BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (simptoms kurang dari 3 minggu), subakut (simptoms 3 minggu sampai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris,

GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah

Rhinosinusitis. Bey Putra Binekas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang muncul membingungkan (Axelsson et al., 1978). Kebingungan ini tampaknya

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tulang kepala yang terbentuk dari hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala. 7 Sinus

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya

Laporan Kasus SINUSITIS MAKSILARIS

RINOSINUSITIS KRONIS

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus

DEFINISI BRONKITIS. suatu proses inflamasi pada pipa. bronkus

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di Indonesia, termasuk dalam daftar jenis 10 penyakit. Departemen Kesehatan pada tahun 2005, penyakit sistem nafas

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung

Famili : Picornaviridae Genus : Rhinovirus Spesies: Human Rhinovirus A Human Rhinovirus B

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dua atau lebih gejala berupa nasal. nasal drip) disertai facial pain/pressure and reduction or loss of

Bronkitis pada Anak Pengertian Review Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I KONSEP DASAR. Selulitis adalah infeksi streptokokus, stapilokokus akut dari kulit dan

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. (40 60%), bakteri (5 40%), alergi, trauma, iritan, dan lain-lain. Setiap. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013).

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bronchitis adalah suatu peradangan yang terjadi pada bronkus. Bronchitis

Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri.

LAPORAN PENDAHULUAN SINUSITIS

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

BAB I PENDAHULUAN. tahun. Data rekam medis RSUD Tugurejo semarang didapatkan penderita

memfasilitasi sampel dari bagian tengah telinga, sebuah otoscope, jarum tulang belakang, dan jarum suntik yang sama-sama membantu. 4.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) merupakan suatu inflamasi pada mukosa rongga hidung

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilakukan di apotek Mega Farma Kota Gorontalo pada tanggal

BAB II. Landasan Teori. keberhasilan individu untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE DAN PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

Diagnosis dan Penanganan Rinosinusitis

LAPORAN KASUS (CASE REPORT)

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi

BAB 2 SINDROMA WAJAH ADENOID. Sindroma wajah adenoid pertama kali diperkenalkan oleh Wilhelm Meyer (1868) di

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Author : Edi Susanto, S.Ked. Faculty of Medicine University of Riau. Pekanbaru, Riau. 0 Files of DrsMed FK UNRI (

DIAGNOSIS CEPAT (RAPID DIAGNOSIS) DENGAN MENGGUNAKAN TES SEDERHANA DARI SEKRET HIDUNG PADA PENDERITA RINOSINUSITIS

Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab lokal dan sistemik.

BAB I PENDAHULUAN. hidung dan sinus paranasal ditandai dengan dua gejala atau lebih, salah

Tonsilofaringitis Akut

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II KONSEP DASAR. Sinusitis adalah peradangan pada sinus paranasal (Smeltzer, 2001). Sedangkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari

BAB 1 PENDAHULUAN. pada saluran napas yang melibatkan banyak komponen sel dan elemennya, yang sangat mengganggu, dapat menurunkan kulitas hidup, dan

BAB I PENDAHULUAN. organisme berbahaya dan bahan-bahan berbahaya lainnya yang terkandung di

Maria Ulfa Pjt Maria Lalo Reina Fahwid S Riza Kurnia Sari Sri Reny Hartati Yetti Vinolia R

I. PENDAHULUAN. Farmasi dalam kaitannya dengan Pharmaceutical Care harus memastikan bahwa

FARINGITIS AKUT. Finny Fitry Yani Sub Bagian Respirologi Anak Bagian IKA RS M Djamil- FK Unand

Profil Pasien Rinosinusitis Kronik di Poliklinik THT-KL RSUP DR.M.Djamil Padang

106 Rinosinobronkitis

2.3 Patofisiologi. 2.5 Penatalaksanaan

BAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih

INTERVENSI ULTRA SOUND THERAPY LEBIH BAIK DARIPADA MICRO WAVE DIATHERMY TERHADAP PENGURANGAN NYERI PADA KASUS SINUSITIS FRONTALIS BAGI AWAK KABIN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

HUBUNGAN ANTARA SINUSITIS MAKSILARIS KRONIK TERHADAP KUALITAS HIDUP DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN TRAUMA PADA KORNEA DI RUANG MATA RSUD Dr. SOETOMO SURABAYA. Trauma Mata Pada Kornea

PENGERTIAN Peradangan mukosa hidung yang disebabkan oleh reaksi alergi / ransangan antigen

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kompleksitas dari anatomi sinus paranasalis dan fungsinya menjadi topik

BAB 1 PENDAHULUAN. Papilloma sinonasal diperkenalkan oleh Ward sejak tahun 1854, hanya mewakili

Kaviti hidung membuka di anterior melalui lubang hidung. Posterior, kaviti ini berhubung dengan farinks melalui pembukaan hidung internal.

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

SINUSISTIS MAKSILARIS EC HEMATOSINUS EC FRAKTUR LE FORT I. Lukluk Purbaningrum FKIK Universitas Muhammadiyah Yogyakarta RSUD Salatiga

RITA ROGAYAH DEPT.PULMONOLOGI DAN ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI FKUI

Infeksi saluran pernapasan akut atas, Sinusitis pada Anak. Rinaldi, Helmi M. Lubis, Ridwan M. Daulay, Gabriel Panggabean. Definisi

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

GAMBARAN TRANSILUMINASI TERHADAP PENDERITA SINUSITIS MAKSILARIS DAN SINUSITIS FRONTALIS DI POLI THT RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN

Hubungan gejala dan tanda rinosinusitis kronik dengan gambaran CT scan berdasarkan skor Lund-Mackay

BAB I PENDAHULUAN. dan akhirnya bibit penyakit. Apabila ketiga faktor tersebut terjadi

OSTEOMIELITIS. Rachmanissa

Laporan Kasus Besar. Observasi Limfadenopati Colli Multipel, Dekstra & Sinistra SHERLINE

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

Nyeri. dr. Samuel Sembiring 1

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan. Sistem Imunitas

BAB I PENDAHULUAN. Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiforis, biasanya

BAB I PENDAHULUAN. penyebarannya sangat cepat. Penyakit ini bervariasi mulai dari hiperemia

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

PEDOMAN PENGOBATAN DASAR DI PUSKESMAS 2007 Oleh Departemen Kesehatan RI

Validasi Foto Polos Sinus Paranasal 3 Posisi untuk Diagnosis Rinosinusitis Kronik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Jika tidak terjadi komplikasi, penyembuhan memakan waktu 2 5 hari dimana pasien sembuh dalam 1 minggu.

Mengapa Kita Batuk? Mengapa Kita Batuk ~ 1

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN ISPA

2.1. Sinusitis Maksilaris Odontogen

ASPERGILLUS FUMIGATUS

BAB I PENDAHULUAN. menjadi dua yaitu, infeksi saluran napas atas dan infeksi saluran napas bawah.

BAHAN AJAR V ARTERITIS TEMPORALIS. kedokteran. : menerapkan ilmu kedokteran klinik pada sistem neuropsikiatri

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Asma masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di. dunia dan merupakan penyakit kronis pada sistem

Transkripsi:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sinusitis 2.1.1. Defenisi Menurut Kamus Kedokteran Dorland (2002), sinusitis adalah peradangan sinus, biasanya sinus paranasales; mungkin purulen atau nonpurulen, akut atau kronik. Tipe-tipe peradangan ini dinamakan sesuai dengan sinus yang terkena. Ethmoid sinusitis adalah peradangan sinus ethmoidalis, disebut juga ethmoiditis. Frontal sinusitis adalah peradangan sinus frontalis. Maxillary sinusitis adalah peradangan sinus maxillaris, disebut juga antritis. Sphenoid sinusitis adalah peradangan sinus sphenoidalis, disebut juga sphenoiditis. (Kamus Kedokteran Dorland, 2002) 2.1.2. Etiologi Adapun penyebab sinusitis umumnya adalah karena adanya infeksi yang diinisiasi oleh mikroorganisme, yaitu: 1. Sinusitis virus akut Mayoritas utama oleh sinusitis episodik adalah disebabkan oleh infeksi virus. Kebanyakan virus Infeksi Saluran Pernafasan Atas adalah disebabkan rhinovirus. Akan tetapi korona virus, influenza A dan B, parainfluenza, adenovirus, dan enterovirus adalah agen kausatif. Virus rhinovirus, influenza, dan paravirus adalah virus primer patogenik, pada 3-15% pasien dengan sinusitis akut. Sekitar 0,5%-2%, pasien dengan sinusitis viral bisa berlanjut menjadi sinusitis bakterial akut (Ah See K, 2008)

2. Sinusitis bakterial akut Sangat sering terkait dengan Infeksi Saluran Pernafasan Atas oleh virus, dan juga alergi, trauma, neoplasma, granulomatosa dan penyakit inflamasi, faktor lingkungan, infeksi gigi, variasi anatomi. Hal ini diakibatkan karena perannya yang bisa merusak mukosilia normal dan akan mempredisposisi infeksi bakterial. Antara lain adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, dan Moraxella catarrhalis. (Itzhak Brook, 2012) 3. Invasif sinusitis fungal akut Sangat jarang sinusitis disebabkan oleh fungi. Sinusitis fungi (cth, sinusitis fungal allergi) akan terlihat serupa dengan kelainan saluran napas bagian bawah dan bronchopulmonarry asppergillos allergy. Bipolaris dan spesies Curvullaria adalah fungi yang paling sering terdapat pada sinusitis fungal alergi Data yang paling meyakinkan menyebutkan, pada dewasa disebabkan oleh Haemophyllus Influnzae dan Streptococcus Pneumoniae sebagai patogen yang paling sering ditemukan. Hal ini terhitung dengan 65% strains bakteri yang signifikan ditemukan. Bakteri lainnya yang terlibat antara lain Neisseria sp., Streptococcus pyogenes (grup A), dan streptococcus alpha-haemolytic. Untuk infeksi campuran akan didapati dengan pertumbuhannya yang berat, akan tetapi kultur yang paling aktif tumbuh adalah organisme yang tunggal. Ditemukan 11 virus dari 70 spesimen positif; antara lain 6 rhinovirus, 3 virus influenza A dan 2 virus parainfluenza. (Ellen, R. Wald, 1985) 2.1.3. Epidemiologi Sinusitis mempengaruhi sekitar 35 juta orang per tahun di Amerika dan jumlah yang mengunjugi rumah sakit mendekati 16 juta orang. Menurut National Ambulatory Medical Care Survey (NAMCS), kurang lebih dilaporkan 14 % penderita dewasa mengalami sinusitis yang bersifat episodik per tahunnya dan seperlimanya sebagian besar didiagnosis dengan pemberian antibiotik. Pada tahun 1996, orang Amerika menghabiskan sekitar $3.39 miliyar untuk pengobatan sinusitis. Sekitar 40 % sinusitis akut merupakan kasus yang bisa sembuh dengan

sendirinya tanpa diperlukan pengobatan. Penyakit ini terjadi pada semua ras, semua jenis kelamin baik laki-laki maupun perempuan dan pada semua kelompok umur. (Lucas JW; Schiller JS; Benson V,2001) Wanita memiliki angka episodik yang lebih tinggi dibandingkan pria, disebutkan karena wanita lebih sering dekat dengan anak-anak. Dimana persentase kejadiannya, wanita 20,3% sedangkan pria 11,5%. (Itzhak Brook, 2012) Diestimasikan bahwa 0,5% infeksi saluran pernafasan atas memiliki komplikasi sinusitis akut. Keabsensian dari defenisinya yang tepat, bagaimanapun estimasinya mungkin tidak akurat. Ini seperti menjatuhkan angka antara 0,5% dan 5,0%. Untuk orang dewasa rata-rata 2 hingga 3 kali mengalami pilek per tahun dan anak-anak 6 sampai 8 kali. (Ellen, R.Wald,1985) 2.1.4. Manifestasi Klinis Dari anamnesis biasanya didahului oleh infeksi saluran pernafasan atas (terutama pada anak kecil), berupa pilek dan batuk yang lama, lebih dari 7 hari. Gejala subjektif terdiri dari gejala sistemik, yaitu demam dan rasa lesu, serta gejala lokal yaitu hidung tersumbat, ingus kental yang kadang berbau dan mengalir ke nasofaring (post nasal drip), halitosis, sakit kepala yang lebih berat pada pagi hari, nyeri di daerah sinus yang terkena, serta kadang nyeri alih ke tempat lain. Pada sinusitis maksila, nyeri terasa dibawah kelopak mata dan kadang menyebar ke alveolus, hingga terasa di gigi. Nyeri alih terasa di dahi dan depan telinga. Pada sinusitis etmoid, nyeri di pangkal hidung dan kantus medius, kadang-kadang nyeri di bola mata atau belakangnya, terutama bila mata digerakkan. Nyeri alih di pelipis. Pada sinusitis frontal, nyeri terlokalisasi di dahi atau di seluruh kepala. Pada sinusitis sfenoid, rasa nyeri di verteks, oksipital, retro orbital, dan di sfenoid. Sinusitis dapat dicurigai bila ditemukan 2 kriteria mayor + 1 minor atau 1 mayor + 2 minor (W, Fokkers; V, Lund; J, Mullol: 2007).

Tabel 2.1 Karakteristik Mayor dan Minor Sinusitis Kriteria Mayor Kriteria Minor Nyeri wajah/nyeri wajah saat ditekan Sakit kepala Kongesti/rasa penuh di wajah Demam dan lemas Sumbatan hidung Halitosis Sekret nasal purulen/aliran post nasal Sakit gigi berubah warna Hiposmia/anosmia Batuk Demam (akut) Nyeri, rasa tertekan, penuh pada telinga Gejala objektif, tampak pembengkakan di daerah muka. Pada sinusitis maksila terlihat di pipi dan kelopak mata bawah, pada sinusitis frontal terlihat di dahi dan kelopak mata atas, pada sinusitis etmoid jarang bengkak, kecuali bila ada komplikasi. Pada rinoskopi anterior tampak mukosa konka hiperemis dan edema. Pada sinusitis maksila, frontal, dan etmoid anterior tampak mukopus di meatus medius. Pada sinusitis etmoid posterior dan pada sfenoid, tampak nanah keluar dari meatus superior. Pada rinoskopi posterior tampak mukpus di nasofaring (post nasal drip). Pada anak dengan demam tinggi (>39 o C), ingus purulen, dan sebelumnya menderita infeksi saluran nafas atas, patut dicurigai adanya sinusitis akut, terutama jika tampak edema periorbital yang ringan. Khusus pada anak-anak, gejala batuk jauh lebih hebat pada siang hari tetapi terasa sangat mengganggu pada malam hari, kadang disertai serangan mengi. Keluhan sinusitis akut pada anak kurang spesifik dibandingkan dewasa. Anak sering tidak mengeluh sakit kepala dan nyeri muka. Biasaya yang terlibat hanya sinus maksila dan etmoid. (Kapita Selekta Kedokteran, 2001) 2.1.5. Patofisiologi Patofisiologi sinusitis terkait pada 3 faktor: 1. Obstruksi jalur drainase sinus Hal ini akan mencegah drainase mukus normal. Ostium bisa tertutup oleh pembengkakan mukosa, ataupun penyebab lokal (cth,

trauma, rhinitis). Penyakit sisitemik yang mengakibatkan berkurangnya mukosilia, termasuklah cystic fibrosis, alergi respiratori, dan diskinesia silia primer (Sindrom Kartagener), bisa menjadi faktor predisposisi akut sinusitis pada kasus yang jarang. Pasien dengan immunodefisiensi juga akan meningkatkan resiko munculnya sinusitis akut. Obstruksi mekanis disebabkan oleh polip nasal, benda asing, deviated septa, atau tumor bisa menyebabkan penyumbatan ostium. (Itzhak brook, 2012) Ostium sinus paranasalis adalah kunci dari patologi pada area sinus. Faktor yang mempredisposisikan obstruksi ostium bisa disebabkan oleh pembengkakan mukosa dan bisa dikarenakan obstruksi mekanik. Ketika sudah muncul obstruksi komplit dari ostium, akan ada peningkatan transien dalam tekanan intrasinus diikuti oleh pembentukan tekanan negative intrasinus. Pertukaran gas dalam kavitas sinus juga akan terganggu jika ostium obstruksi. Dalam hal ini, maka aparatus mukosiliar cukup kuat berkaitan dengan perubahan pasokan dalam oksigen (Ellen, R. Wald, 1985) 2. Rusaknya fungsi silia Berdasarkan fisiologi sinus, drainase sinus bukan bergantung pada gravitasi melainkan pada mekanisme transport silia. Fungi silia yang buruk bisa disebabkan berkurangnya sel epitel silia, aliran udara yang tinggi, virus, bakteri atau siliatoxin dari lingkungan, mediator inflamasi, berdempetannya 2 permukaan mukosa, luka, dan sindrom Kartagener. Kerja silia dipengaruhi oleh faktor genetik,seperti sindrom Kartagener. Sindrom Kartagener terkait dengan silia immobile, menyebabkan retensi dari sekresi sehingga menjadi faktor predisposisi infeksi sinus. Fungsi sinus juga akan menurun dengan adanya ph yang rendah, anoxia, rokok, racun kimia, dehidrasi, dan obat-obatan (antikolinergik dan antihistamin). Terpapar dengan toxin bakteri juga bisa menyebabkan menurunnya fungsi silia. Abses dental ataupun prosedur yang menghubungkan antara

kavitas oral dan sinus bisa menyebabkan sinusitis dengan mekanisme ini. Sebagai tambahan, kerja silia bisa dipengaruhi apabila habis kontak dengan virus. Udara dingin juga menghentikan epithelium silia, mengakibatkan pada kerusakan gerakan silia, serta retensi sekresi pada kavitas sinus. Pada kebalikannya, menginhalasai udara yang kering menyebabkan penggumpalan mukus sinus, dan menyebabkan sekresi berkurang. (Itzhak brook, 2012) Kelainan dari apparatus mukosiliari dalam hubungannya berkurang patensi dari ostia sinus adalah patofisiologi utama bahkan pada sinusitis akut. Faktor yang bisa mengganggu transport mukosiliari normal termasuk udara dingin dan panas; perubahan mukus; obat-obatan dan kimiawi; infeksi virus; kelainan kongenital seperti immotil cilia syndrome. Silia dengan pola mikrotubular abnormal merupakan yang paling sering selama periode akut, dengan kedua tambahan di sentral mikrotubular dan mikrotubular supernumeri terkait dengan struktur perifer. Motilitas normal dari silia dan adhesivitas dari lapisan mukosa biasanya melindungi peitelium respirasi dari invasi bakteri. (Ellen, R. Wald,1985) 3. Berubahanya kualitas dan kuantitas mukus Sekresi sinonasal memiliki peran yang penting pada rhinosinusitis. Mukus menyelimuti garis sinus paranasal tersebut, mengandung mukoglikoprotein, immunoglobulin, dan sel inflammatori. Ini terdiri dari 2 lapisan, yaitu lapisan serosa dimana silia recover dari active beat mereka, kemudian lapisan viskos dimana sebagai transportasi silia. Jika komposisi mukus berubah, sehingga mukus memproduksi viskos lebih banyak (cth, cycstic fibrosis), transport ke ostium akan lebih pelan, dan lapisan gel menjadi lebih tebal. (Itzhak brook, 2012) Silia bisa dikalahkan hanya jika di medium fluida. Perubahan pada mukus, seperti cystic fibrose atau asthma, bisa mengganggu aktivitas silia. Adanya material purulen pada infeksi sinus akut bisa mengganggu gerakan

silia dan efeknya akan diperparah dengan penutupan ostium. (Ellen, R. Wald, 1985) 2.1.6. Pemeriksaan Penunjang 1. Transiluminasi Akan memberikan informasi objektif atas kondisi sinus maksila dan frontal. Jika sinus normal, tiga hal harus diperhatikan: (1) refleks pupil merah, (2) bayangan sinar bulan sabit yang sesuai dengan posisi kelopak mata bawah, (3) sensasi sinar dalam mata jika kelopak mata tertutup. 2. Cairan Radioopak Dengan menyuntikkannya ke dalam sinus, terlebih pada sinus maksila dan sfenoid. Dengan adanya cairan itu rongga sinus tampak jelas tergambar, shingga penebalan mukosa dan adanya polip dapat diketahui, dan ketidaksamaan ukuran dan bentuk dapat tergambar dengan tepat. Mukosa yang sakit tampak sebagai daerah yang tidak terisi, diantara massa minyak dan tepi tulang. (Ballenger, 1997) 2.1.7. Diagnosa dan Terapi 1. Metode pertukaran (Displacement) Hal ini agar obat dapat masuk ke sel-sel etmoid, sinus maksila dan sfenoid. Tekniknya adalah kepala pasien diturunkan ke posterior, sehingga dagu dan kanalis auditorius eksterna berada dalam satu garis vertikal. Kemudian cavum nasi pada satu sisi diisi dengan 2 sampai 3 ml cairan radioopak yang dipertukarkan. Dengan memiringkan kepala ke sisi homolateral akan meningkatkan kemungkinan cairan menutupi ostium sinus. Saat pasien menaikkan palatum molenya, tekanan negatif 180 mmhg diberikan secara hilang timbul di nares pada sisi yang diisi, dan pada sisi lainnnya ditutup dengan jari. Roentgen diambil pada 24 dan 72 jam untuk memastikan waktu pengosongan. Pada keadaan normal, sinus harus kosong dalam 96 jam.

2. Irigasi diagnostik Pada banyak kasus, diagnosis pasti akan adanya pus tidak dapat diketahui tanpa irigasi diagnostik. Hal ini dilakukan dengan cara sama seperti untuk terapi, melalui ostium alami atau melalui pungsi. Bahan untuk kultur atau usapan dapat diambil dari cairan pada saat pencucian. (Ballenger, 1997) 2.1.8. Penatalaksanaan Diberikan terapi medikamentosa berupa antibiotik sampai semua gejala hilang. Jenis amoksisilin, ampisilin, eritromisin, sefaklor monohidrat, asetil sefuroksim, trimetoprim sulfometoksazol, amoksisilin-asam klavulanat, dan klaritromisin telah terbukti secara klinis. Jika dalam 48-72 jam tidak ada perbaikan klinis, diganti dengan antibiotik untuk kuman yang menghasilkan beta laktamase, yaitu amoksisilin dan ampisilin dikombinasi dengan asam klavulanat. Diberikan pula dekongestan untuk memperlancar drainase sinus. Bila perlu diberikan analgesik untuk menghilangkan nyeri; mukolitik untuk mengencerkan, meningkatkan kerja silia, dan merangsang pemecahan fibrin. Pemberian steroid intranasal, kadang diperlukan untuk mengurangi edema di daerah kompleks osteomeatal, terutama bila dicetuskan oleh alergi. Apabila terdapat komplikasi ke orbita atau intrakranial, atau nyeri yang hebat akibat tertahannya sekret oleh sumbatan, sehingga perlu dirujuk untuk dilakukan tindakan bedah. (Kapita Selekta Kedokteran, 2001)