah hujan baik untuk wilayah Indramayu maupun Cianjur yang ditandai dengan munculnya anomali

27 negatif pada bulan Mei sampai Oktober dalam periode 17 tahun. Hal ini menunjukkan pada bulan-bulan tersebut mulai memasuki musim kering, dimana anomali negatif tertinggi terjadi pada bulan pancaroba/peralihan yaitu pada bulan Agustus (penurunan curah hujan hingga mencapai 110 mm dari curah hujan rataratanya). Curah Hujan (mm) 350 300 250 200 150 100 50 0 CH rata-rata = 124,3 mm/bln Indramayu Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des B u l a n Curah Hujan (mm) 200 150 100 50 0-50 -100-150 Indramayu Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des B u l a n Gambar 7. Fluktuasi curah hujan bulanan dan anomalinya di Indramayu periode Tahun 1990-2007. Curah Hujan (mm) 300 250 200 150 100 50 0 CH rata-rata = 174 mm/bln Cianjur Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des B u l a n Curah Hujan (mm) 200 150 100 50 0-50 -100-150 Cianjur Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des B u l a n Gambar 8. Fluktuasi curah hujan bulanan dan anomalinya di Kabupaten Cianjur periode Tahun 1990-2007. Indramayu merupakan kabupaten yang paling rentan terhadap anomali iklim regional terutama oleh ENSO, sifat pola hujannya sangat tegas menunjukkan puncak dan lembah (monsunal) serta curah hujan rata-rata setiap tahunnya relatif rendah yaitu sebesar 124 mm/bulan (Gambar 7). Cianjur merupakan kabupaten yang relatif paling sedikit dipengaruhi oleh kedua fenomena tersebut dengan curah hujan sebesar 174 mm/bulan (Gambar 8), hal tersebut disebabkan daerah Cianjur lebih dekat dengan pegunungan yang dipengaruhi oleh kondisi iklim lokal.

28 4.1.2. Distribuís Stasiun Hujan yang dipengaruhi oleh ENSO dan IOD Hasil korelasi antara nilai SST, DMI dan curah hujan dari tiap-tiap stasiun hujan memiliki nilai yang beragam (positif dan negatif). Dan berdasarkan nilai peluangnya (Probability) menunjukkan bahwa tidak semua curah hujan di wilayah stasiun hujan memiliki hubungan yang nyata dengan SST dan DMI. Hal ini berarti tidak semua wilayah kajian dipengaruhi oleh penyimpangan iklim regional. Berikut ini adalah hasil kajian hubungan antara ENSO, IOD dengan CH pada stasiun-stasiun hujan yang memiliki nilai korelasi negatif pada derajat kepercayaan 95%, hal tersebut menunjukkan bahwa ketika terjadi ENSO atau IOD, curah hujan pada setiap stasiun tersebut berkurang. Dari analisis Lagging, hubungan ENSO dan IOD dengan kejadian curah hujan disetiap stasiun hujan menunjukkan nilai korelasi yang beragam untuk tiap-tiap lagnya (lag 0-3). Stasiun hujan yang berkorelasi nyata serta bernilai negatif banyak terdapat pada Lag 0 yang artinya nilai curah hujan pada bulan januari menurun dengan meningkatnya ENSO atau IOD pada bulan yang sama, sehingga dalam analisis korelasi digunakan hasil korelasi pada Lag 0. Wilayah Indramayu, pada bulan DJF maupun MAM, pengaruh iklim regional terhadap stasiun hujan kurang dari 10% dan hanya terdapat pada beberapa stasiun saja. Pengaruh ENSO dan IOD baru tampak pada bulan JJA dan SON. Oleh karena itu, terlihat adanya keterkaitan bahwa terjadinya musim kemarau yang kering dapat berdampak pada peningkatan curah hujan pada periode berikutnya (DJF). Pada bulan JJA stasiun yang berkorelasi nyata dengan fenomena tersebut sebanyak 46%. Pada periode SON pengaruh kedua fenomena semakin kuat dimana seluruh stasiun terpengaruh oleh fenomena iklim regional (Gambar 9). Periode ini merupakan masa peralihan musim kemarau ke musim hujan, dimana pengaruh kedua fenomena mencapai puncaknya.

29 120.0 DJF 120.0 MAM Distribusi Stasiun (%) 100.0 80.0 60.0 40.0 20.0 0.0 DMI + Nino DMI Nino 3.4 Non Iklim Regional Distribusi Stasiun (%) 100.0 80.0 60.0 40.0 20.0 0.0 DMI + Nino DMI Nino 3.4 Non Iklim Regional Distribusi Stasiun (%) 120.0 100.0 80.0 60.0 40.0 20.0 0.0 DMI + Nino DMI Nino 3.4 Non Iklim Regional JJA Distribusi Stasiun (%) 120.0 100.0 80.0 60.0 40.0 20.0 0.0 DMI + Nino DMI Nino 3.4 Non Iklim Regional Gambar 9. Distribusi stasiun yang dipengaruhi oleh iklim regional di Kabupaten Indramayu Distribusi Stasiun (%) Distribusi Stasiun (%) 120.0 100.0 80.0 60.0 40.0 20.0 0.0 120.0 100.0 80.0 60.0 40.0 20.0 0.0 DMI + Nino DMI Nino 3.4 Non Iklim Regional DMI + Nino DMI Nino 3.4 Non Iklim Regional DJF JJA Distribusi Stasiun (%) Distribusi Stasiun (%) 120.0 100.0 80.0 60.0 40.0 20.0 0.0 120.0 100.0 80.0 60.0 40.0 20.0 0.0 DMI + Nino DMI Nino 3.4 Non Iklim Regional DMI + Nino DMI Nino 3.4 Non Iklim Regional Gambar 10. Distribusi stasiun yang dipengaruhi oleh iklim regional di Kabupaten Cianjur Berbeda pada wilayah Cianjur yang terletak di Selatan Jawa, dimana lebih terpengaruh oleh IOD dari pada ENSO. Kurang dari 10% stasiun hujan pada periode DJF maupun MAM terpengaruh oleh IOD. Pengaruh IOD menguat pada periode JJA dan SON yaitu sebesar 29% (Gambar 10). Hal ini menjelaskan bahwa hanya sebagian kecil daerah sawah Cianjur yang dipengaruhi oleh iklim regional SON MAM SON

30 (korelasi yang signifikan dan memiliki korelasi negatif). Berkurangnya wilayah yang memiliki curah hujan pada periode DJF, menunjukkan adanya pelemahan pengaruh kedua fenomena tersebut. Hal ini disebabkan karena pada periode ini kedua fenomena telah mengalami puncaknya diakhir tahun serta telah memasuki musim hujan. Terjadinya korelasi yang lemah antara curah hujan dengan ENSO dan IOD pada saat musim hujan diduga terkait dengan SST perairan Indonesia yang berubah tanda (terjadi anomali positif) selama peralihan dari musim kemarau ke musim hujan (dari SON ke DJF). Anomali SST di perairan Indonesia berlawanan tanda dengan anomali SST di Samudera Pasifik (tengah atau timur) dan Samudera Hindia bagian barat selama JJA dan SON, tetapi memiliki tanda yang sama pada saat DJF dan MAM. Perubahan yang cepat pada SST perairan Indonesia yang terjadi dari musim kemarau ke musim hujan merupakan refleksi dari interaksi atmosfer-laut di wilayah Indonesia. Anomali SST Samudera Pasifik dan Hindia akan berperan dalam menggerakkan angin permukaan yang dapat mempengaruhi SST di perairan Indonesia (Hendon, 2002). 4.1.3. Bentuk spasial koefisien korelasi antara Curah Hujan dengan ENSO dan IOD Berdasarkan hasil analisis korelasi hubungan antara Curah Hujan dengan ENSO dan IOD, pada periode DJF dan MAM terjadi peningkatan curah hujan dibandingkan dengan periode sebelumnya. Pengaruh ENSO dan IOD mulai berkurang, dimana terjadi perubahan tanda koefisien korelasi yaitu dari negatif pada SON menjadi positif pada DJF. Melemahnya pengaruh Iklim Regional tersebut terhadap curah hujan dikarenakan pada periode ini pengaruh ENSO dan IOD sudah menghilang dan juga merupakan puncak musim hujan di wilayah Indonesia. Sehingga bentuk spasial hanya dilakukan pada bulan JJA dan SON, untuk memberikan informasi daerah-daerah mana saja yang terpengaruh kuat, sedang dan lemah terhadap ENSO dan IOD sehingga dapat menjadi informasi dan pengambilan kebijakan pola tanam padi dan irigasi bagi pemerintahan daerah setempat.

31 Di wilayah Indramayu, curah hujan hanya berkorelasi signifikan serta berkorelasi negatif dengan ENSO pada periode JJA, sedangkan IOD tidak mempengaruhi intensitas curah hujan. Gambar 11. adalah koefisien korelasi antara ENSO dengan curah hujan pada JJA dengan interval kontur 0,1. Warna putih menunjukkan koefisien korelasi yang tidak signifikan atau wilayah yang tidak terpengaruh oleh adanya ENSO. Tabel 5 menunjukkan bahwa sebagian besar Indramayu bagian Utara merupakan daerah yang terpengaruh tingkat lemah (r -0,4) oleh ENSO dengan luas sebesar 61,32%, hal ini menunjukkan bahwa daerah tersebut pada periode JJA ketika terjadi ENSO curah hujan intensitasnya mulai berkurang. Dan hanya sebagian kecil wilayah Indramayu yang terpengaruh sedang oleh ENSO (3,24%). Gambar 11. Koefisien korelasi antara CH dengan ENSO pada Periode JJA di Kabupaten Indramayu (interval kontur 0,1) Tabel 5. Luas wilayah yang terpengaruh oleh ENSO dan IOD di Kabupaten Indramayu Luas (Ha) Nino-JJA % Nino-Son % DMI-Son % Kuat - - 101327 49,28 23675 11,51 Sedang 6669 3,24 74169 36,07 120754 58,73 Lemah 126073 61,32 29366 14,28 58316 28,36 Non 72862 35,44 743 0,36 2860 1,39 Pada periode SON, koefisien korelasi antara ENSO dan IOD dengan curah hujan signifikan serta memiliki nilai koefisien korelasi negatif terdapat diseluruh wilayah Indramayu. Sebagian besar wilayah Indramayu terpengaruh kuat oleh adanya ENSO dengan luas wilayah sebesar 49,28% dan terpengaruhi sedang oleh

32 IOD dengan luas sebesar 58,73%. Sebagian kecil wilayah yang memiliki tingkat korelasi lemah (r -0,4) terhadap ENSO dan IOD yaitu seluas 14,28% dan 28,36% (Tabel 6). Pengaruh ENSO lebih kuat mempengaruhi intensitas curah hujan dari pada IOD. Pada wilayah Indramayu bagian tengah (wilayah berwarna merah tua) merupakan wilayah dengan nilai korelasi r -0,5, dimana wilayah tersebut memerlukan antisipasi sarana dan prasarana yang lebih saat memasuki bulan SON untuk mengurangi dampak ENSO. Pada saat El Nino dan didukung dengan DM positif maka pada musim kemarau di wilayah tersebut menjadi lebih panjang dan kering sehingga memperlambat awal tibanya musim hujan. Gambar 12. Koefisien korelasi antara CH dengan ENSO pada Periode SON di Kabupaten Indramayu (interval kontur 0,1) Gambar 13. Koefisien korelasi antara CH dengan IOD pada Periode SON di Kabupaten Indramayu (interval kontur 0,1)

33 Gambar 14. Koefisien korelasi antara CH dengan IOD pada periode JJA di Kabupaten Cianjur (interval kontur 0,1) Gambar 15. Koefisien korelasi antara CH dengan IOD pada periode SON di Kabupaten Cianjur (interval kontur 0,1)

34 Tabel 6. Luas wilayah yang terpengaruh oleh IOD di Kabupaten Cianjur Luas (Ha) JJA % SON % Kuat 30228 7,89 111552 29,12 Sedang 126667 33,07 79947 20,87 Lemah 62425 16,30 34151 8,92 non 163702 42,74 0 0,00 Wilayah Cianjur, pada bulan JJA dan SON sama-sama hanya berkorelasi signifikan serta berkorelasi negatif terhadap IOD. Wilayah Cianjur bagian utara merupakan wilayah yang tidak terpengaruh iklim regional, dimana bagian utara merupakan wilayah sawah terluas di Cianjur. Wilayah bagian selatan merupakan wilayah yang terpengaruhi oleh IOD, pada bulan SON pengaruhnya terlihat menguat ditandai dengan warna merah tua (r -0,5). Daerah yang tepengaruh oleh IOD memiliki luasan sebesar 57,26% pada JJA dan meningkat pada periode SON sebesar 58,91% (Gambar 14 dan 15). Dari Informasi yang di dapatkan dari Dinas Pertanian, petani di daerah selatan Cianjur ini lebih banyak menanam tanaman kacang tanah dimana daerah tersebut merupakan daerah sentra produksi kacang tanah. Hal ini sesuai dengan penelitian Saji et al. (1999), pada bulan SON berkurangnya curah hujan di Sumatra bagian Selatan, Jawa dan Nusa Tenggara pada saat terjadi DMI. Periode SON ini merupakan puncak aktivitas DMI, dimana anomali angin tenggara di daerah Jawa dan Sumatra bagian Selatan sangat tinggi. Semakin menguatnya angin tenggara yang sifatnya kering menyebabkan berkurangnya curah hujan di daerah tersebut. 4.2. Dinamika waktu dan luas tanam terhadap ENSO dan IOD 4.2.1. Hubungan dampak ENSO dan IOD terhadap luas tanam Sepanjang periode tahun 1990 sampai 2007, El-Nino terjadi pada tahun 1991/1992, 1994/1995, 1997/1998, 2002/2003 dan 2006/2007 sedangkan IOD positif terjadi tahun 1991, 1994, 1997, 1998, 2004, 2006, dan 2007. Munculnya kedua fenomena tersebut akan mengakibatkan penurunan curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia, bahkan saat terjadi bersamaan akan mengakibatkan kekeringan yang hebat seperti pada tahun 1997/1998.

35 Pada daerah yang dipengaruhi oleh iklim regional, perbedaan puncak tanam menunjukkan fluktuasi yang tegas. Daerah Indramayu dipengaruhi kuat oleh ENSO dan IOD dengan korelasi r -0,5 memiliki puncak tanam tertinggi pada bulan Desember dan Mei dengan waktu tanam paling rendah bulan Maret, Agustus sampai Oktober. Pada wilayah yang memiliki tingkat korelasi sedang oleh ENSO dan IOD dengan korelasi -0,4<r<-0,5 memiliki puncak tanam pada bulan Januari dan Mei. Sedangkan pada daerah yang memiliki tingkat korelasi lemah (korelasi r -0,4) memiliki puncak tanam pada bulan Desember dan Mei (Gambar 16 dan 17). 2400 Indramayu r -0.5-0.4<r<-0.5 r -0.4 Rata-rata luas tanam (Ha) 2000 1600 1200 800 400 0 sep oct nov dec jan feb mar apr may jun jul aug Bulan Gambar 16. Luas tanam di Kabupaten Indramayu yang terkena dampak ENSO 2000 Indramayu r -0.5-0.4<r<-0.5 r -0.4 Rata-rata luas tanam (Ha) 1600 1200 800 400 0 sep oct nov dec jan feb mar apr may jun jul aug Bulan Gambar 17. Luas tanam di Kabupaten Indramayu yang terkena dampak IOD Daerah dengan tingkat korelasi kuat tersebut mengalami pergeseran waktu tanam hingga 1 dasarian dibandingkan dengan daerah yang terpengaruh lemah oleh ENSO dan IOD. Secara keseluruhan peningkatan luas tanam dari bulan September sampai mencapai puncaknya pada Januari serta penaman kedua pada bulan Maret sampai mencapai puncaknya pada bulan Mei. Wilayah yang tidak terpengaruh oleh ENSO dan IOD pada umumnya memiliki rata-rata luas tanam

36 lebih tinggi dan terlihat jelas pada pola peningkatan luas tanam dari bulan September sampai Januari, sedangkan wilayah dengan tingkat korelasi kuat memiliki kecenderungan luas tanamnya lebih rendah ketika penanaman memasuki bulan SON. Untuk lebih jelasnya pola penurunan luas tanam terhadap pengaruh dampak ENSO dan IOD dapat dilihat dari nilai anomalinya. Di wilayah Indramayu, anomali ENSO mulai meningkat memasuki bulan Juli hingga Oktober (Gambar 18), akibatnya luas tanam menurun pada periode tersebut baik pada wilayah yang berkorelasi rendah maupun sedang dan wilayah yang terpengaruh kuat pada umumnya memiliki penurunan luas tanam tertinggi. Gambar 19 menunjukkan fluktuasi IOD dan Luas Tanam Padi Sawah dapat dilihat bahwa penurunan luas tanam bersamaan dengan peningkatan anomali IOD pada wilayah-wilayah yang berkorelasi rendah, sedang maupun kuat. Pada umumnya pada wilayah yang terpengaruh ENSO dan IOD penurunan luas tanam pada Juli- Oktober lebih tinggi dibandingkan dengan Februari - Maret. 2.00 Indramayu Anomali 1.50 1.00 0.50 0.00-0.50-1.00 Sep Oct Nop Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Kuat Sedang Lemah Nino -1.50 Bulan Gambar 18. Fluktusi ENSO dan Luas Tanam Padi Sawah di Kabupaten Indramayu Anomali Indramayu 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00-0.50 Sep Oct Nop Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags -1.00-1.50-2.00 Bulan Kuat Sedang Lemah DMI Gambar 19. Fluktusi IOD dan Luas Tanam Padi Sawah di Kabupaten Indramayu

37 Berkaitan dengan pola tanam, Indeks Pertanaman padi di Indramayu sebagian besar dilakukan dua kali penanaman dalam setahun. Dimana total luas areal penanaman padi sekitar 200.000 ha per tahunnya (Boer et al., 2002). Hasil wawan cara petani diketahui bahwa di bagian utara Indramayu, penanaman dilakukan pada bulan November menghadapi resio terjadinya banjir, sedangkan penanaman pada MK I menghadapi resiko terjadinya kekeringan. Pada penanaman kedua, terutama pada tahun-tahun kering, air irigasi terbatas sementara air hujan tidak mencukupi. Mengingat hal tersebut, banyak informasi yang dibutuhkan terutama terhadap fluktuasi curah hujan yang sangat penting dibutuhkan guna untuk keputusan mulai bertanam. Meskipun secara keseluruhan hubungan antara iklim regional baik IOD maupun ENSO dengan luas tanam tidak nyata, tetapi saat memasuki SON pada daerah yang terpengaruh oleh kedua fenomena tersebut, kenaikan anomali kearah negatif diikuti dengan penurunan luas tanam begitu pula sebaliknya. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar petani lebih memilih menghindari resiko menanam pada saat terjadi penurunan curah hujan pada periode tersebut sehingga terjadi perbedaan puncak tanam antara wilayah yang terkena dampak IOD dan ENSO dengan yang tidak terkena dampak. 2400 Cianjur nyata non. Rata-rata luas tanam (Ha) 2000 1600 1200 800 400 0 Sep Oct Nop Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Bulan Gambar 20. Luas tanam di Kabupaten Cianjur yang terkena dampak IOD Berbeda pada daerah Cianjur yang hanya dipengaruhi oleh DMI, menunjukkan adanya dua puncak tanam yang kurang begitu tegas dan pergeseran luas tanam relatif tidak terlihat. Secara keseluruhan puncak tanam tertinggi terdapat pada bulan Nopember dan April. Puncak tanam terendah terdapat pada bulan September dan Februari. Pada wilayah yang dipengaruhi kuat oleh IOD

38 memiliki dinamika luas tanam paling rendah bila dibandingkan dengan wilayah yang tidak terpengaruh (Gambar 20). 2.00 Cianjur Anomali 1.50 1.00 0.50 0.00-0.50-1.00 Sep Oct Nop Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Nyata Non DMI Nino -1.50 Bulan Gambar 21. Fluktusi IOD dan Luas Tanam Padi Sawah di Kabupaten Cianjur Berdasarkan nilai anomalinya diketahui bahwa penurunan luas tanam terjadi pada bulan Juni sampai September. Kenaikan luas tanam terlihat pada bulan Oktober dan mencapai puncaknya pada bulan November. Besarnya penurunan luas tanam pada bulan Juni September dibandingkan dengan dengan Januari Maret relatif seragam (Gambar 21). Di daerah Cianjur luas penanaman padi terbesar terdapat pada bagian Utara hal ini bisa disebabkan karena wilayah tersebut tidak dipengaruhi oleh iklim regional dengan pola tanam padi-padi-palawija. Sedangkan pada daerah Selatan Cianjur yang terpengaruh oleh IOD diketahui bahwa pola penanaman padi-ladang, dimana petani hanya melakukan penanaman padi sekali dalam setahun. Penanaman palawija berupa kacang tanah, ubi kayu, kedelai atau jagung. 4.2.2. Dinamika kalender tanam terhadap fenomena ENSO dan IOD Dinamika kalender tanam terhadap ENSO dan IOD onset tanam tahun basah diperoleh berdasarkan upscaling dari data per kecamatan. Analisis ini mengekstrak data onset setiap MT per kecamatan kalender tanam terhadap selusuh stasiun hujan baik yang tidak signifikan, berkorelasi kuat, sedang dan lemah. Berdasarkan Peta Kalender Tanam, puncak onset di Jawa Barat pada umumnya terjadi pada September III/Oktober I dengan pola tanam yang dapat dikembangkan Padi-Padi-Padi (Las et al., 2007). Namun karena pengaruh iklim regional pada beberapa wilayah mengalami pergeseran puncak onset berupa pengunduran waktu tanam beberapa dasarian.

39 Di Indramayu, sangat terlihat jelas pengunduran saat tanam terjadi pada tingkat korelasi yang berbeda akibat pengaruh ENSO dan IOD pada periode SON. Pada tingkat korelasi yang rendah terhadap ENSO (r -0,4) sekitar 4% kecamatan di Karawang, puncak onset terjadi pada Oktober II/III dan November III/ Desember I hal tersebut berarti terjadi pengunduruan satu dan empat dasarian. Pada tingkat korelasi yang sedang (-0,4>r>-0,5) puncak onset semakin mundur enam dasarian menjadi November III/Desember I, dengan prosentase bertambah menjadi 20%. Dan pergeseran puncak onset enam dasarian terjadi pada korelasi tinggi (r -0,5) dimana sebesar 35% kecamatan. Hal ini menunjukkan bahwa daerah yang terpengaruh kuat dan sedang lebih banyak memiliki onset pada akhir November (Gambar 22). Selanjutnya dampak IOD di Indramayu (Gambar 23), pada tingkat korelasi rendah (r -0,4) sekitar 2% kecamatan dengan puncak tanam September III/Desember I dan 13% kecamatan dengan puncak tanam November III/Desember I (pengunduran hingga enam dasarian). Pada tingkat korelasi sedang, 7% kecamatan dengan puncak tanam Oktober II/III dan 37% kecamatan dengan puncak tanam November III/Desember I, hal tersebut berarti terdapat pengunduran tanam empat dasarian. Sedangkan pada tingkat korelasi kuat terdapat 4% kecamatan dengan puncak tanam Oktober II/III dan 11% kecamatan dengan puncak tanam November II/Desember I, terjadi pengunduran hingga enam dasarian. Pada periode pengunduran puncak onset tersebut pola tanam yang dapat dikembangkan adalah Padi-Padi-Palawija. ENSO di Indramayu 50 r -0.4-0.4 > r > -0.5 r -0.5 Distribusi Stasiun (%) 40 30 20 10 0 SepIII/OktI OktII/III NovI/II NovIII/DesI DesII/III JanI/III Onset Gambar 22. Distribusi waktu tanam pada wilayah yang dipengaruhi ENSO di Kabupaten Indramayu

40 IOD di Indramayu 50 r -0.4-0.4 > r > -0.5 r -0.5 Distribusi Stasiun (%) 40 30 20 10 0 SepIII/OktI OktII/III NovI/II NovIII/DesI DesII/III JanI/III Onset Gambar 23. Distribusi waktu tanam pada wilayah yang dipengaruhi IOD di Kabupaten Indramayu Cianjur Distribusi Stasiun (%) 50 40 30 20 10 nyata non 0 SepIII/OktI OktII/III NovI/II NovIII/DesI DesII/III JanI/III Onset Gambar 24. Distribusi waktu tanam pada wilayah yang signifikan/nyata dan tidak signifikan (non) terhadap IOD di Kabupaten Cianjur Pada daerah Cianjur, hanya terdapat beberapa stasiun hujan yang dipengaruhi oleh IOD, sehingga analisis yang dilakukan adalah stasiun hujan yang tidak nyata/signifikan dan signifikan terhadap iklim regional. Berdasarkan kalender tanam Cianjur memiliki 2 onset yaitu September III Oktober I dan Oktober II-III. Diketahui bahwa 19% kecamatan yang signifikan terhadap DMI memiliki puncak tanam pada Oktober II-III, berbeda dengan daerah yang tidak terpengaruhi oleh adanya DMI, dimana 52% kecamatan memiliki onset September III Oktober I (Gambar 24). Berdasarkan kalender tanam maka daerah tersebut mengalami pergeseran puncak waktu tanam hingga 1-2 dasarian. Pola distribusi kalender tanam yang diterapkan petani lebih lambat dari onset. Pada umumnya keterlambatan tersebut disebabkan oleh ketersediaan air dari curah hujan belum mencukupi untuk pelaksanaan pengolahan tanah. Petani

41 umumnya menunggu curah hujan dengan intensitas sedang hingga tinggi selama tiga hari berturut-turut. Tidak sama dengan pola distribusi kalender tanam pada tahun basah, puncak tanam pada tahun kering terdapat pada MH maupun MK, yaitu pada bulan Desember I/II. Pergeseran puncak waktu tanam terjadi sekitar 4-7 dasarian, disamping itu pergeseran puncak tanam 6-7 dasarian terjadi pada MK I dan MK II, yaitu dari bulan Maret I/II ke Mei I/II (Koesmaryono et al., 2008). Akibat pergeseran puncak tanam tersebut, pada tahun kering berpotensi terjadi kehilangan satu masa tanam pada MK II, yang puncak tanamnya sudah memasuki MH. Kemunduran masa tanam selama tahun kering juga teramati pada saat melakukan verifikasi lapang. Lahan sawah yang lebih jauh dari saluran irigasi atau sumber air mengalami resiko kegagalan tanam atau kehilangan musim tanam. 4.3. Monitoring citra satelit Siklus pemanfaatan lahan sawah untuk bercocok tanam padi mempunyai karakteristik yang khas sehingga dapat dijadikan sebagai dasar untuk membedakan dari jenis tanaman lainnya. Interpretasi citra Landsat yang paling penting untuk mengenali lahan sawah yaitu dengan mengetahui fase-fase pertumbuhan padi. Lahan sawah memiliki ciri-ciri yang unik sehingga mudah dibedakan dengan lahan lainnya. Lahan sawah berbentuk petakan-petakan, memerlukan genangan air, umumnya terletak pada daerah yang relatif datar. Di daerah yang berlereng, lahan sawah selalu berteras, petakannya memanjang mengikuti kontur, dengan tanaman utamanya padi dan sebagian diselingi dengan tanaman palawija, tebu atau tembakau. Dari ciri-ciri yang terlihat dalam citra Landsat tersebut, lahan sawah dapat dibedakan dengan penggunaan lahan yang lain. Dengan melakukan pemantauan melalui analisis seri data satelit walaupun tidak berurutan dengan asumsi bahwa umur tanaman padi berkisar antara 110-120 hari, maka waktu atau masa panen dapat diprediksi. Prediksi masa panen dapat dilakukan apabila awal masa tanam dapat terpantau (fase bera dan fase air) dan lebih pasti lagi apabila dalam pemantauan berikutnya terjadi perubahan fase air menjadi fase vegetatif telah terpantau.

42 Tingkat kehijauan tanaman padi yang dapat diukur melalui analisis citra satelit disebut dengan Nilai NDVI. Nilai NDVI antara 1 hingga +1, dimana nilai (-) menunjukkan obyek air atau lahan bera dan basah dan nilai (+) menunjukan obyek vegetasi. Parameter ini diperoleh dengan mengekstrak nilai spektral band infra merah dengan band merah pada hasil rekaman citra satelit. Nilai-nilai NDVI adalah parameter dasar yang diturunkan dari data penginderaan jauh optik seperti citra satelit Landsat Thematic Mapper (TM ), yang digunakan untuk mendeteksi nilai kehijauan vegetasi termasuk tanaman padi (Lillesand et al., 1994). Untuk tanaman padi sawah, NDVI baru dapat diukur setelah tanaman padi mencapai umur 3-4 MST, karena sebelum umur tersebut kenampakan tanaman padi di lahan sawah masih didominasi kenampakan genangan air (Malingreau, 1986). Nilai NDVI yang rendah berarti tingkat kehijauan tanamannya (aktivitas klorofil) juga rendah, sedangkan nilai yang semakin tinggi menunjukkan bahwa tanaman tersebut semakin lebat/hijau disebabkan oleh tingginya kandungan klorofil. Setelah masa tersebut, tingkat kehijauan akan menurun, timbul bungabunga padi sampai menguning. Pemantauan citra satelit yang digunakan adalah dengan menggunakan data seri beberapa bulan pada tahun 1997 (kejadian El-Nino yang diperkuat dengan IOD) dan citra tahun 2001 (tahun normal). Perubahan tutupan lahan pada citra satelit yang telah dilakukan pemotongan dengan peta baku sawah menggambarkan perubahan luas tanam padi sawah selama tiga tahun. Pada penelitian ini luas tanam padi yang terpantau adalah luas tanam tanaman padi dengan umur padi lebih dari 4 MST. Berdasarkan analisis NDVI, pada musim kemarau di daerah yang selalu terindikasi El-Nino baik daerah Indramayu dan Cianjur mengalami penyusutan luas sawah sebesar 5,22% dan 10,71% dari luas baku sawah tahun 2004. Pada daerah Indramayu luas tanam dari bulan Juli sampai September tahun 2001 memiliki luas panen sebesar 45,14%, yang ditandai dengan adanya penurunan luas sawah. Terjadi sebaliknya pada tahun 1997, dimana pada bulan Juli sampai September terpantau terdapat penambahan luas sawah sebesar 4,73% diindikasikan penanaman padi masih dilakukan oleh petani. Hal tersebut

43 menunjukan bahwa pada tahun 1997 yang merupakan tahun kejadian ENSO dan IOD terjadi pergeseran atau kemunduran waktu tanam padi. Gambar 25. Hasil Analisis NDVI Bulan Juli dan September Tahun 1997 di Kabupaten Indramayu

Gambar 26. Hasil Analisis NDVI Bulan Juli, Agustus dan September Tahun 2001 di Kabupaten Indramayu 44

Gambar 27. Hasil Analisis NDVI Bulan Juni dan Juli Tahun 1997 di Kabupaten Cianjur 45

Gambar 28. Hasil Analisis NDVI Bulan Juni dan Agustus Tahun 2001 di Kabupaten Cianjur 46

47 Dengan pemantauan Waktu panen padi dapat dilakukan sampai 3 bulan sebelum panen berdasarkan umur padi yang diperoleh dari hasil transformasi nilai NDVI. Perkiraan panen padi 1 bulan sebelum panen ditentukan berdasarkan umur padi lebih dari 13 minggu, panen padi 2 bulan yang akan datang di tentukan berdasarkan umur padi antara 8-12 minggu, sedang panen padi 3 bulan yang akan datang ditentukan berdasarkan umur padi antara 4-6 minggu (Wahyunto et.al., 2006). Pada tahun 1997, ditemukan adanya pengurangan luas sawah pada umur tanaman 8-13 MST sebesar 2,26% pada bulan September. Diperkirakan hal tersebut terjadi karena adanya kekeringan sehingga menyebabkan terjadinya puso. Tabel 7. Luas kenampakan tanaman padi pada citra Luasan (Ha) Kabupaten Tahun Bulan luas sawah % luas tanaman % Indramayu 1997 Jul 120191 94,75 56171 44,28 Sep 120248 94,80 13136 10,36 2001 Jul 126818 100 70385 55,49 Ags 126850 100 24182 19,06 Sep 126833 100 12131 9,56 Cianjur 1997 Jun 45681 89,28 37876 64,96 jul 51000 100 38576 75,40 2001 Jun 51165 100 33237 74,03 ags 51165 100 16463 32,18 Tabel 7. menunjukkan bahwa wilayah Indramayu dari bulan Juli sampai September pada tahun 1997 terpantau telah dilakukan panen sebesar 33,93%. Dan di tahun 2001 dengan luas panen sebesar 45,14%. Adanya luasan kenampakan tanaman padi di lahan sawah yang kecil pada bulan September, mengindikasikan bahwa pada bulan ini petani melakukan penanaman padi (memiliki umur tanam kurang dari 3 MST). Berdasarkan hal tersebut maka dapat diprediksikan bahwa luas tanam padi bulan september pada tahun 1997 lebih kecil dibandingkan luas tanam padi pada tahun 2001. Pada wilayah Cianjur, tidak telihat adanya panen pada bulan Juni-Juli (Tahun 1997) dan pada bulan Juni-Agustus terpantau luas panen sebesar 41,85% (Tahun 2001).

48 4.4. Deliniasi Onset dan sensitifitasnya terhadap ENSO dan IOD Analisis sensitifitas waktu tanam terhadap anomali iklim akan menghasilkan kalender tanam dari analisis iklim regional dan hujan wilayah. Kalender Tanam disusun berdasarkan hasil analisis indikator anomali iklim (ENSO dan IOD) dengan kalender tanam eksisting (onset). Hasil analisis sensitifitas disajikan secara spasial untuk mempermudah dalam menentukan daerah yang sensitif terhadap anomali iklim. Tabel 8. Luas sawah yang terpengaruh oleh ENSO dan IOD di Kabupaten Indramayu Luas (Ha) Nino-JJA % Nino-Son % DMI-Son % Kuat - - 69968 55,16 16824 13,26 Sedang 4869 3,84 38880 30,65 82665 65,17 Lemah 87544 69,01 17997 14,19 27356 21,57 Non 34437 27,15 4 0,00 4 0,00 Hasil deliniasi di wilayah Indramayu yang merupakan wilayah Jawa Barat bagian Utara dimana pengaruh ENSO dan IOD sangat berpengaruh kuat terhadap Curah hujan. Pada periode JJA diketahui bahwa 69,01% luas sawah terdapat pada wilayah dengan tingkat korelasi lemah. Dan hanya sebagian kecil (3,84%) sawah yang terpengaruh sedang oleh kedua fenomena tersebut. Pada periode SON pengaruh ENSO dan IOD menguat, dimana 55,16% dan 13,26% luas sawah pada tingkat korelasi kuat. Pada tingkat korelasi sedang terdapat 30,65% (ENSO) dan 65,17% (IOD) luas sawah yang terpengaruh. Sebagian kecil luas sawah yang terpengaruh ENSO pada periode ini yaitu sebesar 14,19% dan terdapat 21,57% sawah yang terpengaruh lemah oleh IOD (Gambar 29). Sebagian besar sawah di wilayah Indramayu ini dengan irigasi semi teknis dimana pada umumnya pola penanaman padi dilakukan dua kali dalam setahun. Walau demikian adanya pengaruh kedua fenomena tersebut memberikan kontribusi pada penurunan produksi atau gagal panen apa bila ketersediaan air irigasi pada periode SON tidak mencukupi. Kerugian petani akibat gagal panen atau menurunnya produksi sangat dirasakan pada wilayah sawah yang jauh dari irigasi, oleh karena itu pengaturan bagi penyediaan air irigasi lebih diperhatikan.

49 Tabel 9. Luas Sawah yang terpengaruh oleh IOD di Kabupaten Cianjur Luas (Ha) JJA % SON % Kuat 4397 8.59 5095 9.96 Sedang 2999 5.86 3524 6.89 Lemah 1444 2.82 556 1.09 non 42325 82.72 41990 82.07 Pada daerah Cianjur, sawah yang terpengaruh oleh IOD memiliki luasan sebesar 17,28% pada JJA dan 17,93% pada SON. Wilayah selatan Cianjur memang memiliki luasan sawah yang kecil dengan irigasi semi teknis, penanaman padi dilakukan sekali dalam setahun. Sebagian besar sawah terdapat di bagian utara Cianjur (lebih dari 80% luas sawah tidak terpengaruh oleh IOD) dengan irigasi teknis dimana penanaman padi dilakukan dua kali dalam setahun (Gambar 30). Secara umum, wilayah yang terpengaruh oleh fenomena ENSO dan IOD penyediaan air irigasi diperlukan ketika memasuki periode Juni sampai November dan kepada petani tidak dianjurkan untuk menanam pada periode Juni sampai Agustus karena ENSO dan IOD semakin kuat pengaruhnya dan luasan yang semakin bertambah secara signifikan dibandingkan periode berikutnya.

Gambar 29. Deliniasi wilayah ENSO-JJA, ENSO-SON dan IOD-SON di Kabupaten Indramayu yang dipengaruhi iklim regional 50

a 51 Gambar 30. Deliniasi wilayah JJA dan SON di Cianjur yang dipengaruhi oleh iklim regional