TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae)

dokumen-dokumen yang mirip
TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Telur P. castanae Hubner. Bentuk telur oval dan dapat menghasilkan telur sebanyak butir perbetina.

TINJAUAN PUSTAKA. Berbentuk oval sampai bulat, pada permukaan atasnya agak datar. Jumlah telur

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi hama penggerek batang berkilat menurut Soma and Ganeshan

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo sacchariphagus Bojer (Lepidoptera: Crambidae) diletakkan secara berkelompok dalam 2-3 baris (Gambar 1). Bentuk telur jorong

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo saccharipaghus Bojer (Lepidoptera: Pyralidae) mengkilap. Telur berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam sebelum

TINJAUAN PUSTAKA. beberapa hari berubah menjadi coklat muda. Satu atau dua hari menjelang

TINJAUAN PUSTAKA. berkelompok (Gambar 1). Kebanyakan telur ditemukan di bawah permukaan daun,

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), klasifikasi S. inferens adalah sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae)

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Chilo sacchariphagus Boj. (Lepioptera: Crambidae) Bentuk telur jorong dan sangat pipih, diletakkan dalam 2-3 baris tersusun

Jenis- jenis penggerek batang pada tanaman tebu Oleh Ayu Endah Anugrahini, SP

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Chilo sacchariphagus Bojer. (Lepidoptera: Crambidae) Imago betina meletakkan telur secara berkelompok pada dua baris secara

TINJAUAN PUSTAKA. Xanthocampoplex sp. (Hymenoptera : Ichneumonidae) Famili Ichneumonidae merupakan salah satu famili serangga terbesar yang

Tetra Febryandi Sagala, Maryani Cyccu Tobing *,Lisnawita

TINJAUAN PUSTAKA. Telur berwarna putih, berbentuk bulat panjang, dan diletakkan

TINJAUAN PUSTAKA. A. Biologi dan Morfologi Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros) kelapa sawit di Indonesia adalah kumbang tanduk O. rhinoceros.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penggerek Pucuk Tebu dan Teknik Pengendaliannya

TINJAUAN PUSTAKA. buku pertama di atas pangkal batang. Akar seminal ini tumbuh pada saat biji

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi dan siklus hiduptrichogramma spp. (Hymenoptera : Famili Trichogrammatidae merupakan parasitoid telur yang

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), Setothosea asigna di klasifikasikan sebagai

HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi

HASIL DAN PEMBAHASAN

untuk meneliti tingkat predasi cecopet terhadap larva dan imago Semoga penelitian ini nantinya dapat bermanfaat bagi pihak pihak yang

TINJAUAN PUSTAKA. miring. Sycanus betina meletakkan tiga kelompok telur selama masa hidupnya.

Gambar 1. Gejala serangan penggerek batang padi pada stadium vegetatif (sundep)

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan

TINJAUAN PUSTAKA. enam instar dan berlangsung selama hari (Prayogo et al., 2005). Gambar 1 : telur Spodoptera litura

HAMA Cricula trifenestrata PADA JAMBU METE DAN TEKNIK PENGENDALIANNYA

PENGARUH LAMANYA INOKULASI

TINJAUAN PUSTAKA. (Ostrinia furnacalis) diklasifikasikan sebagai berikut:

Tetratichus brontispae, PARASITOID HAMA Brontispa longissima

Status Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) Sebagai Hama

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. pada 8000 SM yaitu ke Pulau Solomon, Hebrida Baru dan Kaledonia Baru.

TINJAUAN PUSTAKA. antara telur dan tertutup dengan selaput. Telur mempunyai ukuran

TINJAUAN PUSTAKA. Siklus hidup lalat buah mengalami 4 stadia yaitu telur, larva, pupa dan

TINJAUAN PUSTAKA. A. Biologi dan Morfologi Rayap (Coptotermes curvignatus) Menurut (Nandika et, al.dalam Pratama 2013) C. curvignatus merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. Siklus hidup S. litura berkisar antara hari (lama stadium telur 2 4

TINJAUAN PUSTAKA. Telur serangga ini berwarna putih, bentuknya mula-mula oval, kemudian

TINJAUAN PUSTAKA. Sebagaimana lazimnya makhluk hidup, tak terkecuali tumbuhan, tidak

HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Populasi Kepinding Tanah ( S. coarctata

PENDAHULUAN. Eli Korlina PENDEKATAN PHT

TINJAUAN PUSTAKA. Serangga Hypothenemus hampei Ferr. (Coleoptera : Scolytidae). Penggerek buah kopi (PBKo, Hypothenemus hampei) merupakan serangga

HASIL DAN PEMBAHASAN. Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Hama Conopomorpha cramerella (Lepidoptera: Gracillariidae)

Hercules si Perusak Tanaman Pala dan Cengkeh

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biocontrol, Divisi Research and

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), adapun sistematika dari hama ini adalah

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. energi pada kumunitasnya. Kedua, predator telah berulang-ulang dipilih sebagai

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Hama Penggerek Buah Kopi (Hypothenemus hampei Ferr.) Menurut Kalshoven (1981) hama Penggerek Buah Kopi ini

PENYEBAB LUBANG HITAM BUAH KOPI. Oleh : Ayu Endah Anugrahini, SP BBPPTP Surabaya

II. TINJAUAN PUSTAKA. Saat ini Indonesia menjadi negara produsen kopi keempat terbesar dunia setelah

AGROTEKNOLOGI TANAMAN LEGUM (AGR62) TEKNOLOGI PENGELOLAAN JASAD PENGGANGGU DALAM BUDIDAYA KEDELAI (LANJUTAN)

TINJAUAN PUSTAKA. Thrips termasuk ke dalam ordo Thysanoptera yang memiliki ciri khusus, yaitu

HASIL DAN PEMBAHASAN

HAMA KUMBANG BIBIT Plesispa reichei PADA TANAMAN KELAPA. Amini Kanthi Rahayu, SP. POPT Ahli Pertama

I. TINJAUAN PUSTAKA. Setothosea asigna, Setora nitens, Setothosea bisura, Darna diducta, dan, Darna

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. Lalat buah dengan nama ilmiah Bractrocera spp. tergolong dalam ordo

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas

I. PENDAHULUAN. Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) adalah satu anggota famili rumputrumputan

Hama Aggrek. Hama Anggrek

TINJAUAN PUSTAKA. bawah, biasanya pada pelepah daun ke Satu tumpukan telur terdiri dari

TINJAUAN PUSTAKA. Siklus Hidup dan Morfologi

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian

TINJAUAN PUSTAKA. kerusakan daun kelapa sawit. Namun demikian, penggunaan insektisida kimia

TINJAUAN PUSTAKA. Adapun morfologi tanaman tembakau adalah: Tanaman tembakau mempunyai akar tunggang terdapat pula akar-akar serabut

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

76. Jurnal Online Agroekoteknologi Vol.1, No.2, Maret 2013 ISSN No

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

TINGKAT SERANGAN HAMA PBK PADA KAKAO DI WILAYAH PROPINSI JAWA TIMUR BULAN SEPTEMBER Oleh : Amini Kanthi Rahayu, SP dan Endang Hidayanti, SP

setelah peletakan dan menetas pada umur hari. Dalam penelitian yang telah

Manfaat NPV Mengendalikan Ulat Grayak (Spodoptera litura F.)

Sari M. D. Panggabean, Maryani Cyccu Tobing*, Lahmuddin Lubis

TINJAUAN PUSTAKA. family : Tephritidae, genus : Bactrocera, spesies : Bactrocera sp.

Pengorok Daun Manggis

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat

VI. PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN UMUM. 6.1 Pembahasan Umum. Berdasarkan hasil penelitian perkembangan Ostrinia furnacalis di Desa

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ulat kantong Mahasena Corbetti :

HASIL DAN PEMBAHASAN

Uji Parasitasi Tetrastichus brontispae terhadap Pupa Brontispae Di Laboratorium

Pengendalian serangga hama. Silvikultur Fisik mekanik Hayati : (predator, parasitoid, patogen) Genetik Kimiawi Perundangan PHT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Kumbang Sagu (Rhynchophorus, sp) Penyebab Kematian Tanaman Kelapa

SERANGAN PENGGEREK BATANG TEBU Chilo sacchariphagus DI SENTRA TEBU JAWA TIMUR. Oleh: Erna Zahro in,sp dan Effendi Wibowo,SP

TAHAP TAHAP PERKEMBANGAN TAWON KEMIT (Ropalidia fasciata) YANG MELIBATKAN ULAT GRAYAK (Spodopteraa exigua)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Biologi Sitophilus oryzae L. (Coleoptera: Curculionidae)

TINJAUAN PUSTAKA. Parasitoid

TINJAUAN PUSTAKA Serangga predator Bioekologi Menochilus sexmaculatus

II. TINJAUAN PUSTAKA

ACARA I PENGGUNAAN LALAT Drosophila SEBAGAI ORGANISME PERCOBAAN GENETIKA

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah : Setelah telur diletakkan di dalam bekas gerekan, lalu ditutupi dengan suatu zat

Gambar 1. Drosophila melanogaster. Tabel 1. Klasifikasi Drosophila

Transkripsi:

TINJAUAN PUSTAKA Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae) Seekor imago betina dapat meletakkan telur sebanyak 282-376 butir dan diletakkan secara kelompok. Banyaknya telur dalam satu kelompok sangat bervariasi dari 3-143 telur. Telur P. castaneae berbentuk oval, berwarna putih kelabu kemudian berubah menjadi hitam kelabu. (Gambar 1). Peletakan telur dalam gulungan daun kering, terutama pada pucuk tanaman yang mati puser. Masa hidup stadia telur antara 9-10 hari (Pramono, 2007). Telur Gambar 1. Telur P. castaneae Larva yang baru menetas panjangnya + 2,5 mm, dan berwarna kelabu. Semakin tua umur larva, warna badan berubah menjadi kuning coklat dan kemudian kuning putih, disamping itu warna garis-garis hitam membujur pada permukaan abdomen sebelah atas juga semakin jelas (Thomson et al., 2012). Larva masuk dari lidah daun ke dalam jaringan pelepah dan hidup menetap di dalam pelepah daun selama 3-7 hari kemudian larva menggerek sampai ke dalam ruas tebu (Gambar 2). Stadia larva terdiri dari 10 instar. Lama stadia larva sekitar 78-82 hari. Pelepah yang sering diserang yaitu daun ke-2, 3, 4, 5, 6. Stadia larva terdiri dari 10 instar. Lama stadia larva sekitar 78-82 hari. (Pramono, 2007).

Larva Gambar 2. Larva P. castaneae Pupa berwarna coklat cerah pada saat pertama kali terbentuk. Sehari setelah pembentukan pupa berubah warna menjadi coklat gelap. Panjangnya sekitar 6,2 8,1 mm dengan ukuran diameter sekitar 2,9 3,4 mm. Pupa berbentuk silindris dan memiliki permukaan yang halus (Gambar 3). Pada awal pembentukkan pupa segmen masih terlihat jelas, tetapi setelah satu atau dua hari kemudian perubahan warna menyebabkan segmen segmen pada pupa menjadi tidak terlihat dengan jelas (Pramono, 2005). Pupa Gambar 3. Pupa P. castaneae Hubner. Stadia imago ditandai dengan warna sayap depan coklat kelabu dan ujung sayap terdapat noktah berwarna ungu kehitaman. Bagian atas kepala terdapat rambut-rambut semacam jambul yang berwarna putih kuning (Gambar 4). Pada siang hari imago ini bersembunyi di antara pelepah daun kering. Imago tertarik pada cahaya lampu (James & Wood, 2006).

Sayap depan lebih memanjang, paling tidak dua kali sama panjangnya dengan lebar. Sayap bersisik lebih tipis (Borror et al., 1992). Imago Gambar 4. Imago P. castaneae Gejala serangan Gejala kerusakan pada ruas ditandai oleh lubang-lubang gerekan yang mudah dilihat dari luar. Tingkat kerusakan biasanya ditentukan berdasarkan persen ruas rusak (dengan tanda kerusakan dari luar) terhadap jumlah ruas. Karena hama ini dapat menggerek lebih dari satu ruas dengan jalan menembus buku-buku ruas tanpa keluar terlebih dahulu, maka banyakya ruas rusak dengan tanda-tanda kerusakan di dalam lebih besar dari pada kerusakan dari luar (Gambar 5) (P3GI, 2011). Gejala Serangan Gambar 5. Gejala serangan P. castaneae Hubner. Hama penggerek batang raksasa menyerang tanaman tua maupun muda. Serangan pada tanaman muda yang belum beruas menyebabkan kerusakan tunas,

pertumbuhan terhambat, batang mudah patah dan menyebabkan tanaman mati pucuk. Pada serangan berat, bagian dalam batang tebu hancur dimakan oleh larva PBR. Pada batang tebu terdapat bekas gorokan. Semakin besar ukuran larva maka ukuran diameter gerekan juga akan semakin besar. Pada pangkal batang terdapat serat hasil gerekan larva. Bekas lubang gerekan akan berwarna merah. Bila populasi hama tinggi, juga dapat menyebabkan kematian pada tanaman tua. Larva masuk ke dalam batang dengan membuat lorong gerekan dari pelepah daun. Kerugian yang ditimbulkan mengakibatkan penurunan bobot batang, serta penurunan kualitas dan kuantitas nira (Diyasti, 2010). Kerusakan yang ditimbulkan larva ini dapat berakibat total bagi pertanaman tebu, mengingat larva ini menetap di bagian dalam, merusak pelepah dan terus mengerek ke dalam batang membentuk terowongan sampai jauh ke dalam batang tebu sehingga sulit untuk pengendaliannya (Khairiyah, 2008). Pengendalian Secara umum pengendalian hama penggerek batang tebu raksasa yaitu: 1. Sanitasi kebun dengan memusnahkan sumber inokulum berupa serasah daun kering, sisa batang, pucuk tebu pasca tebangan dan memusnahkan gelagah yang merupakan inang hama PBR. 2. Eradikasi tanaman dengan memanen tebu lebih awal yaitu sekitar umur 7-8 bulan. 3. Secara hayati dengan melepas musuh alami yaitu Tumidiclava sp. dan S. inferens serta penggunaan cendawan entomopatogen Beauveria bassiana dan Metarrhizium anisopliae. (Diyasti, 2010).

Salah satu pengendalian P. castaneae di Indonesia yaitu dengan penanaman varietas resisten yang merupakan suatu faktor penting dalam pengendalian hama. Varietas tersebut disamping menderita serangan lebih rendah dibanding varietas-varietas standar, perlu memiliki potensi produksi di atas rata-rata standar. Dalam perakitan varietas unggul terutama diarahkan pada potensi produksinya. Disamping itu perlu dipertimbangkan pula faktor ketahanannya terhadap hama-hama penting (Deptan, 1994). Beberapa usaha yang dilakukan dalam pengendalian P. castaneae di PTPN II yaitu: 1. Kultur teknis dengan membongkar tanaman tebu yang terserang hama di dekat areal pertanaman tebu dan sisa batang tebu harus dibakar. Perbedaan masa tanam antara blok yang berdekatan jangan lebih dari satu bulan agar hama penggerek tidak pindah dari tebu tua ke tebu muda 2. Mekanis dengan pengambilan larva secara langsung dari tanaman tebu dan mengurangi tempat bertelur P. castaneae dengan cara membersihkan kebun dari daun yang menggulung dan daun yang kering 3. Hayati dengan menggunakan musuh alami parasitoid telur (Tumidiclava sp.) dan parasitoid larva (S. inferens dan Xanthocampoplex sp.) (BPTTD, 1979). Biologi Sturmiopsis inferens Town. (Diptera : Tachinidae) Telur S. inferens berukuran kecil dan terdapat di dalam tubuh betina, bentuknya hampir bulat dengan diameter sekitar 0,15-0,17 mm dan berwarna putih. Sering kali larva dikeluarkan masih dalam keadaan diselubungi oleh lapisan kulit telur yang tipis. Stadia telur 5-11 hari (Kalshoven, 1981).

Larva instar pertama berwarna putih transparan mempunyai panjang tubuh sekitar 0,46 mm dan lebar 0,11 mm (Gambar 6). Instar pertama dan kedua dari larva S. inferens, tertutup oleh lapisan tipis seperti membran telur, mempunyai 13 segmen, termasuk di bagian kepala. Larva instar kedua dan ketiga tidak jauh berbeda kecuali pada warna larva dan ukurannya. Larva instar kedua mempunyai panjang tubuh 4-4,5 mm sedangkan instar ketiga panjangnya sekitar 7-7,8 mm. Larva instar ketiga berwarna krem cerah dan segmen-segmen pada tubuhnya terlihat jelas. (Saragih et al., 1986). Larva yang menemukan inangnya akan langsung melekat pada tubuh inang dan melubangi tubuh inangnya. Semakin bertambah umurnya semakin besar dan gemuk. Stadia larva 15-24 hari (Sunaryo et al., 1988). Gambar 6. Larva S. inferens Pupa berwarna coklat cerah pada saat terbentuk pertama kali. Sehari kemudian pupa berwarna coklat gelap. Panjang pupa sekitar 6,2-8,1 mm dengan diameter sekitar 2,9-3,4 mm. Pupa berbentuk silindris dan memiliki permukaan yang halus (Gambar 7). Pada awal pembentukan pupa, segmen masih terlihat jelas, tetapi setelah satu atau dua hari kemudian perubahan warna menyebabkan segmen-segmen pada pupa menjadi tidak terlihat dengan jelas. Masa stadia pupa 11-14 hari (Ditjenbun, 2011).

Gambar 7. Pupa S. inferens Imago S. inferens akan muncul dari pupa pada waktu pagi hari yaitu antara jam 06.30-10.00. Imago yang baru muncul akan terbang setelah 3-5 menit kemudian (Verly et al., 1973)..Stadia imago sekitar 14-24 hari. Lalat betina mengalami masa pembuahan 1-2 minggu. Larva dikeluarkan masih diselubungi lapisan kulit telur yang tipis. Telur segera menetas setelah diletakkan Daur hidup S. inferens berkisar antara 45-73 hari (Wirioatmodjo, 1977) (Gambar 8). Gambar 8. Imago S. inferens Parasititasi Sturmiopsis inferens Sturmiopsis inferens tergolong ke dalam famili Tachinidae yang merupakan lalat parasit yang sering digunakan sebagai pengendali hayati. Parasitoid ini memiliki ciri ciri pada tubuhnya terdapat rambut halus yang lebih banyak berwarna hitam atau kelabu. Lalat ini memiliki bentuk hampir sama

dengan lalat rumah hanya saja lalat ini meletakkan telur atau larva pada tubuh ulat (serangga lain) dan memiliki rambut yang lebih banyak dari lalat rumah. Larva akan hidup dalam tubuh inang, bila larva keluar akan menyebabkan kematian pada inang (Susilo, 2007) Imago S. inferens meletakkan larvanya pada umur 7 hari pada lubang gerekan inangnya yaitu larva penggerek batang tebu. Pada umur 8-18 hari telah banyak inang yang terparasit. Secara umum terdapat kecenderungan bahwa semakin tua umur induk lalat S. inferens maka akan semakin turun kemampuan memarasitnya (Rao & Baliga, 1968). Larva S. inferens apabila telah menemukan inangnya akan bergerak menuju sela-sela ruas tubuh larva inang dan kemudian masuk ke dalam tubuh inang. Waktu yang diperlukan larva S. inferens untuk masuk ke dalam tubuh inang adalah sekitar 15 menit, tergantung pada kondisi inang (Sudheendrakumar, 1997). Larva yang memperoleh cukup makanan (tubuh inang) akan dapat menyelesaikan perkembangannya sedangkan yang tidak mendapatkan makanan akan mati. Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa persaingan antara larva-larva dalam inangnya hanya didasarkan atas jumlah makanannya (Fergus et al., 2002). Larva yang diletakkan dekat lubang gerek, akan memasuki lorong gerek. Larva dapat merayap jauh ke dalam lorong gerek untuk mendapatkan inang dengan menggunakan kait yang terdapat dalam mulut, larva masuk ke dalam rongga badan inang melalui bagian kulit yang tipis (Wirioatmodjo, 1977). Inang biasanya mati menjelang saat larva menjadi pupa. Larva yang keluar dari inang akan berubah menjadi pupa dan terdapat dalam lorong gerek dekat

dengan lubang keluar. Dalam satu inang dapat dijumpai lebih dari satu parasit (Smith et al., 1993). Nisbah Kelamin Nisbah kelamin dan reproduksi parasitoid dipengaruhi oleh umur dan kepadatan populasi inang. Telur inang tua menghasilkan jumlah parasitoid yang lebih sedikit dan proporsi jantan yang lebih banyak dibandingkan dengan telur inang muda. Demikian juga umur parasitoid mempengaruhi kemampuan reproduksi dan penurunan proporsi betina. Persentase betina yang banyak akan menguntungkan bagi perbanyakan massal. Jumlah betina yang keluar merupakan faktor penting yang dapat menentukan keberhasilan parasitoid mengendalikan populasi inangnya dan dapat menjadi indikator potensi parasitoid dalam mempertahankan hidupnya di lapangan (Mangangantung, 2001). Nisbah kelamin juga dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti karakteristik spermatozoa, viabilitas, transformer gen, pautan dan resesif, segregation distortion dan umur jantan. Hal ini membuktikan faktor yang berasal dari dalam parasitoid juga sangat mempengaruhi perbandingan nisbah jantan maupun nisbah betina parasitoid (Welch, 2006). Keadaan inang seperti ukuran, kualitas inang atau kepadatan inang akan mempengaruhi nisbah kelamin. Jika inang relatif besar, imago akan menghasilkan parasitoid yang memiliki kelamin betina lebih banyak dibanding kelamin jantan (Anggraeni & Jamili, 2012). Semakin banyak betina yang dihasilkan, maka semakin banyak keturunan yang dapat dihasilkan. Dalam suatu populasi, kecenderungan betina untuk menghasilkan keturunan betina lebih banyak daripada keturunan jantan akan menguntungkan populasi tersebut, karena betina lebih menentukan eksistensi

suatu populasi dibandingkan jantan. Jadi, populasi yang memiliki individu-individu yang cenderung untuk mempunyai keturunan betina akan lebih bugar. Proporsi jumlah keturunan betina yang lebih banyak diduga karena kecenderungan imago betina parasitoid meletakkan telur-telur jantan pada inang yang kecil dan meletakkan telur-telur betina pada inang yang besar (Clausen 1939 dalam Godfray, 1994).