III KERANGKA PEMIKIRAN

dokumen-dokumen yang mirip
III. KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Usaha Peternakan Ayam Broiler di Indonesia

III. KERANGKA PEMIKIRAN

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Peran Kemitraan Dalam Pengelolaan Risiko

Gambar 2. Rangkaian Kejadian Risiko-Ketidakpastian

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan dan kelautan yang terdapat di berbagai wilayah. Kabupaten Serdang Bedagai akan terus dikembangkan pada masa-masa

III KERANGKA PEMIKIRAN

VI SISTEM KEMITRAAN PT SAUNG MIRWAN 6.1 Gambaran Umum Kemitraan Kedelai Edamame PT Saung Mirwan sangat menyadari adanya keterbatasan-keterbatasan.

MANFAAT KEMITRAAN USAHA

III KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN

KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. tentang Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian, yang menyatakan bahwa kemitraan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

III KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan. Konsep formal

IV. METODE PENELITIAN

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Pola kemitraan ayam broiler adalah sebagai suatu kerjasama yang

III KERANGKA PEMIKIRAN

V. PENDEKATAN SISTEM 5.1. Analisis Kebutuhan Pengguna 1.) Petani

Kemitraan Agribisnis. Julian Adam Ridjal. PS Agribisnis Universitas Jember

III. KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

III KERANGKA PEMIKIRAN

Learning Outcome (LO)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA

IV. METODE PENELITIAN

VI RISIKO PRODUKSI SAYURAN ORGANIK

III KERANGKA PEMIKIRAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG. Nomor : 08 Tahun 2015

I. PENDAHULUAN. peran yang sangat strategis dalam mendukung perekonomian nasional. Di sisi lain

JENIS-JENIS DAN POLA KEMITRAAN USAHA OLEH : Anwar sanusi

III KERANGKA PEMIKIRAN

II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Mekanisme Pelaksanaan Kemitraan

BAB. X. JARINGAN USAHA KOPERASI. OLEH : Lilis Solehati Y, SE.M.Si

III KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN

IV. METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tinjauan umum Ayam Broiler. sebagai penghasil daging, konversi pakan irit, siap dipotong pada umur relatif

II. TINJAUAN PUSTAKA Agribisnis Cabai Merah

CONTRACT FARMING SEBAGAI SUMBER PERTUMBUHAN BARU DALAM BIDANG PETERNAKAN

II. KERANGKA PENDEKATAN TEORI

TINJAUAN PUSTAKA. 4 Pengertian Manajemen Risiko [26 Juli 2011]

Lampiran 1. Proyeksi Konsumsi Kedelai di Indonesia Tahun Tahun Konsumsi/capita (kg/th) Proyeksi Penduduk (000 Jiwa)

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: Upaya Peningkatan Produksi Komoditas Pertanian Strategis

III KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN. peranan penting dalam menopang perekononiam masyarakat. Pembangunan sektor

III. KERANGKA PEMIKIRAN. usahatani, pendapatan usahatani, dan rasio penerimaan dan biaya (R-C rasio).

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN

dan produktivitasnya sehingga mampu memenuhi kebutuhan IPS. Usaha

PERANAN KEMITRAAN DALAM PENDAPATAN PETERNAK AYAM BROILER

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik produk unggas yang dapat diterima oleh masyarakat, harga yang

II. TINJAUAN PUSTAKA

KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis

III KERANGKA PEMIKIRAN

III. METODE PENELITIAN. memperoleh dan menganalisis data yang berhubungan dengan penelitian,

III KERANGKA PEMIKIRAN

ANALISIS RISIKO HARGA, RISIKO PENJUALAN DAN RISIKO PENDAPATAN PADA USAHA PEMOTONGAN AYAM NASKAH PUBLIKASI

WALIKOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH

I. PENDAHULUAN. dikembangkan dan berperan sangat penting dalam penyediaan kebutuhan pangan

III. METODE PENELITIAN. Konsep dasar dan batasan operasional merupakan pengertian dan petunjuk

KERANGKA PENDEKATAN TEORI. Pertanian organik merupakan sistem produksi pertanian yang berdasarkan

SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat.

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BPS. 2012

BAB II LANDASAN TEORI. membantu manajer dalam membuat keputusan yang lebih baik. Secara luas

III KERANGKA PEMIKIRAN

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 44 TAHUN 1997 TENTANG KEMITRAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Program kebijakan revitalisasi pertanian menitikberatkan pada program

III. KERANGKA PEMIKIRAN

VII. KINERJA LEMBAGA PENUNJANG PEMASARAN DAN KEBIJAKAN PEMASARAN RUMPUT LAUT. menjalankan kegiatan budidaya rumput laut. Dengan demikian mereka dapat

PENDAHULUAN Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1997 TENTANG KEMITRAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usaha Peternakan Ayam Broiler

POLA KEMITRAAN PT SAYURAN SIAP SAJI DENGAN MITRA BELI BAWANG BOMBAY DI JAWA BARAT

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI JAGUNG MANIS

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

VI. ANALISIS USAHATANI DAN EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK TANI

PENDAHULUAN. Latar Belakang. berlanjut hingga saat ini. Dunia perunggasan semakin popular di kalangan

DAFTAR LAMPIRAN. No Lampiran Halaman

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat besar (mega biodiversity) berupa sumber

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti:

BAB VI PEMBAHASAN. pelaksanaan, dan hasil terhadap dampak keberhasilan FMA agribisnis kakao di

Corporate Social Responsibility (CSR) Bidang Pertanian

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menghadapi persaingan di abad ke-21, UKM dituntut untuk

ANALISIS PELAKSANAAN KEMITRAAN AYAM BROILER PADA CV. BAROKAH DAN PENDAPATAN ANTARA PETERNAK MITRA DAN PETERNAK MANDIRI DI KABUPATEN BOGOR

IV METODE PENELITIAN. terhitung sejak pembuatan proposal penelitian. Pengambilan data dilakukan pada bulan April hingga Mei 2011.

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. terciptanya kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pembangunan tersebut

Lampiran 1. Kuesioner penelitian bagi petani/kelompok tani

VII. RANCANGAN SISTEM PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI AREN

Transkripsi:

III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Konsep Dasar Risiko Berbagai definisi dapat diberikan kepada kata risiko itu. Namun, secara sederhana artinya senantiasa mengena dengan kemungkinan akan terjadinya akibat buruk atau akibat yang merugikan. Definisi risiko sangat beragam dan memiliki kelebihan serta kelemahan masing-masing, sehingga setiap definisi tersebut dapat saling mengisi satu dan lainnya. menurut Harwood, et al. (1999) bahwa risiko menunjukkan kemungkinan kejadian yang menimbulkan kerugian bagi pelaku bisnis yang mengalaminya. Robinson dan Barry (1987) dalam Deshinta (2006) menyatakan bahwa ketidakpastian menunjukkan peluang suatu kejadian yang tidak dapat diketahui oleh pelaku bisnis sebagai pembuat keputusan. Peluang kejadian yang tidak diketahui secara kuantitatif atau sulit diukur oleh pelaku bisnis dapat dikarenakan beberapa hal, diantaranya tidak ada informasi atau data pendukung baik berdasarkan data historis atau pengalaman pelaku bisnis, selama mengelola kegiatan usaha dalam menghadapi suatu kejadian. Selama peluang suatu kejadian tidak dapat diukur oleh pelaku bisnis maka kejadian tersebut termasuk ke dalam kategori ketidakpastian. Risiko dan ketidakpastian yang dihadapi oleh para pelaku bisnis dapat bersifat personal. Hal tersebut mempunyai arti bahwa diantara pelaku bisnis satu dengan lainnya memungkinkan mempunyai persepsi yang berbeda dalam memandang suatu kejadian yang sama. Bagi pelaku bisnis tertentu akan melihat suatu kejadian sebagai risiko karena mereka mampu menentukan peluang kejadian tersebut. Sedangkan bagi pelaku bisnis lainnya melihat kejadian tersebut sebagai ketidakpastian karena sulit menentukan peluang kejadian. 3.1.2 Sumber Risiko Risiko pada kegiatan agribisnis bersifat unik dibanding lainnya. Hal ini dikarenakan ketergantungan aktifitas agribisnis terhadap kondisi alam terutama iklim dan cuaca. Harwood et al (1999) menyatakan terdapat beberapa sumber risiko meliputi: 123

1. Production or Yield Risk Faktor risiko produksi dalam kegiatan agribisnis disebabkan adanya beberapa hal yang tidak dapat dikontrol terkait dengan iklim dan cuaca, seperti curah hujan, temperatur udara, hama dan penyakit. Penerapan teknologi yang tepat merupakan salah satu tidakan yang tepat untuk meminimalisir dampak negatif yang dapat ditimbulkan. Contohnya adalah pengenalan varietas baru dan teknik produksi yang akan memberikan peluang bagi keberhasilan budidaya. Teknologi baru Dalam penerapannya, akan memberikan hasil yang kurang memuaskan, akan tetapi hal tersebut berlangsung tidak lama. 2. Price or Market Risk Risiko pasar dalam hal ini meliputi risiko harga output dan harga input. Pada umumnya kegiatan produksi merupakan proses yang lama. Sementara itu, pasar cenderung bersifat kompleks dan dinamis. Oleh karena itu, petani belum tentu mendapatkan harga yang sesuai dengan yang diharapkan pada saat panen. Begitu pula harga input yang dapat berfluktuasi sehingga mempengaruhi komponen biaya pada kegiatan produksi. Pada akhirnya risiko harga tersebut akan berpengaruh pada pendapatan yang diperoleh petani. Terdapat enam faktor yang mendorong adanya risiko pada kegiatan bisnis, yaitu fluktuasi produksi, fluktuasi harga, penggunaan teknologi baru, adanya program pemerintah, permasalahan legalitas (legal problem), dan perubahan pada selera konsumen. Menurut Bhowmick (2005) sumber-sumber risiko usaha adalah ketidakpastian hasil produksi, ketidakpastian harga, dan ketidakpastian keuntungan. 3.1.3 Pengukuran Risiko Mengelola risiko usaha memerlukan kerangka manajemen risiko. Kerangka manajemen risiko menurut Australian Risk Manajemen Standart, terdiri dari beberapa langkah. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah menetapkan visi dan misi perusahaan, langkah kedua adalah mengidentifikasi yang ada pada usaha, langkah ketiga adalah menganalisa risiko yang telah diindetifikasi sebelumnya. Langkah analisa ini bertujuan untuk menentukan tingkat pengendalian terhadap risiko dengan mempertimbangkan tingkat kemungkinan 124

dan dampak risiko terhadap perusahaan. Dalam langkah analisa inilah pengukuran risiko. Menurut Batuparan (2001) pengukuran risiko dibutuhkan sebagai dasar tolok ukur untuk memahami signifikansi dari akibat (kerugian) yang akan ditimbulkan oleh terealisasinya suatu risiko, baik secara individual maupun portofolio, terhadap tingkat kesehatan dan kelangsungan usaha. Lebih lanjut pemahaman yang akurat tentang signifikasi tersebut akan menjadi dasar bagi pengelolaan risiko yang terarah dan berhasil guna. Signifikansi suatu Risiko maupun portofolio risiko dapat diketahui atau disimpulkan dengan melakukan pengukuran terhadap dimensi risiko yaitu: (1) kuantitas risiko adalah jumlah kerugian yang mungkin muncul dari terjadinya risiko, (2) kualitas risiko yaitu probabilitas dari terjadinya risiko. (Batuparan, 2001) Risiko dapat ditunjukkan dengan indikator adanya fluktuasi dari return atau hasil yang diharapkan. Risiko dinilai dengan mengukur nilai penyimpangan yang terjadi terhadap return dari suatu aset. Menurut Elton dan Gruber (1995) dalam Aziz (2009), terdapat ukuran risiko yang dapat dianalisis yaitu nilai ragam (variance), simpangan baku (standart deviation), dan koefisien variasi (coefficient variation). Ketiga ukuran tersebut memiliki hubungan satu dengan yang lainnya dan nilai ragam (variance) sebagai penentu ukuran yang lainnya. Hubungan tersebut adalah nilai standart deviation merupakan akar kuadrat dari nilai variance. Nilai koefisien variasi merupakan rasio perbandingan dari nilai standart deviation dengan nilai return dari suatu aset dimana return yang diperoleh berupa pendapatan rata-rata selama periode waktu tertentu. Nilai ragam (variance) merupakan penjumlahan selisih kuadrat dari return dengan ekspektasi return dikalikan dengan peluang setiap kejadian. Nilai variance menunjukkan bahwa semakin kecil nilai variance, maka semakin kecil penyimpangannya sehingga semakin kecil risiko yang dihadapi dalam melakukan kegiatan usaha. Semakin besar nilai variance maka semakin besar penyimpangannya sehingga semakin besar risiko yang dihadapi dalam melakukan kegiatan usaha. Nilai standart deviation merupakan akar dari variance. Nilai standart deviation menunjukkan bahwa semakin kecil nilai standart deviation 125

maka semakin kecil risiko yang dihadapi dalam kegiatan usaha, dan semakin besar nilai standart deviation maka semakin besar pula risiko yang dihadapi dalam kegiatan usaha. Coefficient variation diukur dari rasio standart deviation dengan return yang diharapkan. Semakin kecil nilai coefficient variation maka semakin kecil risiko yang dihadapi dalam melakukan kegiatan usaha, dan semakin besar nilai coefficient variation maka semakin besar risiko yang dihadapi dalam melakukan kegiatan usaha. Ukuran risiko yang dapat dijadikan sebagai ukuran paling tepat dalam memilih alternatif dari beberapa kegiatan usaha dengan mempertimbangkan risiko yang dihadapi dari setiap kegiatan usaha tersebut untuk setiap return yang diperoleh adalah koefisien variasi (coefficient variation). Coefficient variation merupakan ukuran risiko yang telah membandingkan alternatif dari beberapa kegiatan usaha dengan satuan yang sama. 3.1.4. Kemitraan Definisi kemitraan diungkapkan oleh Hafsah (1999) yang menyatakan bahwa kemitraan adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua belah pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama, dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan. Karena merupakan strategi bisnis maka keberhasilan kemitraan sangat ditentukan oleh adanya kepatuhan diantara yang bermitra dalam menjalankan etika bisnis. Sedangkan menurut kamus besar bahasa Indonesia, kemitraan berasal dari kata mitra yang berarti teman, kawan, pasangan kerja dan rekan. Kemitraan merupakan perihal hubungan atau jalinan kerjasama sebagai mitra. Menurut Undang Undang No. 9 Tahun 1995, kemitraan adalah kerjasama usaha antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh Usaha Menengah dan Usaha Besar dengan memperlihatkan prinsip saling menguntungkan, saling memperkuat, saling memerlukan. Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan, bahwa kemitraan merupakan jalinan kerjasama usaha yang dilakukan antara dua pihak atau lebih dengan prinsip saling menguntungkan, saling membutuhkan, saling memperkuat. Disertai adanya satu pembinaan dan pengembangan. Hal ini dapat terjadi karena 126

pada dasarnya masing masing pihak pasti mempunyai kelemahan dan kelebihan, dengan kelemahan dan kelebihan masing masing pihak, diharapkan terjadi hubungan yang saling melengkapi dalam arti, pihak yang satu akan mengisi dengan cara melakukan pembinaan terhadap kelemahan yang lain dan sebaliknya. 3.1.5. Unsur unsur Kemitraan Mengacu pada definisi, kemitraan merupakan suatu kegiatan saling menguntungkan dengan berbagai macam bentuk kerjasama dalam menghadapi dan memperkuat satu sama lainnya. Kemitraan merupakan satu harapan yang dapat meningkatkan produktivitas dan posisi tawar yang adil antar pelaku kemitraan. Hafsah (1999) menyatakan kemitraan itu mengandung beberapa unsur pokok, yaitu : 1. Kerjasama Usaha Konsep kerjasama usaha melalui kemitraan ini, jalinan kerjasama yang dilakukan antara usaha besar atau menengah dengan usaha kecil didasarkan pada kesejajaran kedudukan atau mempunyai derajat yang sama terhadap kedua belah pihak yang bermitra. Hal ini berarti bahwa hubungan kerjasama yang dilakukan antara pengusaha besar atau menengah dengan pengusaha kecil mempunyai kedudukan yang setara mengenai hak dan kewajiban masing-masing, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan, tidak ada yang saling mengeksploitasi satu sama lain dan tumbuh berkembangnya rasa saling percaya di antara para pihak dalam mengembangkan usahanya. Dengan hubungan kerjasama melalui kemitraan ini diharapkan pengusaha besar atau menengah dapat menjalin hubungan kerjasama yang saling menguntungkan dengan pengusaha kecil atau pelaku ekonomi lainnya, sehingga pengusaha kecil akan lebih berdaya dan tangguh di dalam berusaha demi tercapainya kesejahteraan. 2. Pembinaan dan Pengembangan Perbedaan dasar hubungan kemitraan dengan hubungan dagang biasa oleh pengusaha kecil dengan pengusaha besar adalah, adanya bentuk pembinaan dari pengusaha besar terhadap pengusaha kecil atau koperasi yang tidak ditemukan pada hubungan dagang biasa. Bentuk pembinaan dalam kemitraan antara lain, 127

pembinaan dalam mengakses modal yang lebih besar, pembinaan manajemen usaha, pembinaan peningkatan sumber daya manusia, pembinaan peningkatan sumber daya manajemen produksi, pembinaan mutu produksi serta menyangkut pula pembinaan di dalam pengembangan aspek institusi kelembagaan, fasilitas alokasi serta investasi. 3. Prinsip Saling Memerlukan, Saling Memperkuat, dan Saling Menguntungkan a. Prinsip Saling Memerlukan Kemitraan merupakan suatu rangkaian proses yang diawali dengan mengenal dan mengetahui posisi keunggulan dan kelemahan usahanya. Pemahaman akan keunggulan yang ada akan menghasilkan sinergi yang berdampak pada efisiensi, turunnya biaya produksi dan sebagainya. Penerapannya dalam kemitraan, perusahaan besar dapat menghemat tenaga dalam pencapaian target tertentu dengan menggunakan tenaga kerja yang dimiliki oleh perusahaan kecil. Sebaliknya perusahaan yang lebih kecil, yang umumya relatif lemah dalam hal kemampuan teknologi, permodalan dan sarana produksi melalui teknologi dan sarana produksi yang dimiliki oleh perusahaan besar. Dengan demikian adanya rasa saling memerlukan atau ketergantungan diantara kedua belah pihak yang bermitra. b. Prinsip Saling Memperkuat Dalam kemitraan usaha, sebelum kedua belah pihak memulai untuk bekerjasama maka pasti ada suatu nilai tambah yang ingin diraih oleh masing masing pihak yang bermitra. Nilai tambah tersebut dapat berupa nilai ekonomi seperti peningkatan modal dan keuntungan, perluasan pangsa pasar, maupun non ekonomi seperti peningkatan kemampuan manajemen dan penguasaan teknologi. Keinginan ini merupakan konsekuensi logis dan alamiah dari adanya kemitraan sehingga dengan bermitra terjadi suatu sinergi antara para pelaku yang bermitra dengan harapan nilai tambah yang diterima akan lebih besar. Dengan demikian terjadi hubungan yang saling memperkuat dari kekurangan masing masing pihak yang bermitra. c. Prinsip Saling Menguntungkan 128

Salah satu maksud dan tujuan dari kemitraan usaha adalah saling menguntungkan. Pada kemitraan ini, tidak berarti para partisipan harus memiliki kemampuan dan kekuatan yang sama, akan tetapi adanya posisi tawar yang setara berdasarkan peran masing masing. Berpedoman pada kesejajaran kedudukan atau memiliki derajat yang setara bagi masing masing pihak yang bermitra, maka tidak ada pihak yang tereksploitasi dan dirugikan tetapi justru terciptanya rasa saling percaya diantara para pihak sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan keuntungan atau pendapatan melalui pengembangan usahanya. 3.1.6. Pola kemitraan Patrick (2004) memberikan gambaran mengenai beberapa jenis pola kemitraan yang telah banyak dilaksanakan di Indonesia, yaitu : 1. Pola Inti Plasma Merupakan hubungan kemitraan antara kelompok mitra dengan perusahaan mitra, dimana perusahaan mitra bertindak sebagai inti dan kelompok mitra bertindak sebagai plasma. Dalam pola kemitraan inti plasma, kewajiban bagi kelompok mitra adalah : a). Berperan sebagai plasma, b). Pengelola seluruh usaha bisnisnya sampai panen, c). Menjual hasil produksi kepada perusahaan mitra. d). Memenuhi kebutuhan perusahaan sesuai dengan persyaratan yang telah disepakati. Sedangkan perusahaan mitra wajib : a). Berperan sebagai perusahaan inti, b). Menampung hasil produksi, c). Membeli hasil produksi, d). Memberikan bimbingan teknis dan pembinaan manajemen kepada kelompok mitra e). Memberikan pelayanan kepada kelompok mitra berupa permodalan atau kredit, sarana produksi dan teknologi, f). Mempunyai usaha budidaya pertanian atau memproduki kebutuhan perusahaan, dan g). Menyediakan lahan. Dalam pola ini perusahaan mitra bertindak sebagai inti yang menampung, membeli hasil produksi, memberikan pembinaan teknologi, bimbingan teknis dan manajemen, penyediaan sarana produksi dan prasarana pertanian, memberikan modal serta pemasaran hasil. Petani bertindak sebagai plasma yang menjual seluruh hasil produksinya kepada inti dan memenuhi aturan dan petunjuk yang diberikan oleh inti. 2. Pola Subkontrak 129

Merupakan kemitraan antara kelompok mitra dengan perusahaan mitra, dimana di dalamnya kelompok mitra memproduksi komponen yang diperlukan oleh perusahaan mitra sebagai bagian dari produksinya. Pola kemitraan subkontrak mensyaratkan bahwa kelompok mitra harus a). Memproduksi kebutuhan yang dibutuhkan oleh perusahaan mitra sebagai komponen produksinya, b). Menyediakan tenaga kerja, dan c) membuat kontrak bersama yang mencantumkan volume, harga, dan waktu. Sedangkan tugas perusahaan mitra adalah : a). Menampung dan membeli komponen produksi yang dihasilkan oleh kelompok mitra, b). Menyediakan bahan baku atau modal kerja, dan c). Melakukan kontrol kualitas produksi. Pola kemitraan ini biasanya ditandai dengan kesepakatan mengenai kontrak bersama yang mencakup volume, harga, mutu, dan waktu. Pola ini menunjukan bahwa kelompok mitra memproduksi komponen produksi yang diperlukan oleh perusahaan mitra. Hasil produksi sangat berguna bagi perusahaan mitra maka pembinaan perlu dilakukan dengan intensif. 3. Dagang Umum Pola dagang umum merupakan hubungan kemitraan antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar yang didalamnya usaha menengah atau usaha besar memasarkan hasil produksi usaha kecil atau usaha besar mitranya. Penjelasan yang sama juga diberikan oleh Sumardjo (2001) bahwa pola kemitraan dagang umum merupakan pola hubungan usaha dalam pemasaran hasil antara pihak perusahaan pemasar dengan pihak kelompok usaha pemasok kebutuhan yang diperlukan oleh perusahaan pemasar. Contohnya adalah pemasaran produk hortikultur dimana petani atau kelompok tani bergabung dalam bentuk koperasi, bermitra dengan swalayan untuk mensuplai kebutuhannya. 4. Kerjasama Operasional Pola kerjasama operasional merupakan hubungan kemitraan antara kelompok mitra dengan perusahaan mitra, didalamnya petani berperan sebagai penyedia lahan, sarana dan tenaga kerja, sedangkan perusahaan mitra menyediakan biaya atau modal serta sarana untuk mengusahakan atau membudidayakan suatu komoditi perternakan (Direktorat Jendral Peternakan, 1996). 130

Kelompok mitra dan perusahaan menggabungkan sumberdaya yang dimilikinya untuk membudidayakan suatu komoditi. Perusahaan mitra sering kali berperan sebagai penjamin pasar, diantaranya juga mengolah produk tersebut dan dikemas lebih lanjut untuk dipasarkan (Sumardjo, 2001). Hasil yang diperoleh dari kerjasama tersebut akan dibagi sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. 5. Pola Kemitraan Penyertaan Saham (Waralaba) Berdasarkan PP No. 16 Tahun 1997 dan keputusan Menteri Perindustrian dan Perdaganggan No.259/MPP/Kep/7/1997 tentang ketentuan dan tatacara pelaksanaan pendaftaran usaha waralaba ditetapkan bahwa pengertian waralaba adalah perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaaan intelaktual atau penemuan atau ciri khas yang dimiliki pihak lain, dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan pihak lain tersebut dalam rangka penyediaan dan atau penjualan barang atau jasa. Menurut Undang Undang No. 9 tahun 1995 dijelaskan bahwa pola waralaba merupakan hubungan kemitraan yang didalamnya pemberi waralaba memberikan hak penggunaan lisensi, merek dagang, dan saluran distribusi perusahaannya kepada penerima waralaba dengan disertai bimbingan manajemen. Dalam pola kemitraan ini, penyertaan modal (equity) antara usaha kecil dengan usaha menengah atau besar, penyertaan modal usaha sekurang kurangnya 20 persen dari seluruh modal saham perusahaan yang baru dibentuk dan ditingkatkan secara bertahap sesuai kesepakatan kedua belah pihak. 3.1.7 Manfaat Kemitraan Dalam Pengelolaan Risiko Produksi usahatani dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor-faktor yang dapat dikendalikan oleh petani. Faktor internal antara lain tenaga kerja, tanah, modal, kemampuan teknis, dan kemampuan petani dalam manajemen usahatani. Faktor internal merupakan unsur pokok usahatani. Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang tidak dapat dikontrol atau dikendalikan karena di luar jangkauan petani. Faktor eksternal antara lain tersedianya transportasi dan komunikasi, aspek-aspek yang menyangkut pemasaran hasil dan bahan usaha tani, fasilitas kredit dan sarana penyuluhan bagi petani (Hernanto, 1988) dalam Febridinia (2010). Oleh karena itu untuk 131

menanggulangi keterbatasan petani dalam hal ini adalah faktor eksternal, maka dibutuhkan kerjasama dengan pihak luar yang dapat memfasilitasi faktor eksternal. Bentuk kerjasama yang mengutamakan keuntungan bersama saat ini adalah dengan kemitraan. Kemitraan memiliki konsep win-win partnership solution, dalam konsep ini petani bersama mitranya diwajibkan untuk saling melengkapi satu sama lain, sehingga keterbatasan masing-masing pihak bisa teratasi dengan adanya hubungan kemitraan, dalam kasus ini kemitraan antara petani dengan perusahaan pertanian yang lebih besar. Tujuan dalam kondisi ideal yang ingin dicapai dalam pelaksanaan kemitraan secara lebih konkrit adalah a). Meningkatkan pendapatan usaha kecil dan masyarakat, b). Meningkatkan perolehan nilai tambah bagi pelaku kemitraan, c). Meningkatkan pemerataan dan pemberdayaan masyarakat usaha kecil, d). Meningkatkan pertumbuhan ekonomi pedesaan, wilayah dan nasional, e). Memperluas kesempatan kerja, dan f). Meningkatkan ketahanan ekonomi nasional. Manfaat yang dapat dicapai dari usaha kemitraan antara lain (Hafsah, 1999): 1. Produktivitas Bagi perusahaan yang lebih besar dengan model kemitraan akan dapat mengoperasionalkan kapasitas pabriknya secara full capacity tanpa perlu memiliki lahan dan pekerja lapang sendiri karena biaya untuk keperluan tersebut ditanggung oleh petani. Bagi petani sendiri dengan kemitraan ini peningkatan produktivitas dicapai secara simultan yaitu dengan cara menambah unsur input baik kualitas maupun kuantitasnya dalam jumlah tertentu akan diperoleh hasil dalam jumlah dan kualitas yang berlipat. Melalui model kemitraan petani dapat memperoleh tambahan input, kredit, dan penyuluhan yang tersedia oleh perusahaan inti. 2. Efisiensi Perusahaan dapat menghemat efisiensi dengan menghemat tenaga dalam mencapai target tertentu dengan tenaga kerja yang dimiliki petani. Sebaliknya bagi petani yang umumnya relatif lemah dalam hal kemampuan teknologi dan 132

sarana produksi, dengan bermitra akan dapat menghemat waktu produksi melalui teknologi produksi yang disediakan oleh perusahaan. 3. Jaminan Kualitas, Kuantitas, dan Kontinuitas Kualitas, kuantitas dan kontinuitas sangat erat kaitannya dengan efisiensi dan produktifitas di pihak petani yang menentukan terjaminnya pasokan pasar dan pada gilirannya menjamin keuntungan perusahaan. 4. Risiko Kemitraan dilakukan untuk mengurangi risiko yang dihadapi oleh kedua belah pihak. Kontrak akan mengurangi resiko yang dihadapi oleh pihak inti jika harus mengandalkan pengadaan bahan baku sepenuhnya dari pasar terbuka. Perusahaan inti juga akan memperoleh keuntungan lain karena mereka tidak harus menanamkan investasi atas tanah dan mengelola pertanian yang sangat luas. 3.1.8 Indikator-Indikator Keberhasilan Kemitraan Indikator-indikator keberhasilan kemitraan berkaitan erat dengan pola kemitraan yang diterapkan perusahaan. Pola kemitraan mendasari latar belakang kemitraan, tujuan kemitraan dan ketentuan-ketentuan dalam kemitraan. Indikator-indikator keberhasilan suatu kemitraan disesuaikan dengan pola kemitraan yang diterapkan oleh perusahaan. Namun, ada beberapa indikator yang berlaku secara umum dan digunakan untuk menentukan keberhasilan suatu kemitraan, diantaranya: 1) Pada Penelitian Putro (2008), Aryani (2008), dan Iftaudin (2005), pendapatan mitra merupakan indikator keberhasilan petani mitra. Ukuran pendapatan digunakan karena memilki cakupan yang luas, yaitu mencakup ukuran tunai dan ukuran-ukuran non tunai. Penelitian keberhasilan kemitraan berdasarkan pendapatan dilakukan dengan melihat pendapatan kotor usahatani, pendapatan bersih usahatani, dan RC rasio (Soekartawi, 1986). RC rasio biasanya digunakan oleh peneliti untuk melihat perbandingan petani mitra dan petani lain yang tidak tergabung dalam kemitraan. 2) Pertumbuhan aset usahatani mengidikasikan keberhasilan petani mitra dalam meningkatkan skala usahanya. Pertumbuhan aset erat kaitannya dengan akumulasi kapital, yaitu besarnya pendapatan yang disisihkan untuk 133

menambahkan modal usaha (Soekartawi, 1986). Pertumbuhan aset yang tinggi menunjukan perkembangan usahatani dimana secara tidak langsung akan mempengaruhi kemandirian petani mitra dan pertumbuhan sektor pertanian suatu daerah. 3) Transparansi antara perusahaan dengan petani mitra (Putro, 2008). Tranparansi dapat meminimalisir kecurangan baik dari pihak perusahaan ataupun pihak peternak mitra. Transparansi sangat penting dalam kemitraan usahatani biasanya berkaitan dengan penjualan produk. Pihak perusahaan harus memberikan catatan yang lengkap agar petani mitra mengetahui seberapa besar hak yang diterimanya sesuai dengan perjanjian yang disepakati. Petani mitra juga harus bisa menjelaskan aktifitas budidaya yang dilakukan, kondisi sumberdaya, pemberian pupuk, dan bisa menjelaskan dengan jelas apabila target perusahaan tidak tecapai atau adanya kegagalan dalam panen. Dalam janka panjang transparansi dapat menimbulkan rasa percaya sehingga sistem kemitraan akan semakin kuat. 4) Kepatuhan peternak mitra terhadap kontrak (Putro, 2008). Dalam kemitraan, perusahaan menetapkan kebijakan-kebijakan dalam hal standar produk yang diterima, pola tanam, dan kewajiban-kewajiban petani lainnya. Namun, masih ada saja kewajiban-kewajiban yang disetujui antara petani dan perusahaan yang dilanggar. Sehingga hal ini akan berpengaruh negatif terhadap keuntungan yang diterima petani dan perusahaan. Selain itu, kepercayaan perusahaan juga akan menurun apabila petani mitra tidak mematuhi ketentuan-ketentuan yang telah disepakati dalam kontrak kemitraan yang telah disepakati sebelumnnya. 5) Menurut Soetardjo (1994) beberapa indikator keberhasilan kemitraan dapat dirumuskan, diantaranya: a. Keuntungan perusahaan lebih besar apabila menerapkan sistem kemitraan daripada mengerjakan sendiri. Dalam kemitraan kedelai edamame, perusahaan melakukan kemitraan karena memiliki keterbatasan lahan usaha, sehingga produksi kedelai edamame terbatas dan permintaan pasar tidak dapat terpenuhi. Kemitraan membantu perusahaan dalam memproduktifkan sumberdaya modal yang dimilikinya sehingga 134

keuntungan perusahaan dapat dioptimalkan. Namun, perlu ada kajian yang lebih dalam mengenai perbandingan tambahan keuntungan melalui kemitraan dengan keuntungan perusahaan apabila memelihara sendiri dengan menyewa lahan. b. Adanya kepastian pasar, jumlah, dan harga bagi petani mitra. Petani mitra PT Saug Mirwan harus menjual hasil panen kedelai edamame mereka kepada perusahaan dengan harga yang telah ditentukan. Sehingga petani kedelai edamame tidak perlu khawatir terjadi fluktuasi harga komoditi atau kehilangan pasar. c. Peningkatan sumberdaya manusia terutama berkaitan dengan teknis budidaya kedelai edamame dan manajemen usaha. Hal ini berkaitan dengan keberhasilan pembinaan yang dilaksanakan oleh perusahaan untuk membantu pengembangan usahatani kedelai edamame petani mitra. Adanya peningkatan kualitas SDM dapat dilihat dari keberhasilan mencapai target pertumbuhan dan usahatani kedelai edamame yang semakin berkembang. 6) Peningkatan jumlah petani mitra dan peningkatan jumlah aset perusahaan yang dikelola melalui sisem kemitraan (Putro, 2008). Semakin besar peningkatan yang terjadi, maka sistem kemitraan dapat dikatakan semakin berhasil. Kondisi ini menunjukan adanya perkembangan sistem kemitraan yang dijalankan. 7) Tingkat efisiensi usahatani yang dilakukan petani mitra. Petani mitra berupaya agar usahatani yang dikelolanya dapat hasil yang diharapkan. Kondisi ini berkaitan erat dengan program pembimbingan yang dilakukan oleh pihak perusahaan untk meningkatkan kualitas SDM petani mitra. Putro (2007) dan Iftaudin (2005) melakukan penelitian tentang efisiensi produksi usaha ternak dengan menggunakan analisis regresi dan analisis fungsi produksi. 8) Produk yang dihasilkan petani mitra dapat bersaing dengan produk yang dihasilkan perusahaan mitra atau produk sejenis yang ada di pasar. Dalam kasus kemitraan sapi maro, produk yang dihasilkan adalah sapi potong yang berkualitas, yaitu sehat dan bebas penyakit, bobot tinggi, daging padat, karkas 135

yang dihasilkan tinggi, dan daging yang dihasilkan aman dikonsumsi (Abidin, 2002). 9) Loyalitas petani mitra untuk setia bergabung dengan kemitraan perusahaan. Petani mitra tidak tertarik untuk bergabung dengan kemitraan perusahaan lain. Kondisi ini ditunjukan dengan jangka waktu petani mitra mengikuti kemitraan perusahaan. 10) Kepuasan petani mitra terhadap kemitraan (Firwiyanto, 2008). Indikator ini berkaitan dengan manfaat dan keuntungan yang harus dikeluarkan, pelaksanaan kesepakatan oleh perusahaan, dan transparansi dari pihak perusahaan. 11) Tingkat bergabung dan keluar petani mitra dari kemitraan. Indikator ini berkaitan erat dengan tingkat loyalitas petani mitra. Semakin tinggi angka keluar-masuk petani mitra menunjukan loyalitas yang rendah sehingga keberhasilan kemitraan semakin rendah 12) Kurniawan (2007) melakukan penelitian tentang besarnya kontribusi usaha ternak terhadap penghasilan rumah tangga. Apabila dihubungkan dengan kemitraan usaha ternak, kita dapat melihat besarnya kontribusi pendapatan kemitraan usaha ternak terhadap penghasilan total rumah tangga usahatani. Semakin besar kontribusi, menunjukan semakin besar tingkat keberhasilan kemitraan. 13) Kemampuan perusahaan untuk memenuhi permintaan dengan melakukan manajemen kemitraan yang baik dan didukung dengan kepatuhan petani mitra dalam memenuhi ketentuan-ketentuan kemitraan (Iftaudin, 2005). Kemitraan dilakukan agar perusahaan terbantu dalam memenuhi permintaan produknya. Apabila permintaan perusahaan dapat terpenuhi baik secara kuantitas dan kualitas karena adanya kemitraan, maka sistem kemitraan yang dilakukan perusahaan dapat dikatakan berhasil. Berdasarkan uraian diatas, Indikator keberhasilan yang digunakan dalam penelitian ini adalah indikator R/C rasio total usaha kedelai edamame petani mitra. Pemilihan indikator ini dikarenakan indikator ini menggambarkan kondisi usahatani kedelai edamame secara keseluruhan. Indikator ini juga 136

menggambarkan potensi pengembangan usahatani kedelai edamame petani mitra yang bersangkutan. 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional Kedelai edamame dalam proses pengusahaannya, dihadapkan pada risiko kegagalan. Beberapa risiko mendasar pada usahatani kedelai edamame adalah risiko produksi dan risiko harga. Risiko usaha yang dihadapi oleh petani kedelai edamame ini dapat dianalisis dengan menggunakan analisis risiko. Analisis risiko digunakan untuk mengetahui sumber-sumber risiko yang sering muncul pada usahatani kedelai edamame dan tingkat risiko yang dihadapi. Penilaian risiko dilakukan dengan mengukur nilai penyimpangan rata-rata pendapatan bersih dan produktivitas petani yang diterima. Sumber-sumber risiko yang sering muncul pada usahatani kedelai edamame, dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif berdasarkan sumber-sumber risiko yang muncul pada proses produksi dan fluktuasi harga yang terjadi. Hal ini dibutuhkan sebagai informasi dalam upaya pengelolaan risiko usahatani kedelai edamame. Sedangkan tingkat risiko, dianalisis menggunakan analisis kuantitatif berdasarkan tingkat variasi dari produktivitas, harga, dan pendapatan. Ukuran risiko yang dianalisis adalah koefisien variasi (coefficient variation). Berdasarkan ukuran risiko tersebut, semakin kecil nilai koefisien variasi maka semakin kecil risiko yang dihadapi. Setelah dilakukan analisis mengenai penilaian petani terhadap sumber-sumber risiko dan tingkat risiko pada pengusahaan kedelai edamame petani mitra. Dilakukan analisis mengenai peranan kemitraan untuk menekan tingkat risiko pada usahtani petani mitra, dengan cara dibandingkan dengan hasil yang didapat pada petani non mitra, sehingga didapat kesimpulkan mengenai peranan kemitraan dalam upaya menekan risiko usaha pada usahatani kedelai edamame petani. Gambaran kerangka berfikir operasional akan dijelaskan pada bagan di bawah. 137

Risiko Pada Pengusahaan Kedelai Edamame Petani sebagai pelaku usahatani kedelai edamame Kemitraan Lembaga Kemitraan (PT Saung Mirwan) : 1. penyediaan modal 2. transfer teknologi dan informasi 1. Bagaimana Penilaian Petani Terhadap Sumber-Sumber Risiko pada Usahatani Kedelai Edamame? 2. Seberapa Besar Tingkat Risiko pada Usahatani Kedelai Edamame? 3. Bagaimana Peranan Kemitraan Dalam Upaya Menekan Risiko pada Usahatani Kedelai Edamamane Risiko Produksi: Cuaca Hama dan Penyakit Prosedur teknis produksi Risiko harga: Fluktuasi harga input dan output (kedelai edamame) Peranan Kemitraan Terhadap pengelolaan Risiko Usahatani dan Pendapatan Gambar 2. Kerangka Pemikiran Operasional 138