KEANEKARAGAMAN JENIS. Konsep keanekaragaman jenis (species diversity) berawal dari apa yang di

dokumen-dokumen yang mirip
TINJAUAN PUSTAKA Fragmentasi dan Edge

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian. dalam kawasan wisata alam Trinsing yang secara administratif termasuk ke dalam

EKOLOGI. KOMUNITAS bag. 2 TEMA 5. Program Studi Tadris Biologi Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri Jember

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Ekosistem Mangrove

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB IV METODE PENELITIAN

PENDAHULUAN. Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA

METODOLOGI PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang dipengaruhi sifat-sifat

TINJAUAN PUSTAKA Keanekaragaman Hayati

Konsep Keanekaragaman METODE Tempat dan Waktu Penelitian

III. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN

BAHAN DAN METODE. Gambar 3 Lokasi penelitian ( ) Alat dan Bahan

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi

4 METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan bersifat deskriptif kuantitatif. Pengamatan

BAB I PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki mega biodiversity

II. METODE PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA. Tipe-tipe Hutan Rawa Gambut. kehutanan. Gambut adalah bahan tanah yang tidak mudah lapuk, terdiri dari bahan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM

Proses Pemulihan Vegetasi METODE. Waktu dan Tempat Penelitian

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat 2.2 Komunitas Burung

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada Januari 2017 selama kurun waktu satu

III. METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS.

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1)

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli Lokasi penelitian adalah di kawasan

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017

Asrianny, Arghatama Djuan. Laboratorium Konservasi Biologi dan Ekowisata Unhas. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. Hutan adalah suatu asosiasi kehidupan, baik tumbuh-tumbuhan (flora)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

III. METODOLOGI PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA. rekreasi alam, yang mempunyai fungsi sebagai: Kawasan perlindungan sistem penyangga kehidupan.

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp) KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG DESA KAMPUNG BARU KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA

:!,1G():5kr'W:5. JURnAl EKOlOGI DAn SAlns ISSN : ISSN : VOLUME 01, No: 01. Agustus 2012

TINJAUAN PUSTAKA. Tristaniopsis merguensis Griff.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

cukup tua dan rapat, sedang hutan sekunder pada umumnya diperuntukkan bagi tegakantegakan lebih muda dengan dicirikan pohon-pohonnya lebih kecil.

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas,

IV. METODE PENELITIAN

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

BAB I PENDAHULUAN. dalam Ilmu Ekologi dikenal dengan istilah habitat. jenis yang membentuk suatu komunitas. Habitat suatu organisme untuk

KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN BAWAH DI HUTAN PENELITIAN DRAMAGA DAN KEBUN KELAPA SAWIT, CIKABAYAN KAMPUS IPB RIZKI KURNIA TOHIR E

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

II. TINJAUAN PUSTAKA. fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam untuk

BAB I PENDAHULUAN. lainnnya yang tersebar luas dari Sabang sampai Merauke. Menurut Ummi (2007)

I. PENDAHULUAN. hutan dapat dipandang sebagai suatu sistem ekologi atau ekosistem yang sangat. berguna bagi manusia (Soerianegara dan Indrawan. 2005).

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan jumlah spesies burung endemik (Sujatnika, 1995). Setidaknya

PENGUKURAN BIODIVERSITAS


BAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004),

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Rukmana (1997), sistematika tanaman jagung (Zea mays L.) adalah sebagai

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

ASAS- ASAS DAN KONSEP KONSEP TENTANG ORGANISASI PADA TARAF KOMUNITAS

BAB I PENDAHULUAN. migran. World Conservation Monitoring Centre (1994) menyebutkan

II. METODOLOGI. A. Metode survei

TINJAUAN PUSTAKA. Deskripsi dan Klasifikasi Ilmiah Daun Sang (Johannestijsmania altifrons)

TINJAUAN PUSTAKA. I. Ekologi Tanaman Kelapa Sawit (Elais guinensis Jacq.) baik di daerah tropis (15 LU - 15 LS). Tanaman ini tumbuh sempurna di

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biodiversitas ( Biodiversity

IV. METODE PENELITIAN

Tim Dosen Biologi FTP Universitas Brawijaya

5/4/2015. Tim Dosen Biologi FTP Universitas Brawijaya

PENDAHULUAN Latar Belakang

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Jumlah spesies dalam komunitas yang sering disebut kekayaan spesies

BAB I PENDAHULUAN. dalam Suginingsih (2008), hutan adalah asosiasi tumbuhan dimana pohonpohon

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Dalam pandangan al-qur an, mempelajari dan mengamati fenomena

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan

Sistem Populasi Hama. Sistem Kehidupan (Life System)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. inventarisasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan data tentang jenis-jenis tumbuhan bawah

BAB I PENDAHULUAN. Kayu jati (Tectona grandis L.f.) merupakan salah satu jenis kayu komersial

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati

BAB I PENDAHULUAN UKDW. bumi, namun demikian keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya sangat

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014.

Transkripsi:

KEANEKARAGAMAN JENIS Konsep keanekaragaman jenis (species diversity) berawal dari apa yang di sebutkan sebagai keanekaragaman hayati (biodiversity). Dalam definisi yang luas keanekaragaman hayati merupakan keanekaragaman kehidupan dalam semua bentuk dan tingkatan organisasi (Hunter, 1990), termasuk struktur, fungsi dan proses-proses ekologi di semua tingkatan ( Society of American Forester (1991) dalam Robert and Gilliam (1995)). Sebagai suatu usaha dalam memberikan definisi yang lebih operasional, Crow et al. (1994) telah mengidentifikasikan keanekaragaman menjadi tiga tipe atau subkelompok keanekaragaman, yakni : komposisi, struktural dan fungsional. Keanekaragaman komposisi adalah keanekaragaman sesuatu dalam suatu wilayah, seperti jenis dalam suatu tegakan hutan. Keanekaragaman struktur dapat dicirikan dengan distribusi vertikal dan horisontal dari tumbuhan, ukuran tumbuhan, atau distribusi umur. Sedangkan keanekaragaman fungsional dicirikan dengan proses- ' proses ekologi, aliran energi, dan hubungan trophic level. Pada tipe-tipe tersebut keanekaragaman dapat dilihat dari berbagai tingkatan organisasi biologi, misalnya dari tingkatan genetik, jenis/spesies, atau ekosistem (Probst and Crow, 1991). Tiap tipe dan tingkatan keanekaragaman mengekspresikan berbagai skala spasial, dari lokal sampai global. Memperhatikan skala khususnya relevan dalam manajemen karena strategi yang baik pada tingkat lokal mungkin menurun untuk keanekaragaman tingkat regional (Crow, 1990). Whittaker (1977) dalam Magurran

(1988) mengemukakan mengenai skala pengukuran spasial dalarn inventarisasi keanekaragarnan, yakni : a. Keanekaragaman titik (point diversity), yaitu nilai keanekaragaman pada suatu unit contoh yang diukur. b. Keanekaragaman alpha (alpha diversity), yakni nilai keanekaragaman pada suatu habitat yang homogen (kumpulan atau gabungan keanekaragaman titik). c. Keanekaragaman gamma (gamma diversity), yaitu nilai keanekaragaman suatu pulau atau landscape (kumpulan atau gabungan keanekaragaman alpha). d. Keanekaragaman total (total diversi~j yaitu nilai keanekaragaman suatu wilayah biogeografi (kumpulan dari keanekaragaman gamma). - Robert (1995) mengusulkan juga untuk kemudahan agar menggunakan tiga skala spasial yakni (I) Bagian dari areal tegakan yang dicirikan dengan suatu kerusakan atau ciri tertentu sebagai akibat perlakuan yang berbeda terhadap lahan, komposisi, atau strukturnya (diistilahkan dengan "patch"). (2) Tegakan yakni suatu kumpulan pohon-pohon dan asosiasi vegetasi dari struktur yang serupa yang tumbuh pada kondisi lahan yang serupa. (3) Landscape yakni beragam kawasan lahan dengan komposisi berbeda dalam suatu interaksi ekosistem. Selain skala spasial, tipe maupun tingkatan keanekaragaman tersebut terjadi pula dalam skala waktu. Untuk itulah sebelum menentukan keanekaragaman sebelumnya hams ditentukan dulu tipe, tingkatan organisasi, dan skala spasial maupun temporal harus ditetapkan terlebih dahulu.

Keanekaragaman secara natural adalah dinan~ik bukan statik, karenanya keanekaragaman harus dikelola dan dimonitor dengall prosedur yang memperhatikan - - dinamika alam dan sifat-sifat dari ekosistem di mana mereka terbentuk. Informasi mengenai ukuran dan trend dari keanekaragaman ini dapat digunakan sebagai indikator mendesain sistem silvikultur lestari dengan memperhatikan lahan secara spesifik di dalam suatu manajemen hutan alam tropis (Bruenig, 1995). Berdasarkan tingkatan organisasi biologi dalam suatu ukuran keanekaragaman dan dengan pertimbangan kemudahan serta untuk lebih membatasi cakupan permasalahan atau lingkup perhatian, keanekaragaman jenis atau species diversity adalah ukuran keanekaragaman yang sering dipergunakan (Robert and Gilliam, 1995). Keanekaragaman jenis (species diversity) pada dasarnya dapat disusun dari dua komponen. Pertama adalah jumlah spesies dalam suatu areal, yang mana para ahli ekologi menyatakannya sebagai kekayaan jenis (species richness). Komponen ke dua adalah "species evennes" atau kemerataan. Selanjutnya dikembangkan'lagi suatu indeks yang berupaya mengkombinasikan antara kekayaan jenis dan kemerataan ke dalam satu nilai tunggal yang disebut sebagai indeks heterogenitas (kelimpahan jenis). 1. Kekayaan Jenis Kekayaan jenis pertama kali dikemukakan oleh McIntosh tahun 1967. Konsep yang dikemukakannya mengenai kekayaan jenis adalah jumlah jenislspesies dalam suatu komunitas. Kempton (1979) dalam Santosa (1995) mendefinisikan kekayaan jenis sebagai jumlah jenis dalam sejumlah individu tertentu.

Sedangkan Hurlbert (1971) dalam Magurran (1988) menyatakan bahwa kekayaan jenis adalah jumlah spesies dalam suatu luasan tertentu. Beberapa indeks menyangkut kekayaan jenis yang umumnya dikenal adalah sebagai berikut : (1) Metode "rarefaction" yang pertama kali dikemukan oleh Sanders (1 968) kemudian disempurnakan oleh Hurlbert (1 97 1) (Magurran, 1988), (2) indeks kekayaan jenis Margalef, (3) indeks kekayaan jenis Menhinick, (4) indeks kekayaan jenis JACKKNIFE 2. Kemerataan jenis Konsep ini menunjukkan derajat kemerataan kelimpahan individu antara setiap spesies. Ukuran kemerataan pertama kali dikemukakan oleh Lloyd dan Ghelardi (1964) dalam Magurran (1988) dapat pula digunakan sebagai indikator adanya gejala dominansi di antara setiap spesies dalam suatu komunitas. Beberapa indeks kemerataan yang umum dikenal di antaranya adalah : (1) indeks kemerataan Hurlbert, (2) indeks kemerataan Shanon-Wiener, (3) indeks. kemerataan yang dikemukakan oleh Buzas dan Gibson (1969) dalam Krebs (1989), (4) indeks kemerataan yang dikemukakan Hill (1973) dalam Ludwig dan Reynolds (1988) yang lebih dikenal dengan istilah Hill's evenness number. 3. Kelimpahan jenis Istilah heterogenitas pertama kali dikemukakan oleh ~ood'(1953) dalam Krebs (1989). Istilah lain untuk konsep ini adalah kelimpahan jenis atau species abundance (Magurran, 1988). Seperti dikemukakan semula bahwa konsep ini merupakan suatu indeks tunggal yang mengkombinasikan antara kekayaan jenis dan kemerataan jenis. Diantara sekian banyak indek heterogenitas, ada tiga

indeks yang paling sering dipakai oleh peneliti di bidang ekologi, yakni : indeks Simpson, indeks Shannon-Wiener dan indeks Brillouin ( Poole, 1974; Krebs, 1989). Dalam hubungannya dengan komunitas hutan keanekaragaman jenis akan bervariasi dari suatu tipe hutan dengan tipe hutan lainnya. Dengan kata lain bahwa keanekaragaman akan bervariasi dengan kondisi lahan. Bruenig (1995) mengemukakan bahwa keanekaragaman jenis secara konsisten menurun dari kandungan humus podsol yang dalam - dangkal sesuai kajiannya pada beberapa tipe hutan (Dipterocarpaceae campuran - kerangas perbukitan - hutan kerapah) di Sarawak, Brunei dan Cina Selatan, serta di Bana daerah Amazone. Disimpulkannya bahwa kekayaan spesies berhubungan dan dibatasi kondisi tanah di mana terdapat zone perakaran, aerasi dan kelembaban tanah, kandungan hara dan kualitas humus. Dalam kondisi lingkungan yang ekstrim, keanekaragaman akan rendah karena hanya sedikit spesies yang marnpu beradaptasi dengan kondisi tersebut (Grime, 1979 dalam Roberts dan Gilliam, 1995). Keanekaragaman jenis yang tercermin daiam jumlah jenis pohon yang ditemukan dalam hutan kerangas sangat bervariasi seperti contoh yang dikemukakan - - oleh Bruenig (1972) mengungkapkan bahwa tipe hutan kerangas dengan tanah podsolik putih kelabu dan belum mengalami gangguan dapat memiliki 69-75 spesies tingkat pohon. Sementara itu di hutan lindung Mandor Kalimantan Barat yakni pada tipe hutan kerangas tanah datar dengan jenis tanah humus podsol serta telah mengalami gangguan, Hadisaputro dan Said (1988) melaporkan terdapat 12 jenis pohon pada tingkat tiang dan 28 jenis untuk tingkat tiang pada petak berukuran

0,4 ha. Selain itu Riswan (1979) melaporkan di Sebulu Kalimantan Timur dalam plot berukuran 0,5 ha ditemukan 27 jenis pohon pada hutan kerangas primer dan hanya 8 jenis pohon pada hutan kerangas sekunder. S'TRUKTUR TEGAKAN Pengertian struktur tegakan dapat berlainan tergantung pada tujuan penggunaan - istilah tersebut, sehingga beberapa ahli memberi arti yang berbeda-beda. Struktur tegakan dapat ditinjau dari dua arah, yaitu : struktur tegakan vertikal dan horisontal (Ibie, 1997). Struktur tegakan vertikal oleh Richard (1964) dinyatakan sebagai sebaran jumlah pohon dalam berbagai lapisan tajuk. Sedangkan Husch et al. (1982) menyatakan bahwa struktur tegakan horisontal merupakan istilah untuk menggambarkan sebaran jenis pohon dengan dimensinya, yaitu diameter pohon dalam suatu kawasan hutan. Struktur tegakan hutan biasanya digambarkan melalui diagram profil. Diagram ' ini merupakan suatu sketsa dari semua pohon yang berada pada areal yang memiliki ukuran lebar 7,5 m dan panjang 60 meter. Untuk gambaran vertikal pohon, umumnya pohon-pohon dengan tinggi > 4,5 m atau 6 m yang relatif dimuat dalam diagram. Dengan demikian lebih diutamakan atau terbatas pada pohon-pohon yang berada pada fase dewasa (Whitmore, 1986). Daniel et al. (1987) mengemukakan bahwa struktur tegakan menunjukan sebaran dan atau kelas diameter dan kelas tajuk. Pada hutan tidak seumur sering mempunyai karakteristik distribusi semua diameter yang diasumsikan dimiliki oleh

tegakan semua umur. Hutan hujan tropis merupakan suatu tipe dari tegakan tidak seumur yang mana distribusi kelas diameternya sesuai dengan bentuk "J" terbalik. Oliver dan Larson (1990), menjelaskan bahwa struktur tegakan adalah sebaran sementara dan sebaran fisik pohon-pohon dalam suatu tegakan. Sebarannya dapat digambarkan berdasarkan : (I) jenis pohon, (2) bentuk ruang horisontal dan vertikal, (3) besarnya pohon atau bagian pohon yang mencakup volume tajuk,.has daun, dan lain-lain, (4) umur pohon, (5) kombinasi dari kondisi-kondisi yang telah disebutkan sebelumnya. Struktur tegakan baik horisontal maupun vertikal suatu tegakan hutan merupakan suatu alat yang dapat berperan didalam memelihara keanekaragaman jenis yang ada (Kohyama, 1993) Pengetahuan menyangkut struktur tegakan ini dapat memberikan informasi mengenai dinamika populasi suatu jenis atau kelompok jenis mulai dari tingkat semai, pancang, tiang dan pohon maupun tumbuhan bawah (Marsono dan Sastrosumarto, 198 1). Dikaitkannya masalah tumbuhan bawah dalam hubungannya dengan struktur tegakan hutan adalah karena tumbuhan bawah merupakan elemen penting dalarn fungsi dan struktur dari suatu sistem ekologi hutan (Crow, 1990). Seiain itu struktur tegakan dalam ini ukuran dari elemen pohon yang membentuk. * tegakan serta sebaran jenis pohon yang ada diyakini mempengarubi terbentuknya karakteristik tumbuhan bawah yang ada (Kohyama, 1993; Jones, 2002) Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan struktur tegakan adalah lebih mengarah ke struktur tegakan horisontal, yakni menyangkut nilai luas bidang dasar, frekuensi dan kerapatan pohon.

POLA SEBARAN SPASIAL Pola sebaran spasial tanaman maupun satwa merupakan karakter penting dalam komunitas ekologi. Hal ini biasanya merupakan kegiatan awal yang dilakukan untuk meneliti suatu komunitas dan merupakan ha1 yang sangat mendasar dari kehidupan suatu organisme (Cornel, 1963 &lam Ludwig and Reynold, 1988). Pola sebaran spasial ini merupakan aspek penting dalam struktur populasi dan terbentuk oleh faktor intrinsik spesies dan kondisi habitatnya (Iwao, 1970). Hutchinson (1953) dalam Ludwig and Reynold (1988) menyebutkan faktor- faktor yang mempengaruhi pola sebaran spasial, yaitu : a. Faktor vektorial, yaitu faktor yang dihasilkan dari aksi lingkungan (misalnya angin, intensitas cahaya, dan air) b. Faktor reproduksi, yaitu bagaimana cara organisme tersebut bereproduksi c. Faktor co-aktif, yaitu faktor yang dihasilkan dari intraspesifik (misalnya kompetisi) d. Faktor stokastik, yaitu faktor yang dihasilkan dari variasi acak pada beberapa faktor di atas. Terdapat tiga pola dasar sebaran spesies yaitu : (1) acak atau random, (2) mengelompok atau clump, (3) seragam atau uniform (Odum, 1971 ; Ludwig and Reynold, 1988 ; McNaughton and Wolf, 1990). Pola acak terbentuk sebagai akibat dari lingkungan yang homogen (Odum, 1971; Ludwig and Reynold, 1988) atau perilaku yang non selektif (Ludwig and --. - Reynold, 1988; McNaughton and Wolf, 1990). Rosalina (1996) mengemukakan

bahwa sebagian besar jenis flora khususnya di daerah tropis, pola sebarannya adalah umumnya acak. Bruenig (1995) mengemukakan bahwa terbentuknya pola acak suatu jenis dikarenakan jenis tersebut dalam proses hidupnya dapat bertahan dan berlangsung relatif baik tanpa persyaratan khusus dalam ha1 cahaya dan hara. Pola sebaran non acak (mengelompok atau seragam) menunjukkan bahwa terdapatnya suatu faktor pembatas pada populasi yang ada (Ludwig and Reynold, 1988). Pola sebaran yang tidak acak biasanya ditemui akibat adanya keteraturan sebagai akibat adanya kendala atau faktor pembatas terhadap keberadaan jenis tertentu atau kesesuaian jenis dari populasi tertentil terhadap lingkungan (Rosalina, 1996). Bila sebaran tersebut mengelompok, berarti keberadaan suatu individu pada - suatu titik meningkatkan peluang adanya individu yang saina pada suatu titik yang lain di dekatnya. Pola mengelompok terjadi sebagai akibat individu akan mengelompok pada habitat yang lebih sesuai dengan tuntutan hidupnya. Selain itu, pola sebaran mengelompok diakibatkan oleh heterogenitas faktor-faktor lingkungan dari tempat tumbuh, variasi dari individu di dalam populasi dapat merupakan resultante dari model reproduktif, dan kesesuaian tempat tumbuh atau tapak (Ludwig and Reynold, 1988). Sedangkan sebaran populasi seragam merupakan kejadian yang berlawanan seperti apa yang terjadi pada sebaran mengelompok (McNaughton and Wolf, 1990). Sebaran suatu spesies dikontrol oleh faktor lingkungannya terutama berlaku bagi organisme yang mempunyai kisaran kemampuan adaptasi yang sempit (Bartholomew 1958 dalam Krebs, 1989). Selanjutnya Krebs (1989) menyatakan

- bahwa hewan atau tumbuhan dalam fase awal kehidupannya sering mempunyai kepekaan yang tinggi terhadap lingkungan. Faktor-faktor yang membatasi distribusi antara lain tingkah laku, suhu, hubungan timbal balik dengan organisme lain, kelembaban serta faktor fisik dan kimia lainnya. Pola sebaran spasial yang didapat dari hutan hujan tropis merupakan kunci penting untuk memahami keberadaan dan kelimpahan jenis-jenis pohon (Niyama et al., 1999). Manokaran et al. (1992) dalam Niyama et al., (1999) mengungkapkan berdasarkan penelitian mengenai pola spasial spesies pohon di Hutan Cadangan Pasoh Peninsular Malaysia, bahwa sebaran spasial yang terjadi pada spesies pohon tergantung pada topografi, kelembaban tanah, posisi pohon induk, dan celah kanopi. CELAH KANOPI Celah kanopi (rumpang atau gap) merupakan kejadian alam yang umum dijumpai di hutan hujan tropika. Celah terjadi akibat pohon yang mati, * patahlrebahnya batang atau dahan pohon oleh berbagai faktor seperti mati karena usia, angin, tanah longsor, gempa bumi, penebangan pohon dan sebagainya (Hartshorn, 1978). Selanjutnya Whitmore (1986), mengungkapkan bahwa disamping diakibatkan oleh faktor angin, badai dan kilat, serangan binatang seperti serangga dan jamur dapat menyebabkan kematian pohon besar secara perlahan dan menciptakan adanya celah. Selain terbentuknya celah rebahnya pohon-pohon besar akan menghasilkan pula gundukan atau lubang pada tanah setinggi 1-2 meter akibat terbongkarnya tanah oleh akar-akar pohon yang rebah.

Terbentuknya celah merupakan titik kritis bagi permudaan dan perkembangan dari banyak jenis pohon penyusun tajuk hutan di hutan hujan tropika (Harstshon, 1978; Denslow, 1980; Whitmore, 1986). Terbentuknya celah mengakibatkan pengurangan kompetisi akar dan perubahan iklim mikro seperti peningkatan kualitas dan kuantitas cahaya, peningkatan temperatur dan menurunnya kelembaban (Hartshorn, 1978; Whitmore, 1986). Celah juga dapat meningkatkan kandungan hara dengan membusuknya tanaman yang mati, mengurangi kompetisi akar, serta terkadang merubah relief mikro dan profil tanah (Whitmore, 1986). Hal lain yang penting adalah dengan terbentuknya celah berarti berkurang atau hilangnya pengendalian oleh jenis dominan terhadap anakan pohon yang ada di bawahnya. Keberadaan dan pertumbuhan dari berbagai spesies pohon sangat berkaitan erat, dengan dengan ukuran celah dan posisi spesies dalam celah, terutama pada tingkat semai. Ketahanan dan keberadaan pohon pada tingkat semai adalah lebih besar pada. celah dibandingkan kanopi tertutup (Gray and Spies, 1996). Permudaan dalam celah adalah suatu mekanisme penting dalam memelihara populasi dan komunitas dari berbagai tipe hutan. Karakteristik celah berupa ukuran dan kepadatan celah kanopi sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan permudaan (Yamamato, 1995). Ukuran celah juga dapat mempengaruhi jenis mana yang dapat mengkolonisasi suatu celah (Hartshorn, 1978). Penebangan dengan sistem tebang pilih yang dilakukan terhadap pohon-pohon hutan Dipterocarpaceae berdampak pada terbentuknya celah dengan ukuran besar, kerusakan hampir 50 % pada tegakan tinggal serta berdampak signifikan terhadap

pengurangan jumlah anakanlsemai untuk dapat bertahan dalam proses regeneras,i tegakan. Terbentuknya celah dalam ukuran yang besar ini akan meningkatkan temperatur tanah, menurunkan kelembaban, meningkatkan laju evaporasi dan erosi. Selain itu dengan meningkatnya temperatur tanah berdampak mengurangi kemampuan inokulum mikoryza. Terbentuknya karakteristik biologis dan fisik dalam hubungan dengan ukuran celah yang besar membatasi kemampuan regenerasi dari permudaan yang ada (Gardingen et al., 1998). Keadaan menyangkut celah kanopi seperti dijelaskan diatas berperan menciptakan suatu mekanisme suksesi dan kompetisi jenis secara lokal serta menghasilkan dinamika pada komposisi dan struktur komunitas tegakan hutan - - (Denslow, 1980; Hartshorn, 1978). Berbagai spesies akan berbeda keberhasilannya dalam celah dari berbagai ukuran, karenanya ukuran celah merupakan suatu ha1 penting yang berpengaruh terhadap komposisi jenis dan pola spasial dalam hutan (Whitmore, 1986). Pendapat. yang mendukung pernyataan bahwa celah kanopi dapat memberikan pengaruh terhadap pola spasial jenis pohon dikemukakan oleh Armesto et al. (1986) dalam Niyama et al. (1999) yang mengemukakan bahwa kerusakan dalam skala besar meningkatkan proporsi spesies tersebar secara random, sedangkan celah yang diakibatkan pohon tumbang meningkatkan proporsi jenis pohon yang menyebar secara mengelompok.