BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Hubungan hukum yang terjadi antara penyelenggara jaringan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi, pihak (the party to

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk

BAB I PENDAHULUAN. sampai dengan Pasal 1600 KUH Perdata. Sewa-menyewa dalam bahasa Belanda disebut dengan huurenverhuur

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau

BAB I PENDAHULUAN. berjudul Tentang Sewa-Menyewa yang meliputi Pasal 1548 sampai dengan

TINJAUAN YURIDIS PENGAKHIRAN SEWA MENYEWA RUMAH YANG DIBUAT SECARA LISAN DI KELURAHAN SUNGAI BELIUNG KECAMATAN PONTIANAK BARAT

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

BAB IV PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ANTARA HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP PRAKTEK OPER SEWA RUMAH KONTRAKAN

ABSTRAK. Kata kunci: Perjanjian sewa-menyewa, akibat hukum, upaya hukum.

BAB III KARAKTERISTIK DAN BENTUK HUBUNGAN PERJANJIAN KONSINYASI. A. Karakteristik Hukum Kontrak Kerjasama Konsinyasi Distro Dan

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI. 2.1 Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Jual Beli

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PERJANJIAN JUAL BELI. Selamat malam. Bagaimana kabarnya malam ini? Sehat semua kan.. Malam ini kita belajar mengenai Perjanjian Jual Beli ya..

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan dilakukan manusia sudah berabad-abad. Pembangunan adalah usaha untuk

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1999 TENTANG TELEKOMUNIKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1999 TENTANG TELEKOMUNIKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II PELAKSANAAN KONTRAK SEWA MENYEWA RUMAH BERJANGKA PENDEK BAGI PEKERJA KONTRAK DI KOTA BATAM

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

AKIBAT HUKUM DARI PERJANJIAN BAKU (STANDART CONTRACT) BAGI PARA PIHAK PEMBUATNYA (Tinjauan Aspek Ketentuan Kebebasan Berkontrak) Oleh:

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA. Hubungan kerja adalah hubungan antara seseorang buruh dengan seorang

BAB I PENDAHULUAN. sehari-hari digerakan dengan tenaga manusia ataupun alam. mengeluarkan Peraturan Perundang-undangan No. 15 Tahun 1985 tentang

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2

BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Hal janji adalah suatu sendi yang amat penting dalam Hukum

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

PERBEDAAN ANTARA MEMORANDUM OF UNDERSTANDING (MoU) DENGAN KONTRAK NO MEMORANDUM OF UNDERSTANDING KONTRAK

BAB II PERJANJIAN SEWA-MENYEWA DAN PENGATURAN HUKUM DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. A. Pengertian Bentuk-bentuk dan Fungsi Perjanjian

Diskusi Mata Kuliah Gemar Belajar Perjanjian dan Waris

PERJANJIAN JUAL BELI RUMAH TIDAK SERTA MERTA DAPAT MEMUTUSKAN HUBUNGAN SEWA MENYEWA ANTARA PEMILIK DAN PENYEWA RUMAH

BAB I PENDAHULUAN. disanggupi akan dilakukannya, melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB IV PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA BELI KENDARAAN BERMOTOR. A. Pelaksanaan Perjanjian Sewa Beli Kendaraan Bermotor

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN SEWA MENYEWA. Pasal 1313 KUH Perdata bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembatalan akta..., Rony Fauzi, FH UI, Aditya Bakti, 2001), hlm Ibid., hlm

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Dari ketentuan pasal di atas, pembentuk Undang-undang tidak menggunakan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Di dalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya,

BAB I PENDAHULUAN. dalam jangka waktu pendek atau panjang, perjanjian sudah menjadi bagian

BAB V PENUTUP. Berdasarkan analisis di atas penulis akan memberikan kesimpulan dari

BAB III PEMBAHASAN. Kata wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang diartikan buruk,

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Wakaf merupakan perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan atau

Prof. Dr. H. Didik Endro Purwoleksono, S.H., M.H.

BUPATI BLORA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG RETRIBUSI PEMAKAIAN KEKAYAAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN TENTENG LEVERING SEBAGAI CARA UNTUK MEMPEROLEH HAK MILIK DALAM JUAL BELI MENURUT HUKUM PERDATA

BAB II HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Iktikad baik atau te goeder trouw atau good faith sangat erat kaitanya

BAB I PENDAHULUAN. Penulis memilih judul "Trust Receipt dalam Mengatasi Persoalan Tidak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Asas asas perjanjian

PERJANJIAN SEWA BELI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN (Studi Komparatif Perjanjian Sewa Beli Kendaraan Bermotor di Beberapa Perusahaan Finance Surakarta)

BAB I PENDAHULUAN. itu, kebijakan pembangunan pertanahan haruslah merupakan bagian yang tidak

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA. 2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama dan Tempat Pengaturannya

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGATURAN PERJANJIAN SEWA MENYEWA RUMAH HUNIAN MENURUT PERATURAN PERUNDANGAN DI INDONESIA Muhammad Aini Abstrak

BAB II TINJAUAN TERHADAP PERJANJIAN SEWA BELI. belum diatur dalam Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh para pakar

BAB I PENDAHULUAN. Lembaga perbankan merupakan inti dari sistem keuangan dari setiap negara.

BAB I PENDAHULUAN. tidak asing dikenal di tengah-tengah masyarakat adalah bank. Bank tersebut

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakannya dalam sebuah perjanjian yang di dalamnya dilandasi rasa

BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA. dapat dengan mudah memahami jual beli saham dalam perseroan terbatas.

Common Law Contract Agreement Agree Pact Covenant Treaty. Civil Law (Indonesia) Kontrak Sewa Perjanjian Persetujuan Perikatan

Istilah dan Pengertian Asuransi ASURANSI. 02-Dec-17

BAB I PENDAHULUAN. tersebut sebagai alat pemuas kebutuhan hidupnya. keterbatasan kemampuan untuk menyediakan kebutuhan sendiri.

A. Perlindungan Hukum yang dapat Diperoleh Konsumen Terhadap Cacat. Tersembunyi yang Terdapat Pada Mobil Bergaransi yang Diketahui Pada

BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN PENITIPAN BARANG. Dalam kehidupan sehari-hari seringkali kita mendengar kata perjanjian,

BAB I PENDAHULUAN. interaksi diantara masyarakat itu sendiri semakin menjadi kompleks. satu fungsi hukum adalah untuk memberikan kepastian hukum dalam

BAB II PEMBERIAN KUASA DIREKTUR PADA PROYEK PEMBANGUNAN JALAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Hukum waris perdata dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, termasuk

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2004 TENTANG

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari

Heru Guntoro. Perjanjian Sewa Menyewa

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB II PELANGGARAN TERHADAP HAK KONSUMEN ATAS PEMBATALAN KONSER OLEH PROMOTOR SELAKU PELAKU USAHA

Perjanjian Sewa Menyewa Rumah. Dien-Fidhel-Bi-

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KONTRAK SEWA BELI

BAB I PENDAHULUAN. bangsa sepanjang masa dalam mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat yang

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang

A. Alasan Pemilihan Judul

PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT. Deny Slamet Pribadi

BAB II LANDASAN TEORI. berjudul Perihal Perikatan (Verbintenis), yang mempunyai arti lebih luas

Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata(BW)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1994 TENTANG PENGHUNIAN RUMAH OLEH BUKAN PEMILIK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS. Dalam Bab mengenai hasil penelitian dan analisis ini, Penulis akan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ASAS SUBROGASI DAN PERJANJIANASURANSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Indonesia memiliki keuntungan dengan melimpahnya sumber daya

WALIKOTA BENGKULU PERATURAN DAERAH KOTA BENGKULU NOMOR 04 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PEMONDOKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. perumahan mengakibatkan persaingan, sehingga membangun rumah. memerlukan banyak dana. Padahal tidak semua orang mempunyai dana yang

Transkripsi:

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS Dalam Bab ini akan diketengahkan gambaran dari suatu hasil penelitian Penulis. Gambaran hasil penelitian dimaksud bukanlah penelitian terhadap studi kepustakaan seperti pada Bab terdahulu, tetapi hasil penelitian terhadap satuansatuan amatan yang rinciannya telah Penulis kemukakan dalam Bab Pendahuluan, yaitu terutama UU Telekomunikasi dan PP No. 52 tahun 2000. Dimana gambaran tentang hasil penelitian yang dikemukakan berikut ini mengikuti struktur kontrak sebagai nama ilmu hukum, yang dimulai dari hakikat diikuti dengan para pihak, selanjutnya mengenai lahirnya hubungan hukum, bentuk, obyek, hak dan kewajiban para pihak, dan berakhirnya hubungan hukum. dalam sewa-menyewa telekomunikasi. Selain gambaran tentang hasil penelitian, Penulis juga menguraikan secara terperinci analisis perbandingan hukum antara sewamenyewa menurut KUH Perdata dan sewa-menyewa telekomunikasi, semuanya disusun dalam struktur atau susunan mengikuti struktur atau susunan yang setidak-tidaknya mendekati struktur atau susunan kontrak sebagai nama ilmu hukum. A. Hakikat Sewa-Menyewa Telekomunikasi Hakikat perjanjian sewa-menyewa konvensional terdiri dari 4 unsur, yaitu: merupakan suatu perjanjian, terdapat kenikmatan suatu barang, harga sewa, dan 48

jangka waktu sewa. Nampaknya unsur-unsur perjanjian sewa-menyewa konvensional tersebut memiliki kesamaan dengan unsur-unsur dalam perjanjian sewa-menyewa jaringan telekomunikasi. Dari hasil penelitian terhadap satuan amatan, Peneliti menemukan unsur-unsur dalam hakikat hubungan hukum sewamenyewa jaringan telekomunikasi tersebut, yaitu: merupakan suatu perjanjian, jaringan telekomunikasi, tarif sewa jaringan, dan jangka waktu sewa jaringan. Unsur merupakan suatu perjanjian dalam sewa-menyewa jaringan telekomunikasi dapat diketahui dari rumusan Pasal 9 Ayat (2) UU Telekomunikasi. Sementara itu dari pengertian perjanjian yang diberikan oleh Prof. Subekti S.H. 1 telah memberikan informasi bahwa: perjanjian merupakan peristiwa/kejadian yang berupa pengikatan diri seseorang pada suatu kewajiban.. M. Yahya Harahap S.H. telah memberikan pengertian dari perjanjian, 2 yang dimana pengertian tersebut telah memberikan makna dari peristiwa/kejadian yang dimaksudkan oleh Professeor Subekti S.H. yakni, peristiwa hukum dalam bidang kekayaan/harta benda, dimana adanya suatu hubungan hak-kewajiban (prestasi-kontra prestasi) bagi pihak-pihak yang saling mengikatkan diri antara satu dengan lainnya. Selanjutnya Professor Dr. Wirjono Prodjodikoro S.H., M.H. yang sejalan dengan pendapat sebelumnya, dalam pengertian perjanjian 3 yang 1 Supra, Bab II hal., 18. 2 Ibid. 3 Ibid. 49

diberikannya telah menambahkan adanya hak untuk menuntut dari pelaksanaan suatu perjanjian. Sehingga dengan demikian telah memberikan sebuah unsur keharusan dari perjanjian sewa-menyewa. Keharusan sendiri dapat dimengerti dari pengertian kontrak 4 yang ditemukan dalam Black Law Dictionary. Unsur keharusan yang dimaksud adalah untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu yang bersifat khusus. Bersifat khusus di sini dapat diartikan sebagai suatu hal yang diperjanjikan (objek perjanjian) dan hanya mengikat para pihak dalam perjanjian. Masih berkaitan dengan keharusan, nampaknya pengertian kontrak 5 yang diberikan oleh Jeferson Kameo S.H., LL.M., Ph.D. mampu menjabarkan menjabarkan unsur-unsur keharusan yang bersifat khusus dalam suatu perjanjian dan ditambahkan dengan unsur keharusan yang dituntut oleh keadilan. Setelah memberikan pengertian-pengertian perjanjian menurut KUH Perdata dan dikte hukum sebagaimana dikemukakan sebelumnya, dalam kaitan dengan definisi sewa-menyewa seperti di kemukakan para penulis hukum, pada akhirnya Penulis mencoba untuk memberikan definisi sendiri dari perjanjian. Menurut Penulis perjanjian adalah suatu peristiwa perbuatan hukum dimana pihak-pihak saling mengikatkan diri untuk melakukan suatu keharusan yang disertai hak untuk menuntut dalam pemenuhannya. 4 Supra, Bab II hal., 19. 5 Ibid. 50

Perjanjian sewa-menyewa konvensional dan perjanjian sewa-menyewa jaringan telekomunikasi merupakan suatu perjanjian, yang dimana keduannya merupakan suatu peristiwa perbuatan hukum dimana pihak-pihak saling mengikatkan diri untuk melakukan suatu keharusan yang disertai hak untuk menuntut dalam pemenuhannya. Dalam hal perjanjian sewa-menyewa jaringan telekomunikasi, keharusan disini adalah keharusan untuk memberikan kenikmatan menggunakan jaringan telekomunikasi dan keharusan untuk melakukan suatu pembayaran tarif sewa jaringan. Pasal 9 Ayat (2) UU Telekomunikasi yang telah memberikan garis merah bahwa pihak-pihak dalam perjanjian sewa-menyewa jaringan telekomunikasi adalah penyelenggara jaringan telekomunikasi sebagai pihak yang menyewakan, dan penyelenggara jasa telekomunikasi sebagai pihak penyewa. Sehingga dapat diketahui keharusan untuk memberikan kenikmatan menggunakan jaringan telekomunikasi dipikul oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi, yang sebagaimana merupakan kewajiban utamanya sebagai pihak yang menyewakan. Sementara keharusan untuk melakukan suatu pembayaran tarif sewa jaringan merupakan kewajiban penyelenggara jasa telekomunikasi, yang dimana merupakan kewajiban utamanya sebagai pihak penyewa. Hal ini telah membuktikan bahwa perjanjian sewa-menyewa jaringan telekomunikasi adalah perjanjian dengan asas timbal-balik, yang dimaksud kedua belah pihaknya memberikan prestasi dan mendapatkan kontra prestasi. Kenikmatan suatu barang merupakan salah satu unsur pokok dalam perjanjian sewa-menyewa konvensional, yang dimana kenikmatan tersebut telah 51

menandakan tidak adanya pengalihan hak milik dari suatu barang, jadi dimungkinkan bahwa pihak yang menyewakan bukanlah pemegang hak milik dari obyek sewa. Namun, pendapat Professor Subekti S.H. 6 tersebut hanya dapat dibenarkan apabila sudah diperjanjikan sebelumnya, karena menurut KUH Perdata Pasal 1559 yang menyatakan bahwa: Si penyewa, jika kepadanya tidak telah diperijinkan, tidak diperbolehkan mengulang sewakan barang, yang disewanya, maupun melepaskan sewanya kepada orang lain, atas ancaman pembatalan perjanjian sewa dan penggantian biaya, rugi, dan bunga, sedangkan pihak yang menyewakan setelah pembatalan itu, tidak diwajibkan mentaati perjanjiannya ulang sewa.. 7 Pencantuman kata tidak telah di sini berarti apabila tidak diperjanjikan sebelumnya, maka si penyewa tidak dijinkan untuk mengulang sewakan barang yang disewanya. Tetapi, apabila sudah diperjanjikan sebelumnya, maka si penyewa berhak untuk mengulang sewakan barang yang berupa kenikmatan hak miliknya tersebut. Dalam bidang telekomunikasi, khususnya mengenai hubungan hukum sewa-menyewa jaringan telekomunikasi, yang dimaksud dengan kenikmatan suatu barang adalah kenikmatan untuk menggunakan jaringan telekomunikasi. Sejalan dengan hubungan hukum sewa-menyewa konvensional, hubungan hukum sewamenyewa jaringan telekomunikasi juga memperbolehkan pihak yang menyewakan bukanlah pemegang hak milik barang sewaan, hal ini secara tersirat 6 Supra Bab I hal., 5. 7 Lihat Pasal 1559 KUH Perdata. Namun, menurut pendapat Penulis, hal ini bukan lagi perjanjian atau hubungan sewa-menyewa, tetapi perjanjian ulang sewa. 52

diungkapkan oleh Pasal 6 Ayat (1) PP No. 52 Tahun 2000, yang mengatakan bahwa: Dalam penyelenggaraan jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a, penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib membangun dan atau menyediakan jaringan telekomunikasi. 8 Jika dilihat dari rumusan ketentuan Pasal 6 Ayat (1) PP No. 52 tahun 2000 yang memberikan kewajiban kepada penyelenggara jaringan telekomunikasi untuk membangun dan/atau menyediakan jaringan telekomunikasi, 9 dapat ditarik pemahaman bahwa pihak yang menyewakan dalam hubungan hukum sewamenyewa jaringan telekomunikasi dimungkinkan bukanlah pemegang hak milik dari jaringan telekomunikasi, akan tetapi dimungkinkan hanyalah pemegang hak untuk menggunakan jaringan telekomunikasi. Hal ini diketahui dari penggunaan kata menyediakan dalam rumusan Pasal 6 Ayat (1) PP No. 52 tahun 2000 yang memberikan kebebasan pihak penyelenggara jaringan telekomunikasi dalam menjalankan penyelenggaran jaringan telekomunikasi. Kata menyediakan di sini dapat diartikan menyediakan dengan membangun dan/atau membuat jaringan telekomunikasi sendiri, atau menyediakan dengan menyewa jaringan telekomunikasi dari penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya. 8 Lihat PP No. 52 tahun 2000. 9 Lihat Pasal 6 Ayat (1) PP Nomor 52 Tahun 2000. 53

Lain halnya dengan unsur tarif sewa jaringan, yang telah ditemukan penulis dalam rumusan Pasal 27 Ayat (1) UU Telekomunikasi jo Pasal 35 Ayat (1) PP No. 52 tahun 2000 yang sebagaimana secara eksplisit telah menginformasikan bahwa tarif sewa jaringan merupakan suatu bentuk pembayaran suatu harga dalam perjanjian sewa-menyewa jaringan telekomunikasi. Pembayaran harga sewa adalah suatu keharusan yang dilakukan oleh pihak penyewa, dalam perjanjian sewa-menyewa konvensional harga sewa merupakan hasil kesepakatan antara kedua belah pihak. Harga sewa tersebut merupakan unsur yang wajib ada dalam suatu perjanjian sewa-menyewa konvensional, harga sewa disini dapat berupa uang ataupun jasa. Sedangkan dalam hubungan hukum sewamenyewa jaringan telekomunikasi adanya unsur harga sewa ditandai dengan adanya tarif sewa jaringan. 10 Tarif sewa jaringan telekomunikasi tersebut bukanlah hasil kesepakan antara kedua belah pihak, akan tetapi telah ditetapkan secara khusus oleh Keputusan Menteri. Hal ini diketahui dari Pasal 37 Ayat (3) PP No. 52 tahun 2000, yang mengamanatkan bahwa: Ketentuan mengenai formula tarif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri. 11 Selain harga sewa jaringan telah ditentukan oleh Keputusan Menteri Pasal 2 PP No.7 Tahun 2009 telah mewajibkan tarif sewa jaringan yang harus berupa 10 Lihat Pasal 27 UU Telekomunikasi jo Pasal 35 ayat (1) PP Nomor 52 Tahun 2000. 11 Lihat Pasal 37 Ayat (3) PP No. 52 tahun 2000. 54

uang dalam bentuk satuan rupiah. Sementara cara perhitungannya sendiri diketahui melalui lampiran 1 tentang Panduan Perhitungan Tarif Sewa Jaringan dalam Peraturan Menteri No. 03/PER/M.KOMINFO/1/2007. Hal ini menegaskan bahwa penentuan harga atau rent dalam hubungan hukum sewa-menyewa telekomunikasi tidak dibiarkan kepada para pihak, namun ditentukan oleh Pemerintah. Dengan demikian, Penulis dapat memastikan satu keunikan dalam hubungan hukum sewa-menyewa telekomunikasi, yaitu bersifat publik. Dalam hubungan hukum sewa-menyewa konvensional ataupun hubungan hukum sewa-menyewa jaringan telekomunikasi tidak memberikan pengaturan secara khusus mengenai jangka waktu sewa. Jangka waktu sewa tersebut dirasa penting untuk mencegah hal-hal yang tidak diharapkan timbul dikemudian hari dan mencegah adanya multi tafsir di sebuah hubungan hukum sewa-menyewa. 12 Nampaknya apabila diperhatikan dengan seksama, maka soal mengenai jangka waktu sewa dalam hubungan hukum sewa-menyewa dimaksud, diserahkan kepada pihak-pihak dalam hubungan hukum dimaksud dalam rangka kepastian dan kenyamanan dalam transaksi mereka tersebut. Dapat dipastikan baik hakikat hubungan hukum sewa-menyewa pada umumnya (konvensional), ataupun hakikat hubungan hukum sewa-menyewa jaringan telekomunikasi adalah suatu kontrak (a contract), yang dimana adanya pihak-pihak yang melahirkan suatu hubungan hukum untuk melakukan suatu unsur keharusan, dan disertai dengan hak untuk menuntut dilaksanakannya 12 Widjaya, I.G. Rai S.H., M.H., Loc.Cit; Subekti, R S.H. (Professor), Hukum Perjanjian, Loc.Cit; Subekti, R S.H. (Professor)., Aneka Perjanjian, Loc.Cit. 55

unsur keharusan tersebut. Hubungan hukum tersebut adalah sebuah perjanjian, hal ini diketahui dari pengertian sewa-menyewa menurut Pasal 1548 KUH Perdata yang telah menyebutkan secara eksplisit bahwa sewa-menyewa merupakan suatu perjanjian, dimana struktur perjanjian tersebut meliputi pihak-pihak, bentuk hubungan hukum, lahirnya hubungan hukum, hak dan kewajiban para pihak, berakhirnya hubungan hukum, dan penyelesaian sengketa. Sehingga dapat diketahui bahwa struktur hubungan hukum sewa-menyewa menurut KUH Perdata dan struktur hubungan hukum sewa-menyewa jaringan telekomunikasi sesuai dengan strutur suatu kontrak (a contract). B. Para Pihak dalam Sewa-Menyewa Telekomunikasi Pihak-pihak dalam perjanjian sewa-menyewa menurut KUH Perdata adalah pihak yang menyewakan dan pihak penyewa. Hal ini juga dianut dalam pihak sewa-menyewa jaringan telekomunikasi, dimana pihak yang menyewakan adalah penyelenggara jaringan telekomunikasi, sedangkan pihak penyewa adalah penyelenggara jasa telekomunikasi. Hal ini secara tersirat telah diungkapkan oleh UU Telekomunikasi dalam Pasal 9 ayat (2). 13 Namun, yang membedakan pihak dalam sewa-menyewa menurut KUH Perdata dapat berupa natural person ataupun recht person. Sedangkan dalam sewa-menyewa telekomunikasi pihaknya harus berbentuk badan usaha yang bergerak dalam bidang penyelenggaraan telekomunikasi, yang dapat berupa BUMN, BUMD, BUMS, atau koperasi 13 Lihat Pasal 9 ayat (2) UU Telekomunikasi. 56

C. Lahirnya Hubungan Sewa-Menyewa Telekomunikasi Mengingat tunduknya perjanjian sewa-menyewa menurut KUH Perdata pada asas konsensualitas, sehingga dapat disimpulkan bahwa hubungan hukum sewa-menyewa mulai berlaku mengikat sejak detik tercapainya kesepakatan mengenai unsur-unsur pokoknya, yaitu kenikmatan dari suatu barang, harga sewa, dan jangka waktu sewa. Sama halnya dengan hubungan hukum sewa-menyewa jaringan telekomunikasi yang juga tunduk pada asas konsensualitas, akan tetapi perjanjian yang terjadi antara penyelenggara jaringan telekomunikasi dan penyelenggara jasa telekomunikasi sejatinya dilahirkan oleh kehendak UU Telekomunikasi. Pada dasarnya kesepakatan dalam hubungan hukum sewamenyewa jaringan tersebut merupakan kesepakatan semu. Kesepakatan tersebut hanyalah sebuah kesepakatan yang berkaitan dengan asas kebebasan berkontrak (freedom of contract), bukan mengenai unsur-unsur pokok dalam sewa-menyewa jaringan telekomunikasi. Hal itu dapat dibuktikan dari: dalam hubungan hukum sewa-menyewa jaringan telekomunikasi pihak yang menyewakan pasti merupakan penyelenggara jaringan telekomunikasi, dan pihak penyewa pasti merupakan penyelenggara jasa telekomunikasi, hal ini secara tersurat telah diungkapkan oleh Pasal 9 Ayat (2) UU Telekomunikasi. Obyek dalam hubungan hukum yang terjadi antara penyelenggara jaringan telekomunikasi dan penyelenggara jasa telekomunikasi, juga sudah dipastikan oleh Pasal 9 Ayat (2) UU Telekomunikasi, yaitu jaringan telekomunikasi. Sementara mengenai harga sewa jaringan telekomunikasi sendiri 57

ditentukan oleh Keputusan Menteri, yang sebagaimana diamanatkan oleh PP No. 52 tahun 2000. D. Bentuk Hubungan Hukum Sewa-Menyewa Telekomunikasi Dalam perjanjian sewa-menyewa menurut KUH Perdata ataupun perjanjian sewa-menyewa jaringan dapat berbentuk tertulis ataupun lisan, dan dapat berupa akta otentik ataupun akta dibawah tangan. Namun, menurut pandangan Penulis sebaiknya hubungan hukum sewa-menyewa jaringan tersebut dibuat secara tertulis dan dengan akta otentik. Hal ini dikarenakan mengingat penyelenggaraan telekomunikasi merupakan bisnis yang modalnya sangat besar, dan mencangkup hajat orang banyak, sehingga apabila dibuat secara tertulis dan dengan akta otentik akan lebih menjamin kepastian hukum bagi para pihak yang mengikatkan diri, dan dapat digunakan sebagai alat bukti yang kuat apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan kemudian hari.. E. Obyek dalam Sewa-Menyewa Telekomunikasi Terdapat dualisme pendapat mengenai obyek dalam hubungan sewamenyewa konvensional. Pendapat yang pertama datang dari Hoffman, De purger, dan Christina T. Budhayati S.H.,M.H. yang berpendapat obyek dalam perjanjian sewa-menyewa menurut KUH Perdata haruslah barang berwujud. 14 Berbanding terbalik dengan pendapat Asser, Van Brakel, dan Vollmar yang menyatakan 14 Prodjodikoro S.H., M.H.,Professor Wiryono, Loc.Cit; Christina T. Budhayati S.H., M.H., Loc.Cit. 58

bahwa barang tidak berwujud juga bisa menjadi obyek dalam suatu perjanjian sewa-menyewa menurut KUH Perdata. 15 Dalam perjanjian sewa-menyewa jaringan telekomunikasi obyeknya adalah jaringan telekomunikasi, yang diartikan sebagai rangkaian perangkat telekomunikasi dan kelengkapannya yang digunakan dalam bertelekomunikasi. 16 Sejatinya jaringan telekomunikasi tersebut merupakan benda tidak berwujud, hal ini jelas membuktikan bahwa UU Telekomunikasi sejalan dengan pendapat Asser, Van Brakel, dan Vollmar. F. Hak dan Kewajiban dalam Sewa-Menyewa Telekomuniaksi Memberikan kenikmatan suatu barang adalah kewajiban utama pihak yang menyewakan dalam hubungan hukum sewa-menyewa menurut KUH Perdata dan hubungan hukum sewa-menyewa jaringan telekomunikasi. 17 Kewajiban lainnya dalam hubungan hukum sewa-menyewa menurut KUH Perdata antara lain untuk memelihara barang yang disewakan dan menjaga ketentraman pihak penyewa dalam menggunakan barang yang disewakan. 18 Sedangkan kewajiban lainnya dalam hubungan hukum sewa-menyewa jaringan telekomunikasi juga mencakup mengenai kewajiban penyelenggara jaringan telekomunikasi kepada masyarakat, kewajiban lainnya tersebut, yaitu: wajib membangun dan/ atau menyediakan 15 Prodjodikoro S.H.,M.H., Professor Wiryono, Loc.Cit. 16 Lihat Pasal 1 Ayat (6) UU Telekomunikasi. 17 Lihat Pasal 1550 KUH Perdata dan Pasal 9 Ayat (2) UU Telekomunikasi. 18 Lihat Pasal 1550 KUH Perdata 59

jaringan telekomunikasi, 19 wajib menjamin terselenggaranya telekomunikasi melalui jaringan yang diselenggarakannya, 20 wajib memenuhi setiap permohonan dari calon pelanggan jaringan telekomunikasi yang telah memenuhi syarat-syarat berlangganan jaringan telekomunikasi sepanjang jaringan telekomunikasi masih ada, 21 wajib memberikan kontribusi dalam pelayanan universal, 22 wajib menyediakan pelayanan tekomunikasi berdasarkan prinsip perlakukan yang sama dan pelayanan yang sebaik-baiknya, peningkatan efisiensi dalam penyelenggaraan telekomunikasi, dan pemenuhan standart pelayanan serta standart penyediaan sarana dan prasarana, 23 dan wajib menjamin kebebasan penggunanya memilih jaringan telekomunikasi lain untuk pemenuhan kebutuhan telekomunikasi. 24 Hak utama yang diterima oleh pihak yang menyewakan dalam hubungan hukum sewa-menyewa menurut KUH Perdata dan dalam hubungan hukum sewamenyewa jaringan telekomunikasi adalah hak untuk menerima pembayaran harga sewa. 25 Dalam hubungan hukum sewa-menyewa jaringan telekomunikasi pihak penyelenggara jaringan telekomunikasi diberikan hak khusus dalam 19 Lihat Pasal 6 Ayat (1) PP No. 52 tahun 2000. 20 Lihat Pasal 7 PP No. 52 tahun 2000. 21 Lihat Pasal 12 PP No. 52 tahun 2000. 22 Lihat Pasal 16 Ayat (1) UU Telekomunikasi. 23 Lihat Pasal 17 UU Telekomunikasi. 24 Lihat Pasal 19 UU Telekomunikasi. 25 Lihat Pasal 1548 KUH Perdata; Lihat Pasal 27 UU Telekomunikasi jo Pasal 35 Ayat (1) PP No. 52 tahun 2000. 60

penyelenggaraan jaringan telekomunikasi, yaitu dapat memanfaatkan atau melintasi sungai, danau, atau laut baik permukaan maupun dasar, dan tanah dan/atau bangunan milik perseorangan dan/atau milik Negara. 26 Pihak penyewa, baik dalam hubungan hukum sewa-menyewa menurut KUH Perdata ataupun hubungan hukum sewa-menyewa jaringan telekomunikasi diberikan kewajiban utama untuk melakukan suatu pembayaran. 27 Kewajiban lainnya yang diberikan kepada pihak penyewa dalam hubungan hukum sewamenyewa menurut KUH Perdata, yaitu: memakai barang yang disewa sebagai bapak rumah yang baik, sesuai dengan tujuan yang diberikan pada barang itu menurut perjanjian sewanya, atau jika tidak ada perjanjian mengenai itu, menurut tujuan yang dipersangkakan berhubungan dengan keadaan, 28 menanggung segala kerusakan yang terjadi selama sewa-menyewa, kecuali jika penyewa dapat membuktikan bahwa kerusakan tersebut terjadi bukan karena kesalahan si penyewa, 29 dan mengadakan perbaikan-perbaikan kecil dan sehari-hari sesuai dengan isi perjanjian sewa-menyewa dan adat kebiasaan setempat (khusus untuk sewa rumah dan perabot rumah). 30 Sedangkan dalam hubungan hukum sewamenyewa jaringan telekomunikasi kewajiban-kewajiban lainnya yang diberikan juga mencakup kewajiban kepada masyarakat. Kewajiban lainnya tersebut, yaitu: 26 Lihat Pasal 12 Ayat (1-3) jo Pasal 13 UU Telekomunikasi. 27 Lihat Pasal 1560 Angka (2e) KUH Perdata; Lihat Pasal 27 UU Telekomunikasi jo Pasal 35 Ayat (1) PP No. 52 Tahun 2000. 28 Lihat Pasal 1560 Angka (1e) KUH Perdata. 29 Lihat Pasal 1564 KUH Perdata. 30 Lihat Pasal 1580 KUH Perdata. 61

wajib menyediakan fasilitas telekomunikasi untuk menjamin kualitas pelayanan telekomunikasi yang baik, 31 wajib memberikan pelayanan yang sama kepada pengguna jasa telekomunikasi, 32 wajib mencatat/merekam secara rinci pemakaian jasa telekomunikasi dan apabila pengguna memerlukannya wajib diberikan, 33 wajib memenuhi setiap permohonan dari calon pelanggan telekomunikasi yang telah memenuhi syarat-syarat berlangganan sepanjang akses jasa telekomunikasi masih tersedia, 34 wajib memberikan kontribusi dalam pelayanan universal, 35 dan wajib menyediakan pelayanan tekomunikasi berdasarkan prinsip perlakukan yang sama dan pelayanan yang sebaik-baiknya, peningkatan efisiensi dalam penyelenggaraan telekomunikasi, dan pemenuhan standart pelayanan serta standart penyediaan sarana dan prasarana. 36 Memperoleh kenikmatan dari suatu barang adalah hak utama pihak penyewa dalam hubungan hukum sewa-menyewa konvensional ataupun dalam hubungan hukum sewa-menyewa jaringan telekomunikasi. Selain hak utama tersebut, dalam hubungan hukum sewa-menyewa konvensional, pihak penyewa juga diberikan hak-hak tambahan, yaitu memperoleh ketentraman dalam 31 Lihat Pasal 15 Ayat (1) PP No. 52 tahun 2000. 32 Lihat Pasal 15 Ayat (2) PP No. 52 tahun 2000. 33 Lihat Pasal 18 Ayat (1 & 2) UU Telekomunikasi jo Pasal 16 Ayat (1 & 2) PP No. 52 tahun 2000. 34 Lihat Pasal 19 PP No. 52 tahun 2000. 35 Lihat Pasal 16 UU Telekomunikasi. 36 Lihat Pasal 17 UU Telekomunikasi. 62

menggunakan barang yang disewanya selama waktu sewa 37 dan menuntut pembetulan-pembetulan atas barang yang disewa, apabila pembetulan-pembetulan tersebut merupakan kewajiban pihak yang menyewakan. 38 Sementara hak tambahan yang diperoleh dalam hubungan hukum sewa-menyewa jaringan telekomunikasi adalah hak yang timbul dengan hubungannya dalam masyarakat, yaitu hak untuk memungut biaya atas permintaan catatan/rekaman pemakaian jasa telekomunikasi. 39 Satu hal yang menarik dan perlu dicermati dari sub-bab ini terletak pada kewajiban penyelenggara jaringan telekomunikasi, yang tertuang dalam Pasal 12 PP No.52 tahun 2000, yaitu: wajib memenuhi setiap permohonan dari calon pelanggan jaringan telekomunikasi yang telah memenuhi syarat-syarat berlangganan jaringan telekomunikasi sepanjang jaringan telekomunikasi masih ada. 40. Hal ini dirasa telah melanggar asas kebebasan berkontrak yang dipunyai oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi, karena dengan diberikan kewajiban tersebut, maka pihak penyelenggara jaringan telekomunikasi tidak dapat menentukan apakah ia mau mengikatkan diri pada suatu perikatan atau tidak. 37 Lihat Pasal 1560 (3e) KUH Perdata. 38 Lihat Pasal 1561 KUH Perdata. 39 Lihat Pasal 17 Ayat (2) PP No. 52 tahun 2000. 40 Lihat Pasal 12 PP No. 52 tahun 2000. 63

G. Berakhirnya Hubungan Sewa-Menyewa Telekomunikasi Dalam perjanjian sewa-menyewa menurut KUH Perdata ataupun sewamenyewa jaringan telekomunikasi, berakhirnya perjanjian sewa-menyewa dapat dibedakan menjadi 3, yaitu: berakhirnya dengan jangka waktu yang ditentukan dalam kesepakatan (perjanjian tertulis dan perjanjian lisan), berakhirnya hubungan hukum sewa-menyewa yang tidak ada batas waktunya, dan berakhirnya dengan ketentuan khusus (persetujuan para pihak, putusan pengadilan, dan obyek sewa musnah). Mengingat yang dapat menjadi pihak dalam sewa-menyewa jaringan telekomunikasi hanyalah penyelenggara jaringan telekomunikasi dan penyelenggara jasa telekomunikasi, maka sewa-menyewa jaringan telekomunikasi otomatis akan berakhir apabila adanya pencabutan izin usaha yang dimiliki oleh salah satu pihak dalam perjanjian sewa-menyewa jaringan telekomunikasi. 64